1 || Kandas, ya?

1261 Kata
"Bumi ... apa kabar?" Rasanya berisik sekali gemuruh di jantung, darah pun desirannya sangatlah tidak santai, ditambah debar meresahkan di kala tiga kata itu terlontar, padahal sepele. Cuma tanya kabar, pun itu kepada seorang Bumi yang jelas-jelas pernah menjadi sosok paling dekat dengannya. Namun, kenapa, ya? Alisya merasa asing sekarang. Ah, benar. Setelah sekian lama aktif bersekolah di Nusa Bangsa, bahkan sudah sampai pernah main ke rumah Mama Venus--alias mamanya Bumi, yang dulu sempat akan menikah dengan papa Ica--tetapi baru sekarang Alisya berani mendatangi Bumi sendiri, berhadapan di dalam sebuah ruang yang sepi, dan mengajaknya bicara. Ica tahu, sekarang sudah tidak sama lagi. Sekali pun dulu dia dan Bumi pernah pacaran, pernah membuat panggilan keduanya jadi 'aku dan kamu' yang diucap begitu syahdu--meski masih terbilang usia anak-anak, dan sampai detik ini belum ada kata putus. But ... itu, kan, dulu. Bumi yang pernah mencair dari sisi sosoknya yang beku, yang dingin, dan yang kaku itu, sekarang tidak lagi ada yang demikian. Percayalah, Bumi yang irit bicara sejak masih balita, betul-betul pernah banyak bicara jika itu kepada Alisya. Dulu. Sekarang tatapan Bumi bahkan sangat tidak menyenangkan, alias membuat lawan bicara menciut dan kedinginan. Oh, apa Ica saja yang berlebihan? "Baik." Dengar, kan? Singkat dan padat, Alisya sampai menggigil. Bukannya lebay, tetapi dia jadi membandingkan dengan sosok Bumi yang dulu. Betul-betul tak tersentuh sekarang. "Mm ...." Alisya garuk-garuk kepala, bingung mau lanjut bicara apa, padahal ingin sekali mengobrol banyak dengan Bumi, mumpung ada kesempatan di hari ini. Hari di mana Alisya berkunjung ke kediaman Mama Venus untuk kali kedua, kali itu diajak oleh Angkasa, tetapi bocah tengil bin menyebalkan itu malah pergi nge-basket, meninggalkan Alisya di sini. Katanya, "Main sama mama dulu, ok? Nanti pulangnya tunggu aku, nge-basket dulu bentar, ternyata aku ada janji basket. Bye, Ca!" Eh, malah berakhir di ruang baca. Yang ternyata ada Bumi di sana. Tadi Mama Venus mempersilakan Ica buat masuk ke sini karena ada buku bagus, sebelum beliau menyusul dan nyatanya sampai sekarang belum muncul-muncul. Kembali diliriknya Bumi oleh Alisya, tampaknya pria itu sedang fokus membaca. "Bumi ...." Lagi. Bumi menoleh, menatap Alisya dengan tanpa kata. 'Kamu masih 'Bumi'-nya aku, kan?' 'Eh, apa udah nggak karena sekarang kamu bahkan udah punya pacar, tapi bukannya kita belum putus, ya, Bum?' 'Bumi ... aku kangen.' Sayangnya, semua kalimat itu hanya berani Alisya utarakan dalam batin saja. Sama sekali tidak keluar dari lisannya. "Apa?" Plis, Ica! Ayo mikir mau bilang apa. Tadi udah manggil, masa nggak bilang apa-apa? Demikian suara hatinya membisik. Alisya berdebar-debar. Jujur, ada banyak hal yang ingin Alisya utarakan, tetapi lidahnya kelu, tenggorokan pun tercekat jika untuk bahas hal tersebut. Namun, Alisya paksakan, akhirnya dia berucap, "Mau tanya, boleh?" Bumi tak menyahut, tetapi dia mengangguk. Berdeham lagi di sebelum katakan, "Soal Laras ... boleh juga?" Ditatapnya sosok Bumi, Ica perhatikan dengan terperinci, Bumi tampak menjeda kegiatan membacanya, meski hanya sejenak. "Tanya aja." Oke, sip. Alisya mengangguk-angguk. Dia langkahkan kakinya agar menjadi lebih dekat dengan Bumi, menatap dari jarak itu. "Siapa yang ngajak ... kamu atau Laras duluan?" Alis mata Bumi terangkat. "Kalian pacaran, kan? Nah, siapa yang mulai? Laraskah?" Nembak Bumi, gitu? Laras, kan? Bukan Bumi yang duluan ngajak, kan? Plis, jawab iya! Plis. Jantung Alisya berdebar-debar menanti jawabannya. Ini soal hati, tentang rasa yang belum selesai menurut Alisya, tetapi Bumi ... kayaknya cuma Alisya yang merasakan. Sebab Bumi bahkan sudah berpacaran dengan Laras, yang jelas-jelas Alisya ingat belum pernah ada kata putus antara Bumi dengannya. "Kalau soal itu, bukan urusan kamu." Tuh, kan! Seperti itu. Yang Bumi tutup bukunya, memandang Alisya dengan sorot tidak biasa. Dan entah kenapa, Alisya perih mendapati tatapan Bumi yang begini. "O-oh ... oke." Alisya sampai kikuk. "Tapi ... Laras ... kamu udah lama, ya, pacarannya?" Gugup, Alisya tanpa sadar meremas sisi baju. Menatap Bumi dan menanti jawaban, lagi-lagi begitu. Jantung Alisya pun tak henti kencang berdegup, seolah yang sebelumnya belum cukup. Sedangkan, tatapan Bumi setia beku. Tahu, nggak? Sebetulnya bukan itu yang mau Alisya katakan. Sejak awal memang bukan soal Laras--pacar Bumi--yang ingin dia tanyakan. Lebih kepada tentang 'kita', istilahnya. Tentang dirinya sendiri dan Bumi. "Ya, lebih dari satu tahun." Oh, dijawab. Laras juga pernah bilang bahwa hubungan mereka sudah terjalin sejak keduanya duduk di bangku kelas 9 SMP. Artinya, Alisya sudah tahu. Namun, dia tetap menanyakan itu. Kini, Ica tersenyum. Kecut, perih di hati, yang dia samarkan dengan jenis senyum baik-baik sajanya. Dan detik itu, Bumi melenggang. Seolah tak mengizinkan ada obrolan lanjutan. Namun, Alisya refleks nyeletuk, "Tapi bukannya kita--" Henti di situ. Baik langkah Bumi dan kalimat Alisya. Saat di mana sorot mata mereka bersua, cukup dekat. Alisya terhenyak. Ada senyum simpul yang Bumi berikan, pun dengan ucapan ... "Kita? Apa?" Memandang Alisya yang postur tubuhnya lebih pendek dari Bumi. Dia lanjut bilang, "Kalau yang kamu sebut itu tentang dulu, saya rasa udah selesai." Alisya mangap. Bumi masih berucap, "Toh, dulu kita masih anak-anak. Jadi jangan terlalu dimaknai." Sampai situ ... pahamkah? Alisya langsung mingkem. Dan, Bumi berlalu. Telah dia letakkan bukunya di rak yang renggang. Meninggalkan Alisya yang memaku diri, terdiam. Memandang lurus ke depan. Oh, begitu .... "Ca?" Terkesiap, Alisya lantas memupus air matanya yang ternyata jatuh membasahi pipi. Sejenak ... mengerjap pelan, detik di sebelum berbalik. "Di sini, toh." Angkasa berdiri di ambang pintu ruang baca, lalu mendekat. Dan ngomong-ngomong .... "Argh! Aca, bau!" Leher Alisya dipiting, tidak kencang memang, tidak pula bertenaga, tetapi sungguh! "BADAN KAMU MASIH BASAH KERINGETAN, ACA, LEPAS! IYUW!" Sambil apit hidung. Sialan, Angkasa malah terbahak. Well ... Mama Venus ke mana? Beliau yang mengajak Alisya masuk ke ruangan ini, kok, malah anak-anaknya yang ada? By the way, saat itu adalah saat di mana kisah mereka baru dimulai. *** "Apa ini?" Mars senyum. Pagi yang cerah. Dia datangi kelas Alisya dan diletakkannya sebuah kotak makan di meja. "Bekal. Isinya bikinan mama. Aku yang request. Dimakan, ya, Ca. Habisin." Sambil Mars tepuk-tepuk lembut kepala Alisya. Oalah .... "Makasih, Mars." Dengan senyum paling manisnya, Alisya pun meraih tepak makan tersebut. Iya, Mars namanya. Kembaran Bumi dan Angkasa, urutan ketiga. Pun, dekat dengan Alisya. Sekadar informasi, bila perlu ditekankan sekali lagi, di masa kecil, si kembar tiga itu adalah sosok terdekat Ica. Selain pernah gagal jadi kakak beradik, mereka juga sahabat Alisya, orang-orang yang melindunginya sedari Ica SD dari perundungan. Atau TK, ya? Lupa. Pokoknya, teman masa kecil. Kerennya, mereka saat kembali bertemu Alisya di setelah kepindahan dahulu, tampak tak ada canggung dan langsung akrab lagi. Terkecuali Bumi, betul-betul asing kalau dia. Entah lebih wajar yang mana. Bumi, Mars, atau Angkasa. "Dimakan, lho, Ca." "Iya, Mars. Pasti, kok!" Mars pun pamit kemudian. Iya, hari kemarin sudah berlalu. Yang mana Alisya pulang dari rumah Mama Venus dengan kondisi hati berkecamuk. Kemudian pagi yang cerah ini berasa mendung, apalagi saat harus--mau tak mau--bertemu dengan Laras. Si pacar Bumi. Bagaimanapun, Alisya masih menempatkan Bumi sebagai raja di hatinya. Sebagai sosok yang dia sukai. Tak pernah luntur perasaan suka itu walau waktu banyak yang dia lalui dengan tanpa berdekatan atau berkomunikasi intens sebagaimana dahulu saat berpacaran, sejatinya rasa suka itu masih kuat tercantum untuk 'Bumi'-nya. Demikian itu, Alisya merasa perih di hati. Betul-betul kandas berarti, antara dia dengan Bumi. Yeah, salahnya yang pergi. Namun, dulu Alisya masih kecil. Pun, Bumi demikian. Tapi kalau untuk menggariskan bahwa hubungan indah yang pernah ada di masa lalu, cinta monyet itu, dengan tanpa makna ... rasanya Bumi jahat sekali, padahal Alisya sampai detik ini menspesialkannya. "Cie ...." Eh, ada yang nyeletuk. "Cocok, kok, Ca." Alisya tentu menoleh, dan itu Laras si kawan sebangku. "Cocok ... maksudnya?" Nggak paham, nih, betewe. Laras perjelas, "Iya, cocok. Itu, lho ... kamu sama Mars." Dia bilang begitu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN