Prolog

1303 Kata
# Maura mengguyur seluruh tubuhnya dengan air dan menangis di kamar mandi. Bagaimana mungkin dia bisa begitu teledor membiarkan dirinya sendiri terjatuh sejauh ini pada seorang pria yang seharusnya tidak pernah dia harapkan? Arga bukan hanya sahabatnya namun pria itu tidak pernah mencintainya dan tidak pernah memiliki perasaan kepadanya. Kalaupun pria itu akhirnya menyusulnya ke tempat ini bukan berarti karena pria itu mencintainya. Bagi Maura, apa yang terjadi beberapa saat lalu terasa seperti neraka. Bagaimana bisa Arga terus menerus menyebut nama Luna ketika pria itu berada di atas tubuhnya dan melakukan semua itu kepadanya? Di mata pria itu, dirinya tidak lebih dari sekedar pengganti Luna dan Maura merasa sangat menyedihkan sekarang. Dia merasa begitu direndahkan tapi bahkan meski seperti ini dia tidak bisa membenci Arga walau pria itu mendadak datang dan menyerangnya. Butuh beberapa waktu bagi Maura untuk mengumpulkan kesadarannya dan ketika dia akhirnya selesai membersihkan diri kemudian keluar dari kamar mandi, dilihatnya Arga masih tertidur di lantai dengan kondisi yang sama. Dia memilih untuk mengabaikan pria itu. Maura bergerak ke lemari pakaian dan dengan cepat mengganti pakaiannya di kamar yang berbeda sebelum akhirnya kembali ke kamarnya sendiri dan sempat tertegun menyadari semua kekacauan yang ada di kamarnya. Dia melihat pakaian tidurnya yang sebelumnya dia gunakan kini sudah tampak tidak berbentuk lagi setelah perbuatan Arga kepadanya. Pakaian itu tergeletak di samping Arga dan tampak sama menyedihkannya dengan kondisinya sekarang Perlahan Maura mendekati Arga dan memungut pakaian yang dia kenakan tadi sebelum akhirnya membuang potongan pakaian itu ke tempat sampah. Dia lalu memapah Arga ke tempat tidur. Tangannya sempat terhenti saat membantu Arga berpakaian lagi, menyadari kalau sekarang pria tidak berdaya itulah yang tadi telah dengan beringas menyerangnya. “Luna maafkan aku,” gumam Arga. Ucapan Arga mendadak membuat Maura yang sempat terpaku seakan kembali tersadar dari lamunannya. Dia menatap Arga dengan mata berkaca-kaca. “Aku bukan Luna. Kau seharusnya minta maaf kepadaku karena apa yang sudah kau lakukan kepadaku tadi. Kau tidak pernah mencintaiku tapi kau malah melakukan itu kepadaku. Apa besok kau bahkan bisa mengingat kalau itu aku dan bukan Luna? ” keluh Maura. Air matanya jatuh di pipinya begitu saja tanpa bisa dibendung lagi. Namun Maura tahu kalau dia tidak memiliki waktu untuk merasa sedih pada apa yang sudah terjadi di antara dirinya dan Arga. Dia tidak ingin terlihat lebih menyedihkan lagi dibanding sekarang. “Tidak. Aku yakin kalaupun kau ingat kau akan menyangkalnya bukan? Karena kau memang orang seperti itu. Kalau kau tidak ingat apa-apa bahkan setelah kau bangun maka anggap saja memang tidak terjadi apa-apa. Aku ... tidak ingin terlihat lebih menyedihkan dari ini karena menyukaimu.” Maura menghapus air matanya. Setelah selesai dengan Arga, Maura kembali merapikan kamarnya dan tidak lupa dia juga menyingkirkan karpet yang ternoda oleh cairan mereka berdua sekaligus bukti kalau hingga detik Arga menyentuhnya, dirinya masih suci, berbeda dengan semua rumor serta anggapan orang yang selama ini menilainya sebagai wanita yang hidup secara bebas hanya karena dia memiliki darah campuran dari ayahnya dan pandangan hidup yang dianggap berbeda. Begitu menyelesaikan semuanya, Maura kemudian merebahkan dirinya di sofa yang ada di ruang tengah dan jatuh tertidur di sana. Dia mengabaikan rasa sakit di seluruh tubuhnya malam itu. Keesokan paginya ketika Maura tersadar, dilihatnya Dania, sepupu Arga tengah menatapnya. “Kau? Kenapa ... ah.” Maura berseru pelan saat ingin bangun dan mendadak merasakan matanya berkunang-kunang. “Jangan bangun dulu. Kau demam tinggi sampai-sampai membuat Arga panik dan meneleponku. Kami hampir saja akan membawamu ke Rumah Sakit kalau misalnya kau tidak segera sadar,” ujar Dania. “Arga?” tanya Maura. Dia kembali teringat apa yang sudah terjadi tadi malam di antara dirinya dan Arga. “Kalau sakit kenapa kau tidak meminta ijin untuk tidak masuk kantor? Dania bilang kalau kau sudah tidak enak badan sejak kemarin. Hei, Maura bagaimana aku bisa sampai di apartemenmu ini?” Arga mendadak muncul dari arah dapur dan meletakkan semangkuk bubur di atas meja. Maura hanya diam menatap Arga. Seperti dugaannya, Arga memang tidak ingat dengan apa yang sudah terjadi pada mereka berdua. Dia seharusnya sudah tahu itu saat tadi malam mencium aroma minuman keras yang cukup pekat dari nafas Arga. Lebih dari itu, dia tahu kalau Arga pasti menggunakan obat-obatan juga. “Kau harus berhenti menggunakan obat terlarang itu. Benda itu merusakmu,” ujar Maura pelan. Arga tampak kesal dengan ucapan Maura. “Ck, aku bersumpah kalau aku sedang berusaha berhenti,” balas Arga. Maura tahu Arga berbohong karena jika memang benar Arga berhenti menggunakan benda terlarang itu, mana mungkin Arga bahkan tidak bisa mengingat apa yang sudah dilakukannya semalam? “Dengar Maura, yang sakit itu dirimu bukan Arga. Aku tahu kalian sudah bersahabat sejak kecil tapi yang paling mengkhawatirkan itu sekarang adalah dirimu. Lagi pula, kenapa wajahmu bisa memar? Apa Arga memukulmu saat dia mabuk?” tanya Dania curiga. Maura menggeleng pelan. “Aku jatuh di kamar mandi,” jawab Maura. “Kau dengar? Maura ini memang ceroboh. Sesekali dia pernah jatuh karena terlalu ceroboh saat berjalan padahal tidak apa-apa di depannya yang bisa membuatnya terjatuh,” sambung Arga. Maura hanya diam mendengar ucapan Arga. Dalam hatinya dia merasakan kesedihan yang tidak terkira. Perlahan air mata menetes dari matanya yang masih terpejam. “Maura, apakah sakit sekali? Kita bisa ke Rumah Sakit sekarang kalau kau mau.” Arga yang tadinya sempat bercanda dengan Dania kini berubah khawatir saat melihat Maura menangis. Dia tidak pernah melihat Maura menangis hanya karena demam jadi jika sampai sahabatnya itu meneteskan air mata, itu artinya sakit yang dirasakan sudah sangat tidak tertahankan lagi. “Bisakah kalian meninggalkan aku sendiri? Aku hanya butuh istirahat dan kalian terlalu berisik,” pinta Maura. Arga dan Dania saling berpandangan satu sama lain selama beberapa saat sebelum akhirnya Arga mendekat ke arah Maura. “Tidak. Kau sakit dan tidak mungkin dibiarkan sendirian. Aku atau Dania akan menemanimu sampai kau ...” “Kalau begitu Dania saja. Kau pergi saja,” potong Maura cepat. “Apa?” Arga sama sekali tidak menyangka kalau Maura akan memilih Dania dan mengusirnya. “Kakekmu tidak tahu kau ada di sini dan hari ini Tuan Pangestu akan mengadakan kunjungan ke perusahaan. Kalau kau tidak keberatan dan kalau kau memang ingin membantuku, bisakah kau pergi dan menemui Kakek? Biar Dania yang di sini bersamaku,” jelas Maura. Arga mengangguk mengerti. “Baiklah kalau itu yang kau inginkan. Di otakmu memang tidak ada hal lain selain Kakek dan pekerjaan ya. Kakekku sudah mengubahmu jadi gila kerja rupanya,” balas Arga. Maura kembali diam mendengar ucapan Arga. Dia hanya memejamkan matanya dan bahkan mengabaikan Arga saat pria itu pamit pergi. Dia akan mengabaikan semuanya dan menganggap tidak ada yang terjadi. Setidaknya itu yang bisa dia lakukan kalau dia tidak ingin menjadi wanita menyedihkan. Jika Arga saja tidak bisa mengingat apa-apa maka dia juga akan menganggap semuanya tidak pernah terjadi. “Maura, kau yakin tidak ada yang terjadi kepadamu dan Kakak sepupuku tadi malam? Kau tahu? Arga mungkin semalam pulang dalam keadaan tidak sadar karena ...” “Tidak ada yang terjadi!” potong Maura. Dania tertegun menatap Maura sesaat. “Baiklah kalau begitu. Jangan khawatir, kau hanya perlu tidur dan aku akan menemanimu,” balas Dania. Dia mencurigai sesuatu, terutama saat melihat isi tempat sampah namun dia menahan dirinya. Dalam keluarga Pangestu ada aturan tidak tertulis untuk tidak saling mencampuri urusan masing-masing meski mereka adalah keluarga. Tidak ada hal baik ketika terlalu terlibat dalam urusan anggota keluarga lain, terlebih kalau itu berkaitan dengan Arga yang menjadi salah satu kandidat utama penerus keluarga Pangestu selanjutnya. Maura sendiri berusaha melupakan segalanya yang terjadi malam itu dengan menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan. Secara perlahan dia menjauh dari Arga. Namun hanya ketika waktu yang ditentukan oleh Tuan Pangestu selesai dan dia berhasil melupakan segalanya, dunia Maura bagai dihantam badai saat dia tahu kalau dirinya tengah mengandung. Dia mengandung anak dari sahabatnya sendiri yang bahkan tidak ingat telah melakukan semua itu kepadanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN