“Ma, jangan keterlaluan. Elenora—”
“DIAM!” Bentak Dahlia, menatap Anggara yang mencoba membela Elenora dengan tatapan berapi-api. “Katamu pacarmu wanita hebat, hingga mama dan papa bersedia mengundangnya ke rumah. Tapi apa kenyataannya? Kau bawa anak haram, Angga!”
“Mama!”
“Diam, Anggara! Kau tahu apa?” Sekuat tenaga Dahlia mendorong putranya menjauh dari Elenora.
Anggara terdorong ke sudut sofa, hanya bisa terduduk di sana dengan wajah pucat.
Sementara Elenora membeku. Shock berat dengan sambutan kedua orang tua sang kekasih. Kata-kata itu seperti pukulan keras di wajahnya.
Ini tidak seperti yang Anggara katakan.
"Maaf, Tante, saya tidak mengerti." Bisiknya lirih.
"Oh, jangan berpura-pura tidak mengerti. Semua orang tahu bagaimana ibumu merangkak naik ke ranjang Suryo Cahyadi dan menjadi simpanannya.” Ibu Anggara menyilangkan tangannya di depan d@da, menatap Elenora dari kepala hingga kaki dengan sorot mata jijik.
"Tante, tolong jangan menghina ibu saya. Itu semua tidak benar. Ibu menikah sah dengan ayah saya." ujar Elenora dengan suara bergetar, berusaha membela diri.
"Masih berani berbohong? Ibumu hanya wanita simpanan. Pelakor!”
“Tidak. I-itu tidak benar.”
“Jangan mengira kami begitu bodoh, lalu kau juga mau menggunakan trik kotor ibumu untuk menjadi menantu kami,"
“Tidak. Sa-saya tulus mencintai Anggara, Tante,”
Dahlia tertawa kecil, tawa yang sarat dengan ejekan. "Tulus? Oh, anak haram seperti kamu bicara soal cinta? Kamu pikir kami tidak tahu tujuanmu mendekati Angga? Hanya karena ingin pansos dan mengejar harta, kan?"
Elenora terkejut mendengar tuduhan yang begitu keji itu. "Tante, saya tidak pernah—" tubuhnya gemetar sekarang.
Ibu Anggara mendekat, matanya menyipit penuh kebencian. "Kamu pikir kami bodoh? Kami bisa melihat niat busukmu dengan jelas."
Elenora menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata. "Tidak, Tante. Saya bukan orang seperti itu. Saya ingin mendampingi Anggara bukan karena harta atau apapun. Saya tulus mencintainya."
Namun, ibu Anggara mengibaskan tangannya dengan kasar. "Cukup! Kamu seharusnya tahu diri. Jangan bermimpi masuk ke keluarga kami."
Ayah Anggara yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Kami tidak akan membiarkan anak kami menikah dengan wanita seperti kamu. Kami punya reputasi yang harus dijaga. Pergilah, cari laki-laki yang setara denganmu, jangan membawa aib pada keluarga kami."
"Keluar!" bentak ibu Anggara tiba-tiba. "Aku tidak mau melihat wajahmu lagi. Jika kamu benar-benar mencintai Angga, seperti yang kamu katakan, lepaskan dia! Jangan jadi beban bagi hidupnya!"
Anggara hanya diam di sudut sofa, menunduk tanpa satu kata pun keluar dari mulutnya. Dia terlalu shock melihat ayah dan ibunya menyerang Elenora dengan membabi buta. Ini sama sekali di luar perkiraannya.
Elenora menatap Anggara, mencari pembelaan, tapi pria itu tetap membisu, seperti patung. Jadi semua yang dia katakan di mobil tadi bohong, dan sekarang bahkan dia tidak punya keberanian untuk membelanya.
Rasa sakit menghantam d@da Elenora. Dia seharusnya tidak datang ke sini.
Dengan kesadaran itu, Elenora berlari keluar dari rumah megah itu, langkahnya sedikit terhuyung-huyung karena air mata yang mengaburkan pandangannya.
Anggara yang baru tersadar segera berdiri, bermaksud mengejar Elenora.
"ANGGARA!" Teriakan itu menggema di ruang tamu. "Kau berani mengejar anak haram itu, kukeluarkan kau dari daftar ahli waris keluarga kita!"
Langkah Anggara yang hendak menyusul Elenora langsung terhenti. Dia membeku, punggungnya kaku. "Pa...," gumamnya lemah, suaranya bergetar.
Ayahnya melanjutkan dengan nada penuh wibawa. "Hanya wanita dari keluarga baik-baik yang layak menjadi istrimu, bukan anak haram tak jelas! Dia tidak pantas untukmu!"
Anggara mengepalkan tangan, mencoba menahan gejolak di hatinya. Dalam pikirannya, terbayang wajah Elenora yang terluka, air mata yang mengalir di pipinya. Tapi ancaman ayahnya terlalu berat. Dia tidak siap untuk kehilangan segalanya—keluarga, warisan, masa depan.
Alih-alih mengejar pacarnya, dia kembali duduk, mengabaikan rasa sakit di dadanya.
*
Elenora berhenti di ujung jalan, tubuhnya gemetar. Dia mengusap d@da yang terasa begitu perih.
Semua yang terjadi tidak seindah harapan yang mereka bangun selama dua tahun lebih ini. Anggara sama sekali tidak membela dirinya, bahkan tidak mengejarnya.
Pemikiran itu membuat air matanya semakin deras. Elenora sadar—dia telah ditinggalkan, dan cinta yang selama ini dia pertahankan tidak cukup kuat untuk melawan ego dan kehormatan keluarga Anggara.
Anggara telah mengkhianati janjinya sendiri. Semua harapan dan kebahagiaannya hancur dalam sekejap.
Dengan tangan gemetar dia menghentikan taksi.
Elenora duduk di dalam taksi, pandangannya kosong menatap jalanan Jakarta yang sibuk. Air mata masih terus bergulir di pipinya.
Malam itu seharusnya menjadi malam bahagia, namun, kenyataan pahit menghantamnya dengan keras. Kata-kata hinaan dari ibu dan ayah Anggara terus terngiang di telinganya.
Ponselnya tiba-tiba bergetar, membuyarkan lamunannya. Ia menatap layar, nama Ayu Setiarini muncul di sana. Ayu adalah rekan perawat, teman baru yang ia kenal beberapa hari lalu, setelah diterima bekerja di Rumah Sakit Dirgantara Medika.
Elenora ragu-ragu, tapi akhirnya menggeser layar dan menjawab panggilan itu.
"Nora! Kau di mana sekarang?" Suara ceria Ayu terdengar begitu nyaring, membuat Elenora refleks sedikit menjauhkan ponsel dari telinganya.
"Aku..." Elenora terdiam, bingung bagaimana memberitahu keberadaannya.
"Ayo ke sini!” sela Ayu, tidak sabar. “Kita semua sedang di Dirgantara Sky Hotel. Ini pesta ulang tahun bapak Direktur, dan semua karyawan rumah sakit tanpa terkecuali diundang. Jangan bilang kau lupa,"
"Aku..." Elenora ragu sejenak. Pulang ke rumah dalam keadaan begini hanya akan menambah beban. Ia membutuhkan hiburan untuk melupakan rasa sakit malam ini, walaupun hanya sementara.
"Pokoknya kamu harus datang! Kalau tidak, aku bakal cari kamu besok dan jangan menyesal!" Ayu melancarkan ancaman dengan nada bercanda, tak menyadari pergolakan batin Elenora.
Akhirnya, Elenora menarik napas dalam. "Baiklah. Aku ke sana sekarang."
"Yes! Aku tahu kau tidak akan menolak. Sampai jumpa di sini, ya!" Ayu menutup telepon dengan cepat, meninggalkan Elenora yang kini termenung.
Ia mengubah arah tatapan ke depan. "Pak, tolong antar saya ke Dirgantara Sky Hotel," katanya kepada sopir taksi.
"Baik, Non," jawab sopir itu dengan ramah, lalu berbelok menuju jalan ke arah hotel mewah yang disebutkan Ayu.
Mereka sampai hanya beberapa menit kemudian.
Elenora menarik napas panjang, mengusap sisa air mata dan mencoba mengatur emosinya. Dia melangkah turun dari taksi dengan langkah ragu. Pemandangan megah Dirgantara Sky Hotel menyambutnya dengan lampu-lampu temaram yang memantulkan kemewahan.
Ia sempat merasa canggung, tapi suara ceria Ayu yang memanggilnya dari depan pintu masuk langsung mengalihkan perhatiannya.
"Nora! Di sini!" Ayu melambai antusias, wajahnya berseri-seri seperti tak ada beban apapun dalam kehidupan di dunia ini.
Elenora tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan masalahnya jauh di dalam hati. Ia berjalan mendekat.
Ayu langsung menggamit lengannya. "Wah, kau cantik sekali malam ini! Aku sampai iri, kamu ini perawat atau model sih?"
Elenora menghela napas, menyembunyikan kesedihan dengan tawa kecil. "Hanya wanita biasa, Ayu."
"Wanita biasa? Hah, lihatlah dirimu! Kau cantik sekali, Nora. Kalau aku laki-laki, sudah kutembak kau dari tadi," Ayu bercanda sambil terkekeh, membuat Elenora sedikit lebih rileks.
"Ayo, kita masuk," ajak Ayu sambil menariknya masuk ke hotel.