[13]

1375 Kata
Terik matahari yang membakar kulit tak menyusutkan langkah Harvey untuk ada di samping Jacob. Sesekali ia menanggapi ucapan Jacob mengenai proyek yang tengah dikerjakan. Pembangunan pasar kuliner khas Yazeran cukup banyak mendapat perhatian. Selain publik, juga pemerintahan kota Yazeran yang mendukung penuh lantaran bisa dijadikan objek wisata baru saat akan berkunjung ke kota tersebut. “Aku merasa bersalah padamu, Harvey,” kata Jacob sesaat setelah ia beri instruksi khusus pada para pekerjanya. Ia benahi payung besar yang menaungi kepala gadis yang tampak anggun dengan dress print floral lengkap dengan topi dan kacamata penghalau panas. “Kenapa?” mata Harvey hanya tertuju pada satu titik; denah rancangan pasar kuliner yang terpasang di papan pengumuman. Terlihat detail dan tergambar jelas jika nanti sudah selesai pengerjaannya. “Seharusnya aku membawamu ke tempat yang lebih nyaman. Menghabiskan waktu bersama agar lebih akrab. Anggap saja, aku lakukan untuk menebus segala kesalahanku dulu.” Harvey menyeringai tipis. “Itu bisa dilakukan di lain waktu.” “Sebentar lagi kami selesai, tinggal menunggu orang itu.” Harvey tahu siapa yang disinggung oleh Jacob. “Kuharap dia tak membuat kita menunggu lama. Aku benci jika terlalu lama di sini.” Jacob melirik jam yang melingkar di lengan kirinya. “Kita ke sana? Kau tak keberatan?” tunjuknya pada satu tempat di mana banyak kendaraan proyek terparkir serta beberapa pekerja yang sibuk. Harvey memilih mengangguk. Sesekali ia dengar Jacob memberi pengarahan lain serta menerima laporan dari kepala proyek mengenai perkembangan yang ada. hal itu juga membuat harvey sedikit teringgal langkah dari Jaco tapi tak jadi soal. Dari posisinya sekarang, bisa terlihat punggung Jacob yang masih sama seperti terakhir kali ia ingat. Andai Harvey tak mengingat betapa konyol dan pengecut seorang Jacob Desmond dalam hidupnya, bisa dipastikan ia akan melempar diri ke pelukan pria itu. Tapi sayang, kenangan buruk justru Jacob beri seolah gadis itu sudah sangat berdosa atas apa yang menimpa orang tuanya dulu. Ponselnya berdering yang membuat ia sedikit terkejut. Merogoh segera dan menyingkir agar tak terlalu mendengar suara bising proyek. Harvey lihat, Jacob juga sudah berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Sepertinya jika Harvey menyingkir sejenak, tak akan jadi masalah. Ia mengedarkan pandangan mencari tempat yang tepat untuk mengangkat telepon. Bukan tanpa sebab ia harus mencari tempat yang agak tenang, nama Justin yang muncul di layar. Pastinya pria itu menuntut banyak jawaban terutama terkait kehadirannya di perjamuan tertutup semalam. “Ya, Justin?” Harvey memilih duduk di salah satu kursi yang ada di bawah payung besar di sisi lain proyek. Cukup jauh tapi sepadan dengan ketenangan yang ia dapat. Dekat dengan area parkir meski jalannya cukup berpasir dan banyak bebatuan kecil. Angin membawa banyak debu pasir yang membuat Harvey mengenakan masker khusus. “Di mana kau?” tanya pria di ujung sana dengan nada menyelidik. “Karen bilang, kau tak ada di kamar. Dan dia kelimpungan mencari dirimu.” “Aku sudah titipkan pesan di memo. Aku tempel di microwave,” sahut Harvey dengan cengiran lebar. “Aku yakin sekarang Karen sudah menemukannya.” Justin mendengkus tak suka. “katakan, sekarang kau ada di mana?” “Aku tak tahu letak pastinya tapi yang jelas ini ada di perbatasan kota. Aku singgah di proyek yang katakan akan dibangun tempat wisata kuliner.” “Kau tengah bekerja di sana?” Justin bertanya dengan penuh nada sindiran. Harvey makin tergelak. “Mana mungkin aku bekerja di sini, kan?” “Loissa Harvey Au—“ “Jangan panggil aku dengan nama itu, Justin. Aku biarkan kau tahu siapa diriku tapi bukan berarti kau bisa melanggar seenaknya.” Harvey berdecak kesal. Ia bersandar pada punggung kursi demi mengentaskan kekesalan yang mendadak menjalarinya. “Kehadiranmu di perjamuan semalam cukup membuat heboh, Harvey. kau harus tahu langkahmu sebelum memulai. Apa kau tahu bagaimana aku yang kelimpungan di sini? aku sama sekali tak tahu kau bisa masuk ke perjamuan privasi seperti itu.” Harvey menghela panjang. “Tempat itu berbahaya, Harvey.” “Aku tahu,” tukas Harvey dengan segera. “Jika kau memang butuh bantuanku untuk mencapai tujuanmu, yang mana aku pastikan tujuanmu adalah hal tergila yang bisa kulakukan, tapi tak masalah. Selama kau tak terlibat pada hubungan yang bisa membuat kekacauan di masa depan.” “Aku harus menanganinya sendiri, Justin. Aku hanya meminta kau lindungi tiap gerak yang kulakukan.” Helaan penuh frustrasi terdengar lagi dan Harvey tahu itu berasal dari mana; Justin. “Satu per satu langkahku mencapai tujuannya. Termasuk mulai mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Papa. Jika kau tahu latarku, kau juga tahu apa yang terjadi dengan keluargaku, kan?” Di ujung sana Justin tak bicara, lebih memilih mendengarkan ucapan Harvey yang sepertinya masih ingin bicara. “Aku menghargai kekhawatiranmu, Justin. Sungguh. Kau baik sekali. Tapi untuk urusan yang tengah kujalankan, aku ingin bergerak sendiri. jika nanti aku kesulitan, aku tahu kepada siapa aku meminta bantuan.” “Kau memang keras kepala.” Harvey terkekeh. “Seharusnya kau tahu aku seperti itu, kan?” “Semuanya keras kepala bahkan Ruby pun sama. Tapi tak ada yang segila dirimu bertingkah. Kau membuat kerja jantungku tak aman, Harvey.” “Sepertinya kau perlu mengurus asuransi yang berkenaan dengan penyakit kronis.” Harvey terbahak setelahnya. “Kau ini! kapan kau kembali ke hotel? Aku dapat laporan dari Karen, pembawa acara cuara di Yazeran bilang, akan ada badai di siang hari. Kuharap kau kembali sebelum badai itu datang.” Ucapan itu segera membuat Harvey menatap langit yang cerah. Angin yang berembus juga masih sama seperti saat ia datang tadi. Ia rasa badai itu tak akan terjadi di wilayah ini tapi atas nama terima kasih untuk perhatian yang Justin beri, Harvey berkata, “baiklah. Akan kukabari jika sudah selesai urusanku di sini dan segera kembali ke hotel.” “Aku tak akan tinggal diam dengan pergerakanmu, Harvey. jika ada sesuatu yang bisa menghentikanmu dan aku dapatkan itu, kau harus berhenti. Paham?” Harvey tertawa lagi. “Tergantung jenis informasi dan fakta apa yang bisa kau dapatkan, Justin. Persoalan hidupku rumit. Aku bisa terjerat dalam banyak kasus tapi aku tak akan menyerah. Aku sudah cukup membangun pondasi.” “Aku paham. Tapi jika informasi yang kudapat berharga, pertimbangkan permintaanku barusan.” “Siap, Bos.” Harvey terkikik. “Sampaikan salamku untuk Ruby. Aku merindukan masakannya.” “Kau pikir istriku tukang masak pribadimu?” “Salahkan Giselle juga yang sering kali meminta camilan berbahan dasar cokelat. Oh, jangan kau lupa. Sula beserta kentang aneka rasa. Aku tak meminta masakan khusus, apa pun yang Ruby buat, pasti aku makan.” “Terserah!” Dan sambungan telepon itu pun diputus sepihak oleh Justin. Yang mana disambut gelak tawa yang cukup heboh dari Harvey. membayangkan wajah pria itu yang bersungut-sungut karena trio berisik. Serta pastinya sedikit memberi larangan pada Ruby agar tak melulu menuruti keinginan trio berisik. Tapi harvey yakin, Ruby tak akan mau menurutinya. “Ah, beruntungnya Ruby,” kata Harvey sembari memasukkan ponselnya. Menatap sekitar yang mana semakin banyak orang yang berdatangan. Terlihat truk besar mulai memasuki area pengerjaan di seberang sana. “Apa aku tunggu di sini saja, ya?” Sementara itu, Jacob tampak gusar. “kalian ini bagaimana? Aku hanya meminta hal yang sederhana, awasi Nona Harvey! dan sekarang? di mana dia?” “Tadi ... Nona Harvey berjalan di sisi kami tapi ...” “Cari dia!” kata Jacob setengah membentak. “Aku tak mau terjadi sesuatu yang buruk padanya!” “Baik, Tuan.” Apa jacob memercayai begitu saja pekerja yang ada di sana? Tidak sama sekali. Merasa laporan serta pengerjaan yang ia awasi sudah berjalan apa adanya dan sesuai dengan keinginannya, ia bisa bergerak bebas. Mencari Harvey. meski gadis itu bukan anak kecil, tapi hei ... ini adalah area proyek! Bisa saja terjadi hal yang buruk? Ck! Seharusnya ia tak meyetujui keinginan Harvey untuk ikut bersamanya. Menemaninya meninjau proyek yang sangat Jacob damba. “Ini semua karena Bryan Sialan!” jacob berjalan dengan langkah besar. Beberapa kali ia berdecak kesal sembari melirik, jam yang melingkari tangannya. Yang mana hingga waktu yang disepakati bersama Bryan, pria itu tak kunjung datang. Seolah mempermainkan dirinya. “Sialan!” maki Jacob sembari terus berkeliling, ke luar area tempat yang ia datangi sebelumnya. Mencari Harvey dan berharap gadis itu baik-baik saja. Sampai matanya bertemu pemandangan yang sangat amat ia benci; Harvey bersama Bryan. “Mau apa dia bersama Harvey?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN