Surat Gugatan

3037 Kata
Masuk ke dalam bus dan duduk dengan baik di samping jendela, lebih sering kulakukan. Tapi kali ini, ada Yudi yang tiba-tiba duduk di kursi sampingku mengejutkanku. Mengangkat sebelah alis saat aku mendapati bisa bertemu dengannya lebih sering di luar dugaanku. "Apa yang sedang kau lakukan?" tanyaku. "Apa kau bodoh? Tentu saja naik bus?" balas Yudi. "Maksudku, bukankah kamu masih bekerja?" tanyaku. "Aku mau bertemu seseorang dan aku menaiki bus," jelas Yudi. "Seingatku, kamu lebih sering mengenakan motor gedemu itukan?" Semakin Yudi mendengar pertanyaanku dia menoleh ke arahku menatap tajam sembari mengangkat sebelah alisnya. "Bukankah kau seharusnya menjadi wanitaku jika deretanmu begitu banyak seperti ini." Tatapan Yudi tampak membuatku merasa canggung hingga aku memilih untuk berhenti dan mengalihkan pandanganku darinya. Bus yang sedang kami tumpangi terasa melambat saat aku berharap bergegas turun dari mobil kali ini. "Kau mau kemana?" tanya Yudi. "Tentu saja aku pulang. Memangnya apa yang harus aku lakukan setelah aku tidak memiliki pekerjaan lagi," acuh ku. "Kenapa kau berubah menjadi acuh seperti ini kepada ku?" tanya Yudi. Aku membuang nafasku pelan dan menatap kearah pria yang duduk di sampingku. "Bukankah kau tadi sama sekali tidak menyukai kepada wanita yang begitu banyak pertanyaan. Lalu kenapa kau masih bertanya tentang diriku," protes ku. "Kalan aku pernah mengatakan bahwa aku tidak menyukainya, apalagi saat kau berbicara dan bertanya tentang hal yang begitu banyak kepadaku," tatap Yudi. Semakin mendengar penuturan pria yang ku anggap adalah seorang pria yang selama ini acuh kepada semua orang semakin membuatku tidak memahami apa yang dikatakan olehnya. Tidak tau harus menjawab dan menjelaskan hal apa kepada Yudi, aku memilih untuk diam menyekap kedua tanganku di d**a tanpa mencoba untuk berbicara lagi kepadanya. Tapi, seketika aku terkejut ketika Yudi memberikan sebuah headset di telingaku hingga terdengar sebuah musik akustik terdengar tampak menenangkan. "Dengarkan dengan baik-baik, mungkin akan jauh lebih menenangkan dirimu. Sepertinya kau memang membutuhkannya," ucap Yudi, aku hanya bisa terdiam dan menggidikkan bahu untuk menanggapi ucapannya. Tapi, tetap ku dengarkan iringan musik yang sedang ku dengar dari headset yang tersambung di ponsel Yudi. Iringan musik yang memang membuat diriku jauh lebih tenang dan melupakan segala masalah yang ku hadapi kali ini. Terutama tentang Alex yang bahkan sama sekali tidak memberikan penjelasan tentang apa yang dia lakukan dengan wanita lain, apalagi mencoba untuk membujuk diriku seperti biasa dia lakukan. Kali ini aku hanya bisa memendam semua hal yang terjadi kepada ku seorang diri tanpa mencoba untuk memberitahu siapapun terutama Alex yang berperan sebagai suamiku. Biasanya dia adalah orang pertama yang ku beritahu tentang segala hal yang menimpa diriku terutama tentang rasa lelahku di pekerjaan. Tapi, kali ini berhadapan dengannya pun sangat sulit untuk ku meski kami tinggal satu rumah, masih berstatus suami istri, tapi dia sama sekali tidak pernah memberikanku kesempatan padaku apalagi berbicara tentang apa yang dia lakukan dan aku mengatakan tentang apa yang sedang ku alami. Dalam pikirku mungkin dia sedang dalam masalah yang tidak bisa di selesaikan dengan cepat, apalagi di bicarakan kepadaku. Tapi, tentang perselingkuhan bukanlah hal yang perlu di toleransi namun, tetap saja tidak bisa membuatku protes dan di hindari semua hal yang sudah ku lihat meski begitu sangat menyakitkan bagi diriku. Mengingatnya hampir saja aku meneteskan air mata tanpa mengingat ada seorang pria di sampingku. Dia pasti akan memperhatikan diriku jika tau aku menangis. Menahan air mata yang hampir saja terjatuh, memang tidak bisa ku sembunyikan hingga membuat Yudi menarik tanganku hingga kami saling bersitatap satu sama lain. "Kau ingin menangis? Kenapa tidak kau lakukan. Aku lihat kau sedari tadi selalu menahan air matamu itu yang akan keluar. Kenapa kau bertingkah seolah-olah kau bukanlah seorang wanita, dan kau menjadi wanita yang sangat kuat. Apakah harus seperti itu? Jika aku hanya seorang diri saja, menangislah dan jangan menahannya." Ucapan dan tatapan Yudi membuatku tertegun hingga aku benar-benar meneteskan air mata dan menangis. Yudi hanya memberikan jaket yang dia kenakan untuk ku gunakan. Menutup wajahku yang sedang menangis di dalam bus membuat diriku dengan leluasa menangis begitu saja meski beralaskan dan tertutup jaket miliknya. Sepanjang perjalanan aku menangis meski tidak begitu nyaring. Tapu, tetap saja aku tidak menyadari bahwa Yudi menanggapi diriku hingga dia memeluk tangisanku tanpa dia sadari begitupun dengan diriku. Mengusap punggung tubuhku hingga aku mulai membaik setelah melakukan perjalanan dan menangis sepanjang perjalanan. Dan tanpa sadar bahwa hari sudah gelap membuatku terkejut hingga aku menatap tajam kearah Yudi. "Kenapa?" tanya Yudi. "Apanya yang kenapa? Kenapa kamu tidak bilang kalau kita hanya berputar-putar saja sedari tadi," protes ku. "Bukankah kau ingin menghabiskan waktumu untuk menangis sepanjang hari. Apakah aku sudah mulai membaik dan kembali menjadi wanita yang begitu banyak berbicara?" tanya Yudi. "Bukan itu maksudku, Yudi! Tapi, aku memang harus bergegas pulang dan kamu malah membuatku terlambat seperti ini," protes ku. "Baiklah-baiklah ... ini sudah sampai di tempat rumahmu berada dan sepertinya tidak jauh dari tempat tinggal mu. Turunlah! Bukankah kau sudah jauh lebih baik sekarang." Jelas Yudi. Penjelasan Yudi membuatku terkejut hingga aku melihat keluaran dengan area yang tidak asing bagi diriku. Meski aku ingin bertanya tentang bus yang mau saja dibuat oleh Yudi untuk pergi dan melewati halte hanya untuk diriku, tapi tidak alu lakukan setelah Yudi tetap mendorong diriku untuk turun dari bus dan keluar tanpa untuk berbicara dan berterimakasih kepadanya. Hingga dia melambaikan tangan dan membiarkanku seorang diri di tepi jalan sat bus itu sudah pergi begitu saja. Aku tidak menyadari bahwa aku membawa sebuah jaket yang di tinggalkan oleh Yudi, membuatku terkejut hingga berjalan perlahan masuk ke dalam gang kompleks di sambut oleh penjaga hingga aku masuk ke rumah dan tidak ada kehidupan di rumah itu. Alex mungkin tidak kembali ke rumah hari ini. Perasaan yang sama sekali tidak bisa ku pungkiri ketika aku merindukan Alex yang banyak bertanya tentang diriku. Saat ku lihat jam di tanganku menunjukan pukul 7 malam. "Sepertinya aku sangat lama di dalam perjalanan tadi dan ternyata menangis dalam waktu yang sangat lama. Memang membuatku jauh lebih tenang dan membaik." Berjalan menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar, membersihkan tubuh seperti rutinitas yang biasa kulakukan setelah pulang bekerja. Membuatkan makanan tanpa ada kehidupan bersama Alex seperti biasa. Aku duduk di kursi meja makan sembari menghabiskan makanan yang sama sekali tidak terasa begitu hambar saat aku mengunyahnya. Alex benar-benar tidak kembali meski aku sudah pulang dari 1 jam yang lalu. Menghabiskan makanan yang ada di hadapanku, aku memilih untuk berjalan-jalan di rumah yang selama ini sama sekali tidak memberikanku kehidupan yang lebih sempurna dari yang ku bayangkan. Insiden tentang aku bersama dengan Samuel, memang bukanlah toleransi yang bisa di terima oleh Alex. Tapi, ketika dia bahkan tidak mengingat diriku mendiamiku berciuman di hadapanku, menikmati wanita lain. Memang membuat diriku sama sekali tidak bisa memiliki pendapat tentang Alex saat ini. Aku memang belum memahami dirinya sepenuhnya setelah dia, bahkan menghindari diriku sampai saat ini. Perasaan dunia yang menghindariku bahkan menelan diriku sampai saat ini membuatku merasa menjadi seseorang yang tidak pantas dan tidak layak untuk bahagia. Apalagi menemukan kehidupan yang ku harapkan. "Memangnya apa yang ku harapkan dari kehidupan ini? Apakah kebahagiaan ... apakah hidup bersama dengan keluarga yang begitu menyayangiku bahkan putriku sendiri tidak mengingat diriku. Apakah aku harus sedih bahagia atau tetap menerima semua ini? Benar-benar membuatku tidak tau harus dengan cara apa untuk mengahadapi segala nasib dan kehidupan yang sama sekali tidak ku duga permainan dari Tuhan yang sangat membosankan bagiku." Meski aku berbicara seorang diri, tapi aku tau ada Tuhan yang mendengarkan segala keluh kesah diriku. Sudah 3 hari saat aku tidak memiliki pekerjaan sama sekali dan tidak tau harus pergi kemana melakukan apa, membuatku tampak bosan berada di dalam rumah sepanjang hari. Apalagi Alex sama tidak ada pulang ke rumah, membuat diriku semakin yakin bahwa dia menghabiskan waktu bersama wanita lain tanpa mencoba untuk kembali ke rumah apalagi menghubungiku. Menangis sepanjang perjalanan dalam waktu yang sangat lama, memang adalah hal yang tepat di lakukan olehku hingga teringat seorang Yudi yang sempat membuat diriku menyimpan nomer kontaknya di ponselku kali ini. Saat ku lihat layar ponselku, aku memilih untuk terdiam dan terpikirkan untuk menghubunginya tapi ku urungkan kembali niatku. "Nanti sajalah ... lebih baik aku membersihkan tubuhku dulu, setelah itu berjalan-jalan di sekitar kompleks," gumam ku. Pergi membersihkan tubuh aku teringat perbincanganku dengan penjaga rumah. Kemarin, saat aku sedang berjalan sore seorang diri. Penjaga rumah bertanya, dia sedang menikmati kopi duduk di pos jaga. Aku sempat bertanya tentang hubungan Alex dengan Samuel. Awalnya, dia tidak ingin mengatakannya tapi tetap dia ceritakan. Bahwa hubungan Alex dengan Samuel cukup rumit di katakan. Ternyata, Alex pewaris utama dari keluarga Dharma yang sudah meninggal. Mereka menjadikan Alex anak pungut dan juga ahli waris, dan Samuel yang selaku anak dari saudara keluarga kandung yang juga meninggalkannya. Ikut hidup serta sepanjang hari untuk membesarkan Alex, hingga besar mereka bukan menjadi pemilik melainkan di bawah tekanan Alex dan juga ketegasannya. Aku baru menyadari jika selama ini Alex tidak pernah jujur tentang dirinya padaku. Dia bahkan seorang diri menahan kesepian meski raut wajahnya tampak bahagia. Rasanya ingin aku memeluk suamiku saat ini juga. Tapi tak mampu kulakukan saat dia bahkan tidak datang untuk pulang. Setelah mendengarkan cerita tentang Alex dari penjaga, aku hanya diam merenung dan kembali mencoba untuk mencari pekerjaan lagi, sebelum aku di telpon untuk di minta uang bulanan untuk keperluan anakku. Hal yang tidak mungkin jika aku harus mengandalkan Alex dalam hal ini dan tidak mungkin juga aku memintanya meski dia meninggalkan ATM di dompetku. Meneliti segala hal yang terjadi tetap saja rasa sakit jauh lebih menekan diriku di bandingkan aku harus pergi menemui Alex dan memeluknya Meski aku menginginkan ya. Sebuah mobil masuk ke area rumah, aku tidak mengenali mobil itu selama tinggal di rumah Alex. Namun saat seorang wanita keluar dari mobil itu tersenyum menyeringai menatap ke arahku yang berdiri melihatnya seorang wanita dengan pakaian formalnya sepatu flat heels dengan bertumit kecil dia membawa tas tangan yang elegan rambut terurai mengenakan kacamata berjalan dengan angkuh beserta berkas tangan dia bawa. Seorang wanita keluar dari mobil, dia membuka kacamata yang dia kenakan menatap kearah ku tersenyum tipis, berjalan menghampiri diriku meski sempat penjaga ruma berpamitan untuk membiarkan diriku seorang diri di kursi. Ku balas anggukan ketika dia meminta izin pergi. Saat ku lihat kembali wanita yang baru saja keluae dari mobil dan menghampiriku, sudah beridiri tepat di hadapanku. Pakaian formal yang dia kenakan tampak begitu elegan dan dengan beberapa berkas map dia pegang, hingga tersnyum menyapaku. "Selamat pagi, Nyonya Naisha Hayfa," sapa wanita itu. Ku balas anggukan sembari mempersilahkan dirinya untuk duduk di kursi. "Terima kasih, karena Anda sudah mempersilahkan saya untuk duduk dan bertamu di rumah anda," tungkasnya. "Anda siapa?" Meski ragu-ragu, tapi aku tetap bertanya tentang wanita yang ada di hadapanku kali ini. "Perkenalkan saya Mia seorang pengacara dari perusahaan Tuan Alex. Sebenarnya saya kesini hanya ingin memberikan surat ini. Tuan Alex meminta anda untuk menandatanganinya dan anda bisa membacanya terlebih dahulu, keterangan dan ketentuan yang di buat oleh tuan Alex sendiri." Wanita bernama Mia yang ada di hadapanku memberikan satu berkas yang harus aku lihat hingga aku terfokus untuk membuka dan membacanya. Seketika aku terkejut ketika lembaran ke 3 aku buka dengan bertuliskan surat pernyataan gugatan perceraian. Rasa takut menyeruak di dalam diri ketika aku semakin mencoba untuk membaca isi kertas itu hingga hal yang sama sekali tidak pernah ku duga ketika tanda tangan sebuah nama yang tidak pernah ku duga, ketika tanda tangan Alex berada tepat di atas materai yang sudah sah di hadapanku. Ingin menangis saat itu juga, tapi tidak kulakukan. Hanya terdiam hingga aku membaca jelas ketentuan dan syarat yang akan aku dapatkan termasuk sebuah konvensasi atas perceraian kali ini. Aku tidak bergegas untuk menandatanganinya, menekan berkas yang ada di hadapanku, hingga aku mencoba untuk menguatkan diri berbicara kepada pengacara yang ada di hadapanku kali ini. "Apakah kau tau keberadaan Alex? Kenapa dia tidak pulang-pulang?!" Pada akhirnya aku bertanya kepada orang yang sama sekali tidak pernah bertemu dengannya. "Tuan muda Alex baik-baik saja, dia sedang melakukan perjalanan bisnis tapi, sebelum itu memberikan dan memerintahkan saya untuk membuat pernyataan ini dengan dia yang sudah menandatanganinya terlebih dahulu." Penjelasan Mia semakin membuatku tidak bisa mempercayainya bahwa Alex sendiri yang benar-benar mengajukan surat gugatan perceraian hingga aku tidak tau lagi harus berkata apa. Di saat aku yang bahkan sudah tidak memiliki pekerjaan sama sekali, di saat bersamaan juga Alex tiba-tiba menceraikanku. Terasa sakit di dalam hati dan juga sengatan di kepalaku membuat pundakku terasa sakit, hingga aku tidak memiliki tenaga untuk berbicara lagi kepada wanita yang ada di hadapanku. Aku menatapnya dengan penuh arti, Alex jauh lebih percaya padanya di bandingkan harus berbicara langsung dan datang padaku untuk keinginannya menceraikanku. Tapi wanita di hadapanku benar membawa pernyataan surat cerai dari Alex dengan stemple dari pengadilan langsung. Ingin sekali deretan pertanyaan aku uraikan. Tapi tak mampu aku ucapkan. Andai ada Alexpun, aku tetap tidak bisa jika harus mengatakannya pada wanita yang tidak ku kenal dan mengenalinya. Pikiranku menerawang jauh hingga sampai di kehidupanku beberapa hari mendatang jika aku lagi-lagi gagal dalam sebuah pernikahan. Pria yang bahkan tidak memperjelas alasan dia meminta sebuah akhir dari pernikahan. Bahkan aku belum sempat bertemu fengan dia setelah kejadian dia mencium wanita lain. Meski aku mencoba untuk mempertahankan pernikahan ini, tapi Alex sendiri yang mengajukan perceraian untuk akhir pernikahan kami yang gamblang ini. "Bisakah aku menundanya dan aku akan memberikannya setelah berbicara dengan Alex," ucap ku. "Baiklah, Anda bisa mempertimbangkannya. Hanya saja saya sangat yakin sekali, jika Tuan tidak akan merubah pikirannya jika dia sudah menentukan sesuatu terjadi. Sebaiknya anda menguatkan diri dan lakukan sesuai prosuder yang ada. Kalau begitu saya mohon pamit dan silahkan anda baca berkas yang saya berikan." Mia berpamitan setelah dia berbicara dan memberikan berkas dengan beberapa lembaran kertas di hadapanku yang bahkan aku menyesalinya telah membuka dan membaca isi dari berkas itu. Melihat pengacara yang baru saja mengantarkan surat pernyataan dari Alex pergi keluar dari gerbang, membuatku menghela nafas lega. Jauh lebih baik ketika aku harus menuang kesedihanku di hadapan wanita tadi. Berdiri dari duduk hingga berjalan tanpa tenaga, dengan berkas di tanganku. Aku mencoba berjalan masuk ke dalam rumah tanpa menghiraukan pertanyaan dari penjaga rumah yang mengkhawatirkan keadaanku. "Apakah Nona baik-baik saja?" tanyanya. Ku balas anggukan dan gelengan kepala hingga dia pergi kembali dengan pekerjaannya. Kini aku tau tentang rumah yang begitu besar tanpa kehidupan seperti yang di rasakan oleh Alex. Di mana aku sendiri kini merasakan kesedihan itu dan juga rasa sepi yang melanda diriku hari ini. Apalagi ketika Alex dengan sepenuh hati mengirimkan berkas dan surat pernyataan, meski di sana tertulis bahwa konvensasi yang ku dapatkan cukup banyak hingga aku tidak memerlukan pekerjaan untuk menghabiskannya. Tapi, bukan itu yang ku inginkan, melainkan jika Alex menginginkan sebuah perceraian denganku. Seharusnya dia datang dan menghadapiku dengan ucapan perceraian yang layak dia lakukan. Aku mencoba untuk mengurungkan niatku menandatangani surat perceraian itu dan mencoba untuk memberikan waktu kepada diriku sendiri untuk mempertimbangkannya. Tapi, mengingat perceraian itu di inginkan oleh Alex sendiri. Aku sebagai seorang wanita tidak memiliki kekuatan penuh untuk mempertahankannya. Apalagi rasa kecewa yang mungkin di miliki oleh Alex terhadap diriku jauh dari dugaanku hingga melebihi rasa kecewaku kepadanya yang sudah bersama dengan wanita lain tepat di hadapanku sendiri. Meski aku bahkan tidak memiliki kemampuan untuk bertanya dan protes tentang dia dan apa yang di lakukan wanita lain kemarin. Aku yang bahkan tidak memiliki pekerjaan kali ini, tidak tau harus melakukan apa ketika semua hal buruk terjadi termasuk gugatan cerai dari Alex membuat diriku tampak muak dengan segala kehidupan yang terjadi dan juga apa yang sedang ku pikirkan begitu banyak hal yang harus ku pertimbangkan untuk hari esok. "Sepertinya aku harus mencari tempat tinggal yang baru dan pekerjaan yang layak. Benar-benar tidak memberiku nafas sebentar saja untuk memikirkannya. Ternyata aku tidak memiliki waktu untuk menikmati masa-masa pengangguran seperti saat ini. Dia bahkan jauh lebih memahami ketika harus melakukan hal yang sangat tepat untuk membuatku semakin menderita ketika aku bahkan di berhentikan dari pekerjaan hingga dia mengajukan gugatan perceraian saat ini juga." Rasa ingin berteriak saat aku mengatakan hal seperti itu hingga aku buang berkas itu kesembarang arah tanpa untuk mencoba lagi membaca semua isi tulisan berkas-berkas tersebut. Menangis, yaa adalah hal yang sangat tepat ku lakukan ketika aku tidak tau harus melakukan hal apalagi saat menghadapinya. Apalagi semakin ku ingat segala kewajiban yang harus ku lakukan dan juga ku berikan untuk putri kecilku yang tentunya akan meminta tambahan keuangan untuk ke depannya. "Pria itu bahkan tidak pulang lagi hari ini." Gerutu ku ketika aku menyadari bahwa hari sudah mulai gelap. Ternyata dari pagi aku hanya berdiam diri di dalam kamar tanpa mencoba untuk keluar memasak atau mencari makanan hanya untuk mengisi perutku yang lapar, yang bahkan aku sendiri tidak menyadari. Apakah aku sempat merasakan lapar atau tidak, berjalan tanpa arah setelah turun dari atas tempat tidur hingga kini aku berada di dalam kamar mandi mencoba untuk menyegarkan diriku dan menyadarkan segala kekosongan yang kini melanda. Apalagi setiap mengingat tentang Alex membuat diriku semakin geram hingga ingin sekali aku meneriaki pria itu bahkan meminta kejelasan kepada dirinya tentang apa yang dia lakukan hingga dia menceraikanku dengan deretan konvensasi yang sama sekali tidak ku inginkan hingga membuatku muak saat membaca deretan isi berkas yang Alex buat tanpa mencoba untuk bertemu denganku dan menjelaskannya. Meski aku masih berharap Alex tetap datang dan menemuiku tapi ternyata itu hanyalah sebuah harapan yang tabu jika sudah selarut ini belum ada tanda-tanda Alex kembali. Hingga membuatku hanya bisa berdiam diri di dalam kamar seorang diri, setelah melakukan banyak aktivitas di rumah dari sekedar memasak membuat makan malam untuk diriku sendiri dan juga meregangkan tubuh yang memang beberapa hari ini tidak memiliki aktivitas untuk keluar apalagi bekerja. Mengingat semua hal yang pernah terjadi antara aku dengan Alex berada di kamar bercanda dan menghabiskan waktu hanya berdua saja terutama dengan sikap keras kepalanya membuat diriku tampak merindukan dia. Tapi hanya untuk sekedar bertemu saja aku yang sebagai istrinya tidak memiliki kesempatan dan hal yang dapat mempertemukan aku dengan dirinya. "Apakah aku harus pergi ke kantornya?" Bergumam dan berangan dengan ansumsi seorang diri di dalam kamar, memikirkan langkah apa yang harus aku ambil terutama saat aku melihat berkas yang sempat diberikan oleh seorang wanita kepadaku tadi. Membuat aku tersadar bahwa semua ini bukanlah mimpi melainkan sebuah kenyataan bahwa Alex tidak menginginkan diriku lagi sebagai istrinya. Padahal tentang dirinya pun belum sepenuhnya aku ketahui. Tapi sebelum itu, dia sudah mengirimkan permintaan perceraian untuk diriku hingga membuatku tidak mampu untuk melakukannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN