"Yan.." Tyo memanggil atasannya itu dengan sedikit berbisik. Yana tersentak dari lamunan. Seluruh peserta rapat memandanginya dengan bingung.
"Gimana? Ada tanggapan tentang konsepnya?" Tyo mengulang pertanyaannya.
Yana mengerjap beberapa kali. Mengumpulkan seluruh kesadarannya.
...
"Lo lagi sakit, Yan? Kurang semangat gitu.." Diah duduk di depan Yana. Ia melihat menu lalu memesan. Yana menghela napas. Sebenarnya ia tak suka jika begini. Nyatanya Bramanaka berhasil menyita pikirannya. Yana tak bisa pungkiri itu. Terbukti dari rapat tadi. Tak hanya itu. Ia juga jadi tidak fokus saat bekerja. Yana tak suka jika masalah pribadinya mempengaruhi pekerjaannya. Ia benci jika menjadi tidak profesional.
"Di.."
"Hm?" Diah yang tengah membaca majalah menoleh. "Kenapa?"
"Kenapa lo belom nikah?"
"Kenapa tiba-tiba tanya soal nikah?"
"Hmmm, pengen tau aja.."
Diah melanjutkan melihat-lihat isi majalah. "Sebenarnya udah dalam rencana. Tapi Bagas belom pengen cepet."
"Kenapa?"
"Hmm, nggak ada alasan khusus. Tapi kurang lebih sih masalah mapan. Gaji gue emang lumayan sih, tapi kata Bagas dia belum ada di puncak maksimalnya dia. Katanya setidaknya satu tahun lagi."
Yana menatap cangkir kopinya.
"Kenapa? Lo lagi ragu, ya?"
"Hah?"
"Gue lihat lo nggak fokus. Nggak maksa sih buat cerita. Tapi kalau lo butuh tempat curhat, gue bisa kok dengerin. Ya walaupun gue nggak bisa kasih saran.."
Yana menatap salah satu teman baiknya itu. Yana menimbang.
"Kenapa lo mau nikah sama Bagas? Maksud gue, kenapa lo terima lamaran dia?"
Diah tersenyum. Ia kemudian meletakkan majalahnya di atas meja. "Hmm, kenapa ya? Karena gue cinta sama dia?" Diah tersenyum. "Kayaknya bukan. Cinta aja nggak cukup kuat untuk jadi landasan menikah. Ya walaupun cinta itu salah satu faktor yang cukup penting. Kalau tanya kenapa gue terima lamaran dia, mungkin gue lebih jawab komitmen."
"Komitmen?"
Diah mengangguk. "Iya. Karena keyakinan yang Bagas kasih, makanya gue yakin buat terima lamaran dia yang artinya gue bakal nikah sama dia dan menghabiskan the rest of my life with him. Komitmen."
Yana menghela napas.
"Someone proposing you?"
"Hah?"
Diah tersenyum. "Sebenarnya gue nggak terpatok ke tradisi masyarakat sih. Gue juga nggak perduli anggapan orang-orang di luar sana. You know, kayak sekarang udah zaman apa gitu, kan. Orang bilang cewek harus menikah muda, menikah sebelum usia 25, atau bla bla jadi perawan tua. f**k s**t itu semua. Menikah itu kan nggak cuma soal punya anak ya. Menikah itu menghabiskan sisa hidup sama satu pria. Melewati hari-hari sama satu pria yang sama. Jadi, ya untuk itu kita butuh komitmen."
Diah memberi jeda. "Intinya Yan, kalau lo belum yakin buat menikah, jangan dipaksakan hanya karena untuk memuaskan orang-orang di luar sana. Yang akan menjalaninya itu lo, bukan mereka. Kayak orang bilang, lebih baik telat nikah daripada salah pasangan."
"Maaf Buk, ada telpon," salah satu pegawai kafe menghampiri meja Yana dan Diah.
Diah mengangguk. "Iya, bentar.." pegawai itu mengangguk dan berlalu. "Nikah emang sensitif sih. Susah-susah gampang. Tak terprediksi. Kadang 'takdir' juga sih. Gue pernah denger cerita. Ada orang yang menikah tanpa cinta, tapi karena komitmennya bagus, malah rumah tangganya aman-aman aja sampai akhir. Ada juga orang yang cinta, tapi karena masalah kecil aja goyah. Gue nggak bilang semua hal bakal kayak gitu. Setiap orang pasti juga punya kisahnya sendiri-sendiri. Tapi intinya ya itu tadi, Yan. Komitmen. Kalau komitmennya udah bagus, mantap, kokoh, i'm sure everything will be fine." Diah mengedipkan mata. Ia kemudian bangkit dan beranjak menuju ke ruangannya.
Yana terdiam di sana. Mencerna setiap apa yang bisa ia tangkap.
***
"Kamu istirahat. Besok nggak usah ke rumah sakit. Mama biar aku yang jaga.."
Antita menatap pria di depannya itu. Bram menoleh ke rumah berukuran minimalis di depannya. Dulu ia bisa dengan sangat mudah ke sini. Datang, masuk, melakukan apapun yang bisa dilakukannya. Ia bisa tinggal semalaman tanpa khawatir apapun. Tapi sekarang langkah kakinya terasa berat hanya sekedar melangkah melewati pagar.
Bram menggenggam tangan Antita. Tapi tak ada kata yang diucapkannya.
"Bram--"
Bram menggeleng. "Kamu istirahat. Aku mau balik ke rumah sakit. Fokus aja ke pekerjaan kamu."
Antita menghela napas.
"Good night.."
"Bram.." langkah Bram terhenti saat Antita menahan tangannya. "Jangan gini. Aku mohon.."
Bram tak bereaksi banyak. Ia mengebalkan hatinya.
"Kita--" kalimat Antita terpotong saat ponsel Bram berbunyi. Pria itu meraih ponselnya di dalam kantong celana. Melihat nama yang tertera di layar.
Deyana is calling..
...
Tiga hari kemudian..
Ponsel Yana masih terus bergetar. Ia sudah mematikan nadanya. Yana fokus pada layar komputernya. Memilih mengabaikan ponselnya yang terus berdering.
***
"Kenapa telpon gue nggak diangkat dari tadi?!" Adira langsung mengamuk begitu Yana menekan tombol jawab.
Yana menjauhkan ponsel dari telinganya. Memutar bola mata tanpa menghentikan langkah. Ia tersenyum membalas sapaan satpam yang membukakan pintu untuknya.
Yana menutup pintu mobil. "Ntar malam aja ya ke rumah gue. Sekarang gue ada urusan."
Yana menggenggam kemudi stir. Menarik napas dalam. "Ayo Yana. Let's do it." Ia menekan pedal gas. Melaju meninggalkan basement.
***
"Ada apa? Kita sepakat ketemu kalau ada urusan penting aja, kan?" Yana meletakkan tasnya di atas meja. Lalu duduk.
Bram meneguk minumnya dengan tenang.
"Kamu dari mana?"
"Kantor."
Bram manggut-manggut. "Besok kamu ada waktu?"
"Besok? Kenapa?"
"Mau pesan cincin."
Alis Yana terangkat. "Pesan cincin? Bukannya hari Sabtu?"
"Dipercepat. Soalnya hari Jum'at kita harus ke Semarang."
Kening Yana semakin mengerut.
"Nemuin Eyang aku," sambung Bram melihat kebingungan di wajah Yana.
Ekspresi Yana langsung berubah seketika.
***
"Kapan lo sampai?" Yana baru keluar dari kamar mandi. Adira yang sedang memainkan mac di atas tempat tidur mengalihkan pandangan.
"Temen sialan lo emang!!" makinya.
Yana tampak tak takut sama sekali. Bahkan tak ada perubahan apapun di wajahnya. Ia dengan santai berjalan menuju meja rias.
"Kenapa lo nggak kasih tau gue? Gue tau dari orang lain, Yan. Tega banget sih lo!!" Adira meletakkan mac di atas tempat tidur.
"Sorry, ya." Hanya itu yang Yana ucapkan.
Adira menghela napas. "Jadi ceritain ke gue. Kenapa lo tiba-tiba setuju untuk nikah sama Bram?"
Yana menatap Adira dari pantulan kaca. Selama beberapa detik ia diam. Lalu hanya sebuah senyuman tipis yang muncul di sudut bibirnya. Tak mengatakan apa-apa.
"Masa lo nggak mau juga cerita ke gue.." protes Adira.
Yana menuang pelembab ke wajahnya. Memakai krim perawatan yang rutin ia kenakan di malam hari.
"Ya apa yang mau gue ceritain ke lo?" tanya Yana balik.
Kening Adira mengerut. "Kok lo malah balik nanya ke gue sih? Ya lo cerita semuanya lah. Kenapa lo tiba-tiba mau nikah sama Bram? Dan kenapa cepet banget?"
"Duh. Nikah salah nggak nikah salah. Jadi gue harus gimana?"
Adira menatap Yana tajam. "Lo tau kalau bukan itu maksud gue."
Yana menghela napas. "Nggak ada salahnya kan kalau gue nikah sekarang atau nanti. Toh ujung-ujungnya nikah juga."
"Iya gue tau. Tapi.. ini tuh aneh tau nggak. Sikap lo sekarang dan kemarin itu bertolak belakang banget. Kalau gue punya rekamannya, udah gue kasih liat ke lo. Gimana lo kekeuh nggak mau nerima Bram."
"Yap, i know."
"Lalu? Apa terjadi sesuatu?"
Yana menggeleng.
"Tante Nora?" Adira masih mencoba menebak. Ia ingat bahwa Yana memang menjenguk ibu Bram beberapa kali. Bahkan orang tua Yana juga menjenguk ibu Bram. "Apa karena kondisi tante Nora?"
Yana menatap gelang yang melingkar di tangannya. Gelang itu pemberian Sayn sebelum mereka lulus SMA. Entah karena apa Yana begitu menyukai gelang itu. Salah satu alasan ia mengambil jurusan desain perhiasan juga karena gelang itu.
"Menurut lo gue sama Bram gimana?"
"Hah?"
Yana tersenyum tipis. "Gue sama Bram gimana? Cocok nggak?"
"Lo nanya kecocokan sama gue sekarang? Lo udah mau nikah. Masalahnya bukan lagi kalian cocok atau enggak."
"Lo bener. Cocok atau enggak sama sekali nggak ngaruh."
Adira semakin bingung. "Yan gue beneran nggak ngerti nih."
"Lo nggak harus ngerti. Intinya gue udah memutuskan menerima Bram. Gue dan dia akan menikah. Udah, gitu."
Adira melongo.
"Mungkin udah jalannya juga, Dir. Dia mantan gue. Kita udah nggak ketemu kurang lebih 10 tahun. Terus dipertemukan dengan cara kayak gini. Mungkin emang udah takdirnya."
"Lo cinta nggak sama dia?"
Yana tersenyum. Berbohong pada Adira juga percuma.
"Cinta kan proses. Dulu lo sering nasehatin gue kalau nikah nggak cuma soal cinta, kan? Kalau kata Diah, nikah itu soal komitmen."
Yana menghela napas pasrah. "Nggak akan menang emang gue kalau debat sama lo. Iyalah apa kata lo aja. Apapun keputusan lo, gue pasti akan dukung. Dan gue doain semoga lo dapat semua yang terbaik. Lo harus ingat satu hal. Sejauh apapun lo pergi, lo tetap bisa kembali ke gue. Jangan sungkan untuk cerita ke gue ya kalau ada apa-apa."
"Uuuhhh, so sweet. Gue jadi terharu nih.."
"Anjirr lo.."
Tawa Yana pecah. Adira pun ikut tertawa.
"Semoga lo bisa bahagia ya sama Bram." Adira tersenyum. "Semoga Bram bisa bahagiain lo."
***
Tiga hari lalu..
Deyana is calling..
Bram masih menatap layar tanpa melakukan apapun.
"Angkat. Yana nelpon," Antita membuyarkan lamunan Bram. Pria itu hendak mematikan ponselnya. Namun ia luluh saat Antita memohon.
Seketika raut wajah Bram berubah setelah menerima telpon. Pria itu menatap gadis di depannya.
"Pergi aja, temui dia.." sekali lagi Antita melempar senyum, mencoba seikhlas mungkin.
"Kamu yakin sama apa yang kamu lakuin sayang?" tanya Bram dingin. Suaranya terdengar putus asa.
Antita mengangguk.
"Aku mungkin nggak akan bisa ke sini lagi, kayak gini.." Bram masih mencoba meluluhkan Antita. Mencoba meyakinkan gadis itu akan penyesalan yang akan mereka lalui.
"Kamu pergi aja. Jangan sampai Yana nunggu lama."
"Jangan buat aku pergi. Jangan paksa aku."
"Kamu akan baik-baik aja. Yana gadis yang baik. Aku yakin dia bisa bahagiain kamu."
Bram masih menatap Antita tanpa kata. Tatapannya terlihat putus asa. Lelah. Memohon.
"Mama dan papa akan bahagia—"
"Stop peduliin kebahagiaan orang lain! Gimana sama kebahagiaan kamu sendiri?! Apa kesalahan yang kamu lakuin sampai kamu harus berkorban sebanyak ini?! Apa dosa kalau aku cinta sama kamu? Apa dosa kalau kamu cinta sama aku?!" Bramanaka kelepasan. Tak bisa lagi menahan emosi yang tertahan selama beberapa waktu terakhir.
Mata Antita berkaca-kaca. Ia sangat mengerti bagaimana tertekannya Bram saat ini. Tapi ia bukan orang yang bisa hidup senang tanpa memikirkan orang lain. Ia terlalu perduli. Ia tak bisa mengabaikan kebahagiaan orang lain. Terlebih lagi itu adalah orang tua Bram. Orang yang sudah ia anggap seperti orang tuanya sendiri.
"Jangan salahin aku kalau nanti kamu menyesal.." Bram melepaskan tangan Antita dengan rasa kecewa yang luar biasa. Ia berbalik. Berlalu. Meninggalkan Antita yang tak kuasa lagi menahan air matanya.
"Aku udah menyesal, Bram. Tapi aku nggak bisa berbuat apa-apa.." bisik Antita lirih.
***
"Aku setuju nikah sama kamu. Kayak yang kamu bilang. Aku nggak perlu tau alasan kamu, seperti kamu nggak perlu tau alasan aku. Jadi kita nggak akan bahas itu. Kalau emang mau nikah, aku nggak mau ribet-ribet. Kalau bisa se simple mungkin." Yana langsung to the point begitu Bram mendaratkan pantatnya di kursi.
Bram mengedarkan pandangan ke sekeliling. Lalu menjatuhkan pandangan ke Yana yang duduk di sebrangnya. Bram sebenarnya ingin protes. Dari semua tempat yang ada, kenapa mereka justru harus bicara di dalam apartemen milik Rayga. Padahal apartemen Bram berada di depannya.
"Kapan kamu mau nemuin orang tua aku? Melamar secara resmi?"
Bram memperbaiki posisi duduknya. "Lusa?"
"Ok. Aku akan kasih tau orang tua aku." Yana kemudian bangkit. "Nggak ada lagi yang mau aku bilang. Cuma itu. Kamu boleh pergi."
Bram menarik napas pelan. Ia kemudian bangkit dan berlalu. Meninggalkan Yana tanpa kata-kata. Yana membuang napas pelan.
"Maafin Yana ya Allah. Yana nggak ada maksud buat mainin pernikahan. Yana tau kalau Naka nggak cinta sama Yana, sama kayak Yana nggak cinta sama dia. Tapi Yana nggak punya pilihan selain mencoba." Yana menghela napas. "Astaga Yana. Hidup lo dahsyat banget.."
***