Rainy 12

1358 Kata
"Jadi keluarga kalian udah melakukan pertemuan?" "Hm.." "Lo mau minum apa Yan?" "Gue apa ya? Hmm, lechyee tea aja deh.." Diah menyebutkan pesanan mereka. "Malah jadi lo duluan yang nikah di antara kita bertiga," Diah membuka obrolan. Hari ini mereka akhirnya berkumpul. Sudah pasti sebagian besar pembahasan adalah tentang rencana pernikahan Yana. Yana tersenyum. Memang tidak disangka. Padahal yang sudah lebih dulu mengurus segala macam tentang pernikahan adalah Adira. Diah juga sudah mendekati hal itu. Yana yang nyaris tidak pernah membahas masalah pernikahan sejak ia dan Daffi putus. Tapi sekarang malah dia yang akan lebih dulu menikah. "Persiapannya gimana Yan?" "Nyokap yang urus. Udah jalan sekitar 40% lah.." "Tante Nora kapan keluar dari rumah sakit?" "Hari ini udah bisa keluar rumah sakit.." "Lo nggak jemput?" Yana memanyunkan bibirnya. "Hm. Jam 4 gue ke rumah sakit.." "Duh calon mantu yang baik," goda Diah. Yana mencibir. "Lo nggak pakai diet kan Yan?" "Diet apaan tulang begitu," ledek Adira. "Hey nona lihat siapa yang ngomong.." "Lo kan.." ketiga gadis itu melebur dalam candaan mereka. Sejenak melupakan masalah masing-masing. Adira maupun Diah tak mendesak Yana untuk bercerita kenapa tiba-tiba Yana mengambil keputusan untuk menikah dengan Bramanaka. Mereka menyerahkan semuanya ke Yana. Terkadang mereka memilih untuk percaya pada pilihan masing-masing. Dan terkadang mereka memilih untuk tidak masuk terlalu dalam. Hanya memperhatikan dari jauh. Sebab sedekat apapun sebuah hubungan, tetap ada rahasia yang hanya bisa disimpan untuk diri sendiri. ... "Anterin Yana pulang, Bram. Udah malem ini.." Yana menggeleng. "Nggak udah Tante. Yana nggak apa-apa kok.." "Nggak apa-apa sayang. Nggak usah sungkan. Ini udah tugas Bram juga." Nora tersenyum, menggenggam tangan Yana. "Makasih ya udah datang, sampai repot-repot nganter.." "Nggak ngerepotin kok tante.." Yana tersenyum. "Kalau gitu Yana pamit dulu ya, tante.." "Hati-hati di di jalan ya. Bram jangan ngebut ya. Anter Yana dengan selamat sampai di rumah.." Bram hanya mengangguk sekilas. Tak ada niat untuk menyela Ibunya itu. Pasrah. "Cepet sehat ya Tante.." "Iya. Hati-hati ya.." ... Untung saja ada lagu John Legend yang menggema di dalam mobil. Setidaknya suasana di dalam mobil tidak terlalu sunyi. Yana tenggelam dengan pikirannya sendiri. Sementara Bram juga tak ingin bicara. Jika disuruh memilih sebenarnya Yana menghindari untuk satu mobil dengan Bram dalam waktu dekat ini. Meskipun sebenarnya mereka harusnya lebih intens. Kalau saja bukan karena untuk menjemput ibu Bram tadi, Yana lebih memilih membawa mobil sendiri. "Besok kamu pulang jam berapa?" Yana tersentak dari lamunannya. Pandangannya dan Bram bertemu. "Hah? Oh, besok kayaknya sore. Tapi aku bisa izin siang. Mau beli cincin kan?" Yana kemudian kembali membuang pandangan ke luar jendela. Memilih untuk tidak bertemu tatapan terlalu lama dengan mantan yang kini justru jadi calon suaminya itu. "Kamu kenal Rayga dari mana?" tanya Bram tiba-tiba. "Hah?" Yana benar-benar terkejut dengan pertanyaan itu. Karena Bram tiba-tiba menyebut nama Rayga. "Ohh, dia teman kuliah aku." "Berarti udah lama." "Lumayan." Yana melirik Bram sekilas. Ingin bertanya sebenarnya kenapa Bram tiba-tiba mengungkit soal Rayga. Yana juga tak menyangka bahwa Bram mengenal Rayga. Ya meskipun mereka tinggal di satu lingkungan yang sama. Tapi Yana memilih untuk bungkam. Entah kenapa Yana merasa bahwa tidak bercerita apa-apa pada Bram adalah pilihan terbaik. Yana memilih untuk kembali merenung. Memikirkan apa saja yang bisa dipikirkannya. Bram pun sudah kembali hanyut dengan dirinya sendiri. ... Yana baru turun dari mobil saat ponselnya berbunyi. Nama Bram tertera di layar. Ternyata Bram sudah ada di dalam. Yana langsung saja masuk ke dalam salah satu toko perhiasan terkenal itu. Toko yang tak lain adalah toko brand perhiasan perusahaannya sendiri. Tidak perlu usaha banyak, Yana bisa menemukan Bram sedang berdiri tak jauh dari pintu masuk. Ia langsung menghampiri. Bram memakai stel kantor lengkap. Jika dibandingkan dengan pakaian casual yang biasa dipakainya, Bram terlihat berbeda. Lebih berkharisma. Sebelumnya saat Yana ke kantor pria itu, ia tak sempat memperhatikan Bram dalam balutan setelan jas. Saat itu ia emosi. Keduanya mengitari toko yang cukup besar itu. Selain perhiasan, juga terdapat drugstore di sana. Beberapa gadis terlihat tengah memilih-milih make up. Butuh waktu cukup lama bagi Yana untuk memilih. Rata-rata ia tau desain dari cincin yang ada di toko, tentu saja. Sebelumnya Yana sangat menyukai hampir semua model dan desain. Tapi sekarang ia merasa sangat sulit untuk menentukan pilihan. "Boleh lihat yang itu, mbak?" Yana memutar badannya. Bram tampak menunjuk sebuah cincin. Yana menghampiri pria itu. Pegawai meletakkan cincin itu di atas kaca. Pandangan Yana pun ikut tertuju pada cincin itu. Selama beberapa detik ia terdiam. Yana sangat hafal dengan cincin itu. Tentu saja. Bagaimana mungkin ia bisa lupa pada cincin itu. "Yang lain aja, ya.." katanya meski Bram belum berkomentar apa-apa. Bram langsung mengalihkan padangannya ke Yana setelah mendengar komentar gadis itu. Yana sendiri sudah kembali melihat-lihat cincin yang terpajang. Seharusnya proses pemilihan cincin ini berjalan cepat dan mudah. Tapi ternyata semua di luar dugaan. Yana awalnya hanya menargetkan akan menghabiskan waktu lima belas menit di sini. Memilih dengan cepat, lalu pergi. Tapi lihatlah, tak satupun cincin terpajang di sana yang ia tunjuk untuk dilihat. Entah karena ia sudah terlalu hafal dengan desain cincin itu. Yana salah karena awalnya mengira pemilihan cincin akan lebih mudah karena ini adalah brand tempat ia bekerja. "Selamat siang mbak Yana.." Yana dan Bram menoleh. Yana terlihat agak terkejut. Wanita dengan name tag Reyha itu tersenyum. "Rey, lama nggak ketemu," sapanya. Yana hampir lupa bahwa gadis itu bekerja di toko ini. "Mbak yang lama nggak ke sini. Terakhir satu tahun lalu ya?" tebak Reyha. Seketika Yana tersenyum kecut. Bram yang tak tau apa-apa hanya diam. "Mbak mau pilih cincin ya?" Yana mengangguk. "Sebentar.." Reyha menghilang ke dalam. Tak lama kemudian ia kembali dengan sebuah buku di tangannya. Yana hafal buku itu. "Ini koleksi terbaru kita. Duh rasanya aneh nawarin ini ke Mbak Yana. Mbak pasti udah lihat semua desainnya." Reyha malu sendiri. Tertawa kikuk. Yana menggeleng. "Nggak semua kok. Kan ada desain yang di acc sama Kak Lorra.." Yana melihat-lihat desain dari cincin di buku katalog. "Yang mana?" tanya Yana. Menarik Bram ke dalam pembahasan. Bram meninjau. Melihat beberapa desain. "Kamu suka yang mana?" Bram balik bertanya. Yana melihat-lihat lagi. Ia kemudian menunjuk satu model. "Ok. Kita ambil yang itu.." putus Bram. "Yang ini ya, Rey." Reyha tersenyum. "Baik, Mbak. Selesainya dua minggu lagi, ya. Dikirim ke alamat mana?" Bram menuliskan alamat apartemennya. "Sebentar ya. Boleh jarinya diukur dulu, Mbak dan Mas.." Bram menyerahkan jarinya untuk diukur. Yana melakukan hal yang sama. Tak butuh waktu lama, administrasi dan urusan lainnya selesai. Pemesanan cincin selesai dilakukan. Yana dan Bram kemudian bersiap pergi. Sebelum pergi, Reyha sempat bicara dengan Yana. "Karena mbak employee, jadi dapat potongan," bisik Reyha. Yana sontak terkekeh pelan. "Tapi mbak, masnya ganteng.." puji gadis itu. Yana geleng-geleng kepala. "Ntar aku kirimin undangannya ya. Kirim ke alamat kamu apa ke Rayga aja?" "Ke alamat aku aja." "Oke." "Mbak.." "Hm.." "Selamat ya. Semoga lancar.." ucap Reyha tulus. Mau tak mau Yana melempar senyum. Ia kemudian berlalu. Reyha menatap punggung Yana. Sebenarnya ia gatal ingin bertanya kenapa Yana tak mendesain sendiri cincin pernikahannya. Tapi Reyha menahan diri. Ia tau pasti Yana punya alasannya sendiri. ... "Reyha itu..." "Kembarannya Rayga.." Bram manggut-manggut. Ia menekan pedal gas. Meninggalkan toko. Sekali lagi mereka terjebak di dalam mobil yang sama. Penyebabnya adalah karena ban mobil Bram yang kempes. Karena mereka masih ada urusan, mau tak mau mereka harus memakai mobil Yana. Agaknya semua yang terjadi tidak sesuai dengan harapan Yana. Sebaiknya ia memang tidak mengharapkan apa-apa mulai sekarang. "Kamu udah makan?" Yana menggeleng. "Kita makan dulu.." "Tapi lagi buru-buru." Bram melihat jam. "Masih ada waktu." Yana akhirnya pasrah. Pelayan menghidangkan pesanan. Yana tiba-tiba memperhatikan Bram yang sedang memainkan ponselnya. Ia terlihat fokus pada benda persegi panjang itu. Yana tak terlalu ingin tau Bram sedang apa. Perhatiannya justru tertuju pada hal lain. "Kamu nggak suka seafood?" pertanyaan Yana berhasil mengalihkan perhatian Bram dari ponsel. "Hah? Oh.." Bram hanya menggeleng samar. Jawaban itu tak terlalu berhasil meyakinkan Yana. Yana sebenarnya menunggu lanjutan kalimat Bram. Tapi pria itu agaknya tak akan mengatakan apa-apa lagi. Yana tersenyum amat samar. Menggeleng pelan. Ia kemudian sudah mengalihkan perhatian pada makanannya. Satu hal yang Yana sadari. Lubang pemisah antara ia dan calon suaminya itu masih sangat besar. Salah-salah melangkah ia bisa jatuh ke dalam lubang itu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN