"Obati lukamu dulu, Nak! Ada darah menetes di sudut bibirmu." Pak Kyai menitahkan Aksa agar mengobati sudut bibirnya yang berdarah akibat hantaman tangan warga. Aksa menurut.
Diperhatikan olehnya gadis yang membawa kotak P3K tersebut sedang menuang cairan alkohol 70 persen pada kapas. Denyut nyeri yang dirasakan Aksa seolah musnah melihat kecantikan sang gadis.
"Silakan Kak!" Ujar gadis tersebut menyerahkan kapas pada Aksa.
Kembali Aksa rekam suara halusnya yang terdengar sangat lembut di telinga.
"Terima kasih," balas Aksa menyambut kapas yang diberikan.
"Ambilkan minum untuknya Rania!"
"Baik, Abbah."
Aksa masih terus perhatikan langkah gadis pemilik nama Rania tersebut. Nama yang sangat cantik, Rania yang berarti putri yang cantik.
Langkahnya sangat anggun, tidak bersuara. Kalimatnya halus menyentuh relung hati.
Aksa seolah lupa bahwa baru saja mengalami kejadian tidak mengenakkan. Malah bersyukur sopir pick up yang ditumpangi membawanya sampai ke kota ini.
Aksa sejenak melupakan bahwa saat ini jauh dari rumah. Dari ibu, ayah, dan teman-temannya. Lupa jika tidak membawa bekal sepeserpun. Dompet serta ponsel ditinggal di arena balap sebagai jaminan taruhan.
"Silakan Abbah." Aksa tertegun saat Rania kembali dengan nampan berisi dua teh hangat. Yang satu diletakkan di depan Pak Kyai. Yang satu diangsurkan ke depannya.
"Minumlah dulu, Nak!" Perintah Pak Kyai. Aksa langsung angkat cangkir, menyesap isinya dengan takdzim. Tenggorokannya terasa segar oleh guyuran teh hangat manis. Aksa juga beberapa kali menghidu kepul asap dari cangkir, rasanya sedikit menenangkan.
"Terima kasih, Pak Kyai," ucap Aksa merasa beruntung bisa bertemu orang sebaik Kyai.
Pak Kyai perhatikan raut Aksa. Memindai dari ujung kepala sampai kaki. Aksa menunduk saat Pak Kyai perhatikan dirinya, tapi angkat pandangan ketika diajak bicara. Azan Zuhur menggema dari masjid pesantren, "Kita shalat Zuhur dulu," ucapnya pada Aksa.
Aksa mengekor di belakang Pak Kyai. Kalau tadi pagi dia bisa menolak ajakan sopir yang ditumpangi untuk shalat subuh, namun sekarang ini dia tidak mungkin bisa menolak. Walau Aksa sendiri tidak banyak hapal bacaan salat.
Pak Kyai ambil wudhu, Aksa ikuti setiap gerakannya. Sejurus beliau masuk, menunaikan shalat Sunnah masjid dua rakaat. Aksa duduk bersilang di belakang Kyai sembari menunggu iqomat.
Para santri sudah memenuhi masjid. Iqomat dikumandangkan. Semua berdiri membentuk barisan shaf. Setiap kali santri yang bertatap muka dengan Aksa memandang dengan raut aneh. Mungkin merasa asing dengan Aksa.
Empat rakaat Aksa ikuti dengan takzdim, walau bacaannya dalam hati banyak yang keteteran. Doa iftitah dia banyak yang lupa. Hanya alfatiha yang dihapal. Usai salam, semua jamaah berdzikir dilanjut doa. Aksa angkat tangan, ikut mengaminkan setiap doa yang terlantun. Ada buncah tak biasa dalam hati setiap kali kata aamiin keluar dari bibirnya. Ini adalah doa pertama setelah sekian tahun tak pertama melaksakan kewajibannya.
"Ikut saya kembali ke rumah, Nak!" Pak Kyai kembali isyaratkan agar Aksa ikut dengannya. Lagi-lagi Aksa anggukan kepala ikuti titah Pak Kyai.
Sampai di rumah mereka sudah disambut Bu Nyai-istri Pak Kyai. Bu Nyai memberi tahu kalau makan siang sudah siap. Aksa kikuk, merasa sungkan. Lagi-lagi Pak Kyai mengajaknya untuk turut serta, "Ayo Nak, makan siang dulu. Saya tahu kamu pasti lapar," ujar Kyai seolah paham dengan apa yang Aksa rasakan. Memang sejak tadi perut Aksa terasa sangat perih. Tadi sewaktu mengambil wudhu untuk shalat Zuhur, Aksa juga sengaja meminum air dari kran untuk memenuhi perutnya yang kosong.
Di meja makan sudah tersaji berbagai masakan. Nasi masih dengan kepulan asap, dihidangkan dalam bakul berbahan anyaman bambu. Ada sayur asem, ikan nila goreng, tahu-tempe, juga sambal.
Bu Nyai menciduk nasi untuk suaminya, "Ayo Nak, silakan jangan sungkan-sungkan," ucapnya pada Aksa.
Entah, Aksa tidak bisa berkata-kata. Tadinya mengira kalau di luaran sana tidak akan mungkin ada orang yang baik tanpa mengharap pamrih, nyatanya sekarang dia temui sendiri kebaikan itu nyata. Mata Aksa membias kaca. Bayangan wajah ibu kembali melintas. Ibu wanita yang sederhana, cantik tapi sudah jarang berdandan. Ibu bilang tidak usah dandan, karena ayah pun tak terlalu suka. Ibu makhluk tersabar yang pernah Aksa temui. Selalu menyiapkan apapun keperluannya. Termasuk masakan ibu yang selalu lezat di lidah Aksa.
Terbayang berapa banyak kesalahan, dosa dan rasa marahnya pada ibu. Ibu yang selalu pilih diam jika ayah marah-marah. Aksa melawan, ibu melerei. Ibu bilang, amarah tidak boleh dilawan dengan amarah. Api harus dilawan dengan air, yang maknanya, air itu perwujudan sikap sabar, mendinginkan. Aksa diam-diam merindukan ibu.
Apakah ibu sudah makan siang ini? Apa ibu akan cemas tahu Aksa tidak pulang semalam.
"Ayo, makan yang banyak." Pak Kyai berujar. Aksa anggukan kepala, mulai melahap isi dalam piringnya. Dan, nikmat Tuhanmu manakah yang kau dustakan.
Seburuk apapun sikap seseorang, sebiji zara-pun kebaikannya akan selalu mendapat balasan dari Allah. Aksa berniat baik, menghadang maling, meski sempat difitnah, tapi Allah selamatkan. Saat luntang-lantung tidak jelas di jalanan, Allah pertemukan dengan Kyai, memberinya makan dan minum saat kelaparan dan haus.
Usai makan siang, Pak Kyai ajak Aksa duduk di bale-bale yang terbuat dari bambu. Embus semilir angin terpa wajah Aksa. Tidak jauh dari bale-bale, ada pohon asem besar, rindang, daunnya banyak berterbangan terbawa angin, jatuh menyentuh tanah. Bukan cuma itu, ada dua gelas sedang kopi beserta gorengan ubi dalam piring.
"Namamu siapa, Nak? Kamu dari mana dan ingin ke mana?" Pak Kyai bertanya. Aksa juga baru sadar kalau dia juga belum memperkenalkan diri.
"Nama saya, Aksa, Pak Kyai. Aksara Al Farisi. Saya dari Surabaya." Aksa menceritakan semua kejadian yang dialami pada Pak Kyai. Tidak ada yang ditutupi, tidak ada yang dilebihkan atau dikurangi. Pak Kyai angut-angut mendengar cerita Aksa dengan seksama.
"Kamu mau kembali ke Surabaya?"
"Iya Pak Kyai, tapi saya belum punya ongkos untuk pulang."
Pak Kyai keluarkan dompet dari saku baju kokonya. Diambilnya beberapa lembar lima puluhan ribu dan diserahkan pada Aksa. "Ambillah ini Nak, pakai untuk ongkos kamu ke Surabaya."
Aksa menolak. Tidak enak hati, pasalnya Pak Kyai sudah sangat baik, dan dia sudah banyak merepotkan, "Mohon maaf Pak Kyai, saya tidak bisa terima ini. Saya sudah banyak merepotkan Pak Kyai dan keluarga."
"Ambillah Aksa, tidak apa-apa, ini rezekimu."
"Maaf Pak Kyai, boleh saya bertanya sesuatu?"
Pak Kyai anggukan kepala.
"Kenapa Pak Kyai baik sekali dengan saya, padahal belum tahu saya ini orang baik atau jahat."
Pak Kyai tersenyum samar. Aksa perhatikan sudut rahangnya yang sedikit keriput, tertutup janggut putihnya, "Berbuat baik itu pada siapapun, tidak boleh pilih-pilih, tanpa harus memikirkan apa orang itu juga baik atau sebaliknya. Dan saya yakin kalau Aksa ini orang baik. Saya percaya. Setiap orang yang datang kenari adalah tamu bagi saya, dan memuliakan tamu itu wajib hukumnya," jawab Kyai. "Ambillah uang ini Nak, saya ikhlas memberikannya."
Aksa ragu-ragu. Namun tidak sampai hati menolak lagi, Pak Kyai sudah meyakinkan, "Baik Pak Kyai, saya akan ambil, tapi tidak dengan cuma-cuma. Berikan saya pekerjaan apapun, akan saya kerjakan, dan uang ini sebagai upahnya," ujar Aksa tak kalah meyakinkan.
Kyai mengangguk paham dengan permintaan Aksa, "Kamu bisa bawa mobil?"
Aksa anggukan kepala, "Bisa Pak Kyai!"
"Punya SIM?"
"Ada Kyai, tapi SIM saya ada di dompet, dan dompetnya tertinggal di arena balap kemarin." Aksa jadi menyesal, kenapa harus tinggalkan dompet bersama semua isinya. Termasuk identitas penting seperti KTP dan SIM.
"Bisa baca Al Fatihah?"
"Bisa Kyai," jawab Aksa dengan kening berkerut heran dengan pertanyaan Pak Kyai.
"Kalau begitu, mulai besok kamu bisa kerja, mengantar saya ke manapun, Adnan, sopir sekaligus orang kepercayaan saya sedang izin pulang kampung ke Kampung untuk beberapa hari kedepan."
Aksa tersenyum semringah, "Terima kasih Pak Kyai."
"Syaratnya kamu harus bacakan Al Fatihah, setiap kali sebelum kita mulai berangkat. Sanggup Aksa?"
Tidak berpikir panjang Aksa langsung menjawab, "Sanggup Pak Kyai." Jika hanya Al Fatihah, Aksa hapal di luar kepala. Asal bukan doa-doa tertentu, dia sama sekali tidak tahu.
***
Aksa merasa sangat beruntung. Pak Kyai memberinya tempat tinggal sementara. Di dekat ndalem---sebutan untuk rumah yang ditinggali oleh Pak Kyai atau pengasuh pesantren, di sana ada paviliun kosong, berisi satu kamar. Aksa diberi kesempatan untuk tinggal sementara di sana selama menjadi sopir Pak Kyai.
Bukan cuma itu, Kyai juga berikan beberapa setel baju dan celana pada Aksa. Beliau bilang penampilan Aksa harus rapi, karena akan mengantar Pak Kyai memenuhi undangan kajian atau ceramah. Pak Kyai bilang baju yang diberikan untuk Aksa adalah kepunyaannya saat muda dulu. Celana berbahan kain, dan baju koko lengan pendek, ada juga sarung, kopyah atau peci untuk salat, juga dua potong poloshirt.
Tugas pertama Aksa sore tadi mengantar ke rumah sakit, Kyai Bisri dan istrinya, juga Ning Rania. Sesuai perintah Kyai bahwa setiap kali sebelum berangkat, Aksa harus membacakan Al Fatihah terlebih dahulu.
Aksa ingin bertanya, kiranya siapa yang sedang sakit, tapi rasa sungkan lebih mendominasi. Aksa memilih bungkam. Dilihatnya dari kaca spion, di jok belakang Bu nyai memeluk erat Rania dengan kedua tangan. Wajah Rania pucat, sesekali keningnya berkerut seperti menahan nyeri. Tidak ada senyum sama sekali dari ketiga orang yang diantarkan tersebut. Aksa jadi khawatir sendiri, ada apa dengan Rania.
Aksa diminta untuk pulang lebih dulu, mengambil beberapa barang di rumah. Pak Kyai sudah menelpon salah satu santri kepercayaan-nya untuk menyiapkan barang yang akan dibawa Aksa. Bergegas dia kembali ke ndalem.
Sampai di sana sudah ada Gufron--santri kepercayaan Pak Kyai yang juga sudah biasa membantu di ndalem, "Ini barang yang harus dibawa, Mas," ucapnya pada Aksa menyerahkan dua tas besar.
"Kalau boleh tau, apa isinya ini?" Tanya Aksa penasaran.
"Baju ganti Ning Rania, tadi Zainab yang menyiapkan."
"Buat apa bawa baju sebanyak ini, Guf?"
"Buat ganti Ning Rania, karena harus opname di rumah sakit, Mas."
Aksa tertegun, kaget dengan penjelasan Gufron. Memangnya Rania sakit apa, kenapa dia tidak tahu, kenapa Pak Kyai juga tidak cerita. Sesaaat Aksa tersadar, kenapa harus diceritakan padanya. Aksa sadar jika dia bukanlah siapa-siapa. Sudah untung Pak Kyai mau berbaik hati menampung, memberi pekerjaan di sini.
Tidak banyak tanya lagi, Aksa langsung meluncur kembali ke rumah sakit. Dalam perjalanan pikirannya banyak dijejali pertanyaan akan Rania.
Pantas saja sejak kemarin terlihat sangat pucat. Rupanya Rania sedang sakit.
Aksa sampai di rumah sakit, segera menuju ruang perawatan Rania. Namun di sana hanya ada Kyai Bisri yang sedang duduk di sofa tunggal. Mata Aksa memonitor setiap sisi ruangan, tidak ada Rania dan Bu Nyai di sana.
"Assalamualaikum Pak Kyai."
"Wa'alaikumussalam, Aksa kemari, saya mau minta tolong sama kamu."
Aksa mendekat dan duduk di sisi Pak Kyai, "Iya Pak Kyai, apa yang bisa saya bantu."
"Bakda magrib nanti saya dan Bu nyai ada undangan walimatul arusy. Ingin tidak datang, tapi kami tak sampai hati, karena yang mengundang masih kerabat. Bisakah saya minta tolong kamu di sini untuk menjaga Rania sebentar. Kamu tidak sendiri, nanti ada Gufron dan Zainab yang sudah saya suruh ke sini."
Tanpa pikir panjang Aksa lansgung anggukan kepala, "Baik Pak Kyai, saya akan di sini menjaga Ning Rania sampai Pak Kyai dan Bu Nyai kembali."
"Terima kasih, Aksa."
"Jangan berterima kasih, Kyai, ini sudah tugas saya."
Baksa isya, setelah Aksa disuruh salat isya lebih dulu di mushola rumah sakit, Pak Kyai dan Bu Nyai pamit pergi. Di ruangan sudah ada Ning Rania sedang terpejam di brangkarnya. Aksa tidak tahu kapan Rania kembali, mungkin tadi saat dia pergi untuk salat.
Gufron dan Zainab belum tiba. Otomatis di ruangan ini hanya ada Aksa dan Rania. Aksa duduk di sofa tunggal. Televisi menyala, tapi fokus Aksa malah pada Rania. Diperhatikan mata Rania yang terpejam rapat. Di pergelangan tangan ada infus yang menancap. Bibir tipisnya terlihat pucat. Pun dengan wajahnya.
Aksa belum temukan jawaban akan sakitnya Rania. Dalam hati Aksa lantunkan kembali Al Fatihah untuk Rania. Dia tidak tahu bacaan untuk mendoakan orang yang sedang sakit. Yang Aksa ingat dari ibu, mendoakan seseorang boleh dengan membacakan Al Fatihah.
Aksa urai ayat-ayat dalam hati, berharap Rania segera sembuh dari sakitnya.
Aksa mengupas senyum tipis tiap kali ingat pertama kali awal bertemu Rania. Begitu cantik, santun, langkahnya gemulai, dan sekarang terbaring sakit tak berdaya.
°°°°°°°°°°°°°°°°Bersambung°°°°°°°°°°°°°°