Bab 8. Ayah Dan Anak Yang Tidak Saling Mengenal 1

1431 Kata
# Cleo tampak bosan sekarang, sebab dia memang tidak begitu menyukai suara anak-anak yang ribut. Terlebih ketika ada beberapa orang tua dari anak-anak yang diundang ke ulang tahun putrinya itu mencoba mengajaknya berbicara, Dia tidak mengerti kenapa Arga malah memilih untuk mengadakan acara ulang tahun Agni di restoran seperti ini padahal dengan reputasi dan uang yang dimiliki Arga sekarang, mereka bisa saja mengadakan pesta ulang tahun yang lebih mewah di restoran bintang lima dan mengundang orang-orang dari kalangan atas, bukan orang-orang yang menurut Cleo hanya orang-orang yang tidak satu level dengannya. Rata-rata tamu undangan ternyata hanya karyawan di kantor Arga. Sisanya adalah kolega yang bahkan tidak terkenal. Cleo tidak bisa memahami apa sebenarnya yang ada di dalam pikiran Arga hingga mengundang orang-orang seperti ini. Ponsel di dalam tas Cleo berbunyi dan Cleo segera meraihnya. Dia tersenyum saat melihat nama penelepon yang tertera di layar ponselnya. Cleo baru akan bangkit berdiri ketika Agni meraih tangan Cleo dengan jemarinya yang mungil. "Papa?" Agni menatap Cleo dengan takut-takut. Cleo kemudian mengedarkan pandangannya sekeliling selama beberapa saat sebelum dia menunduk dan mendekat ke arah putrinya. "Papamu akan segera kembali. Duduk diam di sini dan jangan ke mana-mana. Paham?" bisik Cleo. "Mama?" Agni menatap ibunya penuh harap. Cleo memutar matanya bosan. Dia melepaskan pegangan Agni. "Dengar, ada panggilan penting yang harus Mama terima sekarang jadi duduk diam di sini dan jangan membuat masalah sampai Papamu kembali atau Mama akan marah!" Cleo kembali berbisik di telinga putrinya dan menatap Agni penuh intimidasi. Dia hanya ingin membuat Agni mengikuti kemauannya saja. Agni memilin jarinya takut sambil menunduk. Dia benar-benar takut dengan ibunya sendiri. Sepeninggal Cleo, selama beberapa saat Agni hanya duduk diam dan mengamati interaksi kakak beradik yang duduk tidak jauh dari meja tempatnya berada. Dekorasi di tempat Agni duduk saat ini memang mewah dan ramai tapi jika diperhatikan, anak itu tampak sendirian tanpa ditemani oleh orang tuanya padahal bahkan anak-anak yang datang sebagai tamu di pesta ulang tahunnya tampak begitu ramai bercengkerama dengan teman dan keluarga mereka masing-masing. "Kakak, aku mau itu." Seorang anak merengek pada Kakak laki-lakinya yang tampak berusia tidak terlalu jauh. Agni mengerjap menatap hal itu selama beberapa saat. Dia kemudian mengamati meja-meja lainnya yang selalu terisi penuh. Lalu matanya kemudian berhenti di sebuah meja berisi seorang anak laki-laki, seorang wanita dewasa dan seorang lagi wanita paruh baya. Dia tampak terpesona pada interaksi di meja itu dan kemudian anak balita itu perlahan turun dari kursinya serta melangkah pelan menuju ke meja tempat anak laki-laki tersebut berada. "Tata ..." ujarnya senang saat akhirnya dia berhasil mencapai tempat yang dia tuju dengan susah payah. * Arga dan Maura kini saling berpandangan satu sama lain. Untuk sesaat keheningan tercipta di antara mereka. "Papa! Ani ... Papa!" seru Agni memecah keheningan itu. "Papanya dedek Agni?" tanya Max yang seakan bisa mengerti maksud Agni meski cara bicara Agni masih tidak jelas. "Hum, Papa Ani." Agni mengangguk penuh semangat. Saat itu pandangan Arga beralih pada Max. Hatinya berdesir aneh menyadari kalau bocah kecil yang dulu selalu berada di dalam gendongan Maura itu kini sudah tumbuh menjadi sebesar ini. Ada rasa rindu aneh kini yang membuat hatinya menjadi hangat. Bahkan sekalipun Arga tahu kalau anak laki-laki di hadapannya adalah anak dari sepupunya, orang yang sangat dia benci di dalam keluarga Pangestu tapi dia bersyukur karena Max lebih mirip dengan Maura dibanding siapa pun yang mungkin adalah ayah kandung Max. "Maura, putramu sudah besar," ujar Arga kembali. Maura menarik napas panjang. Sebuah senyum canggung kini tercipta di wajah cantiknya. "Kau benar. Putrimu juga," balas Maura. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Anak perempuan cantik yang sekarang bersikeras menempel padanya adalah putri Arga. Arga memperhatikan Agni yang sekarang tampak nyaman bersandar di gendongan Maura. Putrinya bahkan tidak bersikap seperti itu pada Cleo yang merupakan ibu kandungnya. "Kau benar. Namanya Agni dan sepertinya dia sangat suka denganmu," ujar Arga. Arga kemudian mendekat ke arah Maura. "Sayang, ayo sini dengan Papa. Tante Maura nanti capek," lanjut Arga yang mencoba mengambil Agni dari pelukan Maura. Namun di luar dugaan Agni malah berpaling dari Arga dan memeluk Maura semakin erat. "Ida mayu. Ani cuka ini!" protes Agni. "Eh." Maura sedikit kaget karena Arga yang mendadak menjadi terlalu dekat dengannya dan Agni yang malah berontak tidak ingin melepaskan Maura. Tangan mungilnya mencengkeram bahu dan kerah baju Maura erat. Di sisi lain, Arga mendadak merasakan tarikan di kemejanya. "Om mundur, Dedeknya tidak mau dan jangan dekat-dekat Mamaku." Max menyusupkan tubuh kecilnya di antara Maura dan Arga. Dia lalu mendorong Arga menjauh dari ibunya. Arga langsung menyadari tatapan tidak suka yang ditujukan oleh Max kepadanya secara terang-terangan. "Oke sobat kecil. Kau mungkin tidak tahu tapi aku sahabat Mamamu," ucap Arga. Dia mencoba memberi penjelasan pada pria kecil yang baru saja bersikap sangat protektif pada Maura. "Tata Papa." Agni kembali berbicara kepada Max. "Iya, Papanya Dedek Agni, bukan Papa Kakak Max," balas Max seakan sedang memberi penjelasan pada Agni. "Mama?" tanya Agni lagi. Max menggeleng pelan. "Mamanya Kakak Max, bukan mamanya Dedek Agni." Max kembali menjelaskan. Baik Maura maupun Arga kembali tertegun mendengar bagaimana kedua anak itu berkomunikasi. "Wah, sepertinya Max mengerti bahasa alien Agni," timpal Arga kagum. Bahkan pengasuh Agni sendiri terkadang merasa kesulitan untuk memahami maksud yang ingin disampaikan oleh Agni. Arga sama sekali tidak menyadari raut wajah sendu Maura yang terlihat sekilas saat mendengar Max mengatakan kalau Arga bukanlah ayahnya. Seakan secara tidak langsung Max tidak mengakui ayah kandungnya sendiri. Ada rasa sedih dan bersalah yang diam-diam menyusup dalam hati Maura. "Hem, yah. Max terbiasa dengan Chandra dan dia memang suka anak kecil," balas Maura. Arga tersenyum tipis. Dilihat lagi setelah sekian lama tidak bertemu, Arga menyadari kalau Maura memang menjadi semakin cantik. Rambutnya yang panjang kecokelatan sekarang hanya di ikat asal dengan ikat rambut, membuat lehernya yang jenjang dan tulang selangkanya jadi terlihat jelas. Selain itu tubuh Maura jadi lebih berisi di tempat yang benar-benar tepat sekarang. Dilihat-lihat lagi, Arga jadi mengerti kenapa para pemuda yang tadi ditemuinya di toilet mengira kalau Maura adalah Kakak Max. Semua karena wajah Maura yang malah terlihat semakin muda seiring dengan pertambahan usianya. Hanya sikap dan gerak-geriknya yang menjadi semakin lembut serta keibuan jika dibandingkan dengan Maura yang dulu belum memiliki anak. Diam-diam Arga merasa iri pada ayah kandung Max yang terlah berhasil membuat sahabatnya yang dulu berangasan dan berjiwa bebas itu menjadi seperti sekarang. Dia iri dan kesal. "Apa aku boleh bergabung dengan kalian?" tanya Arga akhirnya. Maura tidak punya pilihan sekarang karena dia tidak tega memaksa Agni yang masih menempel padanya untuk pindah. "Tentu, aku juga tidak keberatan kalau kau mengajak istrimu," balas Maura. Saat itu Tante Yen menyentuh lengan Maura khawatir, tapi Maura mengusap pelan tangan Tante Yen sebagai isyarat kalau dia tidak apa-apa dengan kehadiran Arga dan keluarganya. Arga hendak duduk di samping Maura yang kini memangku Agni tapi Max menarik tangan Arga. "Itu tempat dudukku. Om tidak boleh duduk di situ." Cegah Max. Sebenarnya tadinya Maura duduk di samping Tante Yen tapi saat dia berdiri dan menggendong Agni, dia malah duduk di tempat duduk yang sebelumnya di duduki oleh Max. Jadi sebenarnya tempat duduk yang kini di duduki oleh Mauralah tempat duduk Max yang sesungguhnya. "Max, kau harus sopan dengan teman Mama. Ini Om Arga dan dia sama dengan Paman Cakra atau Tante Luna. Sama-sama sahabat baik Mama," tegur Maura pada putranya dengan nada tegas. Max langsung terlihat menyesal saat itu. "Max minta maaf Om. Max sudah tidak sopan. Tapi Om tetap tidak boleh duduk di samping Mama," ujar Max akhirnya. Arga tertawa mendengar ucapan Max yang sopan namun di saat yang sama juga dengan berani mengemukakan isi hatinya. Dulu dia pernah merasa kesal pada anak itu tapi sekarang sepertinya dia malah kagum pada bagaimana Maura mendidik putranya tersebut. "Tidak apa-apa. Om mengerti karena anak laki-laki memang harus menjadi pelindung ibunya. Kerja bagus," puji Arga sambil mengelus pelan puncak kepala Max. Saat itu Max mendongak dan menatap Arga. Sesuatu membuat perasaannya tergerak. Seakan dia sudah lama mendambakan elusan sederhana itu. Max tahu sekarang kalau Papanya Agni, anak yang baru ditemuinya itu adalah sahabat ibunya, sama seperti Paman Cakra, tapi entah kenapa rasanya berbeda. Tanpa sadar Max menahan tangan Arga yang masih berada di kepalanya dengan kedua tangan kecilnya. "Beda," gumam Max pelan. "Apanya yang beda?" tanya Arga. Dia sendiri bingung kenapa dia malah merasa senang dengan reaksi Max sekarang. "Max?" tegur Maura lagi. Max tidak bisa menjelaskan kenapa dia merasa berbeda. Yang dia tahu hanya bahwa tangan sahabat ibunya yang ini jelas terasa berbeda dengan tangan Paman Cakra, tangan Kakeknya, bahkan tangan semua orang yang pernah mengelus kepalanya. "Maaf," balas Max akhirnya. Dia memilih menunduk dan bersandar pada Maura sekarang dengan wajah merona merah karena malu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN