Apa Kabar, Bil?

2488 Kata
Memang benar. Upik hanya bisa menyikut siku Chayra usai melihat apa yang ada di ponsel Nabila. Sebagai mantan istri dari seorang narapidana korupsi, jelas namanya akan terseret. Nabila sangat malu karena teman-teman SMA-nya asyik membicarakan itu di grup mereka. Bagaimana mungkin Nabila tidak tertekan memikirkannya? Ia bahkan tak berani muncul sekalipun mereka sudah tak membicarakannya lagi di grup. Tapi tetap saja kan? Semua orang sudah tahu. Mau menghindar terasa percuma. Rasanya sama seperti dulu. Ingin mati saja. Nabila sempat berpikir seperti itu. Dari pada hidup menanggung malu seperti ini. Namun ia masih sangat takut melakukannya. Jujur saja, hatinya sangat rapuh meski terkadang tampak sok tegar, sok kuat, sangar dan lain-lain. Tapi yang namanya manusia juga tetap manusia. Ada kalanya rapuh dan terjatuh. Kalau tak kuat menahannya, sudah banyak yang memutuskan untuk mati. Sementara keempat temannya masih saling melirik. Tak tahu bagaimana menanggapinya. Mungkin orang-orang di luar sana akan melihat hidup Nabila sebagai hidup yang menjadi impian mereka. Punya nenek yang kaya. Tinggal di apartemen pula. Jatah bulanan masih mengalir meski bekerja. Harta warisan sudah pasti didapat. Apalagi ibunya adalah satu-satunya anak dari neneknya. Tapi Nabila justru tak menginginkan itu. Ia lebih rela hidup miskin tapi memiliki keluarga yang utuh. Bukan kah itu lebih indah? Karena definisi bahagia itu bukan lah dari harta. Definisi bahagia itu bagi Nabila adalah keluarga yang utuh. Entah seperti Upik atau Chayra. Tapi Tuhan berkehendak lain. Ammar berdeham. Mematahkan kesunyian yang mendera. Cowok itu yang pertama kali memeluk Nabila kemudian disambut Bastian dan Upik. Chayra mengelus bahunya. Chayra paham, ketika berhadapan dengan seseorang yang sedang sakit mental, jangan menghakiminya. Kalau tak bisa berkata yang baik, maka diam lah. Karena sejujurnya, mereka hanya ingin didengar keluh kesahnya. Bukannya makan atau langsung menyuruh ini-itu untuk berubah atau apapun. Karena itu tak akan masuk. Mereka ingin perhatian, empati dan simpati. Jadi pergunakan nurani dulu untuk bisa merasakan hidup mereka yang sedang sempit. Karena orang yang melihat dari luar, tak akan pernah tahu apa yang terjadi di dalamnya kalau hanya menggunakan logika pikiran dan mata tanpa nurani, rasa kemanusiaan dan hati. Jangan lupa membandingkan hidup kita dengan mereka yang mungkin bagi kita terasa lebih berat dibandingkan dengan mereka. Karena tahu apa? Tuhan itu memberikan ujian sesuai kemampuan hamba-Nya. Jadi bagi kita mungkin ujian yang dijalani orang itu tak begitu berat. Tapi baginya belum tentu. Karena sekali lagi, kita tak pernah tahu bagaimana kondisi hati dan bagaimana ia menjalani hidup selama ini. "Coba aja, Cay," tutur Bastian. Chayra mengangguk. Ia berencana meminta tolong pada Amita. Adiknya Adamas. Perempuan itu kan bekerja di media. Mungkin Chayra bisa meminta tolong dengan pencerahannya agar tak terlalu booming apalagi sampai menyeret Nabila di dalamnya. Dan tentu saja Amita kaget mendengar kabar itu. Kemudian perempuan itu menutup mulutnya. "Temen kamu? Ya ampun, Chaiy!" "Ini ya, Kak. Jadi gimana ya? Biar dia gak ikut terseret gitu. Kasian anaknya sampe stres." Amita mengiyakan lalu perempuan itu meminta profil lengkap Nabila dan juga saudara-saudaranya untuk jaga-jaga. Takut bocor juga ada masyarakat atau media lain. "Media yang kurang ajar sih biasanya emang bakalan godok sampe bawah. Tapi nanti aku bisa minta tolong ke Komnas anak dan perempuan untuk ikut bantu melindungi keluarga lainnya ya. Urusan psikis itu bahaya banget soalnya." Chayra mengiyakan. Setelah mendengar penjelasan lain dari Amita, Chayra mematikan telepon. Ia setidaknya bersyukur karena ada tempat bertanya. Kemudian menghela nafas lega. "Si Oma nanti gimana?" "Gak tahu sih. Tapi asistennya bilang sampe jam dua pagi. Kita tungguin aja," tutur Upik kemudian menoleh ke arah dua cowok yang berbaring di lantai. "Lo berdua kalau mau balik, balik aja geh. Lo juga, Bas. Besok kan kerja." "Gue sih santai. Kalo kalian kepengen istirahat di dalem. Entar gue tidur di masjid aja. Tadi udah nanya, katanya boleh tidur di sana. Lo aja, Bas yang pulang. Gue mau jagain ini cewek-cewek." Bastian masih asyik berbaring sambil memejamkan mata. Chayra menggelengkan kepala melihat tingkah kedua cowok ini. Sedari dulu memang begitu. Tiap Nabila, Chayra atau Upik sakit pasti selalu dijaga dengan baik. "Gue di sini aja lah. Udah jam segini juga ngantuk banget bawa mobil. Males juga berangkat! Urusan besok gampang lah," tukasnya. Ia benar-benar malas meninggalkan kamar besar ini. Kamar Nabila, Omanya meminta untuk dipindahkan ke kamar VVIP tadi. Ammar terkekeh kecil lantas menendang betis Bagian yang membuat cowok itu mengaduh. "Serah yaaa. Yang penting gue udah ngasih tahuuu!" tutur Upik. Lalu cewek itu pamit. Katanya mau mencari tempat sepi untuk teleponan sama pacarnya yang berada di Australia sana. Chayra menggelengkan kepala lagi lalu kembali duduk di dekat Nabila. Cewek itu sudah pulas lagi setengah jam yang lalu. Efek obat yang diberikan dokter. Nabila juga harus makan banyak untuk memulishkan tenaganya. Gadis itu kehilangan nafsu makan karena banyaknya masalah ini. Chayra tersenyum tipis, lantas mengelus kepala Nabila. Ponselnya yang bergetar sesaat, menyita perhatian. Mau Daeng temenin jaganya? @@@ Menjelang jam sepuluh, Chayra keluar dari kamar rawat. Bastian tampak pulas. Pasti lelah karena pekerjaan hari ini. Ammar juga terpejam. Padahal katanya mau mengurusi pendaftaran beasiswanya yang sebentar lagi akan tutup. Mau mengerjakan tapi laptopnya saja di apartemen Bastian. Orangnya saja malas pulang. Dan lagi, ia masih bisa mengerjakan besok kok. Chayra berjalan menuju basemen. Ia baru tahu kalau ada minimarket juga di sana dan buka selama 24 jam itu dari satpam lobi. Akhirnya, ia berangkat ke ke sana untuk membeli roti, minuman dan jajanan yang tadi sudah habis. Chayra tampak fokus saat memilih jajanan apa saja yang hendak dibelinya. Cewek itu sama sekali tak menyadari kalau ada sosok yang mengikutinya dengan pelan. Tapi kemudian orang itu berhenti di dekat pintu. Terdiam lama di sana dan memikirkan banyak hal. Mana berani ia mendekati Chayra? Rasanya kalut. Apalagi melihat lelaki yang katanya sudah melamar Chayra meski lamarannya belum dijawab Chayra. Tapi tetap saja kan? Tak akan ada harapan untuk bisa bersama Chayra. Tak mungkin juga. Semua jalan terasa buntu. Tak ada gunanya. Ia hanya menghela nafas lalu mencoba berbalik pergi. Chayra akan aman. Ini bukan mall. Ini rumah sakit. Kalau ada yang ingin berbuat jahat di rumah sakit, maka orang itu sakit. Sakit jiwa. Di sini, orang-orang banyak yang menderita jadi jangan menyusahkan mereka dengan niat kejahatan. Sungguh tak manusiawi rasanya menjadi manusia. Chayra mengantri di kasir. Suasana minimarketnya memang tak begitu ramai. Tapi kehadiran beberapa orang cukup membantu Chayra untuk berani berjalan sendirian menuju lift. Begitu keluar...... "Ngomong bentar," tukas Ammar. Chayra berkedip-kedip. Baru tahu kalau Ammar berdiri di dekat pintu lift ketika ia hendak keluar. "Ngomong apaan?" "Di sana yuk," ajaknya menunjuk taman. Lagi pula ada Bastian yang berada di dalam kamar rawat Nabila. Upik entah di mana. Sama sekali tak terlihat wujudnya. "Ada apa sih?" tanya Chayra. Ia menaruh tas plastik di antaranya dan Ammar. Bukan untuk memberi batas. Tapi siapa tahu Ammar lapar. "Makan nih." Cowok itu mengangguk lalu menghela nafas. Matanya menatap lurus ke depan. "Menurut lo, Bang Adamas gimana orangnya?" Chayra terkekeh geli. Ia geleng-geleng kepala. Terasa ganjil dengan Ammar. Maksudnya, kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu? Apa karena seharian ini bertemu Adamas? "Menurut lo?" Ammar berdeham. "Dia sayang sama lo, Cay," tukasnya. Chayra menoleh. "Dia cerita apa aja ke elo?" "Hanya sebatas yang lo sama dia alami. Dia sig gak ngasih detil. Tapi sepenangkap gue dan cerita dari lo secara tidak langsung. Mungkin gue bisa memperkirakan kalau apa yang gue duga ini bener. Apalagi dengan respon lo yang kayak gini." Chayra menghela nafas. "Gak ada hubungannya sama mantan kan?" Chayra menghela nafas. Kemudian menggeleng lemah. Gelengan tak yakin. Karena ia pernah memiliki seseorang yang menurutnya terbaik. Tahu apa kebutuhannya bahkan tanpa bicara. Tahu bagaimana kondisi hatinya sehingga mudah untuk menyesuaikan. "Yang udah, biarin udah lah." Ammar mengangguk-angguk. "Bagus lah." Chayra justru terkekeh. Kemudian menoleh ke arah Ammar. "Kenapa mikirnya kayak gitu?" Ammar mengendikan bahu. "Namanya juga asumsi. Bisa dalam bentuk apa saja." Chayra mengangguk-angguk. Masuk akal. Kemudian matanya berpedar melihat sekitar. Taman ini cukup terang. Letaknya benar-benar di tengah-tengah rumah sakit yang dikelilingi gedung rumah sakit bertingkat-tingkat. Banyak kamar di dalamnya. Kamar rawat tentu saja. Masih banyak petugas yang terjaga dan tampak hilir mudik. Bahkan terdengar suara sirine dari arah UGD. Tak terasa sepi-sepi amat di sini. Saat Chayra mendongak ke atas, tak banyak bintang yang terlihat. "Menurut lo, gue udah move on?" Ammar malah tergelak. Itu pertanyaan lucu dan cukup menghibur. Buktinya Ammar sampai memegangi perutnya. Chayra tersenyum kecil melihatnya. Kemudian menoleh ke arah lampu yang menerangi taman. "Sepenglihatan gue sih begitu. Emang belum ya?" "Udah kok. Cuma takut orang mikirnya sebaliknya." Ammar terkekeh lagi. "Gak usah dengerin kata orang lah." Chayra hanya berdeham. Memang benar. Tak akan ada habisnya kalau terus mendengar kata-kata orang. Iya kan? "So?" "Apanya yang 'so'?" "Lo sama Bang Adamas. Dia kan orang baik, Cay. Sempurna untuk ukuran cowok. Kalo gue jadi cewek, gue juga naksir deh." Chayra tertawa. "Gak lucu kali ah!" Ia geli karena Ammar mengatakan 'kalo gue jadi cewek, gue juga naksir deh' itu dengan nad perempuan. "Atau lo bimbang? Masih ragu atau takut? Atau gimana?" "Nikah itu gak gampang, Mar." "Gampang kalo udah ada calonnya. Kalo jomblo sih gitu alasannya." Chayra tertawa lagi. "Apalagi coba yang lo tunggu? Cowoknya udah ada. Sempurna dan terbaik. Setidaknya untuk ukuran manusia. Dan semua cewek juga pasti banyak yang suka sama dia. Tapi dia maunya elo untuk jadi pasangan hidup. Bukan sekedar pacaran." Chayra berdeham dengan wajah serius mendengar apa yang dikatakan Ammar. "Gak ada alasan untuk lo nolak dia. Kecuali perkara hati sih. Walau katanya, cinta bisa datang karena terbiasa. Kalo gue sih jujur aja, Cay, gak mai melewatkan kesempatan emas. Belum tentu lo bakalan dapat yang lebih dari Bang Adamas." Chayra terdiam. Memang benar. Semua orang berbicara begitu. Bukan hanya ibunya, keluarganya tapi teman-temannya juga sangat setuju. Ammar berdeham. Cowok itu menepuk bangku usai beranjak. "Masuk yuk, banyak nyamuk," tuturnya. Ia menghentikan pembicaraan agar Chayra bisa memikirkan semuanya dengan lebih baik dan bijaksana. Bastian mengernyit ketika pintu terbuka dan kedua orang itu muncul. Ia menguap lantas menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Pada dari mana sih?" Ammar malah tertawa. Chayra menunjukan plastik yang ia bawa. "Babil bangun gak?" Bastian menggeleng. Sejauh ini, tak ada suara. "Upik mana?" Ia baru tersadar. Tak lama, Upik muncul dengan ceria. Ammar geleng-geleng kepala. Pasti girang setelah bertemu pacar. "Tapi ada kejadian serem tadi." "Serem apaan?" "Gue tadi jalan-jalan gitu sambil video call kan, terus duduk lah gue di depan pintu sebuah ruangan. Ya merinding sih awalnya. Tapi gue gak mau mikir apapun kan. Eeeeh ada yang nepuk gue tiba-tiba padahal awalnya, gue gak denger suara langkah kaki apapun. Terus...." "Terus?" Chaya membeo. Ammar justru menahan tawa. Tahu kalau Upik hanya bercanda. Meski mimik wajahnya serius. "Ternyata satpam." "Helaaah." Ammar terkekeh pelan. @@@ Nabila terbangun tepat jam setengah dua pagi. Gadis itu membuka mata dengan pelan hingga cahaya membuat pupil matanya mengecil karena cahaya dari lampu kamar. Kemudian ia mendengar suara dengkuran yang membuatnya tersenyum kecil. Suara dengkuran Bastian dan Ammar yang sepertinya sedang balapan di dalam mimpi. Kedua cowok itu tidur di ruang depan. Sementara Upik dan Chayra di sofa dekat dengan Nabila. Pemandangan ini tak asing sebetulnya. Karena dulu juga sudah sering terjadi. Tiap ia sakit, pasti begini. Nabila bergerak pelan karena tak mau membangunkan keduanya. Mereka pasti lelah. Entah baru jam berapa tidurnya karena pasti asyik mengobrol dengan Ammar dan Bastian. Lalu Nabila melirik ponselnya yang mengerjab-erjab. Pertanda ada sebuah panggilan yang masuk. Ternyata....dari Omanya. Ia mengangkatnya setelah menyembunyikan tubuh di bawah selimut tebal rumah sakit. Agar suaranya tak terdengar menganggu kedua sahabatnya. Kemudian mengatakan kalau sudah baik-baik saja. Kebetulan terbangun karena efek obat. Nabila berniat tidur lagi karena disuruh Omanya tidur. "Gak usah sekarang maksud Nabil. Besok pagi aja. Kan urusannya juga besok. Dokter tadi juga belum tentu jaga sampai sekarang Omaaa." Ia hanya tak mau Omanya khawatir. Mudah-mudahan para asisten Omanya bisa bekerja sama dengan baik dalam menyembunyikan kabar viral dari namanya yang tidak lazim itu. Nabila menghela nafas. Ia sih tak begitu heran kalau akan ada hal seperti itu. Ia tahu bagaimana ibunya yang tidak tahu etika, tidak tahu usia dan segala hal yang dilakukan persis anak labil yang baru mengenal cinta. Mungkin Nabila tak begitu mengerti bagaimana perasaan seorang perempuan yang memutuskan menikah diusia yang sangat muda saat itu. Tapi Nabila sama sekali tak perduli. Karena itu tetap salah ibunya. Kenapa mau menikah kalau tak siap mental? Selama ini, memang bukan hanya ayahnya yang berbuat ulah, ibunya juga. Dan bagi Nabila, keduanya sama saja. Tak ada bedanya. Nabila menghela nafas. Memikirkan hal itu hanya akan membuatnya lelah dengan masalah. Akhirnya, ia menaruh ponselnya di atas nakas dan berusaha tidur. Ia bolak-balik menghadap ke kiri lalu ke kanan. Kejadian itu berulang berkali-kali. Tapi nihil. Hingga satu jam kemudian, matanya masih betah membelalak. Ia menoleh ke arah Upik dan Chayra yang benar-benar pulas. Rasanya malah ingin tertawa. Apalagi mendengar dengkuran kedua cowok di depan sana. Astaga! Entah apa jadinya ruangan di depan itu. Pasti sudah berantakan ke mana-mana. Ia tahu bagaimana kedua orang itu kalau tidur bersama. Saat Nabila hendak beranjak pelan dari ranjang, ia dikagetkan dengan kedipan ponsel. Muncul satu pesan yang ketika ia sentuh layarnya, ia termangu. Hei, Bil. Apa kabar? Alih-alih membalas. Nabila malah termangu. Nabila tak perlu membuka profilnya. Karena foto itu sangat kentara. Sangat pekat. Nabila jelas mengenal orang itu sejak lama. Tak mungkin ia tak tahu wajahnya. Meski nomornya sudah berganti. Nabila menghela nafas. Ia hanya membacanya. Kemudian menaruh ponselnya di atas nakas lagi. Namun saat hendak beranjak lagi, pesan baru masuk lagi. Belom tidur? Nabila terpaku. Jelas saja lelaki itu tahu karena Nabila membaca pesannya. Walau tak dibalas. Nabila memutuskan untuk melanjutkan langkahnya ke kamar mandi dengan pelan sambil menarik tiang infus. Ia tak mau mengganggu kedua sahabatnya. Setelah selesai memenuhi panggilan alam, ia kembali terpaku membaca pesan yang baru saja masuk bertubi-tubi sejak ia masuk ke dalam kamar mandi. Karena ponsel ditinggalkan Nabila dalam keadaan membuka pesan itu, pesan itu jelas langsung terbaca meski orangnya entah di mana. Bil, sorry. Lo masih marah? Gue hanya ingin tahu kabar lo. Lo baik-baik aja kan? Tak perlu menduga lebih jauh. Karena Nabila sudah mengerti dalam sekejab saja. Pasti karena kabar itu sudah sampai di telinga lelaki itu kan? Makanya tiba-tiba menghubungi. Nabila menghela nafas. Setidaknya ia harus mengucapkan terima kasih atas perhatian yang diberikan. Walau Nabila tak menampik, ia sangat senang karena cowok itu datang mencari tahu kabarnya. Setidaknya kepedulian itu membuatnya merasa agak baik. Lalu apa katanya tadi? Lo masih marah? Kening Nabila mengernyit. Justru ia yang ingin bertanya seperti itu. Bukannya elo yang masih marah? Namun pertanyaan itu hanya tersimpan di dalam hati. Sorry, gue kamar mandi dulu tadi Pesan itu terkirim. Baru saja hendak membalas pesannya yang lain, nomor asing itu muncul di layar ponselnya. Melakukan panggilan. Nabila berdeham tanpa suara kemudian mengangkatnya setelah menyembunyikan tubuh di bawah selimut. Ketika diangkat, suasana hening. Tak ada yang mulai bicara. Walau terdengar helaan nafas masing-masing. "L-lo--" "L-lo--" Keduanya bersuara bersamaan lalu terdengar kekehan ringan. Canggung dan terasa aneh. Bayangkan, dua orang yang dulu pernah sangat dekat mendadak menjadi asing. "Lo apa kabar, Bil?" Nabila tersenyum tipis. Kalau boleh jujur, ia rindu sekali. Sangat-sangat rindu. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN