Alice POV
Pagi ini aku bangun dengan semangat karena aku tahu Jun akan kembali ke Green Yakuza. Aku menatap diriku dipantulan cermin. Rambut hitamku aku ikat dengan ikat rambut bewarna merah. Aku tak sabar sekali melihat Jun, kira-kira wajahnya seperti apa ya sekarang? Apa sama seperti Kak Jin yang ditumbuhi rambut-rambut halus disekitar rahangnya. Entahlah, seperti apapun Jun nanti yang terpenting dia masih mengingatku.
Pagi tadi Paman dan Ayah sudah pergi untuk menjemput Jun pasti sekarang mereka sedang dalam perjalanan kembali kesini. Aku sepertinya harus membuatkan roti lapis kesukaan Jun. AKu pun keluar dari kamarku. Aku turun kebawah dan melangkah menuju dapur. Ternyata di dapur sudah banyak pelayan yang sedang memasak untuk persiapan kepulangan Jun.
“Anak kecil mau apa kamu didapur?” tanya seorang pria dengan tangan yang menjewer telingaku pelan.
Dari suaranya aku sudah kenal dengan pria ini. Ya, dia adalah Kak Jin, semenjak kembali Kak Jin sering kali menjahiliku, seperti sekarang ini.
“Ahhh, Kak Jin” ucap mencubit tangannya yang ada di telingaku.
“Ayo kita ke depan Alice. Kamu tidak ingin melihat Jun mu datang” ucap Kak Jin melangkah pelan meninggalkanku.
“Mereka sudah sampai?” tanyaku sedikit berteriak.
Kak Jin tidak menjawab dia hanya menganggukkan kepalanya dan terus melangkah meninggalkanku. Bagaimana ini? Aku belum sempat membuatkan roti lapis sebagai ucapan selamat datangku untuk Jun. Sudahlah nanti saja, lebih baik aku menunggu di depan pintu bersama Kak Jin. Aku ingin menjadi orang pertama yang Jun lihat nanti.
Aku pun berlari kecil menyusul Kak Jin. Aku dan Kak Jin melangkah bersama menunggu di depan. Ternyata di depan sudah banyak para Gumers berjejer membentuk barisan. Aku melihat mobil putih berhenti di depan. Jantungku langsung berdebar tak karuan karena aku tahu di dalam mobil itu adalah Jun.
Saat mobil itu di buka aku melihat sepatu bewarna hitam mulai menapakkan kakinya dikarpet merah. Pria itu pun berdiri dengan menggunakan jacket kulit hitam dan kacamata hitam. Ya, itu adalah Jun. Aku pun mengukir senyuman menatap Jun yang melangkah masuk.
“Selamat datang kembali Jun” ucap Kak Jin yang memeluk Jun.
“Terima kasih Kak” ucap Jun.
Kak Jin berdiri disampingku, berarti setelah ini Jun akan menghampiriku dan memelukku. Apa yang harus aku ucapkan padanya? Apa hanya ucapan selamat datang saja seperti kak Jin? Aku bingung, yang jelas hatiku saat ini senanga sekali Jun sudah kembali.
Jin dan Jun melepaskan pelukan mereka. Aku sudah tersenyum menatap Jun dan siap untuk memeluknya. Andai kamu tahu Jun aku sangat merindukanmu.
“Senang bertemu denganmu lagi Alice” ucap Jun datar tanpa tersenyum dan langsung melangkah melewatiku.
Senyuman diwajahku tiba-tiba langsung pudar. Apa aku tidak salah dengar dan tidak salah lihat? Jun mengapa mengabaikanku seperti itu? Tidak mungkin, Jun pasti ingin mengerjaiku seperti Kak Jin. Pasti dia akan kembali lagi memelukku. Aku akan hitung sampai lima.
1
2
3
4
“Ayo, Alice kita berkumpul di ruang makan” ucap Paman Takeshi.
Ada apa dengan Jun? Kenapa dia tidak kembali menghampiriku. Aku pun menghela nafas kecewa. Mungkin Jun sedang lelah. Aku pun melangkah mengekori Paman Takeshi dan Ayah menuju ruang makan. Sedangkan para pelayan membawa barang-barang Jun ke kamarnya.
Di ruang makan Paman Takeshi duduk di bangku paling ujung, disebelah kanannya ada Kak Jin dan Jun. Ayah duduk di sebelah kiri Paman Takeshi lalu aku duduk di sebelah Ayah. Aku menatap ke depan karena Jun saat ini berhadapan denganku.
Aku mencoba lagi tersenyum kepada Jun, tetapi aku melihat Jun seperti tidak melihatku. Pandangannya tidak pernah kearahku. Aku hanya bisa tersenyum kecut dan menatap makananku. Aku tidak tahu kenapa Jun seperti tidak mengenaliku.
Sore hari aku berencana ke tempat latihan Jun dan Kak Jin di belakang. Aku menyiapkan roti lapis dan minuman dingin untuk mereka. Semoga kali ini Jun sikapnya tidak seperti saat tadi dia datang. Aku pun melangkah melewati koridor yang menghubungkan rumah ke area latihan Jun.
Aku membuka pintu dan melangkah masuk. Aku melangkah di pinggir sambil melihat Jun dan kak Jin sedang latihan pedang. Aku tersenyum saat sekilas Jun menatapku, tetapi sesaat itu Juga Jun mengalihkan pandangannya dariku. Mungkin Jun hanya sedang berkonsentrasi saja.
Aku duduk di sudut dan memperhatiakn kakak beradik itu. Aku tahu beberapa kali Jun sekilas menatapku tetapi tidak tahu kenapa pandangannya begitu dingin terhadapku, atau ini hanya perasaanku saja.
Sepuluh menit aku menunggu akhirnya mereka selesai juga. Aku mengambil dua gulungan handuk dan berdiri menunggu mereka menghampiriku. Jin mengambil handuk dari tangan kiriku lalu Jun mengambil handuk dari tangan kananku. Aku mencoba tersenyum saat Jun mengambil handuk dari tanganku, lagi-lagi dia tidak menatapku.
“Terima kasih” hanya itu yang dia ucapkan.
“Sama-sama” jawabku.
“Alice mana minumku?” pinta Kak Jin yang sudah duduk bersandar didinding dengan meluruskan kakinya.
“Oh iya, sebentar Kak” jawabku.
Aku pun berbalik melangkah mengambil minuman yang sudah kubawa tadi. Aku memberikan botol minuman bewarna orange untuk Kak Jin. Dan saat aku kembali mengambil roti lapis dan botol minuman untuk Jun, orang yang ingin aku berikan itu tiba-tiba sudah berdiri dan melangkah pergi.
“Jun mau kemana kau?” tanya Kak Jin sedikit berteriak.
“Aku ingin mencari udara segar Kak” jawab Jun tanpa menoleh sedikit pun.
Aku hanya tersenyum kecut mengeraskan peganganku pada botol yang aku bawa. Aku menunduk, aku benar-benar tidak tahu dengan sikap Jun yang berubah padaku.
“Kau bawa apa itu Alice?” tanya Kak Jin yang menatap kotak makan di tanganku.
“Ini roti lapis Kak” jawabku pelan.
“Bukankah itu makanan kesukaan Jun. Dasar anak itu. Sini berikan padaku, biar aku yang memberikan padanya” ucap Kak Jin.
“Tidak apa-apa Kak. Biar aku saja nanti yang memberikan pada Jun. Kalau begitu aku pergi ya Kak” ucapku pamit dengan Kak Jin.
Aku pun memilih bergegas kembali ke dalam rumah. Sedih ya memang pasti aku sangat sedih, karena Jun yang aku kenal dulu tidak sedingin sekarang. Jun berubah baru sehari kita bertemu tetapi Jun seperti tidak suka menatapku.
Bruuuk
Tiba-tiba aku terjatuh dan menabrak seseorang karena aku melangkah dengan kepala tertunduk.
“Auuuw” ringisku terjatuh.
“Bangunlah” ucap Jun mengulurkan tangannya.
Aku menatap tangan Jun, aku pun memberikan tanganku dan Jun langsung menariknya membantuku berdiri. Aku menepuk-nepuk celanaku yang kotor karena terjatuh.
“Lain kali lihatlah kedepan” ucap Jun datar padaku.
“Iya terima kasih Jun” ucapku pelan.
Setelah itu Jun melangkah pergi melewatiku. Aku hanya bisa memejamkan mataku. Aku tidak mengerti dengan Jun yang sekarang. Aku semakin merasa tidak mengenalinya.
Sudah tiga hari sejak kepulangan Jun sikapnya kepadaku masih sama dingin dan selalu menghindariku. Roti lapis yang aku buatkan untuknya waktu itu pun aku tak bisa memberikan kepadanya, karena setiap ada aku di dekatnya Jun selalu pergi.
Sebenarnya salah aku apa padanya? Seharusnya aku yang marah padanya karena tak menghubungiku, tetapi kenapa seperti dia yang marah padaku. Aku duduk di bangku meja bar sedang menunggu pelayan membuatkan kopi dan makanan untuk di bawa ke ruangan Paman Takeshi.
Aku melangkah dengan membawa nampan berisi kopi dan di belakangku ada satu pelayan membawakan nampan berisi makanan. Aku melangkah naik menuju lantai 2. Ya, memang selama ini setiap mengantarkan makanan atau minuman ke ruangan kerja Paman Takeshi tidak pernah pelayan, tetapi aku yang mengantarkannya.
Dua orang penjaga membukakan pintu untukku aku tersenyum pada kedua penjaga itu lalu aku masuk sendiri membawakan nampan berisi minuman. Ya, pelayan yang membawakan makanan menunggu di luar, karena hanya aku yang boleh masuk ke ruangan Paman Takeshi.
Bruuk
Aku terkejut saat mendengar Paman menggebrak meja dengan kedua tangannya. Aku pun memelankan langkahku. Aku melihat disana selain Paman Takeshi ada Kak Jin dan Ayah. Kemana Jun? Kenapa dia tidak ikut berkumpul disini? Tanyaku sendiri..
“Mata-mata mereka pasti sudah sampai di wilayah kita” ucap Paman Takeshi dengan raut wajah yang sangat marah.
“Kita sepertinya kalah langkah dari mereka Pa” kali ini Kak Jin yang berbicara.
Aku hanya menunduk dan meletakkan cangkir berisi kopi di atas meja. Setelah itu aku berbalik untuk mengambil makanan.
“Kalau seperti ini terus mereka akan mengusai wilayah selatan. Dan lama-kelamaan mereka akan merebut wilayah kita Tuan” kali ini aku mendengar Ayah yang berucap.
“Benar Saburo. Kita harus membuat tak-tik yang lebih cerdik dari mereka. Jangan sampai mereka menghasut semua warga kita berpindah ketempat mereka” ucap Paman Takeshi.
Mungkin seperti inilah kenapa tidak ada yang boleh masuk ke ruangan Paman jika Paman sedang rapat penting. Lebih baik aku cepat meletakkan makanan ini dan segera pergi. Saat aku meletakkan makanan, aku melihat Paman Takeshi menatapku tidak biasa. Mungkin tatapan ini mengartikan aku harus segera pergi.
Aku pun segera pergi keluar. Aku sebenarnya tidak tahu dengan apa yang terjadi, kalau aku tangkap dari perbincangan mereka saat ini Yakuza Himawari sudah hampir menguasai wilayah selatan. Aku juga tidak mengerti kenapa mereka saling memperebutkan kekuasaan, untuk apa sebenarnya? Padahal yang aku tahu kedua Yakuza ini sudah sangat kaya raya dan harta meraka tidak akan habis sampai 7 turunan.
Aku menatap jam di tanganku sudah pukul tiga sore. Ini saat nya aku latihan dengan Paman Yan. Aku pun melangkah cepat menuju halaman belakang. Sudah tiga hari ini pula waktu latihanku bersama Paman Yan selalu diperpanjang.
Paman Yan adalah adik dari Paman Takeshi, Paman Yan juga yang selama ini mengajariku mengendalikan elemen api. Dan saat ini aku harus bisa berkonsentrasi agar bisa membakar kayu-kayu yang berjarak lima meter dariku.
“Konsentrasi Alice” titah paman Yan.
Aku berkonsentrasi menatap tumpukkan kayu-kayu di depanku. Aku pun mulai mengangkat tangan kananku dan menggerakannya membuat sebuah lingkaran kecil. Lalu dengan bantuan udara dan tenaga dalamku aku menjentikkan jari mengarah kepada kayu-kayu itu.
Cash
Sebuah bola api yang sangat kecil melaju pesat mengenai kayu-kayu itu.
“Alice api yang kamu ciptakan hanya bisa untuk membakar lilin bukan kayu” ucap Paman Yan dengan tegas.
“Aku akan mencobanya lagi Paman” ucapku hampir putus asa.
“Konsentrasi, itu adalah kuncinya” intruksi Paman Yan.
Aku pun memulai untuk kesekian kalinya gerakan yang sama. Aku fokus dan berkonsentrasi, tetapi tetap saja api yang aku keluarkan hanya sebesar api pada lilin. Sudah dua jam aku berlatih dan hasilnya masih tetap sama.
“Sampai disini dulu latihan kita. Coba berkonsentrasilah jangan memikirkan yang macam-macam” ucap Paman Yan.
“Baik Paman” jawabku.
Setalah Paman pergi, aku mengambil handuk dan mengelap keringat diwajahku. Lalu aku duduk di bangku kayu yang ada di pinggir lapangan dan memejamkan mataku sebentar.
“Ada apa Alice, tiga hari ini latihanmu sedang tidak bagus seperti biasanya?”.