“Nam...,Nam!” teriak Dina sambil geleng-geleng kepala.
“Kamu bagaimana sih, perkara ini saja kamu ngak becus!” bentaknya, tanpa jeda.
“Ada apa, mah?” Rendra yang datang dari arah kamar, sembari membenarkan kancing lengan bajunya.
Namira terlihat sedang membereskan, berkas-berkas yang tercecer di lantai. Dia tidak mau banyak bicara, hanya diam tanpa membantah setiap perkataan mertuanya.
“Ah, itu semua salah kamu Rendra. Coba dulu nurut, ngak mungkin mama dapat menantu seperti dia,” ujar Dina, menunjuk Namira.
“Kok jadi bawa-bawa itu, mama sudah Rendra jelaskan. Kalau Rendra Cuma mau menikah sama Namira, kenapa mama masih ungkit hal itu,” ucap Rendra, masih dengan lemah lembut.
Pria itu membantu Namira, membereskan berkas-berkas nya yang berceceran di lantai.
“Setidaknya dia sudah memberikan kami keturunan, kamu itu anak laki-laki Ayah satu-satunya Rendra. Kalau kamu tidak punya keturunan, bisa putus garis keturunan keluarga Wicaksono,” sela Ayahnya, dari ruang tengah memotong keributan di ruang tamu.
“Tuh, dengar kata ayahmu.” Diana meninggalkan mereka, dengan terus mengumpat Namira.
“Dasar menantu gak berguna, kalau mandul seharusnya kamu itu mundur. Jangan malah bersikeras, hanya karena cinta,” cercanya.
Rendra merasa tidak enak dengan Namira, dia mengajak istrinya untuk masuk ke dalam kamar.
“Ayo ikut, biar nanti saya yang kumpulkan sisanya,” ajak Rendra.
Namira mengangguk, mengikuti langkah suaminya. Sedangkan orang tuanya masih terus membahas, pasal momongan dan garis keturunan.
“Maafkan Namira ya mas, karena Namira jadi seperti ini,” ucap Namira, menunduk.
Rendra memeluk istrinya itu erat, dia mengusap rambutnya lembut. Pria itu sangat menyayangi istrinya, namun ada keinginan orang tua yang semakin hari membuatnya tidak kuat harus memenuhinya segera.
“Tenang ya, kamu jangan terlalu ambil pusing. Aku akan selalu ada buat kamu, apa pun yang terjadi,” ujar Rendra, menenangkan istrinya.
Senyuman di wajah Namira mulai terlihat, senyuman yang selalu menenangkan hati Rendra.
Rendra mencintai Namira bukan hanya karena parasnya, namun juga kepribadiannya. Namira sebagai istri sangat penurut, tidak pernah neko-neko seperti wanita di luar sana.
Rendra juga tidak tega, menyakiti hati istrinya. Di Dunia ini hanya dialah yang di miliki Namira, wanita itu tidak memiliki siapa-siapa lagi.
“Mas berangkat kerja, gih. Nanti mama marah lagi, aku ngak mau mas jadi durhaka karena aku,” ujar Namira, mengingatkan.
Rendra tersenyum, hal-hal kecil seperti itulah yang selalu dia sukai. Namira tidak pernah mendendam, padahal perlakuan orang tuanya sangat berlebihan.
“Kamu yang sabar ya sayang, mas berangkat dulu,” pamitnya, tidak lupa mengecup kening istrinya dan mencium punggung tangannya.
Namira kembali membalas, dengan mencium punggung tangan Rendra. Dia mengantarkan pria itu, sampai di depan rumah.
Sampai kendaraan Rendra keluar pagar barulah Namira masuk, seperti biasa dia kembali merapikan rumah.
Walau rumah itu sangat besar, Namira sengaja tidak menggunakan asisten rumah tangga. Semua pekerjaan rumah dia yang kerjakan, hanya saja selalu salah di mata ibu mertuanya.
“Namira! Kamu masak yang enak hari ini, ya. Soalnya mau ada tamu, jangan bikin malu,” pesan Dina.
“Kira-kira tamunya siapa ya, mah? Biar saya bisa perhitungkan, hidangannya apa?” tanya Namira, sopan.
Namira terkejut melihat berkas milik Rendra, tertinggal di atas nakas. Dia segera mengambil berkas itu, lalu mengumpulkan yang masih tercecer di lantai.
“Kalau tidak salah atasan Rendra dari Jakarta mau mampir kemari, kebetulan Tika juga datang dari luar kota. Dia akan tinggal di sini, kamu layani dia dengan baik. Mama ngak mau dengar ada keluhan, sekecil mungkin dari mereka,” ujar Dina, lagaknya bagai majikan dan pembantu.
Nama Tika tidak asing terdengar di telinga Namira. Dia merasa takut, kalau nantinya orang itu akan menjadi benalu dalam rumah tangganya.
‘Jangan-jangan Tika adalah gadis yang di jodohkan dulu, berpikir positif Namira. Sekarang fokus bagaimana caranya, kamu bisa antar berkas ini dan kembali tepat waktu dengan hidangan istimewa,’ batinnya.
“Namira kenapa bengong, buruan di kerjakan. Eh itu seperti berkasnya, Rendra? Aduh Nam kamu itu, memang gak becus ya!” keluh Dina lagi.
Namira menunduk, dengan sopan dia menjawab dan meminta maaf. ”Maaf mah, ini akan saya antar. Saya juga akan segera kembali tepat waktu, seperti yang mama mau,” ijinnya.
Tanpa menunggu Dina menjawab, Namira segera beranjak. Wanita itu langsung memberhentikan ojek online, yang kebetulan melintas di depan rumahnya.
“Mas stop dulu, bisa tolong saya?” tanya Namira.
“Ke mana mbak? Kebetulan saya baru keluar ini, belum dapat orderan,” ujarnya.
Namira terdiam, dia lupa membawa smartphone nya. “Hem..., mas tapi maaf saya lupa bawa smartphone. Boleh tanpa aplikasi, biar mahal ngak masalah yang penting saya di antar lagi balik kesini,” mohon Namira.
Pengemudi ojek online itu diam sejenak, melihat berkas di tangan Namira dia merasa kasihan. Akhirnya dia mengiyakan dan mengantar Namira, hingga di perusahaan tempat Rendra bekerja.
Sebuah perusahaan properti terbesar di kota Surabaya, Rendra memiliki jabatan tinggi di sana. Namira beranjak melangkah masuk, bertanya kepada resepsionis.
“Mbak maaf, ruang tempat pak Rendra di mana ya?” tanyanya sopan.
Resepsionis itu memanggil sekuriti, untuk membantu Namira.
“Maaf bu, boleh saya yang memberikan ke pak Rendra,” ujar salah satu sekuriti.
Namira ingin menyerahkan langsung berkas itu, dia takut ada yang kurang dalam berkas yang dia bawa. Namira tidak ingin sekuriti itu menjadi sasaran, kesalahan yang dia buat.
“Ngak usah pak, biar saya saja,” tolak Namira. Akhirnya Resepsionis menjelaskan ruangan tempat, Rendra berada.
Setelahnya Namira buru-buru menekan tombol lift, bersamaan dengan seorang pria tampan dan tinggi. Saat itu juga dia segera minta maaf, karena menghalangi pria itu menekan tombol lift.
“Maaf ya, saya buru-buru,” ujar Namira.
Pria itu tersenyum melihat kepolosan Namira, senyumnya semakin lebar saat melihat berkas-berkas yang di bawa Namira.
“Mau ke lantai berapa, ya?” tanyanya Sopan.
“Oh ke lantai? Lantai berapa ya tadi, saya lupa,” ujar Namira lagi polos, dia berusaha mengingat.
Pria itu terkekeh kecil, merasa lucu dengan sikap Namira. Akhirnya dia bertanya lagi, memastikan siapa yang ingin Namira datangi.
“Kalau boleh tau, mbaknya mau ketemu siapa?” tanyanya.
“Saya mau antar berkas, ke pak Rendra,” ujar Namira.
Awalnya dia hampir mengatakan ke suaminya, tapi saat melihat pakaian yang ia kenakan. Namira takut itu akan membuat malu Rendra, apalagi jabatan suaminya tersebut adalah Direktur.
Namira harus menjaga wibawanya, walau dia hanya yatim piatu. Setidaknya dia tau bagaimana tata krama yang baik, untuk menjaga kehormatan suaminya.
“Baiklah, itu dilantai lima. Setelah keluar lift mbaknya belok kanan, nanti di sebelah kiri ada ruangan Direktur,” jelasnya.
Namira senang, dia tersenyum merasa terbantu. Pria itu juga menekan tombol angka lima. Tidak lama sampailah pintu lift terbuka. Namira ingin melangkah keluar, tapi dia teringat belum berterima kasih.
“Maaf dengan tuan, siapa ya?” tanya Namira, malu-malu.
“Keenan,” jawabnya, tersenyum.
Namira tidak sempat memperkenalkan diri, dia hanya bisa mengucapkan terimakasih.
“Terimakasih ya, tuan Keenan,” ujarnya, lalu bergegas pergi.
Pintu lift tertutup, Keenan tersenyum mengingat kepolosan Namira.
“Wanita yang lucu, sayang saja aku belum tau namanya,” ujarnya.