Episode 11 : Kesalahan

1385 Kata
Pasca kejadian ciuman tadi malam, Mora mencoba bersikap biasa. Mora tetap menyiapkan pakaian kerja Zein dan membuatkan sarapan untuk laki-laki itu. Zein pun bersikap seolah tidak ada yang terjadi. Meskipun Mora tidak rela, tapi gadis itu mencoba berdamai dengan hati. Mora menganggap bahwa ciuman Zein adalah sebuah kesalahan. Tanpa sadar Mora menghela nafas berat saat sedang sarapan bersama Zein. "Kau kenapa? Apa sarapannya tidak enak? Dari tadi kau terus mengaduk makanan tanpa menyantapnya." tanya Zein. "Aku baik-baik saja Zein. Tapi ada sesuatu yang ingin ku tanyakan. Zein soal semalam..." "Mora, aku tidak ingin membahasnya. Tolong lupakan saja kejadian semalam. Maaf mungkin aku sudah membuatmu salah paham. Hal seperti itu, aku janji tidak akan pernah terjadi lagi." potong Zein cepat. Zein menyela ucapan Mora sebelum gadis itu sempat menyelesaikannya. Mora langsung diam dan menundukkan wajah. Terlihat jelas kalau Mora sedih mendengar ucapan Zein. "Aku tau. Aku akan melupakannya seperti yang kau harapkan." ujar Mora Setelah itu, tidak ada lagi percakapan diantara Zein dan Mora sampai keduanya selesai makan. Zein pergi bekerja seperti biasa dan Mora merenung sendiri dalam suasana hati yang buruk. "Apa yang coba kucari tau? Sudah jelas Zein menyukai wanita lain. Kejadian semalam tidak berarti apa-apa bagi Zein. Hanya aku yang merasa senang dan menganggap bahwa itu adalah malam yang istimewa. Harusnya kau tidak menciumku dan membuat semuanya jadi canggung seperti ini Zein." gumam Mora pelan. "Mora kau kenapa? Apa kau tidak sehat? Dari pagi kau terus melamun dan tidak bersemangat. Apa terjadi sesuatu?" tanya Siti. Siti yang sedang membersihkan meja makan, membuyarkan lamunan Mora tentang Zein. Mora langsung tersenyum sembari menggelengkan kepala. "Tidak terjadi apa-apa Bi. Tapi sepertinya aku jatuh cinta." jujur Mora dengan wajah sedih. Siti langsung duduk dan memperhatikan wajah Mora. Siti terlihat ceria dan ingin tau banyak tentang perasaan gadis itu. Hanya Siti tempat Mora berbagi cerita. Wanita paruh baya itu, sudah menganggap Mora seperti keluarga. "Sama siapa? Tuan Zein?" tanya Siti. Mora mengangguk lesu. Siti sedikit prihatin mengetahui perasaan Mora. Siti yang sudah lama bekerja di rumah Zein, jelas tau seperti apa perasaan laki-laki itu. Wajah Siti yang semula ceria, kini sama sedihnya dengan Mora. "Ya ampun Mora kau sedang menggali kuburan sendiri. Bukankah kau tau tuan Zein itu menyukai non Arumi sejak lama. Dia tergila-gila pada gadis lain tapi kau malah menyukainya." ujar Siti. "Itu yang jadi masalahnya Bi. Apa yang harus kulakukan? Bahkan dengan bodoh aku menerima kalung pemberian dari Zein yang sudah pasti akan diberikannya pada Arumi." Mora menunjukan kalung berinisial huruf A yang sedang dipakainya. Siti hanya mengeleng-gelengkan kepala pertanda Siti ikut prihatin dan kasihan terhadap perasaan Mora pada Zein. "Mau bagaimana lagi. Siapa yang bisa melarangmu menyukai tuan Zein. Tapi sebaiknya kau siapkan hati dengan baik, bibi takut kau akan terluka. Kau taukan tuan Zein itu cinta mati pada non Arumi." nasihat Siti. "Aku tau Bi. Karena itulah aku merasa bodoh. Sekarang jantungku tidak baik-baik saja setiap melihat Zein. Apa sebaiknya aku segera pindah? Aku tidak bisa menghadapi Zein dengan perasaan seperti ini." ujar Mora. "Jangan mengada-ada. Sudah sana tenangkan dirimu di kolam renang. Mumpung yang punya rumah tidak ada, kau bisa berenang sepuas hati." usul Siti. Siti berlalu sambil membawa piring kotor ke dapur. Mora merasa bodoh karena jatuh hati pada Zein. Tapi siapa yang bisa memaksakan perasaan. Jika bisa memilih, Mora pasti lebih memilih untuk tidak jatuh hati pada laki-laki yang dihatinya sudah ada wanita lain. *** Kejadian semalam terus berputar di kepala Zein. Sebenarnya niat Zein cuma ingin menempelkan bibirnya pada bibir Mora untuk memastikan perasaan gadis itu. Karena Mora tidak menolak, Zein yakin Mora punya hati untuknya. Tapi, secara tidak sadar, Zein malah memperdalam ciuman dan menikmati bibir Mora. "Apa karena bibir Mora begitu manis? Aku bersalah pada Mora. Tapi aku juga harus memastikan perasaanya. Jika memang Mora menyukaiku, maka aku tidak perlu takut membawa Mora ke hadapan Juan. Bukankah Juan menginginkan segala sesuatu yang berhubungan denganku? Dengan adanya Mora, maka Juan sepenuhnya akan mengabaikan Arumi. Aku ingin lihat bagaimana usaha Juan merebut Mora yang sudah ku pastikan suka padaku. Aku tidak sabar ingin melihat laki-laki itu kalah. Tapi, apa aku terlalu kejam pada Mora? Apa Mora akan memaafkan jika tau yang sebenarnya? Ah kenapa aku terus memikirkan ciuman tadi malam?" batin Zein frustasi. "Zein! Hei Zein." tegur Arumi. Zein terkejut saat menyadari Arumi sudah berada di ruangannya. Laki-laki itu langsung tersenyum dan mempersilahkan Arumi duduk. "Sejak kapan kau disini?" tanya Zein. "Baru saja. Apa yang sedang kau pikirkan? Sepertinya serius sekali." "Tidak ada. Aku hanya memikirkan makan malam yang romantis dengan seseorang di hari ulang tahunku." jawab Zein santai. "Tidak boleh! Malam itu kau harus mengenalkan pacarmu pada kami. Kalau kau berencana memberikan makan malam yang romantis pada pacarmu itu, maka rencanakan di lain hari. Bukankah kita sudah sepakat saat di restoran waktu itu?" ujar Arumi sambil cemberut. Rumi memasang ekspresi pura-pura marah di hadapan Zein. Zein sangat bahagia melihat wajah merajuk yang Rumi perlihatkan. Dalam pandangan Zein, Arumi terlihat begitu lucu. "Baiklah. Apapun itu asalkan kau senang Rumi. Bagaimana kalau acaranya di rumah saja? Kita bisa menghabiskan waktu sambil nonton film dan tidak perlu khawatir pulang malam." usul Zein. Zein memikirkan kondisi Mora yang tidak bisa dibawa keluar rumah. Untuk itu Zein memilih membuat acara di rumahnya sendiri demi menjaga keselamatan Mora. Zein memikirkan gadis itu tanpa tau bahwa pelarian Mora sudah berakhir. "Ide bagus. Kalau begitu aku akan memberi tau Juan." ujar Arumi. Rumi langsung menghubungi Juan dengan wajah yang begitu ceria. Harapan Zein untuk membuat Arumi cemburu pupus sudah. Saat Arumi keluar dari ruangannya, Zein kembali merenung. "Apa memang Arumi tidak akan pernah menyukaiku? Melihatnya yang begitu bahagia saat menghubungi Juan, membuatku kembali berpikir, apa sebaiknya aku menyerah? Apa memang cinta ini tidak ada artinya? Apa kebahagiaan Arumi cuma Juan? Jika nantinya Juan tergerak oleh Mora, apa aku masih punya harapan? Kenapa aku begitu jahat? Kenapa aku mengorbankan Mora demi mendapatkan Arumi? Mora pasti terluka jika tau kebenarannya." gumam Zein merasa bersalah. *** "Aku ingin bertemu denganmu, kau dimana?" tanya Mora begitu telepon terhubung. Mora sengaja menghubungi Juan karena masih belum mendapatkan kabar dari orang tuanya. Juan mungkin tau apa yang sedang terjadi. Untuk itu Mora memberanikan diri menghubungi laki-laki itu. "Aku di Bandung. Ada apa? Apa kau merindukanku?" Kekehan kecil diujung telepon, membuat Mora sangat muak. Gadis itu mencoba sabar dan tidak terpancing emosi. "Dimana papa dan mama? Kau pasti tau sesuatu." tanya Mora. "Kebetulan mereka sedang bersamaku. Apa kau ingin bicara dengan mereka?" tanya Juan. "Bersama papa dan mama? Apa yang kau lakukan pada mereka?" tanya Mora cemas. Sesaat telepon menjadi hening. Mora menunggu dengan tidak sabar. "Mora kau di sana? Apa kau baik-baik saja sayang?" "Mama!" pekik Mora. Gadis itu sangat bahagia ketika mendengar suara ibunya. Suara yang sudah lama Mora rindukan dan suara yang selalu membuat hatinya tenang. "Apa yang terjadi? Kenapa dia menemui kalian? Apa mama dan papa baik-baik saja?" tanya Mora menahan tangis. "Dengarkan mama baik-baik Mora, turuti semua keinginan Juan. Hanya dengan begitu kami disini akan baik-baik saja." perintah Murni, ibu Mora. "Mama ada apa? Apa dia berbuat buruk pada kalian? Aku akan pulang menemui kalian. Kita hadapi semuanya bersama-sama. Kita pasti bisa melaluinya." isak Mora. "Jangan bodoh Mora! Kau tau apa yang akan dilakukan Juan jika kau bertindak gegabah? Saat itu terjadi, Juan akan mengakuisisi perusahaan kita. Juan tidak sekedar mengancam Mora. Kali ini jadilah anak yang berbakti, untuk sementara turuti dulu semua keinginannya, Papa mohon." perintah Parades. Tiba-tiba air mata Mora jatuh. Gadis itu merasa terluka atas ucapan Parades. "Apa demi perusahaan papa rela menjual tubuhku pada Juan? Kenapa? Apa aku ini benar-benar anak kandung papa? Apa harta lebih berharga daripada anak papa?" pekik Mora. "Apa kau sudah selesai melepas rindu dengan orang tuamu sayang?" tanya Juan sinis. Entah sejak kapan ponsel sudah diambil alih. "Jangan memanggilku seperti itu b******k!" maki Mora. Karena marah, Mora memutus sambungan telpon begitu saja. Tangis Mora pecah. Siti yang terkejut, langsung memeluk Mora dan berusaha menenangkan gadis itu. "Menangislah jika menangis bisa membuat perasaanmu lebih baik." ujar Siti sambil mengelus punggung Mora. Mora menenggelamkan diri dalam pelukan Siti. Pikiran Mora kacau. "Baiklah aku akan berbakti. Apa susahnya mengikuti Juan dan jadi budaknya? Setelah dia bosan, aku bisa pulang dan melanjutkan hidupku. Sudah ku putuskan, demi mama dan papa, demi kebahagiaan mereka, demi harta yang begitu mereka sayang, mulai sekarang aku akan jadi b***k laki-laki gila itu." gumam Mora tidak jelas. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN