CHAPTER SEPULUH : Ex Room-Mate (3)

1669 Kata
               Marshanda meletakkan kue buatannya di kursi kayu. Dia sudah tidak berminat lagi untuk menyerahkannya langsung kepada orang yang semula ia tuju, seseorang yang membuatnya rela bangun tidur lebih awal demi bisa bebas memakai dapur bersama di tempat kost-nya, pada hari libur seperti ini. Bahkan untuk sekadar memikirkan apakah kue tersebut akan sampai atau tidak ke tangan Bu Grizelle juga tidak, walau dia telah sepenuh hati membuat dan mempersiapkan kue itu untuk menyenangkan hati Bu Grizelle.              Rasanya dia benar-benar sudah tidak ingin berada lebih lama lagi di rumah itu, dia ingin secepatnya kembali ke tempat kost-nya.              “Sudah, Ma. Nggak usah ngomongin ini lagi. Nggak enak nanti, kalau Devanno sampai mendengarnya. Kemarin-kemarin Mama sudah terlalu frontal, keseringan menyudutkan Devanno. Kasihan dia. Dia bisa kepikiran,” kata Pak Matthias tegas.              “Devanno memang harus mendengarnya lagi supaya jelas. Dia harus tahu bahwa Mama tetap keberatan dengan hubungannya sama Marshanda. Oke, anak itu memang baik, sopan, pintar. Tapi kita nggak tahu latar belakang dia, Pa. Bayangkan saja Pa, panti asuhan tempatnya dititip dulu saja sekarang sudah tinggal kenangan belaka. Bagaimana caranya kita bisa menelusuri latar belakangnya? Bagaimana kalau ternyata dia adalah anak seorang penjahat? Atau, anak yang tak diinginkan dari hasil hubungan gelap sehingga dibuang begitu saja? Atau hasil perkosaan? Pa, aku nggak mau kalau keturunan Devanno nanti berasal dari bibit yang nggak baik! Nggak rela aku!” suara Bu Grizelle mulai meninggi.              Di balik dinding, Marshanda menggigit bibirnya.             ‘Ya. Bagaimana kalau ternyata aku ini seperti yang dikatakan Tante Grizelle?’ pikir Marshanda sedih.               Pak Matthias mengibaskan tangan. Dia sudah hampir bangkit dari duduknya. Selera makannya sudah lenyap.              “Ma, sudah, Ma. Cukup. Jangan lagi mempermasalahkan ini. Dulu pun kepada Michelle, Mama juga ribut-ribut seperti ini,” tegas Pak Matthias, menyebut nama menantu perempuannya, istri dari Juna putra pertama mereka.              “Ya jelas beda dong, Pa. Ini lebih berat masalahnya. Dan sekali Mama bilang enggak, artinya enggak. Mama nggak mau merestui hubungan mereka berdua. Selamanya. Mama akan bilang ke Devanno supaya secepatnya memutuskan hubungannya dengan Marshanda. Lebih cepat lebih baik. Supaya mereka berdua nggak terlalu sakit. Marshanda memang baik, tetapi Mama mau yang terbaik buat Devanno. Yang namanya bobot, bibit, bebet itu tidak bisa kita abaikan begitu saja. Biar saja mereka menemukan jodohnya masing-masing,” mendadak saja sang istri berteriak histeris dan setengah berlari, berlalu dari ruang makan tersebut.             Kontan saja Pak Matthias terperangah.             Ia mengeluh dalam hati.             Dibiarkannya saja sang istri yang pergi meninggalkan dirinya sendirian di ruang makan. Dipikirnya, sang istri memang harus mendinginkan dulu kepalanya, jadi tak ada gunanya untuk diajak bicara saat ini.              “Selalu saja begini. Mama selalu egois begini. Setiap kali Papa sarankan untuk berhenti mempersoalkan asal-usul Marshanda, ujung-ujungnya Mama selalu marah, dan nggak jarang sampai berteriak histeris. Mama ini,  membuat suasana rumah jadi nggak nyaman saja,” gumam Pak Matthias.              “Hei, kok masih di sini? Ngapain? Daritadi bukannya langsung masuk?” Marshanda merasakan ada tangan yang hinggap di pundaknya.              Marshanda terkaget. Hampir saja dia menoleh kalau tidak teringat bahwa matanya mungkin sudah memerah. Buru-buru Marshanda mengusap setetes air mata yang telanjur meluncur jatuh di pipi mulusnya.              “Heh, kamu kenapa? Kok kamu nangis? Sha, ada apa?” Devanno membalikkan tubuh Marshanda perlahan sehingga posisi mereka berdua saling berhadapan.              Marshanda menggeleng dan menundukkan kepalanya.              “Dev, boleh tolong antar aku pulang? Atau.., aku pulang sendiri saja,” ucap Marshanda pelan. Ia berusaha menegarkan hatinya.              Devanno mengelus pipi Marshanda.             “Kenapa? Apa yang terjadi?” bisik Devanno lantas menghela Marshanda ke dalam pelukannya.              Marshanda menggeleng saja.             Devanno jadi curiga sekaligus khawatir.             ‘Jangan-jangan, Mama kelepasan bicara? Mama ngomong apa? Apa belum cukup aku menahan diri dan nggak membantah ucapannya belakangan ini, dan terus membawa harapanku ke dalam doa, agar hati Mama dilembutkan oleh Tuhan?’ tanya Devanno dalam hati.              “Mama, Sha? Kamu mendengar sesuatu? Atau bahkan sudah ketemu Mama? Mama bilang apa ke kamu?” berondong Devanno.              Marshanda mengurai pelukan Devanno.              “Aku.., aku mau pulang sekarang, Dev,” kata Marshanda lirih.              Devanno tak mengatakan apa-apa lagi. Tangan kekarnya segera merengkuh pundak sang kekasih dengan protektif.              “Ayo,” kata Devanno akhirnya. Dia  sungguh tidak tega melihat mendung yang menggantung di paras wanita yang amat dikasihinya ini.              ‘Kita musti bicara soal ini Sha. Tapi mungkin bukan di sini. Kamu nggak akan merasa nyaman, dalam keadaan begini,’ pikir Devanno.                                                                                                                               *              “Sha, jangan dianggap terlalu serius apa yang kamu dengar itu. Mungkin Mama hanya sedang capek. Sudahlah. Aku minta maaf ya, ke kamu, soal perkataan Mama yang keterlaluan itu. Nanti sepulang dari sini, aku.., mau membicarakan tentang ini ke Mama,” ucap Devanno sambil menatap Marshanda yang hanya menatapi makanan dan minuman yang ia pesan.              Devanno meraih tangan Marshanda, menggenggamnya erat.              Marshanda mengelengkan kepalanya.              Susah payah ia menelan ludah sebelum mengungkapkan apa yang telah menjadi keputusannya sepanjang perjalanan kembali dari rumah Devanno hingga mereka berdua tiba di kafe yang terletak dekat tempat kost Marshanda ini. Perjalanan yang berisi diam dan tak saling mengusik di antara mereka berdua.               ‘Itu bukan keputusan yang tiba-tiba. Aku sudah sering mempertimbangkannya. Yang tadi aku dengar itu, sama saja peneguhan buatku,’ pikir Marshanda.               “Jangan Dev! Jangan permasalahkan lagi hal ini. Seharusnya kamu bersyukur mempunyai orang tua yang sangat mengasihi dan melindungi kamu. Orangtua yang lengkap, yang selalu berada di dekatmu dan memastikan kamu tidak tumbuh seperti rumput liar,” ucap Marshanda dengan hati perih. Dia sudah merasakan, saat ini, detik ini, bukanlah sekadar masa-masa terberat dalam hubungan mereka, tetapi semestinya sudah mendekati penghujung hubungan mereka. Mau diteruskan atau tidak, Marshanda tahu, ujungnya akan sama : putus.               ‘Ini sudah masuk hitungan mundur. Aku harus tegar,’ bisik Marshanda dalam hati, berusaha menghibur dirinya sendiri.               “Sha, jangan ngaco deh! Rumput liar apa? Aku paling benci kalau kamu mengatakan dirimu seperti itu. Itu sama saja kamu tidak bersyukur mempunyai ‘triple E’ dalam hidup kamu. Kamu itu orang paing beruntung Sha. Bukannya kamu sendiri yang sering mengatakan itu ke aku? Kamu bilang, nggak semua orang mendapatkan kehormatan diberikan tiga malaikat tak bersayap sekaligus, dalam hidup kamu?” protes Devanno, menahan marah. Ciri khas Devanno, bicara panjang-panjang apabila dirinya sudah mulai tersulut rasa kesal.               Marshanda menghela napas panjang mendengarnya. Ia menyadari, tidak ada yang salah dalam kalimat kekasihnya. Toh, dirinya pula yang menyebut ketiga orang yang amat penting dalam hidupnya itu sebagai ‘malaikat tak bersayap’. Ia sendiri yang sering mengatakan kepada Devanno bahwa ketiganya adalah ‘malaikat yang diutus oleh Tuhan untuk mengasuh dan membentuknya sehingga dapat tumbuh sebagai seorang gadis tegar dan mandiri.               Triple E, itu julukan manis, panggilan kesayangan yang Marshanda sematkan kepada trio Ibu Evelyn, sepupunya, Ibu Estherlita serta Mbak Edgina, adik kandung dari Ibu Estherlita. Mereka bertiga adalah pengurus sekaligus pengelola kanti asuhan ‘Karunia Bersaudara’, tempat di mana Marshanda dibesarkan. Tangan kasih mereka bertiga merawatnya sepenuh kasih, sosok mereka bertiga mengisi hari-hari yang Marshanda lalui di panti asuhan itu, semenjak dirinya masih kecil dan hatinya kerap didera kesedihan dia saat merasa dirinya tertinggal.              “Sha, kita nggak boleh menyerah. Ini nggak sesulit yang kamu kira, Sha. Aku cuma minta supaya kamu lebih sabar dan percaya sama aku. Ini cuma masalah waktu kok Sha. Tenang  ya Sha, aku pasti akan terus berusaha melunakkan hati Mama. Aku janji soal ini,” Devanno mengecup ujung jari Marshanda.              Lamunan Marshanda akan ‘triple E’ memudar.              Marshanda mengelak dari tatapan penuh cinta sang kekasih.              ‘Dev, sudahlah. Jangan keras kepala. Aku sudah biasa kok, ditinggalkan. Nggak apa-apa. Jangan buat rumit perpisahan ini,’ bisik hati Marshanda, yang lantas terkenang masa kecilnya.              Ya, hingga umur Marshanda menjelang 9 tahun, dia telah menyaksikan satu per satu temannya menemukan keluarga baru, rumah yang baru. Rumah yang sesungguhnya, rumah yang tak sekadar bangunan tanpa nyawa. Sementara sejauh itu, belum satu pengunjung pun yang berminat untuk mengadopsi Marshanda kecil. Sampai-sampai, bila dirinya mendengar penggalan lagu lawas ‘Nobodys’s Child’, dia tak hanya kerap menyenandungkannya dengan sedih, tetapi juga curiga, jangan-jangan lagu itu memang diciptakan untuk dirinya...               ‘I'm nobody's child, I'm nobody's child. Just like the flowers, I'm growing wild. No mummy's kisses and no daddy's smile, nobody wants me, I'm nobody's child. People come for children and take them for their own, but they all seem to pass me by and I am left alone,’               Penggalan lagu itu kini seolah terngiang lagi di telinga Marshanda, membuat Marshanda terkenang, dia juga sering menangis diam-diam di sudut kamar, pada malam sebelum dirinya tidur. Dan, pada saat itulah biasanya Ibu Evelyn akan mendekapnya dengan sayang, mengelus dan menciumi kepalanya, apabila memergoki apa yang dia lakukan.               Kenangan itu hampir saja memancing keluar air mata Marshanda.               Namun ia memilih menegarkan hatinya. Marshanda mengangkat wajahnya, menatap sang kekasih secara intens.               “Jangan sekalipun melawan orangtua, Dev. Aku nggak mau kamu menyesal. Aku nggak rela,” tegas Marshanda kemudian.               “Sha, maksud kamu apa?” tanya Devanno dengan putus asa.               Wajah Cowok itu tampak keruh.                                                                                                                                                                     - Lucy Liestiyo -
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN