Bab 1 Dipermalukan

1084 Kata
"Bagaimana, Bi? Sudah cukup pantas?" tanya Elenora sambil memutar badan di depan bibi Dina. Ekor matanya tak lepas menatap bayangannya di cermin. Bibi Dina, yang sedang duduk di atas ranjang, tersenyum lembut. "Baju apapun yang kau kenakan selalu pantas, Nak. Lagi pula, makan malam keluarga itu hanyalah sebuah acara kecil, jangan terlalu gugup," Elenora mengangguk pelan, tapi dia tetap tidak bisa mengusir rasa gugup itu. Oke, acara makan malam itu memang hanya sebuah acara kecil seperti kata bibi Dina, namun, bagi Elenora Danastri Cahyadi, ini adalah sebuah acara besar. Anggara, pacarnya, akhirnya akan memperkenalkan dia kepada keluarganya, setelah dua tahun lebih mereka menjalin hubungan. Untuk itulah, sejak tadi Elenora telah sibuk di depan cermin, sangat bersemangat menyiapkan penampilan terbaiknya. Gaun putih hadiah dari sang mendiang nenek—gaun terbaik yang dia miliki, membalut tubuhnya, memantulkan kecantikan dan keanggunannya dengan sempurna. Rambut hitamnya digelung rapi, memperlihatkan leher jenjang dan wajahnya yang cantik alami. Setelah merasa puas dengan penampilannya, sebuah senyum kecil tersungging di bibirnya, senyum penuh harapan. Terdengar bunyi klakson mobil. Anggara rupanya sudah menjemputnya. “Pergilah, Nak. Hati-hati,” Bibi Dina mendorong punggung Elenora lembut. “Doakan semuanya lancar, ya, Bi!” Elenora mencium kedua pipi wanita itu lalu berjalan cepat keluar kamarnya. Bibi Dina berdiri di ambang pintu dengan perasaan haru. Ikut bahagia melihat senyum dan semangat Elenora, gadis berusia 22 tahun itu. Saat Elenora melintasi ruang keluarga, di sana sedang duduk adik dan ibu tirinya, Sofia dan Kinanti. Elenora berjalan tanpa menoleh, mengabaikan tatapan sinis mereka. Langkahnya semakin cepat, menghindari gangguan dari kedua orang yang membencinya itu. Anggara sudah menunggu di samping mobil, segera membuka pintu sebelah penumpang begitu melihat Elenora melangkah keluar dari pintu depan. “Kamu cantik sekali, sayang,” matanya tak lepas dari wajah Elenora. Elenora hanya tersenyum kecil, dan cepat-cepat masuk ke mobil. “Angga,” panggilnya pelan, memandang kekasihnya yang sudah duduk di balik kemudi. “Kamu yakin orang tuamu tidak akan keberatan? Aku... Aku takut mereka tidak menyukaiku.” Anggara tersenyum lembut, lalu bergeser mendekat, menggenggam kedua tangan Elenora. “Sayang, kamu jangan khawatir. Orang tuaku itu orang baik. Mereka selalu mendukung apapun pilihan hidupku. Lagi pula, orang tua mana yang tidak mau punya menantu gadis cantik seperti kamu?” Elenora cukup terhibur dengan kata-kata Anggara, tapi tetap saja ada kekhawatiran menyesakkan dadanya. “Tapi bagaimana dengan latar belakang keluargaku?” Yang Elenora maksud adalah keberadaannya di keluarga Cahyadi yang terlanjur berkembang di luar sana sebagai anak haram, dan tidak ada seorang pun yang mau repot-repot membantu meluruskan itu, bahkan ayahnya sendiri. Anggara mengusap punggung tangan Elenora dengan lembut. “Jangan khawatir, sayang. Orang tuaku akan menghargai pilihanku. Percaya sama aku.” “Aku takut mereka menganggapku tidak pantas,” Elenora menundukkan kepalanya, suaranya terdengar berat, mengingat Anggara yang saat ini berstatus dokter residen sedangkan dia hanya seorang perawat. Anggara mengangkat dagunya dengan lembut, memaksa Elenora menatap matanya. “Jangan bicara begitu. Yang terpenting, aku mencintaimu.” “Tapi—” “Tidak ada tapi-tapi,” potong Anggara sambil tersenyum menenangkan. “Mereka akan menyukaimu. Percaya padaku. Kamu tidak perlu merendahkan dirimu seperti ini. Kamu wanita cerdas dan pekerja keras. Kamu yang terbaik untukku.” Elenora menarik napas panjang, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Kata-kata Anggara seperti pelukan hangat di tengah dinginnya rasa tidak percaya diri yang menghantuinya. “Baiklah,” katanya akhirnya, meski hatinya masih diliputi sedikit keraguan. “Aku percaya sama kamu.” Anggara mencium punggung tangannya. “Itu yang aku mau dengar. Di rumahku nanti, kamu cukup jadi diri sendiri. Percayalah, semua akan baik-baik saja.” Anggara memasang seatbelt Elenora, lalu setelah memasang seatbeltnya juga, dia mulai menjalankan mobil dengan tenang. * Rumah itu berdiri megah, dengan pilar-pilar tinggi, lampu di berbagai sudut dan cahaya dari lampu-lampu besar yang memancar di balik kaca jendela. Megah dan membuat Elenora merasa terintimidasi. Pagar besi besar berukir elegan terbuka perlahan, memperlihatkan halaman yang luas dengan taman indah di kedua sisinya. Semakin melengkapi kesan mewah dan megah rumah itu. Ini adalah kali pertama Elenora datang ke rumah Anggara, dan meskipun Anggara telah meyakinkannya bahwa orang tuanya akan menyukainya, perasaan gugup tidak juga hilang. “Tenang, Sayang. Orang tuaku sudah menunggu kesempatan ini.” Bisik Anggara, saat mereka melangkah menuju pintu utama. Dia menggenggam erat tangan Elenora, memberikan sedikit tekanan yang menenangkan. Pria itu membawa Elenora masuk ke ruang tamu dengan senyum lebar, memberi salam pada semua orang yang ada di sana. Di sofa utama, seorang wanita muda dengan rambut panjang bergelombang duduk dengan anggun, mengenakan dress mahal yang memperlihatkan lekuk tubuhnya. Di sampingnya, Benny dan Dahlia, kedua orang tua Anggara duduk dengan ekspresi serius. “Meyra, kau juga di sini? Kapan datang dari Aussie?” tanya Anggara, terkejut melihat kehadiran wanita itu. “Baru sampai tadi pagi. Eh, siapa yang kau bawa ini?” Wanita muda itu tak mengalihkan tatapannya dari Elenora. Elenora tertegun sejenak, merasakan tatapan tajam dari Meyra yang segera menyapu dirinya dari ujung kepala hingga kaki. Dia tidak mengenal wanita itu dan tatapannya yang mengintimidasi membuatnya makin gugup. Anggara langsung menggenggam tangan Elenora lebih erat, menyadari nada sarkastis dalam ucapan Meyra. "Ini Elenora, pacarku," katanya tegas, menatap Meyra dengan dingin. Reaksi Meyra sangat cepat—ekspresi wajahnya sejenak mengeras sebelum kembali tersenyum. "Pacar? Wah, aku tidak tahu kau sedang menjalin hubungan, Anggara." Meyra berbalik ke arah orang tua Anggara dan berkata dengan nada bercanda, "Bibi, Paman, kenapa aku tidak diberitahu soal ini?" Ibunda Anggara, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Kami juga baru tahu, Meyra," katanya dengan nada dingin sambil menatap Elenora. "Sangat mendadak, bukan?" Elenora menelan ludah, merasakan sorotan mata penuh penilaian dari wanita itu. Dia mencoba untuk tetap tenang dan tersenyum sopan, tapi kata-kata selanjutnya dari Meyra membuatnya semakin tidak nyaman. "Anggara," Meyra memutar tubuhnya ke arah pria itu, "kau benar-benar memilih dengan cepat, ya? Aku kira kau lebih... selektif." "Meyra, cukup," ujar Anggara dengan nada tajam, membuat wanita itu terdiam. Dia lalu menghadap ayah dan ibunya. “Pa, Ma, ini pacarku, Elenora.” Ayah Anggara menghela napas, lalu berdiri dari sofa. "Baiklah," katanya, mencoba mengalihkan suasana. "Jadi, Elenora, kamu dari keluarga mana?" Elenora tersenyum gugup. "Saya… dari keluarga Cahyadi, Om." Mata ibu Anggara langsung menyipit. "Cahyadi? Keluarga Cahyadi yang mana? Sebentar, apakah ayahmu Suryo Cahyadi, pemilik PT. Cemara Indah Pulp and Paper?" “Iya, benar, Tante,” suara Elenora bergetar saat menjawab, merasa takut saat ibu Anggara menyebut nama ayahnya dan perusahaannya. Keheningan mencengkeram ruangan. Tatapan mata kedua orang tua Anggara saling bertemu, berbicara tanpa kata. Hingga akhirnya, ibu Anggara memecahnya dengan tawa sinis. "Jadi, kamu ini anak dari pelakor itu?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN