Malam berarak-arak, pekat telah membungkus langit dengan sempurna. Suara lalu-lalang, ketipak langkah sepatu beradu dengan lantai di koridor rumah sakit yang tadi bisa terdengar jelas sampai ke dalam ruang rawat inap, kini semakin sunyi.
Aksa masih setia pandangi Rania yang terpejam di brangkar. Dalam diam masih Aksa lantunkan Surah Al Fatihah. Entah sudah yang ke berapa kali, Aksa tidak menghitung.
Detak jarum jam di dinding menjadi nyanyian lirih. Aksa belum tahu Rania sakit apa. Padahal tadi siang masih terlihat baik dan sehat, meski tidak bisa disembunyikan wajahnya memias pucat.
Dalam diam Aksa lukis wajah ibu di banyangan. Melihat Rania, Aksa juga mengingat ibu.
Aksa memindai tangan Rania yang terus menggerakkan tasbih dalam genggaman meski matanya menutup sempurna.
Aksa sering melihat juga ibu melakukan hal demikian.
Ibu banyak habiskan waktu di kamar. Saat Aksa bangun pagi melengok ke kamar ibu yang sengaja terbuka sedikit karena biasanya Aksa akan menggedornya kencang. Ternyata di dalam ibu sedang salat dhuha.
Lepas salat, tangan ibu sibuk memutar tasbih. Bibirnya komat-kamit melantunkan dzikir. Aksa pernah perhatikan ibu melakukan itu semua. Ibu dan ayah jarang bicara. Hanya sesekali saling tanya jawab. Ayah bertanya, ibu menjawab. Pun sebaliknya.
Jika kata orang sabar itu ada batasnya. Tapi tidak dengan ibu. Aksa masih merekam, bagaimana ibu yang selalu diam saat dicecar ayah dengan kalimat menusuk hati. Senyumnya tetap merekah. Gemulai tangannya tetap sedia melayani segala kebutuhannya dan ayah.
Satu-satunya orang yang merasa sangat dirindukan Aksa saat ini hanya ibu. Soal ayah, dia tidak peduli. Buat apa peduli, toh ayah juga tidak pernah peduli dengannya.
"Assalamualaikum ..." Suara dalam dari depan pintu.
Gufron dan Zainab datang. Keduanya langsung masuk dengan bawaan di tangan.
"Wa'alaikumussalam," sahut Aksa.
Zainab melangkah dan duduk di kursi yang ada di dekat brangkar. Menunggui Rania dari jarak dekat, sedang Gufron duduk di sofa tunggal bersama Aksa, memberikan bawaannya pada Aksa, "Ini Mas, makan malam buat kamu, tadi Abbah Kyai suruh saya belikan nasi buat sampean," ujar Gufron.
Aksa menerima dengan senang hati. Kebetulan memang dia belum makan malam, perutnya juga lapar sejak tadi, "Terima kasih, Guf," ucapnya, langsung membuka bungkusan nasi. Tangan Aksa merasai nasi dalam bungkusan kertas minyak itu masih hangat. Bau harum langsung tercium. Nasi dengan lauk bebek goreng dan sambel pencit. Atau mangga muda. Aksa membasuh tangan ke wastafel yang ada di sana, kemudian makan dengan lahapnya.
Usai makan dan minum, Aksa ingin mencari tahu pada Gufron tentang sakitnya Rania, "Guf, kalau boleh tau, Ning Rania sakit apa ya?" Tanya Aksa berharap Gufron akan menjawab rasa penasarannya. "Saya lihat tadi siang masih sehat, kenapa sorenya bisa kejang sampai pingsan?" Sambung Aksa menambahi.
Gufron embuskan napas berat, "Ning Rania sudah lama sakit, Mas."
Aksa terkejut dengar kalimat Gufron, "Maksudnya Guf?"
"Ning Rania sakit ini sudah lama. Memang sering anfal kalau lagi ngedrop kondisinya. Ning Rania ini enggak sampai capek atau stress." Jawaban Gufron masih belum memuaskan dahaga Aksa akan keterangan detail sakitnya Rania.
"Sakitnya apa, Guf?" Aksa masih terus mencecar Gufron. Santri kepercayaan Pak Kyai itu baru berusia 19 tahun. Yang Aksa dengar dari cerita Gufron, dia sudah dititipkan di pondok pesantren Kyai Bisri sejak umur 7tahun. Gufron sudah seperti kerabat sendiri. Kadang juga turut serta saat Kyai ada undangan mengisi pengajian.
Gufron membetulkan letak pecinya yang bergeser sebelum menjawab pertanyaan Aksa, "Nanti Mas Aksa juga tau sendiri. Rasanya saya tidak sanggup kalau harus ngomongin sakitnya Ning Rania di sini. Beliau sudah seperti kakak buat saya."
Pandangan Aksa menembus mata Gufron. Ada kaca membias di sana. Aksa bisa rasakan ketulusan laki-laki yang baru beranjak dewasa itu. Aksa tidak sampai hati untuk bertanya lagi, Gufron telah memberi kode bahwa dia tidak ada wewenang menceritakan soal sakitnya Rania.
"Apa Ning Rania sering seperti ini Guf? Lalu kamu selalu mengantarkan ke rumah sakit setiap kali Rania kambuh?" Aksa makin dibuat penasaran. Dia seperti tertarik pada pusat magnet, tidak bisa berhenti sebelum menadapat jawaban yang pasti. Yang Aksa tahu dan pernah baca tentang jurnal kesehatan, tanda-tanda yang dialami Rania merupakan salah satu ciri sakit yang tidak biasa. Aksa sedikit paham karena kuliahnya di bidang kedokteran menuntutnya mempelajari banyak jurnal kesehatan, meski baru semester empat.
"Iya Mas. Tapi bukan saya yang mengantar dan menemani Ning Rania di sini."
"Lantas siapa, Guf?"
"Ada Ustaz Adnan, yang sekarang sedang ijin pulang kampung. Ustaz Adnan itu salah satu orang kepercayaan Abah Kyai juga. Malah dulu kalau ga salah dengar, sempat ingin dijodohkan sama Ning Rania, tapi Ning Rania menolak." Pelan Gufron bercerita agar Rania yang sedang terbaring tidak mendengarnya.
Aksa terkejut. Jadi Pak Kyai sudah mempunyai kriteria calon suami untuk Rania. Entah kenapa ada rasa kurang suka saat mendengar hal tersebut.
Rania itu seperti kilatan cahaya di gelapnya hidup Aksa. Sejak awal bertemu, mendengar lembut tutur kalimatnya, sopannya, semuanya, seolah menarik Aksa untuk tetap bertahan di sini.
"Semoga Ning Rania cepat sehat kembali, Guf. Biar bisa cepat pulang dari sini."
"Aamiin, semoga Allah segera angkat sakitnya, Mas."
"Kamu tidur saja Guf, nanti kalau Pak Kyai datang saya bangunkan. Saya mau keluar sebentar. Cari angin. Kalau ada apa-apa panggil saja, Guf."
"Baik Mas. Jangan jauh-jauh."
"Ga, cuma di depan ruangan saja Guf."
Aksa langkahkan kaki di depan koridor perawatan. Malam kian larut. Dingin embusan angin merasuki pori kulit. Aksa memilih duduk di kursi yang terbuat dari besi. Memandang daun perdu yang melayang, berputar pelan, kemudian mendarat di tanah. Angannya ikut terbang pada sosok Rania. Kecemasan itu ada dalam hati, walau Aksa baru mengenal Rania dalam hitungan jam. Cerita Gufron turut hadir dalam benak, membisikkan nama Adnan. Entah, siapa itu ustaz Adnan. Mungkin nanti Aksa akan tahu saat dia sudah kembali ke pesantren.
****
Cahaya sinar fajar memenuhi seantero jagat raya. Embun segar menguap, berganti hangatnya pancaran matahari.
Seorang gadis mengayun langkah dengan senyum semringah.
Di bawah kaki gunung Pesagi. Tepatnya di Pekon Way Kunyir dia menapakkan kaki menyusuri jalan setapak, untuk menemui seseorang yang dianggapnya sepesial. Para warga telah beraktivitas seperti biasanya. Ke ladang sekadar mencabuti rumput liar yang tumbuh di sekitar tanaman padi, atau memetik kopi di perkebunan.
Sayyidatina tidak henti mengupas senyum tipis. Kembali ingat kalimat-kalimat syahduh yang terukir lewat untaian pena, yang tertuang di selembar kertas.
Sayyi---begitu biasa dia dipanggil, tengah berbunga-bunga hatinya.
Adnan Pramudya namanya. Pemuda dari Kalianda yang telah menawan hati Sayyi saat ini sudah kembali ke kampung halaman, setelah merantau ke pulau Jawa hampir lima tahun lamanya. Adnan telah membawa dunia baru bagi Sayyi, sebuah mimpi kebahagiaan yang telah dijanjikan beberapa tahun silam.
Adnan mencintai Sayyi dalam diam. Cinta yang tidak pernah terungkap, namun selalu didiskusikan dengan Rabb-nya.
Sayyi bertemu Adnan saat bedah buku di pesantren tempat Sayyi menempuh pendidikan. Adnan sebagai penulis indie, karyanya banyak didistribusikan ke pesantren-pesantren di pelosok Lampung, termasuk tempat Sayyidatina.
Mereka bertemu saat Sayyi duduk di madrasah Aliyah, saat itu baru berusia 17 tahun.
Pertemuan pertama dan bisa dikatakan terakhir, karena setelahnya Sayyi tidak mendapati lagi Adnan ke pesantren. Pertemuan yang hanya sekilas, saat Sayyi meminta tanda tangan Adnan di n****+ miliknya karya Adnan yang berjudul Aksara Mencinta.
Hari berganti bulan, ternyata datang wujud Adnan namun dalam bentuk aksara. Surat pertama yang Sayyi terima selama mondok di Darussanah, ternyata surat dari Adnan ini. Sama sekali tidak menyangka sama sekali bahwa pertemuan pertama di aula pesantren saat bedah buku waktu itu, berlanjut dengan surat ini.
Surat pertama Adnan menyatakan betapa bahagia karena Allah telah mempertemukan dengan Sayyi di pondok. Sayyi tidak membalas. Dia tahu diri. Dia bukanlah pecinta dan tidak akan menjadi pecinta sebelum rasa itu halal untuk dinikmati.
Surat kedua Adnan heran karena tidak ada balasan dari Sayyi. Dia mengatakan jika telah berupaya melupakan Sayyi, namun semakin dicoba ingatannya akan Sayyi semakin melekat erat. Tidak hanya itu, Adnan turut menyertakan fotonya untuk kenang-kenangan pada Sayyi.
Surat ketiga Adnan mengatakan jika dia ingin serius pada Sayyi. Dia siap jika harus melamar saat itu juga. Namun balasan Sayyi masih kurang melegakan. Sayyi bilang masih ingin lulus sekolah, bekerja dan menyenangkan orang tua. Sayyi bukanlah anak orang berada. Tinggal di kaki gunung Pesagi, dengan sumber ekonomi kebanyakan berasal dari hasil bumi. Sayyi hanya tinggal berdua dengan Latifah--ibunya. Sang ayah sudah lama meninggal saat Sayyi kelas dua SMP.
Surat keempat, Adnan menyatakan tidak apa jika harus menunggu, dia akan lakukan itu untuk Sayyi. Gadis bermata cokelat cemerlang tersebut telah demikian menawan hatinya. Adnan berjanji, bahwa sampai saatnya tiba, dia akan fokus menuntut ilmu. Mencari bekal untuk kelak hidup bersama dengan perempuan yang dicinta.
Siapa yang tidak berbunga hati jika ada seorang laki-laki dengan segala kesungguhan hati menitipkan cinta untuknya. Tak terkecuali Sayyi. Sampai usianya beranjak dua puluh dua tahun.
Sayyi tahu jika Adnan telah berada jauh. Yang Sayyi tahu Adnan sedang menuntut ilmu di salah satu pesantren di Jawa timur, seperti alamat yang tertera dalam setiap surat yang sampai padanya.
Hari ini, setelah lima tahu berlalu. Sayyi telah tumbuh menjadi gadis yang matang. Usianya sudah menginjak 22 tahun. Penampilanya yang sederhana terlihat anggun Dengan balutan baju panjang dan jilbab yang membungkus rambut dengan sempurna. Hanya satu yang kadang membuatnya sedih. Latifah ibunya selalu mengatakan jika harusnya Sayyidatina telah menikah dan memiliki anak. Pun dengan para tetangga, dan kawan-kawan, tidak sedikit yang selalu bertanya kenapa Sayyi berkali-kali menolak lamaran pemuda desa yang ingin meminang.
Tidak ada yang tahu, bahwa dalam hening malam, ada satu nama terjaga di doa-doanya. Dalam keheningan, Sayyi menyimpan cintanya, sampai saatnya nanti Adnan datang memenuhi janji.
°°°°°°°°°°°°°°°°Bersambung°°°°°°°°°°°°°°°