Bab 3. Pasangan Yang Penuh Kebohongan 1

1432 Kata
# Arga menendang pintu kamar yang digunakan oleh Cleo dengan keras. Di dalamnya seorang pria yang hanya mengenakan celana pendek tampak kaget melihat Arga hingga dia nyaris terjatuh dari tempat tidur. Sementara itu Cleo yang sekarang tampak polos tanpa mengenakan apa-apa, dengan segera meraih selimut untuk menutupi tubuhnya. "Serius Arga? Tidak bisakah kau mengetuk pintu dulu?!" keluh Cleo dengan nada kesal. Arga tidak menanggapi ucapan Cleo. Dia mengalihkan tatapannya ke arah pria yang sekarang sedang bersusah payah mengumpulkan pakaian yang berserakan di lantai. "Pergi dari sini sebelum kesabaranku habis dan jangan coba-coba menginjakkan kakimu lagi di rumah ini atau kau akan tahu akibatnya," perintah Arga dengan nada dingin. Pria itu segera berlari keluar dari kamar hanya mengenakan celana pendek dan dengan membawa pakaiannya sendiri. Cleo menatap kejadian itu sambil tertawa. "Jadi kenapa kau melakukan ini? Apa kau cemburu? Atau kau ingin menggantikan pria itu untuk memuaskanku? Bagaimanapun kita masih suami istri jadi wajar saja untuk melakukan hubungan suami istri," ucap Cleo. Namun Arga menarik lengan Cleo kasar. "Jangan membuatku semakin muak dengan tingkahmu. Kalau kau ingin melakukan hal seperti tadi, lakukan di luar! Jangan di sini, dihadapan Agni! Apa kau tidak punya perasaan? Apa nalurimu sebagai seorang ibu sudah mati?!" hardik Arga. Cleo menepis tangan Arga dan mendorong Arga menjauh. "Hanya itu? Hanya karena aku melakukannya di rumah ini jadi kau marah sampai seperti ini?! Atau hanya karena Agni? Oh ya aku lupa, kau hanya menyayangi Agni karena dia anakmu. Lalu bagaimana dengan aku? Apa kau pernah memikirkan perasaanku? ! Kau bersikap seakan-akan aku satu-satunya yang kotor di sini padahal kau sendiri memiliki banyak wanita di luar sana! Hanya karena kau tidak melakukannya di rumah ini bukan berarti kau lebih suci dariku!" teriak Cleo marah. Arga menatap Cleo sinis. "Aku sudah melakukan semuanya sesuai keinginanmu. Aku setuju menikah denganmu dan bertanggung jawab atas kehamilanmu meski itu tidak disengaja. Apa kau pikir aku tidak tahu kalau kau menjebakku dengan menaruh obat di minumanku?! Aku tidak sebegitu naif-nya Cleo! Lagi pula, jika saja pernikahan kita tidak menguntungkan kedua belah pihak, aku tidak akan pernah menikahimu, terimalah kenyataannya. Kau dan Papamu yang menginginkanku, jadi inilah aku yang kau terima. Harusnya kau cukup puas dengan itu," balas Arga. Dia memang memiliki banyak wanita lain di luar sana, tapi semenjak mereka menikah, Arga tidak pernah sekalipun menyentuh istrinya sendiri sendiri dan dia tidak pernah ikut campur meski tahu Cleo juga selingkuh di belakangnya. Tidak peduli bagaimanapun Cleo berusaha memikatnya, dia tidak pernah sekalipun menyentuh Cleo. Bukan karena Cleo tidak menarik tapi dia memang tidak lagi merasa tertarik pada Cleo semenjak dia tahu kalau Cleo sudah menjebaknya hanya untuk bisa mengandung anaknya. Kedua mata Cleo tampak berkaca-kaca kini. "Kalau begitu, apa sebenarnya tujuan dari pernikahan kita?" tanya Cleo. Dia merasa terluka dengan tatapan Arga yang seolah menunjukkan kalau pria itu merasa jijik padanya.. Dia tahu kalau memang kesalahannya yang telah menjebak Arga, tapi bukankah Arga sendiri menikahinya bukan hanya sekedar karena tanggung jawab? Menikahinya adalah hal paling menguntungkan untuk Arga karena itu berarti Arga mendapatkan dukungan bisnis dari keluarganya. Bukankah seharusnya mereka berakhir dalam drama dengan akhir yang bahagia? Lalu kenapa Arga harus membuatnya segalanya menjadi sulit seperti ini sehingga mereka sama-sama seperti berada di dalam neraka? "Apa kau lupa? Tujuan dari pernikahan kita, selain bisnis, tentu saja untuk memberi status pada putriku yang sedang kau kandung. Tujuan pernikahan kita hanya Agni dan bisnis. Jangan bermimpi untuk memiliki anak lain dariku selain Agni. Kalau kau tidak suka, silakan ajukan gugatan cerai dan kau bisa menikah lagi dengan siapa pun pria yang bisa memuaskan hasratmu," balas Arga. Cleo menghapus air matanya dan kini menatap Arga. "Jangan mimpi Arga. Aku tidak akan pernah bercerai darimu! Dunia kiamat sekalipun, aku tidak akan pernah melepaskanmu," ujar Cleo. Arga tertawa. "Tentu saja. Itu bagus. Aku tidak keberatan. Jadi tetaplah menuruti aturannya. Lakukan apa yang kau suka dengan semua pria itu tapi jangan pernah melakukannya di rumah ini," balas Arga. Arga kemudian melangkah hendak meninggalkan kamar itu namun kemudian dia berhenti dan menatap Cleo tajam. "Satu lagi. Ini peringatan terakhir untukmu. Kalau sampai aku tahu kau membentak atau marah parah pada Agni, aku tidak segan-segan untuk membuatmu menyesal telah melakukannya pada putriku. Jadi jaga sikapmu di depan anak kita," lanjut Arga. Dia kemudian melanjutkan langkahnya untuk pergi dari kamar yang ditempati oleh Cleo kini. Setelah Arga pergi, Cleo mengepalkan tangannya geram. "Kau ingin aku menjaga sikap di depan anak yang lahir dari rahimku sendiri? Kau memperlakukan anak itu dengan istimewa tapi kau bahkan memperlakukanku seperti sampah!" Cleo berteriak geram. Dia melampiaskan kekesalannya dengan melempar barang-barang yang ada di sampingnya. # Maura kini berada di samping tempat tidur Max. Tangannya menggenggam lembut jemari putra kecilnya yang sedang tertidur. "Dokter bilang dia hanya kelelahan tapi tidak ada salahnya kau mengikuti saran dokter untuk melakukan tes lainnya. Bagaimanapun akan lebih baik untuk memastikan dan berjaga-jaga," saran Cakra. Karena darurat tadi, dia membawa Max ke RS ini tapi bagaimanapun dia juga sadar kalau kekhawatiran dokter dengan mimisan Max bisa dimengerti. Terlebih karena RS ini tidak memiliki fasilitas yang cukup memadai untuk pemeriksaan lebih lanjut pada gangguan yang mungkin diderita oleh Mas. Maura mengangguk. "Max memang mudah lelah sejak lama. Meski begitu aku merasa lega karena tidak ada hal serius yang menimpanya. Aku akan membawanya untuk periksa nanti di Rumah Sakit yang lebih besar," ucap Maura. "Kau bisa meminta bantuanku dan Cakra kalau memang kau membutuhkannya. Jangan sungkan Maura." Kali ini Luna yang berbicara. Maura menatap kedua sahabatnya itu. "Tenang saja, sejak kapan aku sungkan dengan kalian? Itu tidak mungkin. Kalian berdua adalah sahabat terbaikku," ujar Maura sambil tersenyum. Maura kemudian melirik Citra yang sekarang sudah tertidur lelap dalam pelukan Cakra. "Kalian boleh pulang, kasihan Chandra kalau harus jauh dari kalian seharian ini padahal ini hari libur, Citra juga sudah kelihatan lelah. Aku akan baik-baik saja bersama Max. Lagi pula, Tante Yen akan segera datang," lanjut Maura. Tante Yen adalah pengasuh Max selama ini sekaligus pengurus apartemen yang ditempati oleh Maura di Jakarta sekarang. Orang yang sangat dipercaya oleh Maura. Luna kemudian memberi Maura pelukan singkat. "Kami pulang dulu kalau begitu, jangan lupa untuk mengabari kami tentang keadaan Max," ucap Luna lembut. Maura tersenyum dan membalas pelukan Luna. Mereka memang menjadi sangat dekat dan bersahabat setelah melewati kesalahpahaman di masa lalu. "Tentu saja Maura. Aku sangat berterima kasih karena kau dan Cakra sudah banyak membantuku," balas Maura. Cakra menepuk pelan bahu Maura. "Jangan sampai kau ikuti sakit juga." Cakra memperingatkan. "Tidak akan. Dasar bapak-bapak cerewet," keluh Maura. Cakra benar-benar bertransformasi menjadi Om-Om cerewet. Dia bahkan jauh lebih cerewet dibanding Luna, istri Cakra. "Kami pergi dulu," sambung Luna. Maura hanya mengangguk, dia memperhatikan keluarga kecil itu hingga menghilang di balik pintu. Saat itulah, Maura menyadari kalau ternyata Max juga sudah sadar dan membuka matanya. "Max, bagaimana perasaanmu?" "Haus Ma," ujar Max pelan. Dia tidak lagi tampak pucat seperti sebelumnya. Maura dengan cepat bergerak meraih air mineral yang tadi dibelikan oleh Luna dan membantu Max untuk minum. "Merasa lebih baik?" tanya Maura lagi setelah Max selesai minum. Max mengangguk pelan. Matanya yang terlihat sendu karena bulu matanya yang panjang kini tampak menatap Maura. "Maaf," ucap Max. "Kau tidak salah, kenapa harus minta maaf?" Maura membelai dahi Max. "Karena aku sakit dan membuat Mama sedih," jawab Max. Maura tersenyum hangat. "Itu bukan kesalahanmu. Mama tidak sedih. Mama hanya kaget karena mengira Max terluka oleh sesuatu. Tapi Mama marah karena kau memaksakan diri berlatih sampai kelelahan seperti ini. Max masih kecil dan anak kecil tidak boleh kelelahan," balas Maura. "Tapi Mama selalu kelelahan karena bekerja untuk Max," ujar Max polos. "Kau bisa melakukan itu setelah tumbuh dewasa nanti. Untuk sekarang jangan. Mama tidak apa-apa meski Max tidak menjadi juara pertama. Bisa mendengar Max bermain piano sudah menjadi hal yang menyenangkan untuk Mama," jelas Maura. Maura sadar kalau putra kecilnya terlalu cepat dewasa dalam berpikir karena kesibukannya yang selama ini terkadang membuat Max harus tumbuh dengan memperhatikan bagaimana dia bekerja sekaligus berusaha menjadi ibu untuk anak semata wayangnya tersebut. "Iya Mama," balas Max. Maura kembali mengecup sayang dahi dan pipi Max. Selama ini Max tidak pernah membuat masalah dan sangat penurut sehingga terkadang Maura berharap kalau Max sedikit saja memiliki kejahilan Citra. "Mama," panggil Max lagi. "Ada apa sayang?" tanya Maura. "Peluk," ucap Max sambil merentangkan tangannya. Maura tersenyum dan kemudian naik ke atas tempat tidur Max lalu memeluk putranya. Malaikat kecilnya yang kehadirannya membawa banyak hal menakjubkan ke dalam hidup Maura. Salah satunya adalah tanggung jawab sebagai seorang ibu tunggal yang harus menyimpan rapat-rapat rahasia tentang kelahiran anaknya demi menjaga kebahagiaan semua orang. Saat itu, lagi-lagi Maura tidak menyadari saat seorang perawat diam-diam mengambil fotonya dan Max dari jendela ruangan tempat Max dirawat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN