Alice terkejut saat dia sampai di dalam ruangan berbatu itu. Alice menatap tak percaya ruangan itu berbentuk lingkaran dan Alice harus menaiki tangga berbatu, karena di bawah pijakan dia saat ini adalah air yang masih menyatu dengan danau tadi.
Alice menelan salivanya ketika melihat tiga ekor buaya berenang menuju kearahnya. Alice pun dengan cepat melangah menaiki tangga sebelum buaya-buaya itu mendekat kepadanya. Benar sekali saat dia sampai di atas buaya itu sampai ke tempatnya.
“Apa mereka berniat membunuhku?” ucap Alice tak percaya.
Alice pun menatap kebawah, buaya-buaya itu kini menatapnya lapar. Alice pun duduk bersandar di dinding. Kini dia tidak bisa kemana-mana dan tidak ada yang bisa dia lakukan karena dibawah sana buaya-buaya itu menunggunya dan siap melahapnya.
“Jun, kenapa baru pertama begitu sulit untuk aku lewati. Lalu bagaimana caranya aku bisa berhasil menjalankan tugasku” lirih Alice bersedih mengingat Jun.
Malam itu pun Alice tertidur dengan duduk bersandar di dinding batu. Baju yang tadinya basah kini kering dengan sendirinya. Pagi hari Alice terbangun dengan wajah lelahnya.
Hal pertama yang dia lihat adalah buaya-buaya yang menunggunya di bawah. Alice menggelengkan kepalanya ketika melihat buaya itu bertambah banyak.
“Bagaimana ini?” tanya Alice pada dirinya sendiri dengan bingung.
Alice melihat kesekelilingnya berharap ada jalan keluar yang bisa di lewati. Tetapi semuanya tertutup rapat dan tidak ada celah sedikit pun. Tidak ada celah jendela, jalan satu-satunya adalah Alice mengikuti aliran air ini agar bisa menuju ke danau di luar. Tetapi kalau dia berenang dia harus melewati buaya-buaya dibawah sana.
“Berpikir Alice, berpikir” ucap Alice mengetuk-ketuk kening dengan jarinya.
Alice tersenyum, kenapa tidak dia takuti-takuti saja para buaya itu. Ya, Alice punya kekuatan api, walau Alice tidak tega membakar buaya-buaya.
Alice berdiri dan menuruni satu persatu anak tangga. Telapak tangan kirinya dia hadapkan keatas dan tangan kanannya di gerakkan memutar diatas telapak tangan kirinya. Dengan berkonsentrasi penuh Alice mengeluarkan api kecil dan dengan sekejap Alice melempar bola api itu kearah pintu batu.
Bush
Satu bola api sudah Alice lemparkan dan siap untuk melemparkan bola api selanjutnya.
Bush
Bush
Bush
Di lemparan ke empat, Alice berhasil membuat para buaya itu pergi. Alice tersenyum, dan Alice menceburkan dirinya ke dalam air.
Byurr
Alice mulai berenang mengikuti arah buaya itu pergi, dan ternyata jarak penjara ini sampai ke luar danau sangat jauh. Alice harus berkali-kali mengambil nafas dan berhenti, ditambah dirinya belum makan sejak kemarin.
Setelah berenang cukup jauh Alice sampai di luar danau dan kini dia bisa bernafas lega. Alice tersenyum lega, tanpa Alice sadari ada empat pasang mata yang memperhatikannya dari jauh.
Hosh
Hosh
Alice mengambil nafas dalam-dalam dan kini dia sampai dipinggir danau.
Prok
Prok
Prok
Alice terkejut saat mendengar suara tepuk tangan yang dia yakin hanya seorang saja yang melakukannya. Alice pun menoleh kearah sumber suara itu dan betapa terkejutnya dia saat melihat Tuan muda Arick dan Yuqi berdiri melihatnya. Alice menunduk dan memeluk dirinya sendiri.
Tap
Tap
Tap
“Sepertinya ada yang berhasil dari maut” sindir Arick menghampiri Alice.
Alice masih menunduk. Baginya ini bukan saatnya untuk dia melawan Tuan muda Arick. Alice tidak tahu hukuman apalagi nanti kalau sampai dia melawan Tuan mudanya ini.
“Bagaimana kau bisa berhasil?” tanya Arick tajam.
“Sa-saya hanya mengikuti aliran air” jawab Alice gugup.
“Bisakah menatap lawan bicaramu saat sedang ditanya!” ucap Arick.
Alice pun dengan perlahan memberanikan dirinya menatap Arick yang kini ada dihadapannya.
“Bagaimana dengan buaya-buaya lapar itu?” tanya Arick menyindir.
Alice berpikir, tidak mungkin dia menjawab yang sebenarnya kalau dia menakuti para buaya itu dengan bola api yang dia keluarkan, bisa tamat riwayatnya sekarang juga.
“Jawab bodoh!” bentak Arick.
“Aku tidak tahu, buaya itu pergi dengan sendirinya saat aku terbangun” ucap Alice cepat dengan menatap Arick.
“Kau berani menantangku ya!” bentak Arick lagi.
“Tidak” jawab Alice menggelengkan kepalanya.
“Jangan berani lagi menatapku seperti itu. Ingat kamu hanya seorang b***k!” ucap Arick menyentil kening Alice dan berbalik pergi.
“Apa aku tidak salah dengar? Tadi dia sendiri yang memintaku untuk menatapnya, sekarang dia juga yang melarangku menatapnya. Apa-apaan dia” omel Alice di dalam hatinya.
“Cepat ganti bajumu!” ucap Arick yang sudah menjauh dari Alice.
Alice pun dengan mencibir berlari mengekori Yuqi dan Arick untuk segera pergi dari tempat menyeramkan ini.
Malam hari Arick meminta Alice untuk mengantarkan kopi ke ruangannya. Alice melangkah membawa nampan berisi secangkir kopi. Saat sudah sampai di depan pintu Paviliun Arick, Alice mengetuknya.
Tok Tok Tok
“Masuk!” intruksi Arick dari dalam.
Alice membuka pintunya dengan pelan lalu dia masuk ke dalam dan tak lupa menutup pintunya kembali. Alice melihat Arick duduk di tempat kerjanya. Alice melangkah dengan kepala tertunduk. Alice meletakkan cangkir berisi kopi di atas meja Arick.
“Tetap disana!” titah Arick saat Alice baru saja ingin berbalik.
Alice tetap berdiri disana dan mengurungkan niatnya untuk pergi. Kali ini dia sudah berjanji di dalam hatinya untuk tidak membuat masalah sampai tugasnya berhasil.
Arick mengangkat cangkir kopi itu dan meniup gelasnya, lalu menyeruputnya sedikt. Setelah itu Arick meletakkan kembali cangkir kopi itu di tempatnya dan menatap Alice.
“Kenapa kamu tidak membalas dendam padaku?” tanya Arick dengan tenang.
“A-ap maksud Tuan?” tanya Alice terkejut dan gugup.
“Kenapa kamu tidak menaruh racun di kopiku ini? Bukankah kamu ingin sekali membalas dendam” tanya Arick lagi dengan nada tenang.
Deg
”Bagaimana dia bisa setenang ini? Padahal setiap bertemu denganku dia selalu emosi. Dan bagaimana dia bisa tahu tujuanku memang untuk membalas dendam suku api. Atau jangan-jangan penyamaranku ketahuan” batin Alice ketakutan.
“Apa tujuanmu yang sebenarnya?” tanya Arick lagi.
“Tuan aku sudah jelaskan tujuan waktu pertama kali bukan” jawab Alice menunduk.
“Tatap aku!” titah Arick.
“Maaf Tuan saya tidak berani” ucap Alice menggelengkan kepalanya.
“Kenapa?” tanya Arick.
“Saya tidak ingin lancang seperti tadi pagi” cicit Alice.
Arick berdiri dari bangku dan melangkah kearah Alice. Arick berdiri dihadapan Alice, lalu dengan jarinya dia angkat dagu Alice hingga menatapnya.
Alice terkejut saat wajahnya dan Arick begitu dekat, apalagi Arick menatap kedua bola matanya begitu lekat.
“Kenapa sekarang kau menjadi takut padaku, bukankah kemarin kau begitu berani?” tanya Arick lagi.
“Sa-saya tidak pernah berani terhadap Tuan” jawab Alice gugup.
“Tapi kau selalu membalikkan semua kata-kataku” ucap Arick lagi dengan jari yang masih menahan di dagu Alice.
“Sa-ya tidak berani Tuan. Maaf kalau kemarin saya salah kepada Tuan” ucap Alice memohon maaf.
“Berarti kau mau menuruti semua perintahku” ucap Arick lagi.
“I-iya saya pelayan Tuan, sudah pasti saya harus menuruti semua perintah Tuan” ucap Alice. Entah kenapa melihat Arick setenang ini justru membuat Alice semakin takut terhadap Arick.
“Bagus. Kalau begitu malam ini. Kamu denganku” ucap Arick yang membuat Alice terkejut.
“APA!” ucap Alice terkejut dan mundur satu langkah.
Arick pun bersedekap dan menatapnya penuh arti.
“Maaf Tuan, bukannya saya lancang. Tetapi untuk tidur dengan Tuan saya tidak berani” ucap Alice menyadari kalau dia baru saja menolak perintah Arick. Padahal tadi dia sudah berjanji tidak akan menolak perintah tuannya itu.
“Berdiri ditempatmu, sampai aku selesai mengerjakan pekerjaanku!” titah Arick.
“Baik Tuan” ucap Alice.
Alice pun berdiri di tempatnya dan terus menunduk. Jujur dia tidak berani menatap Arick saat ini. Apalagi setelah Arick mengajaknya tidur bersama.
“Apa-apaan dia, seenaknya saja mengajakku tidur bersama. Dasar p****************g. Mungkin kalau para pelayan kemarin seperti Tisia akan mau dengan senang hati tidur denganmu. Maaf aku tidak sudi tidur denganmu. Menatapmu saja aku merasa muak” batin Alice kesal.
Berbeda dengan Alice yang terus mengumpat di dalam hatinya. Arick sibuk di depan laptopnya. Tetapi sesekali dia memperhatikan Alice yang masih berdiri menunduk.
Tak terasa waktu sudah hampir tengah malam. Sudah hampir lima jam Alice menahan kakinya untuk tetap berdiri kokoh ditempatnya sekarang. Lelah sudah pasti, dan berkali-kali Alice ingin menguap karena rasa kantuknya Alice sengaja menahannya.
Sampai akhirnya tidak kuat menahan rasa kantuknya. Hingga berkali-kali Alice membenarkan kepalanya yang hampir terjatuh karena dia tertidur. Pemandangan Alice seperti itu membuat konsentrasi Arick terpecah.
Arick mematikan laptopnya dan merapikan kertas-kertas diatas mejanya. Lalu Arick mengambil silet kecil yang ada di dalam lacinya. Arick memperhatikan Alicedan menatap kearah jari ditangan kanannya. Arick pun dengan sengaja melempar silet itu dan mengenai jari telunjuk Alice yang sedang tertidur dengan berdiri.
Slash
Brukk
“Auuuw” jerit Alice yang kesakitan, terjatuh dan terkejut.
Belum sempat Alice melihat jari tangannya yang terasa perih, Arick sudah menariknya.
“Sudah waktunya tidur” ucap Arick menarik Alice mengikutinya.
Alice masih belum tahu kalau jarinya tergores silet yang sengaja Arick lakukan, karena dia mengantuk dan hanya bisa mengikuti Arick yang menariknya.
“Tidur!” Arick menyuruh Alice tidur di ranjangnya.
Alice menggelengkan kepalanya.
“Tidur cepat, atau aku akan benar-benar menidurimu malam ini!” ucap Arick dengan ketus.
“I-iya, saya akan tidur” ucap Alice.
Alice pun dengan cepat naik ke atas ranjang Arick. Alice sengaja membelakangi Arick dan menutup tubuhnya dengan selimut putih.
“Kalau sampai malam ini dia berani meniduriku, aku akan membunuhnya. Masa bodoh penyamaranku ketahuan. Lebih baik aku mati daripada harus melayaninya malam ini” batin Alice kesal.
“Jangan mengumpat. Tidur saja!” ucap Arick yang mengetahui Alice seperti sedang mengumpat.
Alice memejamkan matanya dan tak ada lagi gerakan yang Alice keluarkan. Tanpa Alice sadari dari dari jarinya tadi terus mengucur keluar hingga m*****i sprei dan selimut ranjang Arick yang bewarna putih.