Harris mengusak wajahnya, setengah putus asa. Baru saja, ada tamu yang datang menagih hutang ayahnya. Karena tergiur investasi yang ternyata bodong, selain mengerahkan semua harta milik pribadi, Lukito—ayah Harris, juga menghimpun dana dari beberapa kerabat dan teman.
Pada awalnya, investasi berjalan lancar, hingga Lukito percaya bahwa ini bukanlah investasi tipuan dan semakin banyak menyetorkan uang hingga milyaran rupiah, sebelum akhirnya penyelenggara investasi menghilang bersama uang yang didapat susah payah dari bisnis tembakau yang Lukito bangun sejak usia dua puluhan.
Kebangkrutan mendadak ini membuat Lukito terguncang, kesehatannya menurun, ditambah, istrinya meninggal akibat shock. Kondisi Lukito sekarang sangat memprihatinkan, tatapannya kosong dan sulit diajak berkomunikasi. Sebagai anak sulung, Harris mengambil alih semua tanggung jawab Lukito, termasuk urusan hutang piutang yang ada dan bagaimana keluarga mereka harus bertahan dalam gempuran ekonomi yang hancur berantakan.
Harris berjalan ke kamar orangtuanya, dilihat ayahnya tengah tertidur, perlahan dia menghampiri almari dan mengambil sebuah dokumen dalam brankas, dia menatap dokumen itu cukup lama, lalu menghela napas, membawa dokumen itu keluar dari kamar ayahnya.
"Kak! Kak Harris!" Saat Harris hendak masuk kamar, Sonya, adiknya tergopoh memanggilnya. "Kak Harris! Sini deh, aku mau ngomong!" kata Sonya dengan nada suara terburu-buru.
"Kenapa sih Nya?" Harris menghentikan langkah, menatap Sonya yang mendekatinya.
"Kakak udah tahu belum, soal Tiara...."
"Tiara?" Hati Harris bergemuruh, meski sedikit banyak dia bisa menebak berita macam apa yang dibawa Sonya.
"Iya. Tiara, katanya mau nikah, kok bisa sih Kak?!"
"Oh...ya...." Harris menanggapi datar, perasaannya dingin dan hatinya terasa kembali berkeping. Meski sibuk memikirkan ekonomi keluarga, nyatanya, patah hati yang dirasakan tidak bisa dilupakan begitu saja.
"Oh ya? Gitu doang? Kok bisa Tiara nikah sama orang lain padahal kalian pacaran?"
"Aku sama Tiara udah putus, nggak ada hubungan apa-apa lagi."
"Putus? Secepat ini? Nggak mungkin! Pasti ada yang salah! Kenapa Kak? Tiara selingkuh?"
"Sonya! Tiara bukan gadis seperti itu, selama ini, dia selalu setia."
"Terus kenapa bisa dia tiba-tiba nikah sama lelaki lain?"
"Aku yang ninggalin dia." Harris berkata pelan. "Aku nggak bisa membiarkan dia menderita bersama aku. Keluarga kita sedang runtuh, dan nggak tahu kapan keadaan bisa membaik. Tiara berhak mendapatkan seseorang yang bisa memberikan dia kenyamanan dan juga kebahagiaan yang saat ini aku tidak mampu berikan."
"Orangtua Tiara meminta Tiara segera menikah karena Tiana adiknya akan menikah. Kamu tahu kan, ada beberapa orang yang masih memegang teguh budaya, bahwa seorang kakak nggak boleh dilangkahi oleh adiknya, kalau itu terjadi, si kakak bakalan sial."
"Dan kalian merelakan delapan tahun kebersamaan kalian?"
Harris menghela napas. "Mungkin, jodoh Tiara dan aku memang hanya sampai di sini. Aku dan dia selama ini sibuk berencana, lupa bahwa takdir sudah terencana."
"Kak, apa Kakak nggak berjuang? Kalian sudah bersama selama ini, dan sekarang menyerah begitu saja?"
"Aku nggak bisa berjuang untuk dua hal di waktu yang bersamaan. Keluarga kita, sedang berada di ujung tanduk, aku harus berjuang menyelamatkan keluarga kita, terlebih setelah mama tiada. Aku juga harus berjuang, agar papa mendapatkan perawatan yang baik, juga agar kamu, bisa terus kuliah. Ini semua lebih penting dari sebuah cinta, toh, Tiara mendapatkan suami yang lebih segalanya dibandingkan aku. Kalau dia memaksakan diri menikah sama aku, hidupnya bakalan menderita, atau mungkin nggak ada kepastian, karena aku nggak tahu kapan bisa menikahinya."
"Kamu nggak menyesal, Kak?"
"Penyesalan pasti ada, tapi aku nggak punya waktu buat itu semua. Tadi, para penagih hutang sudah kembali datang, dan semester ini sudah hampir berakhir, itu artinya, kamu harus bayar semesteran dan SKS kan? Hal terpenting sekarang, bagaimana caranya membayar semua tagihan itu."
Sonya menatap Harris, merasa kasihan pada kakaknya yang terlihat lelah dan menyerah pada nasib, merelakan cinta dan harapannya patah. Sonya tahu, Harris tidak pernah mencintai perempuan seperti dia mencintai Tiara, tapi apa daya, setelah delapan tahun bersama, saat seharusnya mereka melangkah ke pelaminan, badai justru melanda memporak porandakan semua rencana.
"Kamu nggak sendiri, Kak. Kita bakalan sama-sama menghadapi semua." Sonya memeluk Harris, mencoba menyalurkan energi bagi kakaknya yang terlihat kelelahan karena tekanan hidup.
Saat Sonya memeluk Harris, matanya tertumbuk pada dokumen yang berada di tangan lelaki itu, dia meregangkan pelukannya. "Itu apa Kak?" tanya Sonya, sedikit curiga.
"Sertifikat rumah."
"Sertifikat rumah? Untuk apa?"
"Harta kita sudah habis tidak bersisa. Hutang papa masih ada satu milyar lebih, biaya kuliah kamu masih harus dibayar paling tidak empat semester lagi, hanya tinggal satu aset kita...."
"Kamu mau jual rumah ini?"
"Tidak ada jalan lain, sementara kita gadai rumah ini, sambil aku cari kerja untuk membayar cicilannya."
"Kalau nggak bisa bayar, rumah ini bakalan disita, papa pasti nggak setuju. Rumah ini, kenangan papa sama mama, juga masa kecil kita."
"Aku tahu Sonya, tapi kita nggak punya pilihan lain. Aku janji, aku bakalan kerja sekeras apa pun, agar rumah ini nggak disita."
"...."
"Sonya, percaya, aku pasti bisa membayar semua hutang nanti. Rumah ini hanya digadai sementara. Kamu harus cepat lulus kuliah, setelah itu pelan-pelan kita selesaikan semua hutang. Aku yakin, kita akan baik-baik saja."
"Papa tidak akan setuju."
"Kalau begitu jangan sampai papa tahu."
"Kamu menyembunyikan rencana ini dari papa?"
Harris menghela napas. "Hanya ini jalan satu-satunya, nggak mungkin aku bicara soal ini pada papa, karena beliau pasti menolak."
"Rumah ini terlalu berharga, Kak!"
"Aku tahu Sonya! Aku tahu! Tapi apa yang bisa kita lakukan? Setiap hari para penagih hutang datang, menagih, mencaci, mengancam dan bukan tidak mungkin mereka juga akan melakukan segala cara merampas rumah ini. Rumah ini nggak akan hilang, aku janji! Hanya digadaikan sementara waktu."
"Lalu, dengan apa kamu mau membayar Kak? Pekerjaan belum ada. Apa sebaiknya aku berhenti kuliah sementara?"
"Kamu harus tetap kuliah. Yang perlu kamu lakukan hanyalah belajar baik, cepat lulus dan bekerja. Soal pekerjaan, Jenar menawariku pekerjaan di pertambangan batu bara. Aku sudah mengikuti tesnya dan lolos. Besok aku medical check up untuk proses lebih lanjut. Doakan semuanya lancar, aku akan berangkat ke Kalimantan, mencari rejeki di sana."
"Kalimantan? Jauh banget! Terus gimana aku sama papa di sini?"
"Kalian akan baik-baik saja. Perpisahan ini cuma sementara." Harris menghibur Sonya yang matanya nampak berkaca-kaca. Sejak kecil, Sonya dan Harris belum pernah terpisah, sehingga keputusan Harris untuk bekerja di Kalimantan cukup membuat Sonya sedih dan khawatir. Bagaimana pun, jarak Jogja dan Kalimantan cukup jauh, Sonya berpikir apakah kakaknya akan baik-baik saja? Dan apakah dirinya bisa berdua saja dengan ayahnya yang sakit-sakitan?
"Aku takut, Kak...."
"Kita berjuang ya...nggak lama kok, nanti kita sama-sama lagi setelah semuanya membaik." Harris memeluk adiknya erat.
Sonya yang selama ini adalah anak manja, dengan kemewahan melekati dirinya sejak lahir tidak bisa membayangkan kehidupannya menjadi jungkir balik seperti ini. Semenjak usaha ayahnya bangkrut, satu per satu asisten rumah tangga diberhentikan, sehingga Sonya yang semula tidak pernah memegang pekerjaan rumah, harus mulai mengerjakan semuanya sendiri, terutama setelah ibunya wafat. Fasilitas yang dimilikinya dihapus, kartu kredit, mobil, kini tidak dimilikinya, hanya tinggal motor matic untuk transport pergi ke kampus. Awalnya, Sonya malu, karena terbiasa hidup mewah, lalu sekarang harus hidup penuh dengan penghematan, tapi tidak ada yang bisa dilakukannya, selain menghadapi kenyataan bahwa keluarganya bangkrut dan dia tidak bisa lagi bermanja-manja. Keadaan itu semakin terasa berat dengan rencana kepergian Harris, kakak lelaki yang selama ini menjadi tempatnya mengadu dan berkeluh kesah.