Mobil berbelok memasuki sebuah halaman rumah luas. Tamannya indah, berbagai jenis bunga menghiasi, air pancur mencuat dari mulut patung singa. Asri. Menyejukkan mata yang memandang.
Daffin dan Nona turun dari mobil.
Bangunan mewah berdiri tegak di depan mata. Nona tertegun menatap rumah megah itu.
“Ini rumahmu?” Nona menoleh ke arah Daffin yang berdiri di sisinya.
“Ya. Ayo, masuk!” ajak Daffin berjalan menuju teras. Nona mengikutinya. Keduanya memasuki rumah. Nona terkejut melihat keluarga besar Daffin sudah menunggu di ruang utama, ruangan luas yang disinari terangnya lampu gantung.
Ada beberapa orang mengisi ruangan itu. Jika memang mereka adalah keluarga Daffin, kenapa mereka tidak menghadiri pernikahan Daffin?
“Selamat siang!” Suara Daffin tegas berwibawa. Meski dia adalah CEO muda, namun kewibawaan dan gaya kepemimpinannya tidak diragukan. Melalui caranya berbicara saja, lawan bicara merasa wajib patuh.
“Daffin, kau sudah pulang!” Hendrawan mendekati Daffin. Menepuk pelan pundak pria itu.
Kini, penampilan Hendrawan sungguh jauh berbeda dari penampilannya dulu yang kelihatan sedikit lusuh. Dia kini memakai kemeja dan jas, lengkap dengan dasi dan sepatu mengkilap.
Perubahan yang sempurna.
“Semuanya, perkenalkan, ini Nona Ayesha, istriku.” Daffin memperkenalkan dengan suara mengguntur.
“Selamat datang, Nona!” sambut wanita paruh baya yang masih tampak muda.
Nona mengangguk.
“Nona, Kemarilah!!” panggil Hendrawan membuat Nona menatap ke sumber suara. Hendrawan mengajak Nona berkeliling mendekati satu per satu orang di sana. Kemudian Hendrawan memperkenalkan mereka semua kepada Nona.
Pertama, Hendrawan membawa Nona mendekat kepada seorang wanita yang usianya kisaran enam puluh satu tahun, namun wajahnya masih terlihat seperti mama muda. Antara wajah dan usia keliatan jomplang.
“Ini adalah mama mertua mu, namanya Nita,” ucap Hendrawan. “Panggil dia Mama, sebab sekarang dia sudah menjadi mamamu.”
Nona mengangguk, menatap ibu mertua dengan sungkan. “Salam, Mama!”
“Salam, Nona. Selamat datang, menantu ku!” jawab Nita dengan seulas senyum lebar.
“Ini Elda, kakaknya Daffin.” Hendrawan memperkenalkan gadis berkulit putih, tinggi semampai. Wajahnya culas, tatapannya tajam.
“Salam, Kak Elda!” Nona memperlihatkan senyum ramah.
Elda melengos saja tanpa membalas sapaan Nona.
Perasaan Nona tidak karuan mendapat respon tersebut. Apakah dia adalah ipar yang tidak dirindukan?
Hendrawan tidak begitu merespon sikap Elda, dia kemudian memperkenalkan Nona pada yang lain. “Ini Yusuf, sepuluh tahun. Dia putranya Elda, keponakan mu sekarang.”
Bocah yang diperkenalkan itu asik main game dengan smartphonenya.
“Ini Irish, kakak sulung Daffin,” sambung Hendrawan menunjuk sosok gadis jangkung, berkulit putih, rambut panjang. Wajahnya cantik dengan mata agak sipit.
“Hai!” sapa Irish dengan senyum.
Nona mengangguk, balas tersenyum.
“Dan ini Badai, putra Om,” ucap Hendrawan sambil menepuk pundak sosok pria bertubuh tinggi. “Dan… Aku adalah Om kamu,” ucap Hendrawan menunjuk dadanya sendiri.
Nona mengangkat alis bingung. Bukankah sejak awal Hendrawan menyebut dirinya adalah ayahnya Daffin? Lalu kenapa sekarang dia mengaku kalau dirinya disebut dengan panggilan om?
“Aku ini adik dari papanya Daffin yang sudah lama meninggal. Selama ini Daffin menganggap ku seperti ayahnya sendiri karena sejak kecil akulah yang membiayai kehidupan Daffin, Elda, Irish dan mamanya. Dan atas bimbinganku, sekarang Daffin sudah memiliki perusahaan sendiri. Bahkan perusahaannya jauh lebih besar dibandingkan dengan perusahaan om nya sendiri. dia bekerja keras sesuai kemampuannya. Dia mandiri. Maaf, jika om sempat mengaku kalau om ini adalah ayahnya Daffin. Semua ini atas permintaan Daffin untuk alasan tertentu. Kau boleh menanyakan masalah ini kepada Daffin, dia pasti akan menjelaskan kepadamu.”
Meski bingung, Nona mengangguk saja. Dia sedang menjadi objek perhatian di sana. jadi lebih baik diam.
Nona mengingat-ingat empat nama anggota keluarga barunya, yaitu Nita, mama mertuanya. Irish, kakak iparnya. Elda, juga kakak iparnya. Yusuf, bocah cilik yang usianya masih sepuluh tahun, tak lain anaknya Elda yang juga merupakan keponakan Daffin. Serta Badai, pria bertubuh tinggi dengan rambut panjang yang diikat rapi, tak lain putranya Om Hendrawan.
“Om, lebih baik sekarang Nona beristirahat dulu. Dia pasti lelah,” ucap Daffin.
“Ya. Suruh dia beristirahat.” Hendrawan mengangguk.
Daffin memanggil asisten rumah tangganya, memerintah asisten rumah tangga untuk mengantar Nona ke kamar.
Nona mengikuti asisten rumah tangga menaiki anak tangga yang meliuk cantik, menuju ke lantai dua. Ada banyak ruangan mewah dan elegan yang dia lintasi saat sudah naik ke lantai dua. Mimpi apa dia? Kini dia menjadi istri seorang CEO.
Dunia Nona rasanya berubah seratus delapan puluh derajat. Jika dulu dia hidup serba sederhana, kini dia akan menjalani hidup di rumah megah bak istana. Tak hanya itu saja, kesehariannya tentu juga akan berubah. Jika dulu dia bangun pagi kemudian ke dapur untuk urusan masak-memasak, mencuci piring dan pakaian, kini semua itu tidak dia kerjakan lagi.
Jujur saja, Nona merasa salah tingkah dan bingung menentukan sikap saat sejurus pandangan tertuju ke arahnya. Dia merasa seperti orang asing di sana.
“Ini kamarnya!” Asisten rumah tangga membuka sebuah pintu kamar, mempersilakan Nona masuk.
“Makasih,” ucap Nona dengan seulas senyum.
“Sama-sama.”
Nona melangkah memasuki kamar. Kulit tubuhnya langsung disambut dengan sejuknya AC. Sekilas manik matanya menyapu pemandangan kamar. Sungguh kamar yang elit. Mulai dari ranjang, nakas, lampu nakas, meja, sofa, meja rias, dan semua perabot yang ada di kamar itu bernuansa elit, dan diprediksi barang-barang berharga mahal. Sungguh kamar yang mewah. Tirai jendelanya juga pasti mahal. Lemari, televisi, lampu kamar, semuanya menawan.
Entahlah, Nona takjub sekaligus bingung harus bagaimana. Rasanya dia seperti baru saja terbangun dari mimpi. Kehidupan serba biasa saja yang dia jalani, kini disulap oleh malaikat menjadi kehidupan luar biasa.
Dulu, Nona pernah berangan-angan ingin hidup bersama pangeran romantis yang kaya raya, apa mungkin malaikat mengaminkan doanya hingga akhirnya Tuhan kasihan terhadapnya dan mengabulkan harapannya itu? Lihatlah, harapan Nona yang ingin menyulap Suhendra culun menjadi pangeran ganteng pun benar-benar terwujud.
“O ya, ini pakaian untuk Nona. Dari tuan Daffin.” Gadis itu memberikan selembar pakaian.
Nona segera menyambut pakaian itu.
“Saya Lola. Kalau butuh apa-apa, bisa panggil saya!” ucap gadis itu.
“Oke.” Nona mengangguk.
Lola meninggalkan kamar, menutup pintu.
Nona bergegas melepas sanggul dan menyisir rambut, lalu mengganti kebayanya dengan sehelai dress pemberian Daffin. Rambutnya kini terurai sepunggung. Baju yang Nona kenakan terlihat berkelas dengan style yang mengagumkan. Sayangnya tidak sesuai dengan rambut Nona sekarang, anak rambutnya berdiri seperti kulit landak dan berantakan.
Bodo amat deh. Nona bukanlah anak mami yang kesehariannya ke salon mempercantik diri.
Setelah selesai mengurus penampilannya, Nona mendekati meja, menatap laptop yang terbuka di atas meja. Itu pasti laptop kerjanya milik Daffin. Pandangannya tertarik pada sebuah kotak musik yang terletak di meja. Cantik sekali. Ia meraih kotak musik itu dan membukanya, sontak musik romantis pun mengalun indah.
Tiba-tiba pintu terbuka.
Tampak Daffin memasuki kamar.
Nona sontak menoleh ke arah Daffin.
“Apa yang kau lakukan, huh?” kesal Daffin membuat Nona terkejut dan menampilkan ekspresi bingung.
Daffin tiba-tiba mendekati Nona dan menggeser tubuh gadis itu dengan lengan kekarnya hingga tubuh mungil Nona terhuyung ke samping.
“Apa ini?” Daffin menatap laptopnya yang kini dalam keadaan menyala. “Kamu berusaha membuka laptopku, hm?” gertak Daffin. Daffin meraih laptop dan mematikannya dengan sentakan keras.
Nona menggeleng. “Enggak. Aku nggak ngapa-ngapain laptop kamu, kok.”
“Trus laptop ku itu bisa menyala sendiri, begitu menurutmu?” hardik Daffin.
Nona masih bingung, gerakan tangannya saat mengambil kotak musik tadi tanpa sengaja mengenai touchpad laptop hingga layarnya menyala. Lalu muncul perintah untuk memasukkan password di sana.
“Jangan sentuh semua barang-barang ku!” Daffin merampas kotak musik di tangan Nona lalu meletakkan benda itu ke meja dengan keras. Musik pun terhenti.
Nona sampai terkejut merasakan rampasan tangan Daffin.
“Maaf,” ucap Nona merasa bersalah. “Jadi aku nggak boleh menyentuh barang-barang di sini?”
“Jangan membuatku mengulang ucapan ku sendiri. kamu hanya boleh menyentuh barang-barang mu sendiri. Jangan mengganggu barang-barang milikku. Paham?”
‘Nggak nyangka aku nikah sama Dajal kesasar begini,’ bisik Nona dalam hati.
“Apa? Dajal?”
Loh, kok bisa dengar? Bukankah Nona tadi hanya berbisik dalam hati, tapi kok Daffin mendengar kata hatinya? Inilah efek terlalu mendalami sehingga suara hati pun tanpa sadar terucap secara lisan. Mampus deh, bakalan diamuk.