"Woi! Bas!" panggil seseorang.
Lelaki itu menoleh. Ia mendapati sahabatnya muncul dengan melongokan kepala di pintu ruangannya. Ia hanya berdeham. Fokusnya teralihkan lagi pada laptop di depan mata.
"Sibuk amat lo!" tuturnya. Ia menutup pintu lantas mengambil duduk di depan lelaki itu. Lagi-lagi hanya dibalas dengan deheman. "Helaaah," gerutunya. Lelaki di depannya hanya mendongak tapi tak melihatnya sama sekali. "Pantesan si Giselle pontang-panting ngejar elo yak," tuturnya lantas menggelengkan kepala karena tak ada respon. "Makan siang dulu, bro! Lo gak kasian tuh sama perut? Ntar masuk rumah sakit lagi, satu kantor gelabakan," tuturnya bawel lantas berdiri. Ia berjalan menuju pintu ruangan. "Gue tunggu di kantin, bro."
Ia menghela nafas. Tiba-tiba kehilangan minatnya untuk mengerjakan tugasnya. Alih-alih keluar menyusul sahabatnya itu, ia malah membuka ponsel kemudian membuka akun seseorang yang selalu menjadi pencarian utamanya sejak bertahun-tahun silam.
Tak ada apapun, tutur batinnya. Akhirnya, ia menaruh ponselnya lantas mengambil dompet kemudian beranjak. Saat membuka pintu ruangannya, tiba-tiba bahunya terdorong hingga badannya terbentur pintu. Satu lantai heboh. Lelaki yang baru saja berlari dan menyenggol badannya itu pun, membungkuk-bungkuk minta maaf.
"Duuuh! Maaf, Pak! Beneran saya gak sengaja!" cowok itu minta ampun.
Ia hanya berdeham. Tak masalah, pikirnya. Kemudian ia berjalan menuju kantin. Sementara bawahannya di lantai itu sibuk berbisik-bisik. Apalagi saat melihat bos mereka itu melewati gadis yang katanya mati-matian mengejarnya. Tapi tak dipedulikan dan membuat si gadis nelangsa dengan tatapan sendu melihat punggung yang perlahan menghilang dibalik pintu lift.
"Woooi! Baaas!" teriak sahabatnya tadi. Lelaki itu melambai-lambaikan tangan. Ia terkekeh saat lelaki yang dipanggil 'Bas' itu berjalan mendekat. "Pesen! Pesen!" tuturnya. Beberapa bawahannya berseru. Kemudian ia menyenggol lengan sahabatnya. "Diem aja," tuturnya dan dibalas dengan helaan nafas.
"Tumben lo gak ngajak makan siang di restoran langganan," tuturnya kemudian ia menunjuk beberapa menu untuk makan siang. Salah satu bawahan sahabatnya pergi ke konter kantin untuk memesan makanan.
Sahabatnya itu menghela nafas panjang. "Trauma," tuturnya. Ia menyikut lengan sahabatnya karena menertawainya. "Giliran sakit hati gue, lo ketawa," celetuknya.
"Lagian, udah jadi istri orang masih aja dikejar, Ndraaa...Ndraaaaa," ia meledek. Seketika hilang badmood-nya.
Lelaki yang dipanggil 'Ndra' itu pun mendengus. "Kalo mantan lo itu udah nikah, baru lo bisa ngerasain," ucapnya asal tapi mampu membuat skakmat dihati sahabatnya. Lantas lelaki itu menghela nafas. Ia mengaduk-aduk jusnya yang baru saja datang.
"Kayaknya dia bakalan nikah sih," tuturnya. Sahabatnya menanggapi dengan tawa.
"Semua orang punya kemungkinan akan menikah. Apalagi udah umur segini."
"Termasuk elo."
Ia mendengus. "Susah nemu yang sama."
"Jangan nyari yang sama."
"Lo enggak emangnya?"
"Bukan persoalan orang yang sama. Tapi belum nemu penggantinya aja."
Ia menjentikan jari. "Cewek banyak ngantri, tapi..."
"Tapi gak ada yang kecantol maksud lo?"
"Gak ada yang kayak dia."
Kepalanya langsung ditoyor oleh lelaki yang dipanggil 'Bas' itu. Ia terbahak.
"Kapan lo move on, Ndraa! Ndraaa! Pelik amat hidup lo."
Sahabatnya itu terkikik-kikik walau hati menderita.
@@@
"Woo, Baaas!"
Ia terkekeh. Baru saja teleponnya diangkat, suara sahabatnya yang terdengar menggema itu langsung memanggil namanya. Ia bahkan baru saja akan meninggalkan kantor usai lembur hingga jam delapan malam ini.
