Setelah diskusi dan memutuskan skenario “suami Tya” Idah dan Tya langsung menuju ke tempat kerja. Sudah terlambat satu jam dari waktu mereka seharusnya masuk. Tapi karena sudah laporan sejak subuh tadi, majikannya memberi izin karena memang kenyataan mereka ke rumah sakit.
“Kamu sakit apa?” tanya majikannya saat Tya baru isi absent.
“Biasa Nyah, namanya hamil muda, seperti inilah,” jawab Tya.
“Loh? Kamu hamil? Lalu bagaimana nanti kamu antar-antar pakaian dan segala macamnya?”
Enggak apa-apa Nyonya, saya kuat kok. Saya yakin saya kuat,” jawab Tya.
“Lalu bagaimana suamimu?”
“Menyakitkan Nyonya. Sangat menyakitkan. Saya kabur dari laki-laki itu. Dia ringan tangan, dia lebih marah dari saya kalau saya tegur. Dia main perempuan padahal saya istri sahnya. Jadi lebih baik saya mengalah dan lari. Kami lari Nyonya. Kami lari dari Cilacap,” kata Tya, karena memang KTP-nya kan KTP Cilacap. Tidak mungkin dia mengaku dari kota lain.
“Oh begitu. Iyalah laki-laki seperti itu tinggalkan saja. Biarin saja kamu melahirkan di sini, kamu harus sehat. Jangan berikan bayi itu pada laki tak bertanggung jawab seperti itu,” sang Nyonya malah mendukung ‘pelarian’ Tya dari ‘suaminya.’
“Jangan terlalu capek ya. Perempuan itu memang seperti itu, harus kuat menghadapi semua persoalan,” sang nyonya juga dulu baru berumah tangga dikhianati suaminya dan dia memilih cerai dari lelaki kaya yang tukang selingkuh.
Akhirnya dia bangkit dan terus punya suami lagi yang sama-sama bukan orang kaya, tapi berkat kerja keras keduanya membuat mereka bisa jadi pengusaha besar. Dia punya lima laundry besar, bukan laundry rumah tangga biasa. Pegawainya di satu cabang tempat dia bekerja saja ada 16 orang.
≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈
Beruntungnya Tya tinggal bersama ibunya, sehingga walaupun dia sendirian hamil, orang tidak terlalu memandang rendah padanya.
Ibunya bercerita Tya memang kabur dari suaminya yang ringan tangan dan suka main perempuan, Tya tidak mau anaknya sampai keguguran jadi lebih baik dia kabur dari laki-laki itu, sehingga semua akhirnya tidak memandang rendah pada Tya.
≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈
“Kamu nggak kepengen apa-apa Nduk?” tanya Idah malam ini saat dia rampung memasak guna makan malam. mereka membagi tugas, memasak dilakukan bergilir, itu peraturan yang Tya buat. Dia tak mau ibunya yang selalu masak. Dan bila giliran Tya masak, dia selalu akan mencoba resep masakan baru yang dia lihat dari gogle.
Tya baru akan ganti menu baru bila dia rasa sudah dapat rasa yang pas dari masakan yang dia coba resepnya, kadang banyak resep yang dia modivikasi komposisinya agar dapat yang pas versi dia dan ibunya.
“Nggak ada kepengen apa pun Bu, nggak mual juga. Cuma pertama waktu itu saja aku pusing banget. Tapi ke sininya sudah nggak tuh. Mungkin karena obat vitamin dari ibu dokter. Juga karena aku selalu isi perut berkala agar tak lapar.”
Begitu tahu hamil memang Tya langsung pindah ke dokter spesialis kandungan di RSIA atau rumah rumah sakit ibu dan anak.
Tya tidak ke Puskesmas lagi, dia tidak mau anaknya tidak mendapat fasilitas terbaik. Jadi walau kekurangan, walau sulit dia tetap akan memberi anaknya yang terbaik. Sengaja Tya periksa di dokter spesialis di rumah sakit ibu dan anak agar bila ada sesuatu dia bisa mengetahui sejak dini.
≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈
“Kamu kenapa Mas?” Nazwa cemas, pagi-pagi Déra sudah muntah-muntah.
“Entahlah,” kata Déra. Dia sangat lemas. Nazwa langsung membalur tubuh suaminya dengan minyak kayu putih. Dia meminta simbok membuatkan bubur lalu. Dia pakaikan kaos kaki agar kaki suaminya tidak dingin.
“Mbok ambil ember besaaaaaar buat muntah di sini saja Mbok. Biar Bapak nggak lari-lari ke kamar mandi. Sama ambilkan lap basah, juga sabun cair dan tissue basah. Pokoknya biar nggak lari-lari,” perintah Nazwa. Dia tahu Déra sudah lemas lari-lari ke toilet, biar muntahannya di kamar saja.
Ember besar ditaruh keset di dalamnya agar muntahan tidak muncrat ke mana-mana, diletakkan di pinggir tempat tidur Déra.
Seperti biasa Nazwa langsung spontan memanggil dokter. Dia tidak ingin suaminya kenapa-kenapa.
≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈
“Kalau menurut pemeriksaan saya sih nggak ada apa-apa ya, semuanya sehat.”
“Ini masuk angin kayak Dok,” Nazwa sedih dokter bilang suaminya tak apa-apa tapi kondisinya seperti itu.
“Bisa jadi masuk angin, tapi ini nggak kembung, saya kasih obat untuk kembung saja coba kita lihat apa benar hanya kembung saja,” dokter memberi resep pada Nazwa dan langsung pamit.
Tanpa menunda Nazwa minta Mujiono menebus resep tersebuta agar Déra bisa langsung meminumnya.
≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈
“Aku ingin rujak cingur,” pinta Déra saat dokter telah berlalu dan Nazwa baru saja masuk kamar setelah memerintah Mujiono ke apotek.
“Perutnya dari tadi pagi kosong kok malah minta rujak cingur, kepiye coba. Makan bubur dulu ya,” kata Nazwa dengan lembut dan sabar.
“Pokoknya aku pengen makan itu,” Déra ngotot minta rujak cingur.
“Ya sudah nanti pak Mujiono suruh beli di alun-alun Selatan, di sana ada tukang rujak cingur. Sekalian dia sedang ke apotek,” jawab Nazwa.
“Yang pedas,” kata Déra.
“Mas ‘kan nggak suka pedas,” jawab Nazwa bingung.
“Minta rujak cingur pedas, cepetan!” Déra tak mau dibantah.
“Mas ini kok kayak orang ngidam ya,” ucap Nazwa sambil mengirim pesan pada Mujiono agar segera mendapatkan yang Déra inginkan.
‘Ngidam?’ kata Déra dalam hati.
‘Apa jangan-jangan ….’
Déra langsung mengambil ponselnya, dia langsung gogling soal ngidam pada orang laki-laki dan dia mendapat indikasi apa yang dia rasakan adalah benar.
Banyak artikel di sana dan semuanya merujuk pada kondisi yang sekarang dia alami. Tadi pagi dia muntah-muntah dan mulai siang mualnya reda, lalu ingin sesuatu yang dia tidak suka.
Déra itu tidak suka makan sayur dan Déra juga tidak suka pedas. Ini keanehan.
Tadi waktu dikatain ngidam oleh Nazwa, Déra langsung berpikir jangan-jangan itu adalah kebenaran.
‘Lalu di mana dia sekarang? Apa bayinya mau digugurkan kalau dia tahu dia hamil?’
‘Itu anak aku kan? Satu-satunya, ANAK AKU!’
‘Bagaimana bila malah mau digugurkan? Aku harus cari dia. Harus! Itu anak aku.’
‘Tapi apa bisa bayi itu jadi anak aku? Nggak mungkin kan? Di dalam agama dia nggak boleh jadi bin-nya aku. Tapi setidaknya dia punya akta kalau aku nikahi ibunya. Paling tidak buat anak itu saja. Aku nggak akan mungkin mendua dari Nazwa. Bahkan tak pernah punya keinginan sedikit pun mendua.’
‘Tapi apa benar Titiek hamil?’
≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