Perasaan yang sama sekali tidak pernah aku duga, ketika putriku sendiri bahkan tidak ingin memanggil diriku dengan sebutan Ibu. Saat dia memanggil tanteku dengan sebutan Ibu, hati ini begitu terasa sakit seakan-akan dunia meninggalkanku setelah aku memperjuangkannya. Putri kecilku yang selama ini ku kandung bahkan melahirkannya pun penuh perjuangan, engga memanggilku Ibu dan dia lebih memilih memanggil tanteku dengan sebutan Ibu itu.
Dalam diam memikirkan semua itu membuatku kembali merasa sedih, air mata keluar begitu saja saat melihat senyuman dan kebahagian putriku di pelukan orang lain. Rasa sakit yang di miliki oleh seorang ibu ketika melihat bayi yang dia lahirkan lebih memilih orang lain di bandingkan diri sendiri. Memikirkannya semakin membuatku tersedu menangis di kamar ganti meski aku sudah mengenakan pakaian sedari tadi.
Tapi, memikirkan tentang putri kecilku itu membuat degup jantungku berdetak sangat kencang dan rasa sakit yang begitu mendalam hingga air mata keluar begitu saja, yang hanya bisa ku lakukan menutup wajahku untuk menahan tangisan agar tidak terdengar oleh siapapun terutama Alex.
Namun seketika aku terkejut ketika seseorang memelukku dari arah belakang, dengan tubuh dingin tanpa pakaian hanya handuk melingkar di pinggangnya. Membuatku terkejut saat Alex berada tepat di hadapanku, hingga aku menangis di pelukannya.
"Apakah kamu merasa sedih karena tidka bisa kembali dengannya?" Pertanyaan Alex membuatku terkejut. Aku melupakan sesuatu dengan cara pikir suamiku yang satu ini, apalagi di saat bersamaan ada Samuel yang ku temui barusan.
"Tidak Al ... aku hanya mengingat anakku saja, dan tiba-tiba saja air mataku keluar begitu saja," jelas ku.
Meski terlihat Alex tidak mempercayainya, namun dia tetap tersenyum mengangguk dan kembali memeluk diriku mengusap punggungku dengan sangat lembut hingga dia mengecup kepalaku berulangkali.
"Bersabarlah, aku yakin ada saatnya ketika kita di hadapi dengan segala hal yang tidak bisa dengan mudah kita selesaikan. Tentang putrimu itu, bukankah sudah aku menawarkan diri untuk membawanya dan satu hal lagi, kita memiliki hak untuk membawanya di bandingkan mengutamakan tentang perasaan anak itu. Dia akan berubah seiring berjalannya waktu saat bersama dengan kita. Apakah kau yakin tidak ingin membawanya saat ini juga? Bila perlu kita melakukan jalur hukum untuk mendapatkannya. Aku rasa tante mu itu terlalu licik jika dia menginginkan seorang anak darimu."
Penjelasan Alex semakin menjauh, tidak bisa ku menduga dengan cara pikirnya. Meski masuk akal namun aku rasa hal yang tidak mungkin jika aku memilih untuk mengurus putriku sendiri apalagi memberikan segala penderitaan kepada dirinya.
Jika hanya aku sendiri tidak bisa mengurusnya sama saja ketika aku memberikan dia kepada tante ataupun pengasuh. Ujung-ujungnya gadis kecil itu akan bernasib sama seperti diriku, tanpa kedua orangtua yang mengurusnya apalagi memenuhi segala cinta untuk kehidupannya.
Memikirkan semua itu membuat diriku tidak bisa menahan air mata lagi dan memilih memeluk Alex dengan segala tangisan dan perasaan yang utarakan kepadanya. Alex hanya memeluk dengan sangat era, dia benar-benar seorang pria yang sangat lembut ketika saat aku menangis hanya mendengarkan dan mencoba untuk memperbaiki perasaanku, mencium pucuk kepalaku berulangkali hingga aku merasa tenang di pelukannya.
Alex mengusap air mataku dengan kedua tangannya memegang wajah diriku dan mengecup berulangkali bibirku.
"Dengarlah Sayang ... kamu hanya perlu fokus dengan kehidupanmu dan kebahagian dirimu, setelah itu dengan pikiran yang tenang. Kamu bisa meminta diriku untuk mendapatkan putrimu kembali. Yakinlah ... aku bisa melakukannya, kalau hanya mendapatkan hak pengasuh putrimu itu!" tegas Alex di balas anggukan oleh ku.
Namun aku masih tetap saja ingin memeluk dirinya, meski aku tidak tahu hal apa yang harus aku tempuh antara aku tidak yakin untuk mengurus putriku sendiri dan juga ketidakrelaan diriku membiarkan putriku hidup bersama dengan wanita lain yang dia panggil sebagai Ibu.
Menyakitkan. Namun tetap saja aku tidka bisa melangkah lebih jauh untuk mendapatkan putri kecilku itu. Hal apa yang bisa membuat diriku bisa kembali dengan anakku itu. Alex menuntun diriku keluar dari ruangan ganti setelah dia juga mengenakan pakaiannya.
Mengusap berulangkali air mata yang sudah mengering di wajahku hingga dia mengecup kedua mata milikku dengan sangat lembut.
"Riaslah dirimu, aku tidak ingin mereka tahu kalau aku menyiksa istriku sendiri hingga menangis seperti ini. Gadis cantik ku ini harus selalu terlihat cantik dan bahagia dengan segala hal yang ku penuhi untuk dirimu. Oh yaa, emm ... bolehkah aku bertanya sesuatu kepadamu?" tanya Alex.
"Apa ...?"
"Apakah tadi kamu bertemu dengan Sam?" Pertanyaan Alex membuatku merasa canggung, aku takut jika dia berpikiran berlebihan ketika aku mengatakan yang sebenarnya. Pada kenyataannya aku memang bersedih karena putriku sendiri.
"Al ... tadi saat kamu tertidur, aku bertemu dengan Samuel. Dia mengajak kita untuk makan bersama, selebihnya aku menutup pintu dan pergi membersihkan tubuh, kenapa?" jelas ku sembari bertanya.
Meski Alex sempat terdiam tapi dia mencoba untuk memperbaiki perasaannya dan kembali berbicara kepadaku.
"Baiklah ... cepat rias dulu dirimu. Setelah itu kita turun dan makan bersama!" seru Alex.
"Apakah masih sempat jam segini? Sepertinya kau mandi sangat lama, sampai-sampai akan membuat mereka tampak bosan jika harus menunggu kita?" tanya ku.
"Iyaa yaah, kita berada di kamar sudah sangat lama sekali. Sepertinya kita harus makan di luar untuk mengisi perut kita," ucap Alex.
"Yaa, jangan lupa! Tenagaku juga harus kembali penuh setelah kamu mengurasnya dengan sangat habis," gerutu Ku.
Alex hanya tersenyum, dia mengacak rambutku dnegan pelan hingga membiarkan diriku pergi berjalan menghampiri meja rias dan memperbaiki wajahku dengan mata sedikit sembab hingga tak terlihat. Meski aku mencoba untuk merias diri tapi Alex dengan setia dia duduk sofa menunggu diriku selesai merias diri dan membiarkan aku sepenuhnya menyiapkan diriku dan pergi keluar bersama.
Benar saja keluarga sudah berada di ruang tamu dan mereka sudah selesai makan malam tanpa menunggu kami datang.
"Kau berada di dalam kamar dengan sangat lama, membaut perut kami berteriak hingga tidak bisa menunggu kalian untuk makan bersama. Pengantin baru memang benar-benar tidak bisa di ganggu!" seru Rima dibalas anggukan oleh mereka yang mendengarkannya.
Alex hanya acuh untuk menanggapi, begitupun dengan diriku merasa canggung ketika mendengar protes dari mereka. Namun tidak ada antara mereka yang mencoba untuk menyindir kehadiran kami ataupun membuat aku dengan Alex merasa tidak enak dengan apa yang kami lakukan.
Hingga Alex mengajakku keluar dari rumah dan makan di sebuh restoran yang tidak jauh dari sana. Makan bersama hanya berdua saja dengan Alex memang jauh lebih baik dan membuat suasana hatiku jauh lebih tenang dibandingkan aku harus makan di meja yang sama dengan Samuel nantinya. Itu adalah hal yang sangat tidak aku ingin lakukan apalagi ada Samuel dan Alex yang sebagai suamiku. Aku tidak ingin berlebihan menyakiti perasaannya, apalagi dengan kesalahpahaman yang kemungkinan dia pikirkan saat aku menangis tadi. Sebisa mungkin aku ingin membuat dia percaya akan perasaanku dan diriku yang sudah menjadi miliknya.