Si Upik Babu

2561 Kata
"Jangan lupa diganti loh ya. Kafe itu gak gratis!" tutur kakak iparnya. Perempuan itu memang agak pelit apalagi kalau urusannya pada keluarga Upik alias Victoria. Entah kenapa dipanggil Upik dan ia juga bingung kenapa namanya bisa sebarat itu. Bahkan tiap menyebutkan namanya tak akan ada yang tahu kalau mukanya jauh dari Barat. Cenderung Padang dengan mata bulat, hidung mancung dan wajah yang lonjong. Kulitnya agak kecoklatan pula. "Gak usah dengerin Unni-mu itu," tutur Udanya. Upik menghela nafas. Ya memang benar. Ia tak pernah ambil pusing dengan mulutnya yang pedas selama menumpang di sini. Tolong dicatat kalau ia menumpang di rumah kakaknya sendiri. Kalau dibilang tidak nyaman, itu sudah pasti. Tapi sudah bertahun-tahun begini. Abangnya sungguh beruntung istilahnya. Dari lulus kuliah, bekerja di perminyakan lalu dikirim kuliah ke luar negeri dan kembali ke Indonesia dengan posisi strategis. Saat ini berkantor di kantor pusatnya di Jakarta. Kalau ditanya, apakah Upik betah tinggal di sini? Tidak juga. Ia bertahan karena tak mau pulang dan takut menyusahkan kedua orangtua yang sudah susah. Berharap mendapatkan pekerjaan tapi rasanya seperti sudah tak mungkin lagi. Ia termasuk orang yang susah mencari kerja. Akhirnya, Udanya ini dengan baik hati membangun kafe untuknya. Tapi yaaaa....meskipun Udanya baik tapi ternyata mendapat jodoh yang masya Allah sekali pelitnya. Padahal yang bekerja itu Udanya tapi ya sudah lah. Sabar saja. Hanya Allah yang tahu hikmah dibaliknya. Kalau ditanya adalah ipar zalim seperti ini? Ini adalah contoh nyatanya. Bahkan untuk mengirim uang pada orangtua Upik di kampung sana pun, julid sekali. Takut miskin padahal itu memang kewajiban Udanya. Ayah dan ibu Upik kan hanya petani. Meski punya sawah lumayan luas tapi gak seberapa besar pendapatannya dibandingkan dengan Udanya. Maklum lah, luas sawahnya memang tak begitu besar. Tapi cukup lah menguliahkan Udanya hingga menjadi orang sukses seperti ini. Sementara Upik? Ketika kuliah, ia mendapat beasiswa khusus tidak mampu. Ayahnya membayar semampunya. Sisanya, Udanya yang menanggung. "Kalau Unni-mu ngomong macam-macam lagi, kasih tahu Uda." Upik hanya menghela nafas. Itu pesan Udanya sebelum berangkat kerja hari ini. Upik bukannya tak mau melapor semua kekejaman kata-kata dari kakak iparnya yang menyebutnya penumpang atau keluarga mereka yang miskin. Tapi ia hanya tak mau membuat keduanya bertengkar. Ia merasa seperti mengadu domba keduanya. Selama bertahun-tahun Udanya tak pernah tahu perlakuan kakak iparnya kepadanya. Baru tahu beberapa bulan belakang. Itu pun tahu karena Bibi yang bekerja di rumah ini melapor diam-diam. Karena Upik jarang diberikan makan, sering disuruh kerja bagai babu. Makanya dipanggil Upik Babu oleh sang kakak ipar. Ada ya kakak ipar semacam ini? Ya ada. Sangat nyata malah. Kejamnya sama dengan ibu tiri. "Kamu itu udah tahu numpang, kerja yang semangat dikit lah. Itu juga di kafe, jangan cuma duduk-duduk doang. Memangnya kamu yang punya?" Lagi. Ia mendengar omelan itu dan merasa sangat sedih. Upik tak tahu harus bercerita pada siapa kalau bukan pada pacarnya. Sayangnya, pacarnya jauh sekali. Sekarang sedang S2 sembari bekerja di Australia. Ia menghela nafas. "Bi! Itu suruh dia aja yang nyuci. Kebiasaan nyuruh-nyuruh pembantu di rumah ini. Memangnya dia nyonyanya?!" Upik hanya memandangnya. Keponakannya yang digendong pun hanya menatapnya dengan sedih. Disaat tak ada Udanya, ia dilarang menyentuh keponakannya sendiri. Menyedihkan bukan? Ya. Jangan ditanya. Tapi ia tak bisa berbuat apapun. @@@ "Apa kamu gak bisa bantu aku cari kerja, Chan? Ya apa aja deh. Yang penting bisa dikerjain di mana aja," tuturnya. Ia meminta tolong pada pacarnya yang berada jauh di sana. "Nanti aku coba cariin honey. Tapi gimana dengan kafemu? Oke? Lancar?" Upik berdeham. Ia lama berpacaran dengan lelaki ini. Kenal di UI dulu. Lebih tua dibandingkan dengannya. Perbedaan hanya dua tahun. Tapi pola pikirnya sangat dewasa. Upik sangat bahagia karena sangat diperhatikan dan juga setia. Apalagi setipe karakter dengan Udanya. Ia dan Udanya saja berbeda tujuh tahun. "Yeah sejauh ini," tuturnya. Ia sedang duduk sambil mengamati pengunjung kafe. Hari ini lumayan ramai dengan mahasiswa. "Kenapa kok gak yakin begitu?" Upik tersenyum kecil. Ia tahu kalau ada sesuatu hal yang menganggu. Yeah, kakak iparnya. Tapi ia tak mungkin menceritakannya kan? Yang namanya pacar ya tetap pacar. "Apa aku ke Australia aja?" "Ngapain?" "Yaaa kerja. Siapa tahu rejekinya di sana." Terdengar tawa di seberang sana. "Lebih banyak pekerjaan kasar, honey. Aku kasihan sama kamu kalau harus ngelakuin hal seberat itu. Nanti aku coba hubungi beberapa temenku yang barangkali punya lowongan kerja online yang fleksibel untuk kamu ya?" Upik berdeham. Mengiyakan. Sebenarnya ia rindu sekali. Cowok ini sudah lama di Australia. Hampir tiga tahun. Tahun ini, sedang mengerjakan tugas akhir. Dan tiga tahun pula tak bertemu. Wajar kan? Tapi hubungan mereka sangat awet hingga kini. Sudah bertahun-tahun bahkan hampir sembilan tahun? Eh apa delapan tahun ya? Upik agak lupa juga saking lamanya. Ia menutup teleponnya lalu membantu karyawan lain membuat kopi. Matanya menyipit menangkap sosok Bastian yang muncul bersama beberapa teman. Sepertinya cowok itu juga tak tahu kalau Upik mengelola kafe ini. "Bas!" panggilnya. Cowok itu langsung menoleh. Upik tersenyum lebar. Ia melambaikan tangannya. Bastian balas mengangkat tangan. Akhirnya cowok itu datang menghampirinya. "Ngapain di sini?" tanyanya. Takjub karena bertemu di sini. "Lo yang ngapain! Kerja di Jakarta kok mampirnya ke Depok sih?" Bastian terkekeh. "Biasa lah. Abis dari suatu tempat terus berakhir nongkrong dari pada balik ke kantor. Suntuk sama pekerjaan." Aaah. Upik mengangguk-angguk. "Pesan apa? Biar gue buatin!" serunya. Bastian harus mencoba kopi buatannya. Bastian terkekeh. "Jadi barista sekarang?" Upik terkekeh. "Dari pada gak ada kerjaan sama sekali kan?" Mata Bastian membulat. "Serius belum kerja sama sekali semenjak lulus?" Upik nyengir. "Yaa rejeki setiap orang beda-beda, Bas." "Mau gue kenalin ke temen gue gak?" Mata Upik mengerjab-erjab. "Seriusan?" Bastian tertawa. "Gue gak ngira kalo lo masih belum kerja. Kalo bilang, pasti udah lama gue masukin deh." "Seriusan? Jadi apa?" "Content writer. Lo kan suka nulis sok-sokan romantis begitu." Upik menyemburkan tawa. "Tapi beda lah. Itu kan gak kayak gitu." "Ikut mempromosikan suatu produk kan butuh keahlian juga. Dan tulisan lo punya daya tarik juga. Kenapa gak coba dulu?" tanyanya. Upik tampak berpikir. "Ini perusahaan asing loh, Pik. Yah gue tahu seleksinya akan ketat tapi kerja akan online dan kalau lo bisa membuat mereka jatuh cinta pada pandangan pertama maka, kesempatan itu bisa jadi milik lo. Gimana?" Aaah. Sulit ditolak kalau begini. Mau tak mau, Upik menguji nyalinya. Beberapa hari kemudian, ia merusuhi Udanya. Biasa, Udanya selalu menjadi partner baginya untuk berbicara bahasa Inggris. Ia jadi jago karena sering berdebat dalam bahasa Inggris dengan Udanya. "Untuk apa memangnya?" tanya lelaki itu. Heran saja karena tiba-tiba Upik meminta untuk diwawancarai dalam bahasa Inggris. "Aku mau coba, Da. Kan kita gak tau ya rejeki itu. Memang ada kafe Uda tapi aku kan gak bisa bergantung sama Uda terus." "Bagus deh kalau nyadar!" Celetukan itu membuat Udanya menoleh. Lelaki itu sebenarnya sudah lama menahan diri akan semua hinaan yang sering keluar dari mulut istrinya pada adiknya ataupun orangtuanya. Tapi beberapa bulan terkahir memang terdengar kasar dan keterlaluan. Bahkan Upik sering menangis diam-diam. "Syanin!" Upik memegang lengan Udanya. Takut keduanya bertengkar. Mereka memang sering bertengkar dan Upik tahu siapa yang menjadi penyebabnya. Siapa? Apa perlu ditanya? Kakak iparnya jelas risih dengan keberadaannya sejak bertahun-tahun di sini. Sikap perempuan itu memang berubah semenjak sudah dinikahi Udanya. Padahal dulu baik sekali. Upik ingat saat dulu, ia sering dikirimi makanan atau bahkan membawa sarapan saat ke kampus karena dimasaki perempuan ini. Tapi ketika sudah dinikahi Udanya, ia sering disindir, dihina dan diperlakukan selayaknya babu. Menyedihkan bukan? Tapi yang menghina bukan hanya perempuan ini saja. Keluarganya juga sama saja. Mungkin karena merasa kalau keluarganya lebiht terhormat. Padahal kekayaan mereka juga tak seberapa. Maksudnya, masih banyak yang lebih kaya tapi tidak tinggi hati seperti kakak ipar dan keluarganya ini. Perempuan itu melengos sembari membawa pergi anaknya menuju lantai dua. Sementara Upik menahan sakit hatinya. Kalau bukan karena ia tak punya uang, ia sudah lama angkat kaki dari sini. Enggan ikut dalam rumah tangga Udanya. "Gak apa-apa, Uda," tuturnya pelan. Ia sudah tak berminat untuk melanjutkan sesi interview tadi. Lebih baik ia menenangkan diri. Maka ia beranjak dari kursi makan dan meninggalkan Udanya yang menghela nafas panjang. Satu jam kemudian, Upik bisa mendengar dengan jelas Udanya yang ribut dengan kakak iparnya. Perempuan itu dengan terang-terangan keberatan dengan kehadiran Upik yang tinggal bertahun-tahun di sini. Tapi Upik tak tahu lagi harus ke mana. Harus pulang kah? Ia menarik nafas dalam. Setelah agak bisa berpikir jernih, ia menelepon Amaknya di Padang sana. Perempuan itu bisa mendengar suara Upik yang gemetar. "Kenapa, Nak?" Upik menarik nafas. "Upik boleh pulang aja, Amak?" "Kenapa? Ada apa?" Upik menahan tangisnya yang ingin meledak. Ia tak mau suara isakannya sampai keluar. "Gak apa-apa. Sepertinya Upik pulang kampung saja. Di sini juga gak dapat-dapat kerja. Gak enak nyusahin Uda terus." Amaknya tersenyum tipis. "Ya pulang lah, Nak. Amak dah siapkan satu ruko besar. Kau bisa berdagang, bantu Amak sama Ayah di sini. Uda kau bisa fokus sama rumah tangganya. Dari dulunya, Amak itu udah suruh kau balik. Tapi kau keras kepala." Upik terkekeh. Syukur lah, pikirnya. "Dapat ruko dari mana?" tanyanya. Setahunya Ibunya tak punya banyak tabungan. "Amak sama Ayah dapat naik haji gratis dari Pak Kyai Mustafa. Jadi uang tabung haji yang selama ini dah terkumpul, Ayah wasiatkan untuk usaha kau. Sudah tanya Udamu dan Udamu gak keberatan. Tadinya mau Ayah ganti uang bangun kafe Uda kau tapi dia tolak. Katanya ikhlas mau bantu kamu." Upik tersenyum kecil. Ia mengusap air matanya. Terharu. @@@ "Kenapa sih, Piik? Kok tiba-tiba!" seru Chayra. Ia baru saja diberitahu kalau Upik akan pulang ke Padang dalam waktu dekat. Ini sungguh perpisahan yang tak terduga. "Mumpung ada rejeki. Gue juga gak bisa seterusnya di sini tanpa kepastian kan." "Katanya mau kelola ini kafe dengan serius!" Upik terkekeh. Ia sudah berbicara baik-baik atas keputusan ini dengan Udanya. Ia juga sudah bilang untuk tak marah dengan kakak iparnya karena urusan ini. Meski ia tak yakin kalau Udanya akan mendengar. Tapi menyelamatkan rumah tangga mereka adalah hal utama. Sekalipun kakak iparnya sama sekali tak menyukainya. Ia tetap menyayanginya kok. Seburuk-buruknya perlakuan orang lain, ia sama sekali tak mau membalasnya. Karena apa? Setiap amal itu sudah pasti ada balasannya. Iya kan? "Gue pikir-pikir lagi, lebih baik pulang ke Padang dan bantu Amak juga Ayah di sana." "Yaaah!" seru Nabila. Gadis itu baru saja tiba dan sudah kecewa dengan keputusan mendadak yang dibuat Upik. Nabila duduk dengan terburu-buru. Ia juga baru mendapat kabar dan mendadak naik kereta untuk bisa sampai ke sini. "Padahal Ammar besok akan datang ke sini, Pik." "Ya gue masih di sini lah. Kan seminggu lagi baliknya. Masih sempat main sama Ammar, elo berdua sama Bastian. Gue sengaja kasih jarak biar gak tiba-tiba amat. Dan lagi, gue juga baru mau ngirim barang pakek kargo ke Padang biar murah meriah." Ia masih sempat bercanda. Dua sahabatnya menatap dengan cemberut. "Ya ini juga gak gampang. Tapi gue juga berat bertahan di sini." Nabila menghela nafas. Chayra menatapnya dengan kepedihan yang sangat dalam. "Terus?" "Ya udah. Uang penting besok gue masih bisa ketemu Ammar. Bisa jemput Ammar juga kayaknya." Nabila mengangguk-angguk. "Kak Chandra bukannya mau melamar elo kan?" Upik terbahak. Ia juga berharap seperti itu. Tapi pacarnya sedang fokus dengan tugasnya di sana sebagai mahasiswa tingkat akhir. Ia tak mau mengganggu. Ia bahkan tak mengatakan apapun soal kabarnya yang kembali ke Padang. Nanti saja pikirnya. Persoalan itu bisa diputuskan. Yang penting, urusannya di sini akan beres dan tidak akan mengganggu kakak iparnya lagi. "Gue pengennya itu. Tapi yaaa seperti yang kalian tahu. Dia sedang fokus sama S2-nya." "Ah ya? Belum selesai juga, Pik?" Upik mengangguk. "Gue juga gak paham sih. Tapi katanya ada proyek gitu sebagai tugas akhir yang bikin susah lulus." Nabila dan Chayra mengangguk-angguk saja. Barangkali memang benar. Toh sistem pendidikan di negara asing pasti berbeda dengan Indonesia. Namun belum tentu berlaku juga untuk semua jurusan yang sama. Iya kan? "Tapi dia ada gitu ngomong tentang ke mana akhir hubungan kalian?" Upik menggeleng. Ia selalu berpikir positif terhadap sesuatu hal. "Dia kan sedari dulu memang selalu fokus pada pencapaian dan barangkali, prioritasnya bukan gue." Chayra mengangguk-angguk. "Hanya tidak lupa juga untuk menjadikan lo salah satu bagian dari masa depan yang ia inginkan." Upik terkekeh. Benar juga. @@@ "Ini gak ada hubungannya dengan Unni-mu kan, Pik?" Udanya hanya memastikan. Upik terkekeh. Lelaki ini sampai ke kamarnya demi mencari tahu alasan sebenarnya Upik memilih kembali pulang. "Amak bilang udah beli ruko. Nanti Upik bisa dagang baju di sana. Kalau enggak ya buka warung kecil. Terus kemarin kan Upik udah interview sama perusahaan Kanada, kenalan dari teman Upik itu. Mudah-mudahan diterima. Upik jadi punya tambahan pemasukan lagi dari sana. Jadi bisa bantu Uda untuk menghidupi Amak sama Ayah." "Itu tugas Uda," tukasnya yang membuat Upik terharu. Ia sangat beruntung mendapat lelaki seperti Udanya yang sangat bertanggung jawab bukan? Dan harusnya, kakak iparnya lebih bersyukur karena Udanya mau padanya. Tapi ah ia tak mau memikirkan perempuan itu lagi. Terserah lah bagaimana sikapnya, hanya jangan keterlaluan pada kedua orangtuanya atau ia akan mengamuk seperti waktu itu. Ya, Upik pernah mengamuk saat ia wisuda dan perempuan itu sangat tidak suka dengan kehadiran Amak dan Ayahnya yang ikut menginap di sini. Padahal mereka adalah mertuanya sendiri. Tapi perlakuannya sangat tidak manusiawi. Astagaa! Padahal Amak dan Ayahnya menganggapnya seperti anak sendiri meski berstatus sebagai menantu. Tapi tak pernah dianggap. Bahkan cenderung malu. Mungkin karena penampilan Amak dan Ayahnya yang sangat sederhana. Yaa sesederhananya orang kampung yang emang tak menyukai kemewahan. Berbanding terbalik dengan gaya hidup kakak iparnya yang serba gengsi. Ia salut pada Udanya karena bisa bertahan sejauh ini. Cantik sih parasnya. Tapi apa gunanya kalau tak punya attitude? "Tapi benar kan?" "Gak ada, Uda. Kalau ada, udah dari dulu Upik pergi dari sini. Untuk apa tinggal begini?" ucapnya. Meski ia sebetulnya gagal menyangkal karena Udanya bisa menebak. Tapi lelaki itu enggan membuat pembicaraan itu semakin panjang. Karena Upik terlihat sangat menghindari pembicaraan itu. "Kamu masih berpacaran dengan si Chandra itu?" Upik terkekeh. Salut juga karena Udanya masih ingat dengan Chandra. Terakhir bertemu kan tiga tahun lalu. "Masih dengan pria yang sama. Upik kan setia." Udanya terkekeh kecil. Malam ini akan menjadi malam.yang sangat panjang karena ia rindu mengobrol dengan santai bersama adiknya seperti ini. Hal yang mungkin tak bisa ia lakukan untuk ke depannya nanti. Ia sedih, tentu saja. "Beruntungnya dia mendapatkanmu." "Uda juga. Unni sangat beruntung mendapatkan Uda sebagai suami dan Upik juga sangat beruntung karena memiliki abang seperti Uda!" serunya dengan ceria lantas memeluk Udanya dengan hangat. Lelaki itu terkekeh. Perbedaan usia antaranya dan Upik yang cukup jauh memang membuatnya sangat protektif terhadap Upik. Bahkan untuk mendapat izin pacaran dengan Chandra saja, Chandra sampai wawancara mendalam dengan Udanya ini. Mungkin takut adiknya disakiti. Tapi wajar bukan? Namun mereka bertahan selama ini. Bukan kah keren? "Apa dia sudah mengajakmu untuk menikah?" Pertanyaan itu terlontar lagi. Biasanyanhahya muncul setahun sekali. Upik menghela nafas. Ia akui kalau belum ada pembicaraan apapun ke arah sana bersama Chandra. Tapi ia berpikir, Chandra hanya masih fokus pada cita-citanya saja. Dan lagi, ia juga tak mau terburu-buru menikah. "Nanti, Uda. Kak Chan sedang fokus sama kuliahnya. Upik gak masalah. Upik malah mendukung." Udanya mengangguk-angguk. "Tapi tetap perlu kejelasan. Kalau terlalu lama, tinggalkan saja. Pasti ada lelaki yang jauh lebih baik dari dia." Upik menghela nafas mendengarnya. Kalau penggantinya seperti Idanya, ia tak keberatan. Tapi masalahnya, tidak semua lelaki seperti Udanya. Iya kan? @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN