#
Maura bergegas mendekati mobil yang sudah menunggunya.
Dia langsung pulang secepat yang dia bisa karena dia tidak ingin ketinggalan acara penting putranya hari itu.
"Bawaanmu cuma ini?" tanya Cakra yang membantu Maura untuk memasukkan barang bawaannya ke dalam bagasi.
"Iya, hanya itu. Sisanya nanti akan dikirim karena aku tidak punya waktu untuk berkemas dengan cepat. Aku sempat lupa kalau hari ini adalah hari di mana Max akan ikut kompetisi piano tingkat nasional untuk pertama kalinya. Kau tahu, aku buruk dalam mengingat," ujar Maura.
Cakra masuk ke kursi pengemudi dan Maura duduk di depan.
"Kau tidak seharusnya lupa. Dia sangat mengharapkan kehadiranmu," balas Cakra. Dia sebenarnya berkata begitu karena merasa kasihan dengan Max yang sudah dianggapnya seperti keponakannya sendiri. Terlebih Max cukup dekat dengan istri dan anak-anaknya setiap kali anak itu datang berkunjung ke Jakarta bersama dengan kedua orang tua Maura.
Maura menarik napas panjang. Tidak mudah baginya untuk membesarkan Max seorang diri sementara dia sendiri sibuk dengan pekerjaannya.
Tahun ini kedua orang tuanya sudah secara bertahap menyerahkan pengelolaan sebagian besar resort dan hotel kepadanya. Itu membuat kesibukannya bertambah karena dia memiliki ambisi besar untuk melihat perusahaan keluarganya semakin berkembang.
Pengalaman bekerja di perusahaan keluarga Pangestu dulu membuat Maura semakin sadar kalau dia memiliki kemampuan untuk berkembang dan mengembangkan perusahaan keluarganya. Jika dia melewatkan kesempatan yang ada maka selamanya tidak akan aman bagi keluarganya untuk berbisnis dengan bebas karena pasti akan ada perusahaan yang lebih kuat yang akan menjadikan mereka target.
Sama seperti yang hampir terjadi dulu saat perusahaan masih dipegang oleh ayahnya.
"Hei, aku tahu itu tanpa harus kau ingatkan. Aku hanya tidak sengaja melupakannya. Toh aku sudah berada di sini," balas Maura.
Cakra menarik napas panjang. Dia menyalakan mobil dan mulai mengemudi ke arah gedung tempat perlombaan berlangsung.
"Aku mengingatkanmu untuk kebaikanmu Maura. Anak-anak tumbuh dengan cepat dan dalam sekejap kau pasti akan merindukan setiap momen ketika mereka masih kecil serta selalu tergantung padamu." Cakra melirik Maura.
"Max anak yang mandiri," sanggah Maura.
Sejak berusia sekitar tiga tahun, Max sudah menunjukkan kalau dirinya bisa diandalkan. Dia tidak menangis ketika Maura harus ke kantor dan tidak membawanya. Dia juga tidak protes ketika Maura terlambat menjemputnya di sekolah. Sebaliknya, dia hanya akan diam menunggu hingga dijemput.
Max bahkan tidak pernah mengeluh ketika Maura memilih untuk meninggalkannya sementara waktu di Bali dengan kedua orang tua Maura yang adalah Kakek dan Nenek Max juga. Dia hanya meminta Maura untuk datang ketika dia lolos babak penyisihan dan ikut berlomba di Jakarta.
Maura sebenarnya tidak menyangka kalau Max akan benar-benar lolos. Meski Max berbakat tapi kenyataannya di luar sana ada lebih banyak lagi anak yang berbakat lebih dari Max, jadi bukannya dia tidak mempercayai putranya. Dia hanya tidak ingin Max merasa tertekan kalau dia menaruh harapan yang terlalu berat di bahu anaknya yang bahkan belum masuk SD.
"Kau benar. Dia mandiri, tapi dia kesepian Maura. Sekali lagi aku mengatakan ini karena aku peduli padamu dan Max. Bukan bermaksud untuk memprotes caramu mengasuh anak. Percayalah padaku, dia membutuhkanmu untuk selalu berada di sisinya. Mungkin kau berpikir akan lebih baik kalau dia tinggal di Bali dengan kedua orang tuamu untuk sementara waktu tapi apa kau pernah bertanya kepadanya? Jangan mengabaikan pendapat anak kecil," omel Cakra.
"Ya Tuhan Cakra, kau benar-benar lebih cerewet dan menyebalkan dari kedua orang tuaku sekarang. Luna bahkan tidak secerewet dirimu," protes Maura.
Cakra tertawa.
"Akan lebih baik kalau kau menikah dan ...."
"Bicara sekali lagi dan aku akan memukulmu dengan tasku," potong Maura mengancam Cakra.
Cakra akhirnya mengalah dan memberi isyarat kalau dia akan menutup mulutnya sekarang.
Maura menarik napas panjang.
"Aku tidak akan pernah menikah dengan siapa pun dan aku hanya akan hidup dengan Max saja. Max sudah lebih dari cukup untukku. Kau tahu kan prinsipku dari dulu. Aku tidak ingin terjebak dalam hubungan pernikahan yang merepotkan," jelas Maura.
"Ya ... ya ... dulu kau bilang tidak akan pernah memiliki anak tapi kenyataannya kau memiliki anak. Kenapa sih kau tidak membuatnya menjadi mudah saja dan membuka hatimu untuk pria lain kalau memang kau membenci Arga sebagai ayah kandung Max ..." Cakra mendadak terdiam dan tidak jadi melanjutkan kalimatnya.
Dia melirik ke arah Maura yang sekarang menatapnya kesal.
"Bisa tidak kau tidak mengungkit Arga? Dia bahkan tidak tahu apa-apa dan sekali lagi, aku sama sekali tidak membencinya. Dia yang menjauhiku dan bahkan menuduhku memiliki hubungan dengan sepupunya," ujar Maura. Dia terlihat kesal sekarang.
Cakra menarik napas panjang. Maura memang sudah berterus terang kepadanya dan Luna mengenai Arga yang adalah ayah kandung Max tapi Maura tidak pernah menceritakan secara detail bagaimana itu semua bisa terjadi dan Cakra juga tahu kalau Arga tidak pernah merasa memiliki hubungan romantis dengan Maura.
Lebih parah lagi, Arga sekarang sudah menikah dan Maura menjadi wanita gila kerja yang sepertinya memegang teguh prinsip lamanya untuk tidak akan pernah menikah, hanya saja dengan pandangan yang sedikit berbeda dibanding dulu.
Kalau dulu Maura tidak ingin menikah karena ingin terus bersenang-senang dengan hasil kerja keras kedua orang tuanya, sekarang Maura menjadikan perusahaan keluarganya sebagai alasan dari kecanduan kerjanya.
Maura bekerja keras untuk memenangkan banyak tender dan membuat perusahaan keluarganya menjadi salah satu yang mulai diperhitungkan secara internasional dalam waktu singkat.
"Aku tidak akan mengungkit masalah Arga lagi. Aku hanya merasa tidak adil untuk Arga karena dia bahkan tidak tahu kalau dia punya seorang anak," ucap Cakra.
Maura mengalihkan tatapannya ke luar jendela mobilnya.
"Memangnya dengan kepribadian Arga yang sekarang, dia akan bersorak bahagia saat tahu kalau dirinya memiliki seorang anak dariku? Anak yang tidak dia ingat sama sekali. Dengar Cakra, alasan aku meminta kalian merahasiakan ini dari Arga adalah karena aku tidak ingin Max mengalami masa sulit ketika dia harus berhadapan dengan kecurigaan Arga. Kau dan aku, tahu pasti kalau Arga yang sekarang berbeda jauh dengan Arga yang kita kenal dulu. Lebih dari itu, aku dan Arga tidak saling mencintai." Tatapan Maura tampak menerawang kini.
"Tapi kau mencintainya."
Maura berpaling menatap Cakra.
"Aku tidak ...."
"Kau mencintainya sejak kita SMA ... Tidak. Jauh sebelum itu. Sejak kita masih kecil, kau selalu lebih peduli pada Arga tapi kau tidak pernah mau mengakuinya. Kau berpura-pura kalau aku adalah cinta pertamamu tapi sebenarnya kau ingin tahu seperti apa reaksi Arga bukan? Sial, aku tahu segalanya," potong Cakra.
"Bagaimana kau ...."
"Karena kita sahabat sejati." Kembali Cakra memotong ucapan Maura.
"Kita sudah bersahabat sejak kecil dan aku tidaklah sebodoh Arga untuk menyadari kalau kau menyukai Arga bukan sebagai sahabat. Tatapanmu kepadanya berbeda dengan caramu menatapku, hanya saja si bodoh itu selalu tidak peka. Setelah beberapa waktu kukira kau sudah melupakannya tapi melihat bagaimana kau bisa terjatuh lagi kepada perasaanmu untuknya dan menghasilkan Max, kurasa selama ini kau hanya menyimpan perasaanmu rapat-rapat demi menjaga persahabatan kita," lanjut Cakra.
"Itu hanya masa lalu. Perasaan itu sudah lama hilang," balas Maura.
"Baguslah. Karena dia sudah menikah dan kau terlalu baik untuk Arga. Kalau memang kau benar-benar ingin hidup sendiri, setidaknya hiduplah dengan baik bersama Max dan jangan menjadikan pekerjaan sebagai pelarian. Aku pernah mengalaminya Maura dan itu tidak akan memberi hasil yang baik untuk tubuhmu. Aku dan Luna akan selalu mendukungmu." Arga kembali berbicara.
Maura tidak mengelak lagi maupun menanggapi. Dia hanya memutuskan untuk diam.
Dari semua orang yang dia kenal, Cakra dan Luna tidak hanya sahabat yang tahu segala hal tentang dirinya, mereka memahaminya sama baiknya dengan dia memahami suami istri itu.
Mobil yang ditumpangi oleh Cakra dan Maura akhirnya memasuki halaman parkir gedung tempat perlombaan berlangsung dan Maura langsung bergegas turun tanpa menunggu Cakra.
Dia separuh berlari ke dalam gedung dengan di ikuti oleh Cakra.
"Tante, sini. Sebelah sini," panggil Citra yang lebih dulu melihat Maura.
Maura segera bergegas mendekati Citra namun Luna memberi isyarat kalau Maura harus duduk di depan, di samping Luna dan Max, sementara Citra duduk bersama Cakra di kursi berbeda yang berada tepat di belakangnya dan Luna.
Maura mendadak merasa bersalah saat tatapannya bertemu dengan Max, putranya sendiri yang kini menatapnya sayu.
"Maafkan Mama. Mama terlambat," bisik Maura sambil mengulurkan tangannya merapikan rambut Max.
"Tidak apa-apa Mama," ucap Max sambil tersenyum.
Maura semakin merasa bersalah mendengar ucapan Max. Dia bisa melihat sekilas kekecewaan di wajah putranya.
Luna menepuk pelan tangan Maura.
"Max benar. Tidak apa-apa, yang penting kau sudah berada di sini," ujar Luna lagi. Dia sepenuhnya paham kalau Maura pasti sudah berusaha keras untuk bisa hadir dan dia mengerti betapa tidak mudahnya bagi Maura yang seorang ibu tunggal ketika harus bekerja sekaligus mengasuh anak.
Juri kemudian mulai mengumumkan pemenang kompetisi tersebut mulai dari yang paling akhir.
Sementara Maura terlihat tegang, Max malah terlihat tenang dan penuh percaya diri.
"Maxemilian Arganta Dennis, sebagai juara pertama."
Nama Max akhirnya disebut dan Citra adalah orang pertama yang bersorak gembira.
"Asik, dedek Max menang!"
Citra sangat heboh sampai-sampai Cakra harus menenangkannya.
Dengan langkah kecilnya, Max yang sebenarnya merupakan peserta paling muda hari itu melangkah ke atas panggung.
Semua orang bertepuk tangan saat itu namun tidak ada yang menyadari kalau saat yang sama, ada seseorang yang diam-diam mengambil foto Max serta Maura.