"Di mana looo woooi?"
"Kantor."
"Pantesan lo jomblo, jam segini masih di kantor bukannya ngapel cewek," ledeknya yang membuat Bas tertawa. Lelaki itu menenteng tas laptopnya kemudian mematikan lampu. Ia membuka pintu ruangan dan berjalan keluar. Suasana kantor tentu sudah sepi meski suasana di luar sana malah sebaliknya, begitu ramai. Ia menghela nafas lantas berjalan memasuki lift.
"Lo sendiri?"
Sahabatnya terkekeh di seberang sana. "Beda kasus, bro. Gue memang mengabdikan diri sebagai seorang jomblo sampai waktu tertentu."
"Itu hanya alasan klasik seorang jomblo."
Sahabatnya terbahak. Sementara Bas membuka pintu mobilnya. Ia jarang membawa mobil karena plat nomornya kan ganjil, jadi hanya bisa membawa mobil ditanggal-tanggal ganjil. Kebetulan hari ini ganjil. Besok, ia akan naik MRT saja. Kebetulan perhentiannya tak jauh dari apartemen juga kantornya.
"Bilang aja kalo gak ada cewek yang mau sama lo!" candanya dan sahabatnya itu kembali terbahak sampai memegangi perutnya.
"Lu kalo ngehina gue emang gak pernah nanggung-nanggung ya."
Bas terkekeh. "Face the reality, bro. Gak semuanya tentang hidup itu membahagiakan."
Sahabatnya kembali terbahak. Sementara Baa baru saja menyalakan mesin mobilnya. Ia menyambungkan sambungan telepon ke speaker mobil agar tetap jelas mendengar suaranya.
"Eh, omong-omong gue mau bilang, gue mau ke Jakarta."
"Aaaah," ia mengangguk-angguk. "Kapan? Mau gue jemput di bandara?"
Sahabatnya tertawa. "Seminggu lagi lah," tuturnya. "Sekalian gue mau ngajak ke kampus. Bongkar time capsule. Sepertinya udah beranak-pinak."
Bas tertawa. Itu sesuatu yang sangat tidak mungkin tapi ia tahu canda khas sahabatnya ini.
"Gue juga udah ngabarin anak-anak yang lain."
Bas mengangguk-angguk. Ia setuju-setuju saja. "Terus mau diapain itu time capsule."
"Ngepetin cewek, lumayan..." candanya lagi. Bas terbahak kali ini.
"Itu botol biasa bukan babi ngepet," ingatnya sementara sahabatnya tertawa terpingkal-pingkal.
"Gue jadi pengen ngusulin sesuatu sama si babi. Jangan cuma ngepetin duit, harus bisa ngepetin cewek juga. Kasian, banyak jomblo bertebaran."
Bas tertawa sambil geleng-geleng kepala. "Lo ada urusan apa di Jakarta?"
Sahabatnya di seberang sana menghela nafas panjang. "Kangen kampus, kangen segalanya."
"Jujur aja lah," desaknya.
Ia menghela nafas. "Lu tahu, keinginan gue untuk kuliah ke Amerika?"
Aaah. Bas berdeham. Ia mengiyakan. Ia tentu tahu. Ia sudah terlalu sering mendengarnya. Sahabatnya ini, ia tak mau menyebutnya sebagai seorang yang ambisius, tapi seorang yang patriot.
"Gue mau ketemu salah satu petinggi di pemerintahan. Kali aja cocok dan bisa membuka jalan."
"Dia ngejaminin lo sesuatu?"
"Enggak. Gue silaturahmi aja. Kali-kali bisa ngebantu."
"Oooh. Yang terakhir kemarin gak dapet memangnya?"
"Yaa, begitu lah."
Bas tersenyum kecil. "Barangkali rejeki lo tetap di kampung halaman. Gedein usaha bantuin para janda," tuturnya lantas teringat sesuatu. "Eh, gak ada janda yang kecantol sama lo?" candanya yang membuat sahabatnya terbahak sampai terpingkal-pingkal. Ia merasa kata-kata itu begitu lucu.
"Itu janda-janda udah pada berumur! 40-an ke atas! Gue kepret juga lo!" kesalnya tapi dengan nada bercanda. Hal yang membuat Bas tertawa lebar. Haaah. Rasanya sudah lama sekali ia tak tertawa begitu lebar hingga seperti ini.
@@@
Ia memutar musik syahdu sepagi ini. Kemudian membuka jendela apartemen lebar-lebar. Ia merenggangkan kedua tangan lantas menatap gedung-gedung yang ada di depan mata. Ia memejamkan matanya sesaat kemudian membuka matanya. Matanya memancar kesenduan walau hati juga lelah menahan sakit hati berkepanjangan. Hubungan telah lama berakhir tapi kenapa ia sulit melupakan?
Ia berdeham lantas menjauh dari jendela. Kemudian memulai paginya dengan menyeduh teh hijau. Ia menaruh gelas kecil itu di atas bar kitchen. Lalu berjalan menuju kulkas. Ia mengeluarkan beberapa selai roti dan membawanya ke bar kitchen. Suara mesin pemanggang roti berdenting. Ia mengeluarkan roti yang sudah ia panggang dan menaruhnya di atas piring kecil. Ia mengambil duduk lantas menyentuh layar ponselnya yang begitu hening. Ibunya belum menghubungi beberapa hari ini. Mungkin sibuk juga dengan pekerjaan di rumah. Sementara ia mulai menyantap rotinya.
Bisa ketemu sebentar?
Pesan itu baru saja masuk. Ia langsung menghela nafas begitu membacanya. Apalagi? tanyanya. Ia malas punya hubungan satu kantor. Rasanya tidak enak sekali. Karena apa? Karena kalau hubungan itu tak berlanjut....
Saya di restoran bawah, Pak Bastian. Bisa bicara sebentar?
Tahu kalau pesannya dibaca, ia memberanikan diri untuk meminta kepastian. Bastian, ya lelaki ini, menghabiskan rotinya dengan santai. Ia memang membaca pesan itu tapi baginya, ini adalah sebuah pilihan apakah ia harus menghampiri perempuan atau tidak. Jika ia memilih untuk tidak menghampiri, bukan kah itu adalah pilihan juga haknya? Perempuan itu tentu tak punya hak untuk memaksa san ia tak punya kewajiban untuk datang.
Brooo, futsal?
Pesan itu datang dari Andra, manajer keuangan di kantornya. Sekaligus sahabatnya sejak pertama kali masuk di kantor itu. Anak Jakarta yang satu itu juga masih jomblo tapi nasib percintaannya lebih menyedihkan bahkan hingga sekarang tak pernah pacaran. Kebanyakan perempuan yang berupaya melakukan pendekatan hanya akan pergi dengan kehampaan karena apa? Karena ditolak dengan terus terang. Alasannya sih belum move on dari sang gebetan. Padahal sudah ditinggal ke pelaminan. Bukan kah itu menyedihkan?
Hebatnya, menurut Bastian, si Andra masih bertahan dengan cinta pertamanya pada sang gebetan yang bahkan sudah hamil dengan pria lain. Kalau ia yang jadi Andra, ia tentu sudah lama melupakan perempuan itu. Tapi, menilik kondisinya sekarang, ia tak yakin juga. Bagaimana jika.....perempuan yang masih ia sukai hingga kini pun akhirnya menikah dengan lelaki lain?
Kalau mau, maleman ya. Biasa, GBK.
Ternyata ada pesan lanjutan dari Andra. Ia menghela nafas usai menghabiskan rotinya. Ia hanya membaca pesan-pesan itu tanpa berpikir untuk membalasnya. Saat ia baru saja membawa piring bekas rotinya ke wastafel, terdengar suara dentingan bel apartemennya. Keningnya mengerut. Tanpa berpikir apa-apa, ia malah berjalan menuju pintu kemudian tertegun ketika membuka pintunya. Ia mendapati gadis yang menrornya sedari lagi, kini berada di depan matanya.
"Saya ingin bicara dengan anda, Pak Bastian," ucapnya. Sapaan yang sangat formal itu tentu saja membuat keningnya mengerut. Tapi ia tak mau ambil pusing.
"Saya rasa tidak ada urusan kantor yang perlu dibicarakan."
Perempuan itu mendengus. "Kamu tahu urusan apa, Bas."
Bastian menghela nafas. Ia memajukan langkahnya dan tindakannya itu membuat perempuan itu melangkah mundur.
"Kamu mau apa?" tanyanya dengan panik.
Bastian mendengus. "Katanya kamu ingin bicara?"
"Y-ya," ia menjawab dengan agak panik karena tubuhnya didorong Bastian hingga punggungnya menabrak pintu.
"Keluar lah sebentar, aku akan mengganti bajuku," tuturnya lantas tak lama, perempuan itu resmi berada di luar dan Bastian baru saja menutup pintu apartemennya. Perempuan itu tergagap malu dengan pemikirannya yang begitu kotor tentang hal ini. Oke-oke, pikirnya. Lelaki itu tak mungkin seperti itu. Sementara Bastian melangkah gamang menuju kamarnya. Ia sungguh tak berniat sedikit pun dengan pembicaraan kosong ini. Untuk apa juga, pikirnya. Seperti katanya tadi, tak ada hal yang perlu dibicarakan. Tapi ya sudah lah. Bukan kah membuatnya lebih jelas, itu akan lebih seru?
Bastian mengganti kaosnya yang tadi tak berlengan kini berlengan panjang. Ia juga mengganti celana pendeknya dengan training panjang. Kemudian ia berjalan menuju bar kitchen dan mengambil ponselnya. Baru hendak berjalan, matanya teralohkan pada pesan yang baru saja masuk.
Babaaaaaas! Lagi di apartemen gaaak? Gue lagi jogging niih. Gak jauuuuh!
Bastian tersenyum kecil. Itu sahabatnya. Sahabat perempuan. Kata orang, tak ada yang namanya status yang murni teman antara perempuan dan laki-laki bukan? Nah, berbeda dengannya. Ia bisa membuktikan kalau persahabatannya dengan perempuan ini benar-benar murni sebagai sahabat dan tidak pernah lebih kecuali, pada perempuan lain yang....
Ia baru saja menutup pintu. Perempuan yang datang bertamu ke apartemennya sepagi ini pun, menoleh. Tadi gadis itu menyandarkan tubuhnya di dinding apartemen sembari menunggu kedatangan Bastian.
"Apa yang mau kamu bicara kan?" tanyanya. Ia memimpin jalan menuju lift.
"Tentang kejadian waktu itu," tuturnya dengan cepat. Ia enggan menyebutkan kejadian detilnya karena akan sangat memalukan.
Kening Bastian mengerut. Keduanya baru saja masuk ke dalam lift. "Kejadian yang mana?"
Perempuan itu baru hendak menjawab tapi tak jadi karena pintu lift terbuka dan banyak orang yang masuk. Ia menairi nafas dalam, menahan diri. Akhirnya ia mengatupkan mulut untuk sementara hingga ia dan Bastian keluar dari lift apartemen. Bastian memimpin jalan menuju halaman gedung apartemen. Lelaki itu hendak mengajaknya berjalan kaki di sekitaran gedung apartemen di mana ada beberapa apartemen lain juga ada taman. Kebetulan hari sabtu ini, ada banyak masyarakat yang ber-jogging ria di sekitar sini.
"Kantor."
"Yang mana?"
"Apa aku harus memperjelas?"
"Yang mana?" tagihnya lagi. Gadis itu menghela nafas. Kini keduanya berhenti berjalan dan saling berhadapan.
"Pantry!"
"Yang mana?"
"Aku yang menciummu!" celetuknya tanpa sadar lantas sesegera mungkin membekap mulutnya.
Aaah. Bastian hampir lupa dengan kejadian itu. Mendengarnya lagi, membuatnya mendengus. Tentu saja ia marah akan kejadian itu baik sengaja atau pun tidak disengaja. Walau dalam konteks waktu itu, gadis itu terdorong teman-temannya dan jatuh tepat di depannya dengan bibir yang....
Sudah-sudah! Bastian tak mau mengingatnya. Semakin mengingatnya, ia semakin sebal.
"Lupakan saja," tuturnya lantas melanjutkan langkahnya. Gadis itu ternganga kemudian berjalan tergopoh-gopoh menyusul langkah besar milik Bastian.
"Harusnya aku yang marah!" kesalnya.
Kening Bastian mengerut. Ia kembali menghentikan langkahnya. Gadis itu mencak-mencak di depannya.
"Itu ciuman pertamaku tahu!"
"Lalu?"
Tangan gadis itu tiba-tiba melayang dan ia terkaget sendiri dengan apa yang dilakukannya. Bastian mengerjab-erjab, masih belum paham dengan apa yang sedang terjadi. Ia juga syok dengan tamparan dadakan yang baru saja mendarat itu. Apa salahnya dan di bagian mana salahnya? Ia benar-benar bingung.
Bastian melipat kedua tangannya. Ia menatap gadis di depannya ini dengan seksama. "Yang harus kamu tahu, pertama, aku tidak berniat sedikit pun untuk menciummu. Kedua, kamu yang datang padaku kemudian menjatuhkan bibirmu itu. Ketiga, aku yang seharusnya paling dirugikan karena kamu yang menciumku dan aku....? Hanya korban yang kemudian kamu jadikan tersangka," tuturnya lantas berbalik tapi langkahnya terhenti. Ia hanya menolehkan kepalanya ke kanan, tanpa perlu melihat gadis yang sangat syok itu. "Keempat, itu hanya sentuhan, bukan ciuman. Terakhir....," ia menarik nafas dalam. "Aku sama sekali tidak menikmatinya," tuturnya lantas melanjutkan langkah dan meninggalkan gadis yang ternganga itu.
@@@