Aran dan Clarissa memutuskan untuk pergi ke bar di sebuah hotel, menyewa ruang pribadi untuk menghindari masalah jika kalau mereka tidak sengaja bertemu dengan rekan kerja atau klien.
Baru kali ini kedua orang itu bisa satu ruangan tanpa saling menjatuhkan. Kedekatan mereka saat mengobrol bagai sebuah mimpi. Clarissa si muka dingin tertawa lepas di depannya, minum bersama sambil membicarakan hal menyenangkan.
Kalau saja Aran tahu mereka bisa sampai pada tahap ini, dia tak akan terus berbuat jahat pada Clarissa. Harapan mulai tumbuh dalam hati Aran, keinginan untuk mengubah hubungan penuh rasa benci dan persaingan itu hadir dalam benaknya.
Perlahan Aran menggeser tubuhnya, duduk berdempetan dengan Clarissa mencoba mencari perhatian. “Kamu cantik sekali kalau lagi begini.” Pujian pun ia lontarkan, seakan segala caciannya selama ini bisa terlupakan hanya dengan sedikit ucapan manis.
Clarissa tersenyum semanis racun. Dia mendekatkan wajahnya pada Aran, membelai rahang pria itu dengan sentuhan lembut. Aran menelan ludahnya, jantungnya berdebar-debar tak karuan.
“Sungguhan? Bukannya kau benci padaku?” Cara bibirnya bergerak begitu menggoda, layaknya ratu lebah yang senang bermain-main dengan penjantan.
Merahnya polesan lipstik Clarissa menonjolkan kesan seksi. Indahnya kelopak mata penuh ambisi yang selalu membuat Aran kesal, nyatanya merupakan bagian dari wanita ini yang paling dia sukai.
“Siapa yang bilang. Aku selalu menyukaimu.”
“Lebih dari keinginanmu untuk menghancurkan karierku?”
“Itu ... nggak benar. Aku hanya mencoba menarik perhatianmu.”
Benarkah demikian? Baik Aran dan Clarissa meragukan kata-kata tersebut. Banyaknya kenangan buruk ketika mereka bersama tak bisa terhapus semudah membalikkan telapak tangan, tapi dalam permainan ... membiarkan diri terlarut sejenak bukanlah masalah besar.
“Boleh kuanggap kata-katamu berarti kau menginginkanku?”
Clarissa mendorong Aran hingga terlentang di atas sofa. Dia naik ke atas tubuh laki-laki itu. Sengaja menekan dadanya pada Aran untuk membuyar konsentrasi. Dia yang tahu pasti, bila laki-laki b***t akan mudah ditaklukkan dengan tubuh yang terlihat indah dari luar, tetapi begitu kotor di dalam hingga dirinya sendiri membencinya.
“Ya ... memang itu maksudku. Sudah kukatakan, aku menyukaimu.” Aran mulai berani. Dia menarik pinggang Clarissa, menjatuhkan tubuh molek itu ke dalam dekapannya.
Clarissa menyeringai licik di belakang Aran. Dia sudah mendapat pria ini. Saatnya menggunakannya untuk membalas perbuatan Darel. Tidak adil kalau hanya dia yang dikhianati oleh sahabatnya. Clarissa ingin Darel juga merasakan hal yang sama.
Ketika Aran mencoba menciumnya, Clarissa menutup mulut Darel dengan telapak tangan. Dia memasang ekspresi wajah yang terlihat sedih. Dengan kata lain, tampang kesukaan laki-laki sok hebat seperti Aran. Senjata yang disebut dengan sisi lemah wanita yang senang bergantung kepada pria.
“Bagaimana dengan Darel? Kalau aku menerimamu, aku takut dia melukaiku dan kamu tak akan menolongku. Pada akhirnya kau akan membela temanmu.” Bagaimana? Bisakah Aran membuang Darel demi dia? Clarissa tak sabar menunggu reaksinya.
“Aku akan menolongmu! Aku akan selalu berpihak padamu!” Inilah yang Clarissa harapkan. Keberhasilan tipuannya.
“Biarpun harus mengusiknya? Darel punya segalanya. Dia mungkin akan menghancurkan kariermu.” Bumbu terakhir adalah menunjukkan seakan dia peduli. Memberikan sebuah pelukan erat yang menunjukkan etiket ingin bersama.
“Tak apa, aku punya kelemahannya.” Begitu Aran membalas pelukannya, Clarissa tahu dia telah berhasil menjatuhkan pria ini sepenuhnya.
“Bisakah kamu memberitahukannya padaku?” Bertanya pada laki-laki dengan suara mendesah manja sembari melepaskan pakaiannya adalah cara paling jitu yang Clarissa kuasai. Dengan cari itulah, dia mendapatkan semua yang dia inginkan.
Untuk melengkapi triknya, Clarissa akan membiarkan Aran memilikinya satu malam. Ia memejamkan matanya saat Aran mengubah posisi, memindahkan dirinya ke atas pangkuan lelaki itu.
Tangan Aran mulai berani, meraba dengan intens kaki jenjang Clarissa. Roknya dinaikkan, memamerkan paha yang begitu seksi. Di saat yang sama ia mencumbui leher sang pujaan hati, meninggalkan jejak basah di sana.
Di saat itulah, HP Clarissa yang berada di atas meja berbunyi. Pesan dari Giorby muncul di depan layar terkunci. Isinya membuat mata Clarissa melotot. Secara refleks mendorong Aran dan segera mengambil HP itu dengan kasar.
Aran berdecak kesal, mengintip isinya dan membacakan keras-keras. “Aku akan menikah dengan Dinda. Kamu di mana? Akan kuantarkan undangannya padamu.” Dia tertawa puas setelah membaca, tahu dari siapa pesan itu setelah melihat foto profil yang tersedia.
“Hahaha ... gandenganmu direbut sekretaris Darel.” Tatapan sinis Clarissa membuat Aran bungkam seketika. Dia tahu betapa marahnya cewek itu.
“Ke sini, sekarang!” Balasan Clarissa juga galak sekali, melampirkan map lokasinya saat ini. Dia bahkan tak peduli akan kehadiran Aran. Kekesalan Clarissa pada ketololan Giorby sudah tak bisa ditawar.
“Ngapain marah? Dia bukan pacarmu, kan? Kau bisa membohongi Darel, tapi aku tidak bisa kaubohongi.” Ternyata Aran tak terlalu bodoh. Clarissa harus ingat untuk berhati-hati padanya lain kali.
“Bukan, tapi aku peduli kepadanya. Aku tak mau dia menikah dengan perempuan jalang. Kau tak senang?” Aran ingin bilang, bukannya kau juga sama? Tapi tak usah saja, nanti dia ditolak.
“Aku nggak peduli kok.” Hari ini biarkan begini saja, masih ada lain kali. Toh mereka sudah berpacaran. Iya, kan?
Aran yakin dia tak salah tanggap, tapi kenyataannya Clarissa bahkan tak akan mempertimbangkan pria itu sebagai pacar. Saat sudah tak ada gunanya lagi, akan dia tinggalkan. Segala luka yang ia rasakan selama ini sudah cukup membuatnya kapok untuk percaya pada ucapan cinta seorang laki-laki. Terutama yang tak pernah memperlakukannya dengan baik.
Suasana di sana menjadi tegang saat Giorby datang membawakan undangannya. Tanggalnya sudah begitu dekat hingga Clarissa tak sanggup berkomentar soal bagaimana cara mereka bisa rujuk.
“Aku terkejut orang tuamu setuju.” Clarissa menggelengkan kepalanya. Orang tua Giorby adalah pasangan yang berkepribadian keras, tapi berhati lembut. Mereka sangat peduli akan latar belakang seseorang, sampai sangat berhati-hati memilihkan pasangan hidup saudara-saudara perempuan Giorby.
Rasanya masih sulit dipercaya. Putra satu-satunya malah dibiarkan menikah dengan perempuan dengan latar belakang biasa saja. Belum begitu lama dikenal dan memiliki penampilan yang bisa dibilang terlalu mengundang nafsu.
“Dinda hamil, jadi mereka tak akan melarang.” Wow! Pintar sekali perempuan licik itu. Mungkin dia sudah mengecek informasi pribadi keluarga Giorby hingga tahu aib dan skandal adalah kelemahan mereka.
“Dan kaupercaya begitu saja saja dia bilang itu anakmu? Sekretaris Darel itu jalang banget tahu nggak? Biasa goda cowok kaya tuh.” Yang berbicara bukan Clarissa, tapi Aran. Kebetulan Dinda pernah jadi simpanan salah satu kliennya.
“Tutup mulutmu! Jangan asal fitnah!” Giorby begitu marah. Dia mencengkeram baju Aran, berniat memukulnya. Akan tetapi, Clarissa menahan tangan Giorby. Selain tahu Aran akan membawa perkelahian itu ke jalur hukum, dia juga sependapat dengan mulut busuk itu.
“Fitnah? Aku lebih percaya kata-kata Aran daripada Dinda.” Giorby mengeram. Clarissa yang dia kira selalu berada di pihaknya berkata begitu buruk pada wanita yang dia cintai. Bahkan membela laki-laki yang Giorby kenal sebagai musuh sahabatnya itu.
“Aku tak mengenalmu lagi, Clarissa. Sudahlah, kau tak usah datang saja.” Pada akhirnya, undangan itu diambil lagi. Giorby pergi begitu saja seakan memutuskan pertemanan mereka hanya demi orang yang melukai mereka selama ini.
Clarissa terlalu syok. Dia kembali duduk dengan wajah yang pucat. Tetesan air mata jatuh dari pelupuk matanya. Dia hanya ingin mengingatkan Giorby, tapi kenapa keadaan seakan membuat dirinya seperti pihak yang jahat.
“Kenapa kau menangis? Jangan bilang kau suka padanya?” Aran menjadi panik, dia tak pernah menduga akan melihat sisi lemah sesungguhnya dari perempuan setegar Clarissa.
“Aku telah kehilangan segalanya, reaksi apa yang kauharapkan dari ku?” Clarissa adalah seorang yatim piatu yang terlalu canggung untuk berteman. Satu-satunya yang dia punya hanya sahabatnya Giorby dan kini semua itu hilang karena ada orang lain yang lebih berharga bagi cowok itu.
Clarissa tak pernah ingin melukai hati Giorby. Dia tak ingin mengucapkan kata-kata buruk, tapi semua itu adalah kenyataan. Bagaimana dia bisa bersikap benar di antara banyaknya permainan busuk yang tengah berjalan?
“Kau masih punya aku. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu demi orang lain.” Aran membawa Clarissa ke pelukannya. Dia tak tahu apakah air mata itu adalah luka dari pengkhianatan atau cinta yang pupus. Namun, dia paham untuk tidak melepaskan kesempatan ini. Saat hati Clarissa lemah adalah saat terbaik untuk memasukinya.