"Sabar Pa...sabar. Badai pasti berlalu dan semua bakalan baik-baik saja."
"Maafkan Papa, Harris."
"Papa nggak salah apa-apa," balas Harris. Meski semua ini terjadi karena papanya yang salah langkah dalam investasi dan bisnis, tapi Harris tidak ingin mengungkit apa yang telah terjadi. Baginya, hal terpenting adalah bangkit dari keterpurukan ketimbang terus menerus merenungi kesalahan.
"Papa bodoh. Papa serakah sampai terjebak investasi bodong yang menyesatkan...."
"Sudah Pa...nggak ada guna kita terus menyesali semuanya, yang harus kita lakukan kembali bangkit meski susah payah."
"Karena Papa, kamu harus pergi jauh...."
"Nggak apa-apa Pa, justru aku seneng karena bisa dapat pengalaman baru. Aku yakin, di tempat kerja nanti, aku pasti bisa membuat keadaan lebih baik." Harris menepuk punggung tangan ayahnya, meyakinkan ayahnya bahwa mereka akan bangkit dari keterpurukkan.
Lukito menatap Harris dengan tatapan haru. Sepertinya, baru kemarin dia menimang Harris yang baru saja dilahirkan Meilani, istrinya. Rasanya, baru saja dia menggendong Harris melewati kebun yang ditanami pohon tembakau di lereng Gunung Sumbing, dan mengajak bocah itu memilih tembakau berkualitas baik. Waktu berlalu demikian cepat, kini, Harris telah menjelma menjadi lelaki dewasa yang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan kehidupan keluarga. Lelaki yang melakukan apa pun demi keluarga. Banting stir dari pengusaha tembakau, menjadi pegawai perusahaan di luar pulau, semua dilakoni demi pulihnya ekonomi keluarga.
"Papa bangga sama kamu, Harris. Meski papa nggak bisa lagi mewarisi kamu bisnis yang papa geluti selama bertahun-tahun, tapi kamu bisa mencari jalan untuk tetap bertahan."
"Doakan Harris, Pa. Tanpa doa Papa, aku nggak akan bisa apa-apa."
Lukito mengusap puncak kepala Harris. Putra kecilnya itu kini sudah dewasa dan siap melangkah ke dunia luas tanpa batas. Meski merasa berat, karena awalnya Lukito merencanakan Harris dan Sonya tidak akan pernah jauh dari pelukannya. Awalnya, dia siapkan bisnis untuk diwariskan pada Harris dan sejumlah dana untuk Sonya saat gadis itu lulus kuliah kedokteran gigi, agar bisa membuka praktek tidak jauh dari rumah. Namun sayang, segala persiapan Lukito musnah begitu saja di tangan afiliator robot trading dan investasi bodong.
"Papa selalu doain kamu, Harris. Semoga, semua lelahmu menjadi kekuatan baru untuk keluarga kita."
"Terima kasih, Pa."
"Apa kamu sudah berpamitan dengan Tiara?" tanya Lukito tiba-tiba.
"Ah, Tiara...." Hati Harris kembali terasa perih saat mengingat Tiara. Lukito memang belum tahu tentang hubungan Harris dan Tiara yang kandas.
"Ada apa Ris?" Lukito menatap Harris, dia merasa ada sesuatu yang tidak beres.
"Nggak apa-apa sih, Pa. Cuma aku dan Tiara udah putus."
"Putus?!" Lukito agak kaget, karena, meski dia tidak terlalu mengulik soal hubungan Tiara dan Harris, tapi setahunya, Tiara dan Harris sudah berpacaran lama dan Lukito merasa Tiara yang akan menjadi menantunya.
"Iya, Pa." Harris mencoba memasang wajah baik-baik saja, padahal hatinya terasa remuk lagi tiap kali mengingat Tiara yang sudah menjadi istri orang.
"Kenapa?"
"Ya...nggak cocok aja." Harris menjawab singkat, dia tidak ingin mengatakan bahwa perpisahan ini terjadi akibat kebangkrutan keluarga yang disebabkan oleh papanya.
"Ah, sayang banget. Papa lihat, Tiara anaknya baik...."
"Iya, dia baik tapi ya...begitulah Pa. Mungkin udah takdir, aku sama Tiara nggak jodoh."
"Sabar Harris, nanti pasti kamu bakalan dapat jodoh yang baik."
"Iya, Pa, makasih." Harris mencoba menyunggingkan senyum, sembari mengaminkan doa papanya dalam hati, agar mendapatkan jodoh yang baik, meski sekarang, soal jodoh bukanlah prioritas utamanya karena prioritasnya sekarang adalah bekerja mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dan menyelesaikan hutang yang melilit keluarganya.
***
Lambaian tangan Sonya dan Lukito yang duduk di kursi roda menjadi tanda perpisahan bagi Harris dan keluarganya. Di pintu keberangkatan Bandara Yogyakarta International Airport, Harris melambaikan tangan sekali lagi, sebelum dia check in dan boarding menuju sebuah pulau yang jauh, Kalimantan Selatan. Meski terasa berat, tapi Harris meneguhkan hatinya untuk melangkah.
Sepanjang perjalanan membelah angkasa, Harris mengenang kembali setiap perjalanan cintanya bersama Tiara. Sampai detik ini, rasa cinta masih dia simpan rapat dalam hatinya, mungkin, tidak akan mudah baginya menemukan pengganti Tiara. Ada rasa sesal yang selalu ditepisnya, berulangkali dia meyakinkan diri bahwa semuanya adalah suratan takdir, dan jodohnya bersama Tiara harus selesai sampai di sini. Dia berpikir, ketimbang menyesali sesuatu yang telah berakhir, akan lebih baik jika dia mensyukuri kebersamaan yang pernah dijalani, setidaknya, dia dan Tiara pernah bersama, meski akhirnya terpisah jua.
Waktu empat puluh lima menit di angkasa tidak terasa karena Harris sibuk menyusuri kembali kenangannya bersama Tiara yang harus ditinggalkannya. Terdengar pengumuman bahwa pesawat tidak akan lama lagi mendarat di Bandar Udara Syamsudin Noor. Harris menatap dari jendela pesawat, titik-titik kecil rumah, perlahan mulai tampak jelas, juga lahan-lahan gambut yang semula seperti kotak-kotak potongan kue, sekarang mulai terlihat lebih jelas.
Pesawat mulai terbang semakin rendah dan pada akhirnya, roda-rodanya menyentuh landasan beraspal, mesin pesawat terdengar menderu keras dan Harris menghembuskan napas, dia sudah berada beratus kilo jauhnya dari Yogyakarta, tanah kelahirannya, tempatnya selama ini berada, jauh dari orangtua dan adiknya, juga dari cinta yang telah usai. Matahari terlihat bersinar lebih terik di tanah ini dibandingkan di Yogyakarta, dan Harris tidak tahu, sampai kapan dia akan berada di sini, merantau, demi melupakan kisah cinta pahit dan kehidupan yang lebih baik.
***
"Hai!" Jenar melambai saat melihat Harris melewati pintu kedatangan.
"Jenar!" Harris membalas sapaan Jenar, sahabatnya, berjalan lebih cepat untuk menyambangi Jenar lalu menyalami lelaki itu.
"Gimana perjalanan, Bro?" tanya Jenar.
"Puji Tuhan, lancar...."
"Syukurlah. Welcome to South Borneo."
"Makasih, Bro kalau bukan karena bantuanmu, aku nggak tahu harus gimana lagi keluar dari masalah ini."
"Udah nggak usah dipikirin. Udah sepantasnya kita saling bantu, pas kuliah, kamu juga banyak bantu aku, dari bayarin duit kuliah, bahkan bayarin makan nggak itungan. Lagian, bantuanku ini nggak seberapa, kamu juga lolos ujian masuk perusahaan, aku cuma ngasih tahu ada lowongan kerja dan sedikit ngasih rekomendasi."
"Ah, tetep aja Je, kalau bukan karena kamu, aku bingung harus gimana. Cari kerjaan sekarang susah, mau bisnis, udah nggak ada modal. Aku bener-bener berterima kasih dan nggak bakalan ngelupain kebaikan kamu."
"Ah, kebaikan apa? Jangan berlebihan ah! Aku cuma ngasih tahu lowongan kerja aja kok. Pokoknya, semoga kamu betah kerja di sini, dan semoga, apa pun masalah kamu bisa selesai."
"Amiiin." Harris mengamini apa yang Jenar ucapkan. Ya...dia datang jauh-jauh ke pulau ini membawa banyak harapan untuk kehidupan yang lebih baik dan juga hati yang pulih setelah kandas hubungannya dengan Tiara.
***
Tapin, adalah sebuah kabupaten yang berjarak sekitar tiga jam perjalanan dari Banjarmasin, ibu kota Kalimantan Selatan. Di kabupaten itulah terdapat perusahaan tambang batu bara tempat Harris bekerja. Latar belakang pendidikan Harris yang mengambil jurusan Ekonomi Bisnis membuatnya ditempatkan di Divisi Marketing, sementara Jenar, yang lulusan Teknik Geologi, berada di Divisi Explorasi.
Hari demi hari, Harris lewati dengan menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja saat ini, karena semenjak lulus kuliah, dia belum pernah bekerja sebagai karyawan. Lukito memintanya mengurusi bisnis tembakau keluarga mereka hingga musibah itu datang dan membuat usaha mereka gulung tikar.
"Gimana Ris, kamu betah?" tanya Jenar suatu malam saat Harris tengah memakan porsi makan malam yang disiapkan oleh katering perusahaan.
"Yah...lumayan," balas Harris. Kalau mau jujur, keadaan sekarang tidak semudah dahulu. Bagaimana pun, jika dibandingkan bekerja di perusahaan orang atau punya bisnis sendiri, tentu lebih enak punya bisnis sendiri. Jam kerja bisa menentukan sendiri, semua aset milik sendiri, dan tidak ada aturan-aturan yang harus ditaati, tapi, Harris sadar, saat ini bukan saatnya untuk mengeluh atau menangisi nasib.
"Syukurlah kalau begitu. Ya beginilah keadaannya perusahaan ini, meski bisa dibilang berada di tempat terpencil dan mungkin tidak bergengsi tapi lumayanlah, Ris, asal kita niat bekerja, seengaknya bisa memberi nafkah buat menyambung hidup."
"Iya Je, kamu benar. Segala sesuatu sudah selayaknya disyukuri, apa pun itu."
"Oh ya...lusa anakku ulang tahun, kamu datang ya?"
"Wah siapa yang ulang tahun? Edna atau Araz?" Harris menyebutkan nama anak-anak Jenar.
"Edna sama Araz, digabung jadi satu, ulang tahun mereka cuma beda satu bulan, jadi digabung saja lah, biar irit," ucap Jenar sambil tertawa.
"Berarti harus bawa kado dua dong!"
"Soal kado gampang lah itu, nggak ada kado pun tak apa, yang penting kehadirannya. Nggak ada kesan tanpa kehadiranmu, Bro!"
"Ah masa?! Nggak mungkin Edna sama Araz nyariin aku!"
"Ya kalau pun mereka nggak nyariin, tapi bapaknya nyariin! Makanya dateng ya?!"
Harris tertawa kecil. "Okelah, nanti aku datang. Jam berapa acaranya?"
"Jam lima sore, hari minggu, biar pas libur."
"Oke, nanti aku datang." Harris menjawab mantap. Permintaan Jenar— sahabat yang telah membantunya, untuk datang di hari ulang tahun anak-anaknya, bukanlah permintaan berat yang sulit dikabulkan oleh Harris.