Alan meninggalkan kantor Chad dengan langkah kaki, dan hati yang mantap.
"Ini yang terbaik, Chad. Ini yang terbaik. Sekarang, aku harus fokus mencari Runa. Dia yang sudah membangkitkan keberanianku untuk merubah jalan hidupku. Runa, dimana kamu berada? Aku harus menemukanmu, harus!"
Sementara Alan pergi dengan rasa yakin di dalam hati. Chad duduk di kursi kerja dengan amarah yang membakar hatinya.
"Gadis itu yang sudah merubahmu, Alan! Aku menyesal sudah menyetujui usulmu untuk menyewa rahim wanita itu. Apa itu alasanmu sebenarnya, Alan. Ingin memiliki anak dari darah dagingmu sendiri? Ingin memiliki keluarga seperti lelaki lainnya? Apa gadis itu sudah membuatmu jatuh cinta!?" Chad menggeram. Kedua telapak tangannya mencengkeram kuat lengan kursi kerjanya.
"Apa semua ini sebenarnya sudah kamu rencanakan, Alan! Wacana memiliki anak, menyewa rahim gadis itu. Membawa gadis itu masuk ke rumahmu, ingin menikahinya yang kau katakan untuk menutupi hubungan kita. Kau berdusta, Alan! Apa kau jatuh cinta sejak lama pada Runa!? Kita lihat saja, apa kau bisa menemukan gadis itu kembali! Kita lihat saja! Kau pasti akan kembali padaku nantinya!"
***
Runa membuka mata, namun silau cahaya bolam lampu membuat ia kembali memejamkan matanya. Runa menolehkan kepala, berusaha menatap apa yang bisa ia jangkau dengan pandangannya.
Apa yang terlihat, tidak seperti suasana di rumah sakit.
'Apa ini rumah sakit orang kaya?'
Batin Runa.
Runa kembali memejamkan mata. Ia sudah sempat sadar tadinya, ia juga sudah tahu apa yang terjadi pada dirinya. Runa masih memejamkan mata. Diusap lembut perutnya. Tempat di mana seseorang pernah ikut bernapas, dan menumpang hidup dengannya. Meski dia bukan buah cinta, tapi terikat dengan jiwanya.
Air mata Runa meleleh di sudut mata. Sesak terasa di d**a. Runa menyesali kecerobohannya. Sehingga ia harus kehilangan bayi yang ia kandung.
'Tuan Alan, dan Tuan Chad pasti sangat marah, bagaimana ....'
Pintu kamar yang terbuka memutus lamunan Runa. Seorang gadis yang terlihat seumuran dengannya berdiri di ambang pintu, dan tengah menatapnya.
Gadis itu tersenyum sumringah, ia ke luar kamar, dan berteriak dengan suara sangat lantang.
Terdengar langkah kaki, lalu beberapa orang wanita muncul di ambang pintu. Salah satunya wanita cantik dengan dress motif bunga. Ada stetoskop di genggaman tangannya.
"Candy Sayang, ambil tas peralatan Aunty di meja ruang tengah. Aunty harus memeriksa tekanan darahnya."
"Oke, Aunty!" Gadis seusia Runa yang dipanggil Candy itu ke luar kamar. Sedang wanita yang memegang stetoskop, dan seorang wanita lain dengan dress polos berwarna biru mendekat.
"Syukurlah kau sudah bangun." Wanita cantik yang dipanggil Aunty memeriksa Runa. Wanita mengenakan dress biru, yang tak kalah cantik, dan modis duduk di dekat kaki Runa. Runa tidak mengerti, kenapa tempat yang ia pikir masih di lingkungan rumah sakit, seperti kamar di sebuah rumah mewah.
Candy masuk dengan membawa tas di tangannya. Wanita yang dipanggil Aunty memeriksa tekanan darah Runa.
"Aku dimana?" Runa tak tahan untuk tidak bertanya.
"Kamu di tempat yang aman."
"Tempat aman? Kenapa aku harus berada di tempat yang aman?"
"Kau jangan banyak bicara, dan bergerak dulu. Setelah kau lebih baik. Kami akan menceritakan semuanya." Wanita yang memakai dress biru menjawab.
"Hallo. Aku sudah boleh kenalan'kan?" Gadis bernama Candy menatap wanita yang ia panggil Aunty.
"Hallo, namaku Chanda, dalam bahasa India artinya Dewi. Aku lahir di India. Tapi, semua orang memanggilku Candy, karena aku manis sekali. Umm ... usiaku enam belas tahun. Kau pasti lebih muda dari aku. Badanmu kecil sekali. Tapi, aku bahagia ...."
"Stop! Dia masih perlu istirahat, Candy." Wanita berpakaian biru mengangkat satu telapak tangannya, untuk menyudahi bicara Candy yang seperti bunyi petasan.
"Mommy ...." wajah Candy cemberut. "Kalau dia sudah sehat, kau bisa bicara apa saja dengannya."
"Ummm ...."
"Beatrix, Elisa," wanita yang ternyata Mommy Candy memanggil dua orang wanita yang menunggu di luar pintu.
"Ya, Nyonya." Kedua wanita itu masuk, lalu membungkukan sedikit tubuh mereka.
"Layani Nona ini dengan baik ya. Oh iya, siapa namamu, Nona?"
"Runa, Runa Zeta, Nyonya," sahut Runa. Ingin sekali ia bertanya ada di mana, dan siapa mereka. Tapi, ia hanya bisa menahan rasa penasaran, karena Mommy Candy, tampaknya sangat galak.
"Runa Zeta. Zeta ... apa nama itu mengingatkanmu pada seseorang, Karen?"
"Aku lupa ...."
"Ooh baiklah. Kau pasti lapar, Runa. Bawakan dia makanan, Beatrix. Kalian berdua layani dia dengan baik ya. Runa, kami pergi dulu. Jika ada sesuatu, katakan saja pada mereka berdua."
"Terima kasih, Nyonya."
"Bye, Runa. Nanti kita ngobrol ya." Candy mengedipkan sebelah matanya. Runa hanya tersenyum melihat tingkah Candy.
***
Runa duduk bersandar di kepala ranjang besar tempatnya berbaring tadi. Beatrix berniat menyuapinya, tapi Runa menolak, ia memilih menyuap makanannya sendiri.
Beatrix, dan Elisa menunggu perintah darinya. Kedua wanita itu memakai seragam. Atasan kemeja lengan pendek berwarna biru terang, dan bawahannya celana biru tua. Seragam asisten rumah tangga yang tidak biasa menurut Runa.
"Ini rumah siapa?" tanya Runa yang mulai merasa sulit mengendalikan rasa penasarannya.
"Maaf, Nona, kami tidak bisa mengatakannya."
"Ooh begitu ...." Runa tidak ingin memaksa, ia tahu rasanya bekerja menjadi bawahan yang hanya boleh bertindak berdasarkan perintah atasan saja.
"Aku sudah selesai." Runa menyeka bibir dengan tissue. Dengan cekatan, Beatrix mengambil meja kecil di hadapan Runa yang di atasnya ada peralatan makan.
"Apa Nona perlu bantuan lagi?"
"Tidak, terima kasih. Aku ingin berbaring lagi."
"Baiklah, Nona." Elisa membantu Runa kembali berbaring.
"Terima kasih."
"Ada lagi yang bisa dibantu, Nona?"
"Tidak, terima kasih."
"Kami permisi ke luar. Kalau Nona membutuhkan kami, tekan saja belnya." Elisa menunjuk bel yang terpasang di atas meja kecil di samping ranjang.
"Iya."
"Permisi, Nona."
Kedua wanita itu membungkukkan sedikit badan mereka, sebelum mundur dua langkah, lalu berbalik, melangkah menuju pintu, dan menutup pintu dengan perlahan.
Runa menatap langit-langit kamar. Lalu menatap dinding kamar. Kamar yang sangat indah, dan sangat luas menurutnya.
"Siapapun pemilik rumah ini. Siapapun mereka, aku yakin mereka orang-orang baik. Meski aku tidak tahu, apa tujuan mereka membawaku ke tempat ini." Runa bergumam sendirian.
Tiba-tiba Runa teringat adiknya. Ia tidak bisa menghubungi Reina, karena ponselnya tertinggal di dalam kamar di rumah Alan.
'Alan, bagaimana dia setelah tahu aku keguguran? Bagaimana dia setelah aku menghilang? Alan ... dia pria baik, sangat lembut, sangat tampan. Ya Tuhan ... apa yang kau pikirkan, Runa, kau tidak boleh tertarik pada Alan. Siapa dirimu!'
Runa memejamkan mata. Diusap lembut perutnya, tempat di mana hasil bayi tabung dari benih Alan sempat menumpang hidup padanya.
"Maafkan Mommy, Sayang. Mommy terlalu ceroboh, maafkan Mommy ...." Runa terisak perlahan. Air matanya membasahi telapak tangannya yang menutupi wajah.
***
Runa tidak bisa menghitung, sudah berapa lama ia tinggal di rumah itu. Dokter Karen mengunjunginya secara teratur. Kadang dia datang bersama Candy. Kehadiran Candy sangat menghibur hati Runa. Candy selalu bisa membuat Runa tertawa dengan peristiwa lucu yang dia ceritakan pada Runa. Sedang Mommy Candy tidak terlihat datang lagi ke kamar Runa.
Hari ini, Runa bertekad untuk bicara pada dokter Karen. Tentang bagaimana kelanjutan nasibnya. Juga tentang kenapa ia bisa berada di rumah itu.
"Aku mohon dokter, aku butuh penjelasan."
Karen menarik napas dalam, lalu ia hembuskan perlahan. Ditatap lekat wajah Runa, yang kini tidak sepucat saat ia dibawa masuk ke rumah peristirahatan ini.
"Maafkan aku, bukan aku yang berhak untuk menceritakan. Kita tunggu akhir pekan ya. Dia yang akan datang diakhir pekan nanti yang akan menceritakan padamu."
"Dia siapa?"
"Bersabarlah."
"Apa aku sudah boleh ke luar dari kamar ini?"
"Maafkan aku, Runa. Itu juga harus menunggu keputusan dia. Tapi, pintu balkon kamar sudah terbuka untukmu." Karen menunjuk pintu balkon yang dibuka oleh Elisa. Runa menatap ke luar pintu. Ia bangun dari duduknya, dan melangkah menuju pintu yang sudah terbuka dengan lebar kedua daunnya.
Runa berdiri di ambang pintu, sejauh mata memandang hanya terlihat laut biru, yang ombaknya terlihat mengalun lambat, dan hamparan pasir putih yang begitu indah.
"Kenapa selama aku di sini tidak mendengar suara deburan ombak?" Runa menatap Elisa.
"Dari sini terlihat dekat, sebenarnya pantai cukup jauh dari sini, Nona. Karena itulah tidak terdengar suara deburan ombaknya."
Karen mendekat, disentuh lembut bahu Runa.
"Runa ...."
"Ya, dokter." Runa menolehkan kepala.
"Dia, yang membawamu ke tempat ini, mungkin berniat jahat padamu, karena sudah menculikmu dari rumah sakit. Tapi percayalah, kami tidak akan membiarkan dia melukaimu, ataupun menekan perasaanmu."
"Terima kasih, dokter."
"Panggil saja aku, Karen. Aku harus pergi sekarang. Beatrix, Elisa, layani Nona Runa dengan sebaik-baiknya."
"Baik, Nyonya." Beatrix, dan Elisa membungkukkan tubuh mereka.
Karen meninggalkan kamar Runa, dibawah tatapan mata Runa. Situasi yang harus ia hadapi saat ini, benar-benar membuat Runa bingung.
Runa hanya bisa menunggu akhir pekan. Sampai ia tahu siapa orang yang sudah menculiknya, dan membawanya ke rumah besar yang tidak jauh dari pantai ini.
BERSAMBUNG