Part 2

995 Kata
Setelah berbincang-bincang selama satu jam, baik Clarissa maupun Darel sebenarnya telah menyelesaikan kesalahpahaman bulan lalu. Clarissa telah menyampaikan rasa kecewanya saat mengira Darel meninggalkannya dan Darel telah memberi tahu alasan kenapa dia tak ada di sisi Clarissa saat wanita itu bangun. Hanya saja, hati yang terluka dan pikiran penuh kecurigaan mereka tidak membuat kedua insan itu tak dapat memercayai kejujuran yang telah terpampang di depan mata. Mereka tersenyum, berkata kalau mereka percaya dan ingin mencoba memulai kembali cinta yang telah kandas. Dalam hati, keduanya mendengus, tidak percaya sedikit pun penjelasan tersebut. Beberapa gelas alkohol telah mereka habiskan selama mengobrol. Kebanyakan Clarissa yang memancing Darel untuk minum agar bisa mendapatkan rekaman kebodohan Darel saat mabuk. Dan itu pula yang direncanakan oleh Darel hingga membuat obrolan ringan itu jadi seperti ajang persaingan siapa yang lebih tahan dengan alkohol. Clarissa berpura-pura sedikit tumbang. Dia menjatuhkan kepalanya di atas meja tinggi yang mereka tempat. Tangannya dijadikan pengganti bantal dan matanya terus menatap tak mau lepas dari wajah Darel. “Apa kabar Dinda?” Ia memulai dengan mengungkit seorang cewek yang dekat dengan Darel dulu. Orang yang berada dibalik alasan putusnya mereka. Seorang yang pernah menjadi teman dekat Clarissa, tapi berakhir pergi kuliah ke luar negeri bersama dengan Darel secara tak terduga. Darel pikir Clarissa dan Dinda masih berteman, hanya jadi jarang berkomunikasi. Jadi dia berniat memanfaatkan hubungan masa lalu itu untuk mendekati Clarissa. “Baik kok. Jadi sekretaris aku sekarang.” Mungkin dengan mempertemukan mereka, lalu ajak berlibur bersama apa sejenisnya. Dengan memberi tahu pada Clarissa betapa dekatnya mereka sekarang, rasanya akan lebih mudah membuka obrolan. Sayang sekali, Darel tak pernah tahu kalau setelah lulus SMA, pertemanan mereka telah putus. Dengan memberitahukan kedekatannya dengan Dinda, sama saja memberitahukan pada Clarissa betapa menyenangkannya masa kuliah mereka setelah meninggalkannya terluka sendirian. “Apa kamu tidur dengannya?” Clarissa tak bermaksud mempertanyakan hal ini. Seharusnya dia berpura-pura senang dan segera menggunakannya untuk merencanakan pertemuan berikutnya. Akan tetapi hatinya berkhianat, menekan rasa penasaran hingga mengeluarkan pertanyaan yang akan merusak suasana di antara mereka. “Tidak,” jawab Darel, berbohong. Dia tak mau Clarissa tahu kalau Dinda adalah pacar berikutnya tepat setelah mereka putus. Lebih baik kenangan itu tetap jadi rahasia, karena saat ini hubungannya dengan Dinda hanya seputar urusan pekerjaan saja. “Kau berbohong padaku.” Clarissa bergumam kecil. Dia terlalu hafal kebiasaan kecil Darel untuk bisa ditipu lagi. Dua tahun dia berpacaran dengan membawa segala hatinya, sampai begitu setia memerhatikan setiap kebiasaan kecil Darel sekalipun. Clarissa tak bisa lupa, bagaimana sempurnanya ekspresi wajah Darel saat berbohong. Sampai-sampai Darel sendiri tak pernah sadar kalau dia selalu menyentuh telinganya saat mengucapkan sebuah kebohongan. “Kau bilang apa?” Suara gumaman Clarissa terlalu pelan. Ditambah dengan kerasnya suara musik yang berdendang membuat Darel tak mendengar kalimat terakhir Clarissa. Dia menunduk, mendekatkan telinganya di bibir Clarissa. Clarissa mencengkeram leher Darel secara tiba-tiba, menggigit daun telinga cowok itu hingga membuatnya kaget, segera mundur dan menatap Clarissa penuh tanya. Gigitan itu adalah petunjuk dari Clarissa, pengganti ungkapan ‘aku tahu kau berbohong tiap kali menyentuh tempat ini’ pada Darel. “Kenapa kamu menggigitku?” Clarissa tak menjawab, dia hanya menatap Darel penuh arti. Segera bangun, berdiri dengan tegap seakan bukan wanita sama yang terlihat setengah sadar beberapa detik yang lalu. Kemudian Clarissa menunduk, menyejajarkan pandangan mata mereka. Dia tersenyum, menyelipkan rambutnya yang berjatuhan ke telinga. “Entahlah, coba pikirkan sendiri. Kalau kau tahu jawaban, kau akan paham alasan kenapa aku marah saat ini.” Kalimat membingungkan itu tentu saja tak dipahami oleh Darel, makanya dia tak bisa membalas bahkan hingga Clarissa telah pergi meninggalkannya. “Ahaha ... ditolak, Rel? Tumben. Biasanya kalau ajak cewek ngobrol di acara begini pasti ujung-ujungnya dibawa pulang ke hotel.” Sebagai ganti kepergian Clarissa, seorang teman yang dari tadi duduk di dekat mereka datang. Tujuannya hanya untuk meledek Darel. Mumpung dapat kesempatan memergoki kegagalan seorang Darel menaklukkan wanita. “Siapa yang bilang ditolak. Enak aja,” balas Darel sinis. Dia tidak ditolak. Clarissa hanya sok jual mahal. Mustahil pesonanya mental pada cewek yang telah memberikan semua pengalaman pertama padanya. “Lah, itu ditinggal pergi.” Si teman bernama Bobby itu menunjuk ke arah pintu keluar, di mana punggung Clarissa masih kelihatan. “Hanya malam ini. Lain kali dia yang bakal rengek-rengek minta dibawa pulang.” Melihat punggung Clarissa saja sudah membuat emosi Darel meninggi. Dia sebenarnya juga merasa ditolak, tapi harga dirinya membuatnya menyangkal hal tersebut. “Lagaknya, buktikan dong.” Bobby malah memancing. “Boleh. Siapa takut. Ambil mobilku kalau nggak bisa membuatnya jadi pacar.” Tentu saja si sombong Darel terpancing dengan mudah. Dia malah membuat taruhan, tak pernah jera mengulang kesalahan sama yang telah menghancurkan hubungannya dengan Clarissa dulu. “Serius ya, awas nanti pura-pura lupa pakai alasan mabuk. Ulangi, Rel. Biar kurekam.” “Serius, tapi kalau aku berhasil mobilmu kuambil.” “Silakan.” “Aku ikut, kalian mau taruhkan soal Clarissa, kan?” Baru saja Bobby mengeluarkan HP, si penyelenggara pesta datang menghampiri. Merasa tertarik mendengar taruhan mereka. Dia adalah Aran, rekan sekaligus saingan Clarissa di tempat kerja. Rasa kesalnya pada Clarissa begitu menumpuk saking terlalu sering diejek. Jadilah dia seperti ini. Bertingkah sok jadi teman, tapi di belakang terus berharap suatu saat Clarissa bakal jatuh. Kemunculan Darel adalah peluang baginya untuk melihat si wanita angkuh hancur, terluka karena dipermainkan laki-laki yang selalu dia pandang rendah. “Apaan, jangan ikut-ikutan.” Bobby jadi sewot. Sedangkan Darel menyeringai. Dia tahu hubungan Aran dan Clarissa di tempat kerja berkat hasil penyelidikan profesional, tapi seberapa buruk atau isi pikiran Aran tentang Clarissa sama sekali tak dia ketahui. “Santai, Bobby. Yang namanya taruhan makin ramai makin seru. Biarkan Aran ikut.” Darel mulai berlagak, menambah masalahnya sendiri tanpa ia sadari. “Kalau kau oke sih boleh aja, tapi nggak seru kalau ada yang taruhannya sama.” Kalau Bobby hanya butuh hiburan. Dia bisa berkompromi selama semuanya berakhir menyenangkan. “Bisa diatur, pokoknya buat rekamannya dulu. Nanti dikirimkan ya, buat bukti,” ujar Aran. “Okay, come on guys!” Bobby langsung capcus, jalan duluan diikuti oleh Darel dan Aran. Mereka pindah ke ruang privat agar suaranya bisa terekam dengan jelas tanpa latar musik yang terlalu berisik. Tak ada seorang pun yang tahu akan isi taruhan mereka. Hanya sebuah video yang menjadi bukti saat batas waktu permainan berakhir. Dan mungkin saja, akan menjadi senjata makan tuan yang tak diharapkan.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN