PROLOG || Bumi, Mars, atau Angkasa?

1300 Kata
SD kelas 6, katakanlah begitu, saat itu .... "Makasih." Dari suara yang dikumandang cukup lirih, kepala sang empu pun menunduk, lalu mengusap pipi yang kebasahan air dari mata dengan tisu pemberian ... siapalah itu. Alisya lantas menoleh selepas menyeka air matanya, ingin tahu siapa yang tiba-tiba datang menyusulnya ke halaman belakang sekolah, lalu menyodorkan sebungkus tisu dua ribuan--I mean, kemasan tisu paling terjangkau dan dijual di ibu kantin sekolah. Iya, SD. Sekolah Dasar yang mengharuskan Alisya--sebut saja Ica agar lebih terdengar akrab--memakai seragam merah putihnya. Well, dikata SD pun sudah kelas 6, sebentar lagi mau SMP, masa-masa menuju usia transisi, yang tentunya khusus untuk Ica ... dia sudah merasakan sebuah debar asing di hati. Detik di mana kepalanya berpaling, menatap sosok di sisi kiri, dan ternyata itu Bumi. Oh, Bumi .... "Udah aku laporin sama ibu guru," katanya. "Ica jangan nangis lagi." Dengan balasan tatap untuk Alisya, sorot mata paling teduh dan menggetarkan itu ... Alisya bersemu. Fine! Dia menyukai Bumi. Suka sekali. Sosok yang batal menjadi kakak tirinya dan Alisya sangat gembira mengetahui pembatalan pertunangan papa dengan mama Bumi, dulu. Sekarang waktu sudah jauh berlalu walau dikisahkan bahwa Alisya masih berseragam merah putih kebangsaan sekolah dasar itu. "Besok-besok teriak dan marah aja langsung kalo ada yang jail nyingkapin rok kamu." Oh, iya ... itu. Alisya menunduk. Memerah lagi pipinya. Betul, dia menangis dan berakhir lari ke belakang sekolah yang sepi adalah karena telah habis kesabarannya, saat anak laki-laki di kelas suka ada yang jail menyingkap rok yang mereka pikir itu lucu. Mereka bahkan tertawa. Menertawakan celana di baliknya, Alisya memakai lapisan sebelum pakaian dalam dan itu adalah legging sepaha dengan corak bunga. Awalnya, dia rasa tak ada yang aneh dengan legging pilihan papa, pun Alisya suka-suka saja. Namun, entah sejak kapan di sekolah murid laki-lakinya banyak yang jail suka menyingkap rok siswi, meski bukan maksud c***l--walau tetap saja menyimpang--tetapi ditertawakan kemudian. Apa pun itu, Alisya tidak suka. Sudah sering menepis dan marah, tetapi tak sampai meluap-luap dan lalu memilih diam, hingga puncaknya sekarang. Dia kesal. Dia malu. Apalagi saat disingkap dan lalu ditertawakan itu, dijadikan bahan ledekan itu, tepat di depan Bumi yang Alisya sukai sedari SD kelas bawah. So, menangislah di sini. Mana tahu kalau Bumi menyusul. Orang yang selama ini menjadi sosok bak pahlawan untuknya, yang selalu bisa membuat Alisya nyaman dan tenang bersekolah di sana. Meski sering juga kelolosan dan seperti ini, Alisya termasuk pada murid yang--pernah--jadi sasaran perundungan. "Udah, jangan nangis terus. Mereka pasti udah kena hukum bu guru. Aca sama Mars juga bantu ngomelin." Alisya sesenggukan. But, dia menyahuti dengan, "Beneran?" Suara pelan. Bumi praktis mengangguk, lalu dia julurkan tangan dan menepuk-nepuk pundak Alisya--mantan calon adik tirinya. "Udah, ya? Nanti aku bantu lapor juga ke Om Leo." Demikian itu, Alisya mengangguk. "Jadi pengin cepet-cepet SMP ...." Well, Om Leo adalah papa Alisya. Sosok yang dulu pernah menjalin hubungan romansa secara serius dengan mama Bumi. Hanya saja tidak berlanjut, mengingat selain karena tak jodoh, juga karena papa biologis Bumi, Angkasa, dan Mars berhasil memenangkan hati mama si kembar tiga itu. Eh, Ica belum bilang bahwa Bumi ini punya kembaran, ya? Dua pula. Angkasa dan Mars. Di mana sosok Angkasa itu lebih akrab disebut Aca. Bumi anak yang lahir pertama, dan dia juga sosok yang berhasil membuat Alisya jatuh cinta untuk kali pertama. Cinta monyet .... Mungkin? Namun, yang katanya cinta monyet itu ternyata berlangsung cukup lama hingga ... saat ini. Bahkan ketika semua sudah tak lagi sama. *** SMP kelas 1, sebut saja begitu, saat itu. "Oh, jadi kalian fix pacaran, nih?" "Bilangin mama sama papa, ah!" Dengan gestur tengilnya, Mars dan Angkasa--si kembaran Bumi itu--meledek jail. Dulu. Tentang bagaimana pipi Alisya langsung bersemu dengan tanpa menyangkal, bahkan Bumi pun tidak merespons penolakan, seakan benar bahwa mereka ini fix pacaran dan tidak takut kalau mau dilaporkan kepada mama or papa. "Ma! Papa! Bumi sama Ica pacaran, nih!" Tentu saja! Sungguhan dilaporkan, dan itu oleh Mars. Yang mendukung hubungan mereka agar putus detik ini juga, makanya Mars lapor kepada orang tua. Sungguh, dia tidak terima. Namun, tak begitu ditunjukkan saat ada Alisya. Hanya saja, Bumi mengetahuinya ... tahu bahwa diri ini menyukai Alisya. Suka sekali. Dan kenapa Bumi tega memacari gadis kesukaannya? "MAMA! PAPA!" "BUMI SAMA ICA PACARAN!" Masih suara Mars, demikian itu ... Angkasa--kembaran mereka yang lahir kedua, sesudah Bumi dan sebelum Mars--tertawa di detik dia mendengar sahutan dari dalam yang berbunyi, "Hush! Kayak yang ngerti pacar-pacaran aja, nih, Mars. Lagian ... memang iya kalian pacaran, Mbum, Ica?" Dijawab dengan gelengan serempak, mama si kembar memastikan hingga menyengaja keluar, dan jawaban Bumi sukses membuat Mars geram. Namun, hanya sebal kepada Bumi, meski Alisya juga ikut geleng-geleng kepala, padahal asli mereka berpacaran. Alisya berbohong. Bumi juga. Dan Mars patah hati, sedang Angkasa menertawakan mereka. Lucu, mungkin? Masa-masa Sekolah Menengah Pertama di sebelum Alisya tak dapat mereka lihat lagi. Sebelum benar-benar pergi. Pindah jauh. Dengan menggantungkan status pacarannya bersama Bumi ... kala itu. Dulu. Sampai akhirnya, cinta monyet yang pernah terjalin dan Alisya bahagia sekali itu, baik dahulu maupun saat mendapat kabar SMA nanti dia pindah lagi ke kawasan ibu kota, tempat di mana kisah masa kecilnya terajut dengan Bumi, Angkasa, dan Mars. Tentu, terutama dengan Bumi ini. Pacar yang belum pernah ada kata putus sampai detik di mana Alisya kembali. SMA Nusa Bangsa. Adalah sekolah yang Alisya pijaki kini, menatap gedung dengan debar menggebu, penuh semangat sahaja karena sebentar lagi dia akan bertemu 'Bumi'-nya. Yang pernah Alisya kirimkan pesan di media sosial, tetapi sama sekali tak ada balasan. Entahlah. Alisya rasa sekarang dia hanya perlu bertemu Bumi, lalu menceritakan apa yang sudah jauh dilalui, tentang kepindahan sekolahnya, tentang pindah rumah juga, dan tentang ... hari ini. MOS hari pertama. Ospek di SMA Nusa Bangsa. Sebelum semua rencana di atas ... kabur terbawa kabar bahwa .... "Laras, Ras! Ciee ... cowoknya nyariin, tuh!" "Mana, mana?" "Ssst. Jangan berisik!" Alisya kontan melirik, sosok yang ramai disebut 'Laras' itu, lalu sosok yang dia kenali ... Bumi. Persis Bumi. Sedang menolah-noleh ke sana kemari. Di sini, dengan d**a bergemuruh kencang, Alisya melihat laki-laki yang masih menjadi raja di hatinya itu ... alih-alih memandangnya, justru Bumi ... tidak. Jangan. Ataukah karena tidak mengenali Alisya di masa SMA-nya ini? Sehingga sorot mata Bumi jatuh kepada siswi berseragam SMP seperti gerangan di hari pertama ospek murid Nusa Bangsa. Terdengar jelas, siswi itu Laras namanya. Dan dia .... 'Pacar Bumi?' Suara gemuruh di hati, Alisya diam mematung. Entah sampai kapan. Entah berapa lama. Hingga Alisya tidak sadar bila diri terlalu sering tercenung sampai-sampai waktu berlalu begitu cepat pun dia merasa tetaplah sangat lambat. "Ca, Ica!" Suara itu, Mars. Alisya menoleh. Ya, ini bahkan sudah melewati fase orientasi, sudah bukan cuma Bumi yang dia temui, tetapi ada Mars dan tentunya Angkasa juga, teman-teman masa kecilnya, pun sosok yang gagal jadi abang tiri. "Ca?" Kali ini Angkasa yang memanggil. "Kamu ...." Oh, iya, Angkasa. "... nggak pa-pa?" Masih Angkasa. Namun, yang Alisya tatap adalah sosok Bumi di ambang pintu sana. Diam, memandangnya. Sebelum itu, sepertinya ada kisah yang terpangkas di sebelum diri ini diketemukan terdampar pada sebuah ranjang dan-- "Ica udah sadar?" Muncul sosok wanita paruh baya yang Alisya ketahui itu mama si kembar tiga. Mama Venus namanya. Menghampiri dengan tergopoh disusul papa Bumi dan papa Alisya sendiri, juga ada pria berkostum dokter. Well .... "Kamu pingsan." Belum-belum diperiksa, Mars lebih dulu nyeletuk. Hanya saja, Alisya masih belum paham kenapa dia bisa sampai pingsan sebelum berikutnya dokter dipersilakan memeriksa dan tahu-tahu yang Ica dengar cuma potongan kalimat .... "Tapi syukurlah kandungannya baik-baik saja." Wa-wait! Kandungan? Hal yang membuat kisah ini jadi menarik, di samping Alisya yang merasa begitu rumit. But, ini baru permulaan. Sebelum tiba di sana, sudahkah dapat ditebak siapa sosok ayah dari janin di dalam kandungan seorang Alisya? Astaga. BERAPA BANYAK WAKTU YANG SUDAH BERLALU?! Selain itu .... Bumi ... Mars ... atau Angkasa?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN