CHAPTER SEMBILAN : Ex Room-Mate (2)

2249 Kata
            “Orangnya baik banget deh, Sha,” ucap Bianca kemudian.              ‘Orangnya baik banget? Apa masih perlu kamu mengucapkan ini, mengedifikasikannya seolah meminta dukunganku atas kesempatan entah ke berapa kalinya, yang kamu berikan kepada dia? Lah, kita berdua kan sama-sama kenal sama si Victor itu!’ batin Marshanda geli.              Di detik berikutnya Marshanda mulai terpikir, jangan-jangan yang dimaksud oleh Bianca bukanlah sang mantan lagi, tetapi ‘seseorang yang baru’. Tetapi dia tak ingin merusak suasana dengan menyela penjelasan dari Bianca.              “Namanya Michael Pratomo, Sha. Dia itu, salah satu sepupu dari direct boss-ku di kantor. Eng.., sebetulnya, kami sudah agak lama berkenalan. Sekitar..., satu tahun yang lalu, waktu dia diundang untuk ikut acara gathering di kantor. Tapi ya selewatan begitu saja kenal dan ngobrolnya. Namanya juga lagi gathering, acaranya ya lumayan padat. Baru sekitar enam atau tujuh bulan lalu, kok lucunya, kami ketemu dan ketemu lagi di tempat yang berbeda-beda dan sama sekali nggak kami rencanakan,” ucap Bianca dengan senyum yang tak lekang dari bibirnya. Sepertinya gadis itu tengah membayangkan suasana pertemuannya dengan sang kekasih.              Kali ini Marshanda tidak tahan untuk mengucapkan, “Wow! Aku benar-benar senang mendengarnya, Bi. Tapi kok baru sekarang, ceritanya ke aku?”             Berkata begitu, Marshanda berlagak memasang tampang kesal.            Bianca mengulum senyum lalu berkata, “Aku nggak enak, mau ganggu kamu Sha, buat urusan ‘ketengan’  macam ini. Aku kan tahu kamu sibuk banget. Judulnya doang, kerja di Jakarta, tapi kenyataannya? Huh!  Load kerjaanmu itu jauh lebih padat dari pada sewaktu di Singapura. Dan terutama, aku merasa perlu untuk membawa dulu dalam doa. Soalnya, dari pertemuan-pertemuan yang semula aku pikir nggak sengaja itu, ternyata kami mempunyai kesempatan untuk mengobrol satu sama lain. Termasuk.. kesempatan buat mengobrol berdua seusai misa, sekitar ... yach.., lima setengah bulan lalu, deh.”              Marshanda berdeham menaggapi uraian Bianca.             “Hem. Kalimat pertama, aku ralat, itu bukan urusan receh. Urusan masa depanmu, tahu! Lagi pula, aku nggak sesibuk itu lah, Bi. Kalau sudah pulang dari kantor, aku memang membawa pulang pekerjaan kantor juga. Ya namanya juga kerjaan lagi banyak-banyaknya. Patut disyukuri deh, di luar sana banyak orang yang kepengen kerja tapi belum mendapatkannya. Makanya, kalau buat sekadar mendengarkan ceritamu, ya masih sempat dong. Soal kalimatmu yang kedua, aku sangat setuju. Segala sesuatu memang harus dibawa dulu ke dalam doa, Bi. Apa pun itu, untuk meminta tuntunan dan konfirmasi dari Tuhan.  By the way, dia satu gereja dengan kamu?” timpal Marshanda.              Bianca tersenyum lagi.             “He eh. Sekarang, maksudku. Dia memang baru pindah apartemen sekitar setengah tahun lalu, Sha. Jadinya ya, ikut misanya di gereja yang sama dengan kita dulu. Dan kamu tahu nggak, orang tuanya itu ternyata tinggal di Sidoarjo. Pasti bukan kebetulan, kan?” Bianca balik bertanya, meminta pendapat dari Marshanda.              Mata Marshanda membulat.             “Oh, ya? Orang Sidoarjo? Wah, pas banget, Bi. Istilahnya ‘nggo pek nggo’, tonggo ngepek tonggo’ Alias, tetangga dapat tetangga,” celetuk Marshanda.              Bianca tak sanggup menahan tawa gelinya.             “Apa sih. Ya ampun, Sha, Sha!” ucap Bianca pula.              “Sebentar, Bi. Aku mau bilang, aku sependandat sama kamu. Nggak ada sesuatu hal yang kebetulan dunia ini. Semua sudah diatur dengan sempurna oleh Tuhan. Dan jelas, ada usaha manusia juga di dalamnya,” kata Marshanda.              Bianca mengangguki Marshanda.             “Aku percaya, soal itu. Akhirnya, maksudku. Karena sudah sekitar empat bulanan ini aku membawa dalam doa khusus, dan semakin ke sini aku semakin yakin untuk menjalin hubungan sama Michael. Kalau dihitung-hitung, kami memang belum terlalu lama saling mengenal dan jumlah intensitas pertemuan kami juga lebih banyak terjadinya di setengah tahun terakhir ini saja. Tapi rasanya aku mantap saja. Aku.., merasa nyaman sama dia, biarpun dia itu seumuran sama aku. Nggak seperti yang dulu-dulu aku masukkan ke kriteria pasangan idaman, yang harus lebih tua dari aku,” ungkap Bianca.              “Ya, setidaknya, semakin kemari, aku semakin berpikir, misalnya aku menetapkan  sepuluh kriteria untuk seseorang yang kelak akan mendampingiku selamanya, aku berusaha menerima, nggak musti semuanya terpenuhi sesuai kemauan aku. Lha sementara aku sendiri juga belum tentu memenuhi semua kriteria yang Michael inginkan untuk menjadi calon pasangannya kok. Aku rasa, sudah bukan waktunya lagi buatku untuk berpikir macam abege begitu. Eng.., terlebih, kalau hanya soal umur, aku pikir oke saja. Aku merasa Michael itu bisa bersikap dewasa, kok,” lanjut Bianca.             Marshanda manggut, menandakan persetujuannya.             “Syukurlah kalau begitu, Bi,” sahut Marshanda.             Dia masih ingat benar, Bianca ini kadang-kadang masih bersikap impulsif. Jadi terang saja, dia juga serius mengharapkan Bianca sungguh menemukan seseorang yang dapat membimbingnya sekarang ini. Dia sungguh berharap, Michael adalah sosok yang tepat untuk berdiri di sebelah Bianca.              “Jadi ceritanya, kalian nanti pasti berangkat dan balik ke Singapura bersama dong? Asyik, saling diperkenalkan ke keluarga besar nih, judulnya. Wah Bi, serius, ini benar-benar kabar yang super baik buat aku. Semoga hubungan kalian selalu diberkati Tuhan, ya,” ucap Marshanda.              Bianca mesem-mesem kecil.             “Aku imani dan aku amini. Thanks ya Sha! Ih, kangen banget, tahu nggak sih!” timpal Bianca dengan mimik muka lucu, sesaat kemudian.              “Sama. Kepengen banget ngopi-ngopi bareng lagi di Vivo City, atau sekadar menikmati es potong sambil chit chat sama kamu. By the way, di food court bawah sini ada lho, yang jual es potong Singapura, tapi rasanya beda banget, sama sekali nggak nampol dan menurutku kemalahan. Alhasil, sebentaran saja sudah tutup itu kiosnya dan ganti lagi dengan kuliner lainnya,” kata Marshanda, agak sedikit melenceng dari pembicaraan mereka semula.              Bianca seperti mendapatkan angin.             “Tuh, kan! Makanya! Datang kemari dong! Entar kita bisa seharian tahu, hunting makanan,” timpal Bianca, seolah mendapatkan kesempatan emas untuk mendesak Marshanda agar datang mengunjunginya.              Marshanda tersenyum kecut.             “Itu dia masalahnya. Sayangnya aku belum bisa janji sekarang-sekarang ini, Bi. Kalau sekiranya waktunya memungkinkan, baru bisa ngomong ke kamu. Tapi yang jelas, hari ini tuh, kamu sudah mengabarkan sesuatu yang benar-benar bikin hatiku luar biasa lega, Bi. Hm, pada akhirnya, kamu bisa move on. Tapi yang paling membanggakan adalah, kamu itu memberikan dirimu waktu yang cukup untuk memulihkan luka hatimu dan tetap membawa dalam doa, sebelum menjalani hubungan percintaan yang baru. Proud of you, Bi,” kata Marshanda hati-hati.              Berbeda dengan beberapa saat lalu dimana Bianca tampak masih merasa hatinya agak berat ketika mendengar Marshanda menyinggung tentang hubungan kasihnya yang kandas, kini mata Bianca mengerjap. Tampaknya ia sudah tak mau lagi mengingat-ingat kegagalan yang telah lalu.              “He eh. Ngomong-ngomong, kamu sendiri bagaimana? Harusnya sudah move on juga dong? Awas kalau belum! Aku marah! Serius!” celetuk Bianca.              Marshanda langsung tercekat.              Mengamati perubahan air muka mantan teman sekamarnya, Bianca mengerutkan kening.              “Sha! Jangan bilang kamu belum move on! Please deh! Aku nggak rela, kalau itu benar. I mean it! Sha, selama berapa tahun kamu berada di Singapura, kamu sudah menutup pintu hati kamu buat kehadiran seseorang. Kamu membenamkan diri kamu ke urusan pekerjaan sama perkuliahan. Menurutku itu sudah lebih dari cukup, Sha. Jangan bilang sampai detik ini kamu tetap saja memikirkan si mantan calon mertua yang menurutku nggak bijak itu. Apa sih dia itu. Nggak jelas,” kecam Bianca.              Marshanda langsung menelan ludah.             ‘Bi, Bi, andai kamu tahu, aku... belum lama ini aku ketemu lagi sama Tante Grizelle dan lebih dari satu kali dan aku merasa interaksi kami cukup baik, sekarang ini. Aku juga ketemu sama Om Matthias. Bahkan..,’ batin Marshanda, yang sempat tergoda untuk menceritakan pertemuannya dengan Bu Grizelle di kedai kopi Taste It yang berlanjut hinga sekarang.              Sedangkan Bianca, memaknai aksi diamnya Marshanda secara berbeda.             “Dan soal mantanmu itu. Ah, sudahlah, Sha, hapus tuntas deh. Control alt del. Selamanya. Dia nggak layak untuk mendapatkan kamu. Cowok macam apa yang nggak berprinsip begitu? Kalau dia nggak memperjuangkan kamu di depan ibunya yang dahsyat itu, ya sudah nggak usah dikenang lagi. Ngak guna!” ketus Bianca sengit.              Marshanda tercenung mendapati ada emosi berlebih dalam kalimat Bianca. Tentu saja, sebagai teman satu kamar sekian lamanya, Bianca juga mengetahui pedihnya perjalanan cinta Marshanda.              ‘Nggak memperjuangkan? Ya ampun Bi, sungguhan deh, apa yang aku dengar dari Tante Grizelle beda banget dengan anggapanmu ini. Betapa ingin aku meluruskannya,’ kata Marshanda dalam hati.              Namun tak urung, mendengar betapa sewotnya Bianca, Marshanda langsung terbungkam.              Perjalanan cintanya dengan Devanno di masa lalu, seketika berkelebat begitu saja di mata gadis yang tengah moncer dalam karirnya itu, bagaikan sebuah film yang tengah ditayangkan pada sebuah layar lebar. Bak jangkar yang tepat mengait sasaran, segenap rasa yang dulu ada pun terangkat kembali.              -          Kilas Balik –              Sesuai dengan permintaan Devanno yang menyarankan agar dirinya masuk duluan ke dalam rumah selagi Cowok itu memarkirkan kendaraannya di car port serta membereskan barang bawaannya, Marshanda pun melangkah masuk ke dalam rumah sang kekasih melalui pintu samping dan mengucapkan salam. Seorang asisten rumah tangga membalas salamnya dan mempersilakan dirinya agar terus melangkah masuk.             “Terima kasih, Mbak,” ucap Marshanda.             “Santai saja Sha. Kamu musti membiasakan diri lah di rumah ini. Toh nantinya kalau kita menikah dan aku belum menemukan rumah yang cocok buat kita, kan buat sementara waktu kita bakalan tinggal di sini. Pondok Mertua Indah,” gurau Devanno di mobil tadi.              Marshanda tertawa geli menanggapi sang kekasih.             “Kejauhan amat sih, mikirnya Dev. Menikah? Kerjaan kita berdua aja belum semantap itu. Hm..., kamu nggak lupa kan, prioritas kita apa?” sahut Marshanda.              “Tentu saja enggak dong, Sha. Nah, kamu masuk duluan sana. Aku sekalian mau menurunkan barang-barang di bagasi,” balas Devanno pula.              Tanpa banyak komentar lagi, Marshanda terus memasuki ruangan demi ruangan di rumah Devanno. Dia ingin meletakkan kue buatannya, langsung di atas meja makan. Kue yang khusus dibuatnya untuk Bu Grizelle, karena dia tahu dari Devanno bahwa Bu Grizelle sangat menyukai aneka kue kering buatannya. Apa salahnya dia menyenangkan hati ibu dari kekasihnya, bukan?              Namun ketika Marshanda baru akan menuju ruang makan tersebut, telinganya mendengar sebuah perdebatan sengit. Langkah Marshanda seketika surut. Sulit untuk maju, begitu pula untuk kembali ke bagian luar rumah. Gadis itu terpaku di tempatnya, bak patung.              “Sudahlah, Ma. Nggak bosankah Mama meributkan hal ini lagi? Anak-anak itu sudah dewasa. Mereka tahu apa yang baik buat mereka. Jangan menekan Devanno terus menerus. Mama nggak mau Devanno menjadi Juna kedua, kan?” terdengar suara Pak Matthias.              “Devanno nggak akan mungkin melakukan hal itu. Devanno bukan Juna, Mama bisa jamin itu, Pa,” sahut Bu Grizelle berkeras.              Terdengar helaan napas berat.             “Ma, Mama sendiri yang kerap mengajak Devanno ke panti asuhan tersebut pada awalnya. Mama juga yang secara tidak langsung mendekatkan mereka berdua. Tetapi mengapa sekarang Mama berubah sikap? Mama ini benar-benar membuat Papa bingung. Yang Papa tahu, Devanno itu bahagia kok, dengan Marshanda. Marshanda itu gadis yang baik. Bukankah itu yang terpenting buat kita?” kata Pak Matthias pelan.              “Mama nggak akan keberatan kalau mereka hanya berteman. Itu wajar saja. Tapi bukan untuk menjalin hubungan yang semakin serius seperti yang sekarang kita lihat,” tandas Bu Grizelle.              Di tempatnya, berbatas sebuah dinding dengan ruang makan, Marshanda merasakan tubuhnya menegang seketika.              “Astaga, Ma! Mama ini seperti nggak tahu prinsip Devanno saja. Sekali lagi Ma, Devanno itu bukanlah Juna yang bisa lebih menunjukkan sikap di depan Mama. Dan lagi, Devanno itu bukan model Cowok yang suka bergonta-ganti pasangan. Papa tahu sekali prinsipnya Devanno. He dates to marry, Ma. Devanno itu bukan orang yang suka testing the water. Kalau dia sudah menjatuhkan pilihan pada seseorang, dia siap berkomitmen. Devanno itu paling nggak mau menyakiti perasaan orang. Mama ini bagaimana, seperti nggak mengenal anak bungsu kita itu? Bukannya dia itu paling dekat sama Mama?” sahut Pak Matthias disertai gelengan kepala.              Beberapa saat tidak ada percakapan yang terdengar oleh Marshanda.             Tiba-tiba saja Marshanda dilanda perasaan bimbang.              “Justru karena dia itu paling dekat sama Mama, Mama mau dia mendapatkan pendamping yang terbaik. Harus malahan. Dia sangat layak mendapatkannya, Pa. Hati Devanno itu terlalu baik. Mama saja kadang agak menyangsikan, sebetulnya dia itu sungguhan jatuh cinta sama Marshanda, ataukah sekadar kasihan saja?” ujar Bu Grizelle.              Marshanda menggigit bibir mendengarnya.             ‘Jadi selama ini, Devanno hanya iba semata, sama nasibku, sama diriku? Nggak lebih dari itu?’ Naif sekali aku, yang menganggap bahwa dia benar-benar mencintai aku,' batin Marshanda terusik.             Hati Marshanda seperti dicubit rasanya. Pedih.                                                                                                                                                                                                 - Lucy Liestiyo - 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN