Bab 7. Hasrat Terpendam

1534 Kata
# Maura tidak menyangka kalau restoran Dania akan seramai ini. Dia tampak ragu untuk sejenak saat melihat dekorasi khas ulang tahun anak-anak di bagian lain restoran. "Ada yang ulang tahun?" tanya Maura begitu Dania memilihkan tempat duduk untuknya dan Max. "Iya di sebelah. Lumayan rezeki nomplok. Biasanya Arga akan memilih restoran yang ada di hotel berbintang untuk ulang tahun putrinya tapi aku berhasil membujuknya untuk mengadakan pesta ultah putrinya di sini," ujar Dania bangga. Maura merasakan sesuatu dalam dadanya berdenyut pilu saat mendengar ucapan Dania. "Arga memiliki seorang putri?" tanya Maura. Dia tahu kalau sebenarnya ini bukanlah urusannya. Arga sudah menikah dan bukan hal yang aneh kalau Arga memiliki anak dengan istri sahnya. Hanya saja Maura tidak menyangka kalau dia akan merasa seperti ini saat mengetahui kalau Arga memiliki anak sekarang. Sepertinya dia tidak benar-benar siap untuk mendengar berita itu. "Namanya Agni. Anak perempuan satu-satunya untuk saat ini. Ya meski aku ragu kalau misalnya mereka akan punya anak lain. Kau tahu? Terkadang keadaan yang sebenarnya tidak sepenuhnya sama dengan yang diperlihatkan ke orang lain." Dania mulai mengoceh. Dia kemudian menatap Maura dengan tatapan menyelidik. "Jangan bilang kau bahkan tidak tahu kalau Arga sudah punya anak? Kalian kan bersahabat?" tanyanya. Maura tersenyum kecut dan menggeleng pelan. "Tidak hanya aku. Bahkan Cakra saja tidak tahu kalau Arga sudah memiliki anak padahal kami adalah sahabatnya. Meski begitu, sepertinya Arga paling kesal kepadaku jadi aku rasa akan lebih baik kalau aku dan Max makan di tempat lain saja," ujar Maura. Jika Arga merayakan ulang tahun putrinya di restoran tersebut, berarti Arga juga berada di tempat yang sama dengannya dan Max saat ini. Maura tidak ingin bertemu dengan Arga sekarang karena dia tidak mau merusak hari bahagia Arga dan keluarganya. Bagaimanapun Arga sepertinya paling kesal kepadanya karena sampai detik ini Arga masih menyangka kalau Max adalah anak dari salah satu sepupu Arga. "Jangan khawatir, mereka ada di sudut sebelah sana dan kita duduk di sini. Dia tidak akan melihat atau terlalu peduli dengan kita karena dia pasti sibuk dengan anak dan istrinya sekarang. Tunggu sebentar, aku akan meminta pelayan agar segera menyiapkan pesanan khusus untuk Max sementara kalian memilih menu," ujar Dania. Dia kemudian bangkit berdiri dan meninggalkan meja tempat Maura berada. Tante Yen yang duduk di samping Max berhadapan dengan Maura kini menyentuh jemari Maura dan berbicara dengan isyarat tangan. Dia bertanya pada Maura apakah ada yang membuat Maura merasa gelisah? Maura menggeleng pelan. "Tidak apa-apa," balas Maura pada Tante Yen. Dia tahu Tante Yen mengerti kalau yang membuat Maura merasa resah sekarang adalah Arga. Meski Tante Yen kehilangan pita suaranya sehingga dia hanya bisa berbicara dengan bahasa isyarat, tapi tidak ada masalah apa pun dengan pendengaran Tante Yen. Di satu sisi, hubungannya Maura dengan Arga terasa canggung karena Arga sangat kesal ketika mengira Maura pernah menjalin hubungan dengan sepupunya. Orang yang pernah beberapa kali mencoba menjatuhkan Arga dan menyingkirkan Arga dari kursi pewaris utama. Namun Maura sebenarnya justru merasa lebih tenang saat Arga menjauhinya. Dengan demikian dia tidak perlu terus merasa waswas kalau Arga akan tahu bahwa Max adalah anak kandung Arga. "Aku akan baik-baik saja," ujar Maura lagi. Dia berusaha meyakinkan Tante Yen yang tampak mengkhawatirkan dirinya. # Nafas Arga semakin memburu saat hasratnya hampir tuntas. Dia mempercepat gerakan tangannya dan mengetatkan rahangnya ketika merasa kalau dirinya sebentar lagi akan mencapai puncak. "Ssshh ... Maura." Arga bergumam tertahan menyebut nama Maura saat akhirnya dia berhasil mencapai puncak kenikmatan dan menumpahkan semua yang dia miliki di lubang kloset. "Aku pasti sudah gila," ucapnya pada dirinya sendiri sambil menatap nanar pada hasil perbuatannya beberapa saat lalu. Arga tidak mengerti kenapa hasratnya mendadak jadi begitu sulit untuk dikendalikan hanya karena dia melihat Maura setelah sekian lama padahal sudah hampir dua tahun dia bahkan tidak bisa meniduri wanita mana pun karena hasratnya akan menghilang begitu saja sebelum menyentuh seorang wanita. Arga menekan flush dan merapikan pakaiannya sebelum keluar dari toilet. Saat tengah mencuci tangannya, dua orang pria masuk ke dalam toilet tersebut. "Kau lihat itu? Dia cantik sekali. Aku hampir saja ingin meminta nomornya kalau saja aku tidak melihat anaknya. Sulit dipercaya kalau semuda itu sudah memiliki anak. Sayang sekali." Arga mendengar satu dari kedua pria tersebut berbicara sementara mereka menuntaskan hajatnya. "Tapi dia masih sangat muda, siapa tahu itu keponakannya kan? Aku tidak melihat suaminya. Kalau memang dia sudah taken, kenapa suaminya malah membiarkan istrinya yang masih muda dan cantik begitu jalan-jalan sendiri." Pria yang satunya menimpali. "Benar juga. Aku rasa tidak ada salahnya kalau aku mendekatinya bukan? Wanita cantik seperti itu sulit ditemui. Aku bahkan mengira kalau dia model yang keluar dari majalah saat melihatnya masuk ke dalam restoran tadi." Kedua pria tersebut kemudian tertawa sebelum akhirnya beralih menuju ke tempat cuci tangan di mana Arga berada. "Siapa wanita yang kalian maksud?" tanya Arga tiba-tiba. Kedua pria tersebut tampak sedikit kaget mendengar pertanyaan Arga. Keduanya hanya pengunjung restoran biasa dan tentu saja tidak memperhatikan kalau Arga adalah ayah dari anak yang mengadakan acara ulang tahun yang menyewa lebih dari sebagian ruangan restoran itu. "Wanita yang duduk di meja yang ada di dekat kasir. Yang memakai baju warna pink abu muda berpasangan dengan anak laki-laki. Kalau kau jeli, kau akan langsung menyadarinya karena dia sangat menonjol di antara pengunjung resto yang lain," jelas salah satu pria. "Karena dia cantik," tambah yang lainnya. Arga mengetatkan rahangnya menahan kesal. Dia mengamati kedua pria di depannya yang sepertinya masih duduk di bangku kuliah. "Aku mengenalnya, dia sahabatku dan asal kalian tahu, usianya jauh di atas kalian meski penampilannya terlihat seperti itu. Anak yang bersamanya juga adalah anaknya," ujar Arga menjelaskan. Arga sendiri sebenarnya tidak mengerti kenapa dia harus menjelaskan tentang Maura pada kedua orang pemuda asing yang bahkan tidak dikenalnya tersebut. Salah seorang dari pemuda tersebut mendekati Arga. "Jadi ... uhm, kau bilang kalau kau sahabatnya bukan. Bro, bisakah kau memberikan nomor ponselnya kepada kami atau membantu kami berkenalan dengannya?" Arga menatap tajam kedua pemuda tersebut. "Kalian waras?" tanya Arga. Kedua pemuda tersebut saling berpandangan satu sama lain, tidak mengerti dengan sikap permusuhan yang mendadak ditunjukkan Arga kepada mereka. "Ini restoran, bukan klub malam. Hormatilah privasi orang lain dan duduk makan dengan tenang tanpa mengganggu ibu dan anak yang ingin makan!" Arga berbicara dengan nada penuh peringatan. Arga hendak melangkah pergi namun kemudian dia teringat sesuatu. "Oh ya, selain itu dia wanita dengan penilaian dan selera yang tinggi. Model seperti kalian jelas tidak masuk ke dalam kriterianya, jadi lupakan saja niat untuk mendekatinya. Kalian sama sekali tidak sepadan untuknya. Lebih tepatnya, kalian bukan seleranya," tambah Arga dengan nada sinis. Dia kemudian melanjutkan langkahnya meninggalkan tempat itu. Hanya ketika sudah berada di luar toilet, barulah Arga tertegun sendiri. "Kurasa aku benar-benar sudah gila dan tidak normal sekarang," gumamnya pelan. Setidaknya Arga menyadari kalau ada sesuatu dalam dirinya yang sama dengan para pemuda di dalam toilet tadi yaitu dia juga ingin mendekati Maura sekarang. # Maura dan Tante Yana hanya bisa terdiam menatap ke arah seorang anak balita yang sekarang memeluk lengan Max erat. "Tata ...," ujarnya tidak jelas. Max sendiri tampak tersenyum serta merasa gemas pada anak perempuan mungil yang entah muncul dari mana dan tiba-tiba saja sudah memeluknya erat seperti sekarang. Dia sudah terbiasa dengan anak yang lebih kecil karena selama ini dia dekat dengan Chandra, adik Citra. "Mama, adik yang cantik," ujar Max senang. Tangannya perlahan mengusap pipi gembul anak perempuan itu. "Tata ...," ucap anak perempuan itu sekali lagi sambil tersenyum menampilkan dua gigi susunya yang tampak lucu. "Astaga, anak siapa ini?" Maura mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat itu. Ada banyak anak yang berlarian ke sana-kemari karena acara ulang tahun dari anak Arga yang diadakan di restoran yang sama dan Maura sama sekali tidak menyangka kalau anak yang sekarang menempel pada putranya itu adalah anak yang sedang berulang tahun saat ini. Maura kemudian berdiri dari tempat duduknya dan berjongkok di depan anak perempuan itu. "Hai sayang, di mana Mama dan Papamu?" tanya Maura lembut. Anak itu menatap Maura sesaat lamanya sebelum mendekat ke arah Maura dan merentangkan tangannya. "Peyuk," pintanya. Maura tidak bisa menolak permintaan anak perempuan yang lucu dan menggemaskan tersebut itu. Dia lalu menggendongnya. "Di mana Papa dan Mamamu?" ulang Maura. "Papa?" Anak perempuan itu menirukan ucapan Maura. "Iya, Papamu mana?" Sekali lagi Maura mengulang pertanyaannya dengan sabar. "Mama!" Anak itu malah semakin erat memeluk Maura dan tertawa. "Astaga, aku bukan Mamamu," ujar Maura panik. Dia tidak mau dituduh menculik anak orang lain. "Mama bisakah kita membawanya pulang saja? Aku menyukainya," pinta Max tiba-tiba. "Tidak sayang. Ini anak orang lain. Kita akan ditangkap Polisi kalau sembarangan membawa pulang anak orang lain. Dia bukan barang dan sekarang orang tuanya pasti sedang bingung mencarinya." Maura berusaha menjelaskan pada Max. "Mmuahh ...tayang ... tayang." Anak perempuan itu mendadak mencium pipi Maura. Maura tertegun sejenak sebelum akhirnya tertawa. "Astaga, kau anak yang sangat ramah rupanya," ujar Maura gemas. "Baiklah, Tante rasa kita tidak punya pilihan selain membantumu mencari Papa dan Mamamu," lanjut Maura. "Papa!" Anak itu kini menunjuk ke arah belakang Maura. "Agni?" Maura bisa mendengar suara seseorang yang sangat dikenalnya dari arah belakang. Dia berbalik dan kini dia bisa melihat Arga yang tengah berdiri melangkah ke arahnya lalu kemudian berhenti di dekatnya. "Maura," sapa Arga. Bahkan Arga sendiri tampak kaget saat melihat putrinya, Agni yang sekarang berada di dalam gendongan Maura.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN