Bab 4. Pasangan Yang Penuh Kebohongan 2

1500 Kata
# Arga bisa merasakan kelembutan tubuh wanita itu di dalam dekapannya dengan sangat nyata. "Luna ... jangan tinggalkan aku. Tetaplah di sampingku. Kenapa kau tidak memilihku padahal akulah yang selalu ada di sampingmu selama ini!" Arga mengerang penuh rasa kecewa dan kemarahan sementara dia memaksa menindih tubuh wanita itu. Dia merasakan betapa hangat dan menyenangkan tubuh wanita itu ketika dia memasukinya, menyatukan tubuh mereka dengan paksa meski wanita itu mencoba berontak dan menangis. Perasaannya tahu kalau itu bukan Luna tapi dia tidak bisa menghentikan dirinya sendiri. Dia hanya membutuhkan seseorang yang bisa meredakan rasa sakit yang dia rasakan sekarang, siapa pun itu tapi dia juga terkejut karena ternyata wanita itu membuatnya bisa merasakan kenikmatan yang sebegini besarnya. "Aku ... bukan Luna!" Suara itu terdengar di antara tangisan dan desahan. Arga merasa melayang dalam kenikmatan yang tengah direngkuhnya dari tubuh wanita tidak dikenal. Memaksa wanita itu menjadi pemuas nafsunya. Satu tangannya menahan kedua tangan wanita itu sementara satu tangannya tanya tanpa lelah menjelajahi lekuk tubuh wanita tersebut dan mengoyak apa pun yang menghalanginya untuk merasakan wanita itu lebih jauh lagi. Arga terus bergerak tanpa henti. Masuk lebih jauh ke dalam relung terdalam wanita itu. Dia seperti seorang pesakitan yang akhirnya menemukan obatnya. "Jangan ... hengh" Wanita itu kembali mendesah dan merintih saat Arga akhirnya menemukan pelepasan untuk kesekian kalinya tanpa peduli pada apa pun meski wanita itu memohon-mohon dengan samar di tengah penyatuan mereka. "Lunaaa!" Arga memekik tertahan dan memeluk erat wanita tersebut. Saat kesadarannya semakin memudar, dia masih sempat mendengar tangisan wanita itu dan dia tahu dengan jelas kalau itu bukanlah suara Luna. Lekuk tubuh yang barusan dia peluk membuatnya sadar kalau itu bukan Luna. Dia hanya tidak bisa berhenti dan mengendalikan dirinya saat ini. Saat kesadarannya makin samar, dia bisa mendengar wanita itu menangis. Dia ingin meminta maaf tapi tubuhnya mendadak menjadi teramat letih hingga membuka mata saja sulit untuknya. * Arga membuka matanya di dalam kamarnya sendiri. Dia menatap langit-langit kamarnya selama beberapa saat dengan tatapan kosong. "Sial, mimpi itu lagi," ujarnya kesal. Beberapa tahun ini mimpi itu terus menerus datang dan membuatnya kesal sendiri. Bagaimana mungkin dia tidak kesal ketika dalam mimpi tidak jelas itu, dirinya benar-benar bisa merasakan kalau sepertinya dia telah menyentuh seorang wanita tapi tidak ingat siapa, di mana dan kapan. Pada awalnya Arga menganggap kalau itu hanyalah mimpi biasa. Perwujudan dari hasratnya liar di dalam dirinya terhadap sosok wanita yang jelas-jelas tidak akan bisa dia miliki. Akan tetapi semakin waktu berlalu, Arga semakin sadar kalau itu bukan hanya sekedar mimpi. Itu sesuatu yang pernah terjadi dan sebuah kejadian yang sudah dilaluinya. Tapi dengan siapa? Kapan itu terjadi? Seakan alam bawah sadarnya tahu tapi otaknya tidak bisa memproses informasi yang benar tentang itu padahal dia merasa begitu penasaran dengan wanita tersebut sampai di titik, dia tidak bisa lagi berhubungan dengan wanita lain seiring semakin seringnya wanita itu muncul dalam mimpinya. Arga merasakan sensasi tidak nyaman di antara kedua kakinya dan sekarang dia kembali merasakan hasrat lanjutan dari mimpinya. "Morning wood b******k!" Dia kembali mengeluh sendiri dengan putus asa. Dengan cepat Arga bangkit berdiri dan melangkah ke kamar mandi untuk menuntaskan hasratnya yang kembali muncul saat mengingat mimpinya. "Hemmh ..." gumam Arga sementara dia menyentuh dirinya sendiri. Entah kenapa terkadang bayangan Mauralah yang selalu muncul setiap kali dia mencoba untuk memuaskan dirinya sendiri dan bukan Luna. Mungkinkah perasaanya pada Luna memang sudah benar-benar habis? Lalu kenapa dia malah membayangkan Maura? Bahkan dalam kondisi terburuk sekalipun, dia tidak mungkin melakukan hal-hal memalukan seperti sekarang pada seorang sahabat yang sudah bersamanya sejak mereka masih kecil. Namun Arga tidak bisa menahan imajinasi liar dengan wujud sahabatnya itu. "Maura," gumamnya pelan. Dia sudah lama tidak bertemu dengan Maura. Lebih tepatnya, terakhir kali dia melihat Maura adalah ketika pesta pernikahannya dan meski dia hanya melihatnya dari jauh, dia sadar kalau semakin hari Maura semakin terlihat cantik meski sudah menjadi seorang ibu dengan satu anak. "Maura!" Arga kembali memanggil nama Maura di kamar mandi dan akhirnya menemukan pelepasannya sendiri. Setelah itu dia membersihkan tangannya dan dengan napas yang masih berat dia mencuci wajahnya. "Aku mungkin benar-benar akan menjadi impoten kalau seperti ini terus," gumam Arga pada bayangan dirinya sendiri. Dia tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia menjadi seperti ini hanya karena sebuah mimpi dan dengan membayangkan wanita yang sebelumnya tidak pernah dia pikirkan tapi ketika berhadapan dengan wanita sungguhan dia malah kehilangan keperkasaannya. Tidak terhitung berapa banyak dokter yang sudah dia temui dua tahun terakhir ini tapi tidak ada satu pun dari mereka yang bisa membantunya. Yang lebih parah, kenapa dia harus membayangkan Maura sebagian wanita dalam mimpinya itu? Lama kelamaan Arga merasa sepertinya dia mulai memilliki fetish yang aneh pada sahabatnya sendiri meskipun tentu saja hanya dirinya sendiri yang tahu tentang itu. # Maura mengecup pipi Max lembut saat menyadari kalau putranya tersebut sudah terbangun. "Kita akan pulang hari ini. Kau senang?" tanya Maura. "Mama tidak kerja?" Max malah balik bertanya sambil mengucek matanya yang tampak seperti masih mengantuk. Maura menatap Max. "Tidak. Mama akan menemanimu hari ini. Seharian hanya bersama denganmu," jawab Maura. Dokter akhirnya mengizinkan Max pulang setelah sehari dan Maura memutuskan kalau dia akan memberi sedikit kesenangan untuk putranya tersebut dengan menemani Max, setidaknya untuk hari ini. Kedua bola mata Max tampak berbinar senang mendengar itu. Tentu saja dia sangat bahagia kalau ibunya bisa bersamanya seharian ini. "Aku senang!" seru Max. "Kalau begitu, ayo ganti bajumu. Tante Yen akan membantumu berganti pakaian dan bersiap-siap sementara Mama menelepon sebentar di luar. Oke?" tanya Maura. Max mengangguk cepat. Saat itu Tante Yen yang sudah berada di sana tampak sudah mengambil air hangat untuk membantu Max membersihkan diri. Maura belum mengizinkan Max untuk mandi meski dia sudah sembuh, jadi Tante Yen akan membasuh tubuh Max untuk membantunya membersihkan diri. "Tolong ya Tante Yen," ujar Maura pada Tante Yen. Wanita bisu yang sudah membantu Maura sejak Max masih berada di dalam kandungannya. Dia kemudian melangkah keluar dari ruang rawat Max dengan membawa ponselnya. Di luar, raut wajah Maura berubah serius saat dia menekan tombol asistennya. Nada panggil hanya terdengar sekali sebelum akhirnya suara seorang pria terdengar di seberang. "Halo Bu Maura, selama pagi." "Lewatkan basa basinya Devan, aku ingin tahu berapa besar kemungkinan bagi kita untuk mendapatkan tender tersebut?" tanya Maura serius. "Ck Maura, kau benar-benar tidak bisa diajak bercanda kalau masalah pekerjaan, padahal aku sedang berusaha menjadi asisten yang baik hati dan keren," balas Devan. "Devan tolonglah, ini bukan yang waktunya bercanda," ujar Maura. Terdengar Devan menghembuskan napas panjang sebelum akhirnya dia mulai memaparkan semua kondisi tentang persaingan perebutan tender yang diminta oleh Maura. "Kita mungkin bisa mengatasi semua perusahaan lainnya tapi masalahnya aku tidak yakin kalau MC & D yang sekarang sudah diakuisisi oleh PT. Pangestu Jati. Tbk akan memilih perusahaan kita yang baru pertama kali bergerak di bidang ini. Lebih buruknya, mereka bisa saja berbuat curang dengan menggunakan perusahaan akuisisi lain untuk memakan sendiri proyek ini seluruhnya. Kau adalah orang yang paling tahu tentang betapa serakahnya mereka." Devan menjelaskan. Maura terdiam selama beberapa saat. Tentu saja Maura tahu seperti apa pola kerja perusahaan milik keluarga Pangestu itu. Dia pernah bekerja di perusahaan tersebut selama dua tahun lebih. "Benar-benar berita buruk," gumam Maura. "Tidak juga. Kudengar kalau saat ini Tuan besar Pangestu jatuh sakit beberapa bulan terakhir ini dan secara bertahap dia sudah memulai pengalihan kepemimpinan pada cucunya dengan hubungan darah yang paling dekat dengannya. Ini bisa menjadi kesempatan kita karena kudengar kalau dia tidak seketat kakeknya. Kau kan paling ahli dengan pendekatan personal pada calon klien, selain itu kalian bertema." Devan terdengar bersemangat. "Jangan bercanda. Aku tidak akan mencampurkan urusan personalku dengan pekerjaan," balas Maura. Dia memijit dahinya lelah. "Kenapa? Kalau kalian bersahabat kan artinya kita bisa sedikit mendapat perhatian. Kau selalu bilang kalau tidak ada yang tidak akan kau lakukan demi perusahaan kecuali itu hal yang melibatkan anakmu. Kalau hanya melibatkan hubungan persahabatanmu dengan Arga Pangestu harusnya tidak apa-apa bukan? Teman itu ada untuk dimanfaatkan, terutama dalam bisnis." Devan mengingatkan Maura. Maura terdiam. Tentu saja dia tidak lupa dengan itu. Bagaimanapun, dialah yang mengajarkan hal itu pada Devan lebih dulu. Masalahnya dia sama sekali tidak ingin lagi terlibat dengan Arga. Bukan hanya karena Arga yang sekarang cenderung bersikap dingin kepadanya dan hubungan mereka benar-benar terputus setelah Arga akhirnya menikah dan salah paham kepadanya, tapi karena sesungguhnya dia merasa kalau berada di sisi Arga itu menyakitkan untuknya. Tidak mudah bagi Maura untuk menyimpan rahasia tentang Max yang sebenarnya adalah anak Arga. Dia juga tidak ingin kalau suatu saat Max akan terluka hanya karena anak itu tidak akan pernah mendapatkan pengakuan dari Arga yang adalah ayah kandung putranya tersebut. "Maura? Setidaknya pikirkan lagi caranya. Kau tahu kalau kita sudah terlalu banyak menginvestasikan tidak hanya waktu dan tenang tapi juga uang di proyek kali ini." Devan kembali mengingatkan Maura. "Mama, aku sudah selesai!" Maura menengok saat mendengar panggilan putranya. Dia tersenyum ke arah Max. "Akan aku pikirkan. Lakukan saja yang terbaik untuk meyakinkan mereka. Untuk hari ini aku serahkan semuanya padamu," balas Maura. "Eh? Maura ..." Devan masih akan protes tapi Maura sudah mematikan sambungan teleponnya lebih dulu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN