Keraguan

1123 Kata
Setelah pulang beberapa hari dari rumahnya, Alex sering kali keluar rumah tanpa berbicara. Aku pikir, dia sudah memaafkan aku. Tapi sepertinya, masih ada hal yang dia pikirkan dan tidak mengizinkan aku mengetahuinya. Saat aku pulang, dia hanya tersenyum menyambutku tanpa kata, apalagi merutuki aku yang lembur setiap harinya. Pulang lebih terlambat dari dia yang ternyata bukan karyawan perusahaan melainkan pemilik perusahaan dan waktu dia yang memilikinya. Dalam pelukan Alex, aku tidak pernah melepasnya. Berada di balkon kamar aku dan dia sering melakukan hubungan suami istri setiap malamnya. Permintaan dia memang selalu ku penuhi. Apalagi tentang hasratnya, meski terkadang aku juga sering meminta dia untuk mengajak aku pulang dan bertemu keluargaku di kampung. "Cha, apa kamu masih menyukainya?" tanya Alex. "Hah, suka sama siapa?" balasku. "Sam?" dia menatapku dengan pandangan yang tidak bisa di artikan. "Kenapa kamu bertanya hal seperti itu?" tegasku. "Karena aku terpikirkan saat pandangan dan tanggapanmu begitu sama seperti dulu. Saat kalian bersama," jelas Alex. "Tidak! Aku bahkan tidak pernah terpikirkan harapan dia kembali!" aku tegaskan Alex yang berpikir lain dari apa yang aku lakukan. "Kenapa kamu panik?" tanya Alex. "Al! Aku tidak panik. Apalagi memiliki waktu memikirkan pria lain!" aku berteriak menegaskan pemikiran Alex terhadapku. Meski dia terdiam, aku juga tidak tahu harus mengatakan apalagi untuk menjelaskan bahwa perasaanku sepenuhnya miliknya. Mencium bibir Alex, aku lakukan untuk meyakinkan dirinya bahwa aku miliknya. Tatapan lembut dariku saat aku menatapnya melepas ciumanku. "Al ... Jangan seperti ini! Aku merasa sakit saat kamu mengajakku pergi dan malah bertemu dengan orang yang menyakitkan. Tapi aku lebih tidak mau saat kamu berpikir buruk tentang cintaku yang tulus untukmu." Alex mengangguk sebagai balasan ucapanku. Dia mencium bibirku hingga melanjutkan aktivitas yang sudah dilakukan tadi dan kini aku dengan Alex melakukannya lagi dan lagi, hingga kehidupan kami sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Hari ini, aku pulang cepat lebih awal dan tidak memberitahu Alex. Biasanya, aku menelponnya jika aku pulang lebih awal, atau dia akan mengoceh karena tidak sempat menjemputku. Senyum simpul semangat saat aku hendak memberinya kejutan, aku membuka pintu kamar setelah tahu jika Alex juga sudah pulang dengan mobil yang terparkir di garasi. Aku membuka pintu tanpa mengetuknya, tapi saat aku masuk. Melihat Alex bersama dengan wanita lain lebih tepatnya. Mereka sedang berciuman membuatku teetegun, seakan dunia menghantam hidupku yang baru saja membaik. Dia hanya menoleh ke arahku, tanpa kata atau penjelasan. Hanya menyuruh wanita itu pergi begitu saja, tanpa berbicara terlebih dahulu kepadaku. Alex dan wanita di sampingnya, berdiri dan berjalan melewati aku yang mematung. Seakan aku tidak ada dan tidak masalah jika aku melihatnya atau tidak. Orang berkata, jika kita sering kali sakit hati dan berasumsi buruk jika di diamkan. Tapi ternyata jauh lebih baik daripada diam ketika harus melihat pria yang sudah kulimpahkan cinta mengkhianati di hadapan aku sendiri. "Dia tidak akan marah, aku hanya perlu memenuhi segala kebutuhannya dan dia akan baik lagi padaku!" seru Alex berbicara pada wanita itu, saat aku menuruni tangga terdengar jelas ucapannya menghina diriku. Wanita yang bersama Alex pergi begitu melihat aku turun dan mencoba untuk mencari kejelasan dari Alex. Suasana menjadi hening seketika, saat hanya ada aku dan Alex kali ini di ruang tamu. "Kau menganggap aku menjadikan kamu sebagai batu loncatan kehidupanku?" akhirnya aku mengatakannya, meski aku sempat bergelut dengan pikiran kacauku untuk tidak mengatakannya. Dia yang duduk berhadapan denganku, masih dalam diam tidak menjawab pertanyaanku. "Bukankah kau lebih banyak bicara tadi?" melihatnya masih diam, terasa sakit saat ucapanku tak di balasnya. "Istirahatlah! Aku lelah!" seru Alex. "Lelah? Setelah berduaan dengan wanita lain, Kau kelelahan? Apa perlu aku siapkan air hangat untuk melepas keringatmu, atau kamu juga ingin aku buatkan makanan untuk mengembalikan tenagamu?" aku berteriak mencegahnya pergi. "Jika kamu mau melakukannya, lakukanlah!" tegas Alex. Mendengar jawabannya, air mata menetes dengan amarah dan kecemburuan yang menguasaku kali ini. Tanpa sadar aku melempar benda yang ada di atas meja, menatapnya dengan tajam saat Alex terkejut di buat olehku. "Kau merasa jijik saat aku berciuman dengan Sam, tapi kau lebih mengerikan saat mengatakan bahwa aku membutuhkan kau yang royal padaku. Aku tidak menyangka, seorang Alex akan membalasnya jauh menyakitkan, bukankah itu jauh menyenangkan daripada aku?" air mataku sudah tak terbendung karena mengatakannya. "Apa maumu?" tanya Alex. "Tidak ada, dan sudah cukup," tangkisku. Berjalan pergi meninggalkannya di ruang tamu, aku menaiki tangga dan masuk ke kamar dengan air mata yang sudah tidak bisa ku bendung. Pria yang sudah beberapa bulan menjadi suamiku, tiba-tiba diam dan beralih dengan wanita lain tanpa penjelasan dan alasan dia mengeluh tentangku. Perasaan seperti apa yang ku rasakan kali ini memang tidak dapat ku utarakan. Lergi bekerjapun, seakan gamblang tanpa kehidupan. Memang tidak ada pertengkaran hebat antara aku dengan Alex, tapi kami perang dingin, saling acuh setiap saat. Tidak ada yang mau berbicara atau mencari tahu alasan di balik pertengkaran kami, selain Alex yang ketahuan berciuman dengan wanita lain yang aku sendiri tidak pernah mengenali wanita itu. "Apa yang sedang kau lakukan, apakah kau tidak pergi makan siang?" Diana berjalan menghampiriku yang masih duduk terdiam di tempat kerja. Aku bahkan tidak menyadari jika waktu jam makan siang sudah tiba. Teman satu pekerjaan ku itu duduk di sampingku, dengan pandangan penuh perhatian dan pertanyaan kepadaku. "Kau sedang ada masalah? Katakanlah, mungkin aku bisa menenangkan dirimu sedikit jauh lebih baik daripada kau mengurung diri dan menyiksa tubuhmu hingga kau tidak mau makan, meski sudah seharian bekerja?" tanya Diana. "Hmm, jika suamimu terdiam tiba-tiba, kesalahan apa yang kau miliki?" Aku mencoba untuk bertanya dan mencari jawaban dari tanggapan Diana. "Jika kamu merasa bersalah, katakan maaf. Tapi jika kau ragu akan kesalahanmu, maka rayu dia. Hanya jika kalian sama-sama tidak bicara, maka cobalah kau bujuk dia," ucap Diana. "Bujuk? Untuk apa?" Aku ragu akan hal itu. "Untuk keutuhan rumah tanggamu, Cha!" seru Diana menatap tajam. Mendengar ngkapan rumah tangga yang utuh, membuatku teringat akan kejadian yang kulihat kemarin. Tentang Alex yang diam, bahkan selingkuh di hadapanku. "Aku yakin kamu sudah mulai sedikit paham tentang rumah tangga, Cha. Sebaiknya kau pikirkan lagi. Meski seharusnya, kau pikirkan semua konsekuensinya saat kau memutuskan untuk menikah dengannya," ucapan Diana ku balas anggukan. Dia pergi setelah berbicara menegaskan keputusanku, Diana seorang yang mau mendengarkan peluh resah diriku di bandingkan yang lainnya. Dia lebihpengertian dan paham apa yang kurasakan. Dia teman terbaik semasa di tempat kerja. "Cha, kau mau ikut aku ke ruang ADM!" ajak Yudi, ketua output di tempat kerjaku. "Untuk apa?" jawabku dengan malas. "Sebentar saja!" tambahnya. Yudi, seorang ketua output yang biasa hanya diam dan isyarat untuk berkomunikasi dengan anggota lainnya. Tapi kali ini, dia berbicara dan mengajakku untuk pergi dan berbicara di lain tempat, meski tempat kerjaku sedang tidak ada siapa-siapa. Ragu-ragu, tapi aku tetap berjalan mengikutinya. Sempat melihat kearah orang-orang yang memperhatikan kami, tapi Yudi sama sekali tidak menghentikan langkahnya tanpa berbicara lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN