Raina
.
.
.
Ketika aku selesai mandi, aku sudah tidak mendapati Leon berada di dalam kamar.
Aneh.
Bukannya dia yang mengajak menginap di hotel ini.
Ah mungkin dia sedang keluar.
Aku berjalan menuju balkon kamar berusaha mencari keberadaannya, tapi aku tidak menemukannya di manapun.
Hah ... Sayang sekali aku lupa meminta kembali ponselku kemarin. Jadi aku harus bagaimana.
Aku duduk di di depan cermin mencari hairdryer untuk mengeringkan rambutku tentunya.
Aku menyalakan televisi untuk mengusir sepi. Di dalam kamar hotel sendirian rasanya kurang nyaman juga menurut ku.
Jika mengingat gombalan Leon seharian ini, malah membuat aku menjadi salah tingkah dan senyum-senyum sendiri.
Tak ada siaran televisi yang menarik kali ini.
Saat hendak mematikan televisi, aku terkejut melihat siaran infotainment.
Jelas yang terpampang di layar adalah wajahku.
“Belum kering makam sang istri, CEO muda yang bernama Leonard Emillio, beberapa kali tertangkap camera sedang bersama seorang wanita. Diduga dia adalah wanita simpanannya. Alih-alih memberikan klarifikasi,-” aku segera mematikan saluran televisi itu.
Kesal?
Tentu saja. Aku sempat berpikir jika itu orang lain, tapi jelas itu adalah foto kami berdua ketika sedang berbelanja dan bahkan foto kami masuk hotel dan di pantai pun juga ada. Gila emang paparazi ya. Biar di lubang semut pun mungkin bisa di expose juga.
Drama apa lagi ini ya Allah?
“Seberapa berpengaruhnya kah Leon, hingga kehidupan nya sampai diliput oleh paparazi seperti ini?” gumamku.
Kepalaku mendadak menjadi pening setelah melihat berita tadi.
Aku tak bisa terus begini, sepertinya aku harus bersembunyi di panti.
Aku mencoba mengingat-ingat nomor telepon panti.
Setelah ingat aku segera menghubungi Ibu Asih melalui telepon hotel.
“Assalamualaikum ...?” sapaku kepada orang di seberang sana.
“Waalaikumsalam, mohon maaf ini dengan siapa ya?”
“Raina, Bu. Maaf merepotkan malam-malam. Apakah ibu bisa memberikan kontak Riri?” tanyaku sedikit ragu.
“Ah, Raina. Bisa. Sebentar ya, 08...,"
Setelah mendapatkan kontak Riri aku segera menghubungi sahabatku itu.
Beberapa kali aku menelpon tetapi Riri tidak menjawab panggilan ku.
Aku tahu dia memang bukan perempuan yang gampang menerima panggilan dari nomor baru.
Hingga panggilan ke sepuluhku, dia baru mengangkatnya.
“Halo! Siapa sih ganggu aja malem-malem,” bentaknya kepadaku.
Aku lu menjauhkan gagang telepon, sembari menutup telinga ku sebelah karena suaranya begitu melengking kali ini.
“Assalamualaikum dulu kali Ri, ih kamu mah suka ngegas sembarangan. Gimana coba kamu mau cepet laku, kalo kamu aja di telpon bawaannya kayak lagi PMS gitu,” jelasku panjang lebar.
“Raina?” tanyanya, dia berusaha meyakinkan jika memang tidak salah.
“Hem ...,” jawabku singkat.
“Ya ampun Rain, coba kalo mau nelpon itu kabari dulu kek. Jadi aku nggak salah kira kalo kamu orang iseng,” celotehnya.
Hah dasar Riri. Selalu saja begini. Gimana mau laku kalo selalu menutup diri kepada lawan jenis.
“To the Point aja ya, bantuin aku sekarang bisa nggak?” kataku gugup sambil mengigit kuku jariku.
“Iya apa, eh entar suami kamu mengomel lagi. Lagian ya kamu udah punya suami kenapa minta tolong sama aku coba?”
“Jemput aku di hotel, sekarang bisa nggak? Kamu lihat berita hari ini nggak sih Ri?” kesalku.
“Yee ... Emang aku emak-emak yang mantengin tv 24 jam,” kekehnya.
“Buru! bisa nggak Ri, masalah darurat banget ini,” keluhku. Lagian ini belum terlalu malam juga. Jadi masih aman jika Riri menjemput ku di sini.
“Iya deh, kasih tau alamatnya!” ucapnya dari sebrang telfon kami.
Setelah aku memberikan alamat hotel, yang aku tempati saat ini aku segera bersiap menunggu Riri di depan.
Ketika aku keluar dari lift, aku merasa ada yang aneh.
Ketika orang-orang melihatku. Mereka memberikan tatapan seolah aku adalah most wanted yang sedang dalam pencarian.
Setiap pasang mata yang berapapasan dengan ku jika itu sedang berdua, mereka langsung berbik-bisik seolah aku ini adalah bahan gunjingan mereka. Sungguh rasanya nggak nyaman sama sekali.
Aku melajukan langkaku melewati loby hotel menuju halaman depan.
Aku berharap bertemu dengan Leon, tapi ternyata dia menghilang tanpa memberikan kabar sama sekali kepadaku.
Persetan dengan itu semua, ternyata setelah bisa melihat malah masalah yang aku alami semakin rumit.
Aku bahkan baru mengenal Leon setelah menikah dan baru tahu, jika dia seorang CEO dari berita yang disiarkan oleh TV tadi.
Hah ... Pada dasarnya emang pernikahan yang kami jalani adalah sebuah pernikahan karna tanggung jawab saja kan.
Aku juga tidak bisa berharap lebih soal rasa, meski dia mengatakan akan mencintaiku. Tapi entah mengapa aku masih belum bisa merasakan ketulusan darinya.
Ditambah lagi, trauma yang aku rasakan sebelumnya, membuatku tak bisa percaya dengan mudah pada perkataan orang, apalagi lelaki.
Bohong jika aku tak merasa sakit hati setelah kandasnya hubungan ku dengan Azzam. Sudah lah kan, lagian aku sudah berusaha ikhlas melepasnya. Tapi trauma yang dia timbukan membuatku susah percaya kepada lelaki, bahkan lelaki yang berstatus suamiku saat ini.
Cukup lama aku menunggu Riri, bahkan selama aku berdiri di sini sudah sukses menjadi bahan omongan orang. Terlebih lagi jika orang sudah melihat berita perlambean di tv hari ini.
Tin!
“Raina! Ayo,” aku tersenyum ketika melihat Riri yang sudah menungguku di sebrang jalan. Kali ini aku harus berhati-hati ketika aku akan menyebrang, aku tak ingin hal buruk terjadi untuk kedua kalinya kepadaku.
Tinnnn!
Ketika aku hendak melangkahkan sebelah kakiku, tiba-tiba pergelangan tanganku ditarik oleh seseorang. Hal itu berhasil membuat kaget karena tarikan tangan orang itu.
Hanya satu kali sentakan tubuhku berbenturan dengan tubuhnya, dan dia berhasil menahanku agar tidak terjatuh. Pandangan kami beradu untuk beberapa saat.
“Apakah kamu bisa, tidak membuatku khawatir untuk sekali saja?” lirihnya, sembari membelai pipiku dengan jelarinya.
Leon, lelaki itu kini tepat berada di hadapanku. Menatapku dengan begitu intens.
Hanya dalam waktu sekejap mata, tempat di mana kami sedang berdiri. Tiba-tiba dipenuhi oleh begitu banyak wartawan entah dari mana datangnya.
Aku segera menarik diri lalu membenarkan posisiku kali ini.
Aku mendengar suara pertanyaan bersautan begitu riuh, ditambah kilatan cahaya dari kamera yang mambuat mataku mendadak menjadi silau.
Tiba-tiba aku mendapatkan serangan panik, telingaku mendadak mendenging hebat dan penglihatan ku berputar-putar. Aku segera berjongkok, menutup mata dan telingaku berharap bisa mengurangi rasa sakit yang aku rasakan saat ini.
Hingga aku merasakan tubuhku diangkat oleh seseorang menuju hotel dan aku mulai kehilangan kesadaran ku.
.
.
.
Kepalaku terasa berat ketika aku hendak membuka mata.
“Ra? Kamu baik-baik saja?” aku berusaha membuka mataku meski terasa berat.
Aku berusaha duduk sambil memegangi kepalaku, tapi Leon menahanku agar tetap tidur.
Aku memejamkan mataku dengan rapat, lalu membuka dengan perlahan.
“Jam berapa ini?” tanyaku dengan suara yang hampir terdengar berbisik.
“Jam dua dini hari,” jelasnya. Ternyata aku sudah tidur cukup lama.
“Masalah apa lagi yang sedang terjadi kali ini?” aku berusaha meminta penjelasan kepadanya.
“Aku sudah menyelesaikan nya, kamu bisa lihat ini,” Leon menunjukkan sebuah vedeo klarifikasi mengenai hubungan kami.
Aku juga melihat ada tambahan vedeo yang memang dibuat oleh Kak Farah, sungguh dia perempuan yang begitu detail dalam menyelesaikan masalah. Bahkan resiko yang akan ditimbulkan dari pernikahan kedua sudah dia antisipasi.
Dia sengaja menyiapkan vedeo jika ada yang mempermasalahkan perihal pernikahan antara Leon dan aku ditambah lagi pasti akan mempengaruhi citra perusahaan juga.
Namun, semua sudah tersusun rapi di tangan Kak Farah melalui pengacara kepercayaannya.
“Kamu jangan terlalu memikirkan hal ini ya?” kata Leon. Aku hanya diam saja tak tahu harus menjawab apa.
“Maafkan aku Ra, aku nggak tahu harus bagaimana lagi. Untuk membuatmu bisa tersenyum lagi seperti dulu. Aku tahu dia menghancurkan hatimu, dan mungkin tak bisa membuat hatimu kembali utuh seperti sebelumnya. Tapi aku mohon beri aku kesempatan. Aku tahu trauma yang kamu alami membuatmu tak mudah percaya kepada lelaki. Benar begitu Ra?”
Skakk matt. Itulah kata yang tepat untukku saat ini. Bahkan dia bisa menebak isi hatiku.
Tak terasa air mataku luruh mendengar ucapannya kali ini.
“Dia hanya masa lalumu, dan aku adalah masa depanmu. Jika dia menghancurkan kamu maka aku akan susun kembali hatimu menjadi utuh, meski tidak bisa seperti semula,” lirihnya.
“Aku memang belum bisa mencintaimu sepenuh hatiku Ra, tapi aku janji. Aku janji akan berusaha mencintaimu. Tolong jangan pergi dariku. Aku mohon,”
“Dari mana ... Dari mana kamu tahu jika itu yang aku rasakan?” selidikku.
“Maafkan aku, di hari itu juga aku membaca semua isi chat yang dia kirim untukmu. Jika kamu terluka karenya aku berjanji akan berusaha menyembuhkan luka itu,”
Aku segera duduk dan langsung memeluknya dengan erat.
“Berjanjilah kamu tak akan meninggalkan aku,” lirih Leon. Aku bisa merasakan embusan napasnya.
Aku melepaskan pelukannya, aku menatap kedua bola matanya dengan lekat.
Tak ada celah diantara kami berdua saat ini.
Entah perasaan apa yang aku rasakan kali ini.
Wajah Leon semakin mendekat. Aku mulai memejamkan mataku, sembari menelan salivaku dengan susah payah. Aku berusaha menerima apa yang akan terjadi selanjutnya. Toh kami juga pasangan halal.
Perlahan-lahan bibir kami saling bertaut, intim. Bergerak seirama menikmati setiap decapan menyulut gairah kami.
Leon mendorong tubuhku perlahan hingga aku terbaring dibawah kungkungan tubuhnya dengan tautan yang masih menempel. Leon menyatukan jemari kami, mengenggam jemariku dengan erat. Hingga entah berapa lama kami saling mencecap satu sama lain dan akhirnya Leon melepaskan tautan bibir kami berdua.
Napas kami saling memburu, pandanganku mulai berkabut terbakar api gairah antara kami berdua. Mataku masih terpejam berusaha menetralkan debaran jantung ku saat ini.
Sentuhan lembut jemari Leon menyapu wajahku. Hal itu menimbulkan glenyeran aneh di sekujur tubuhku.
“Bolehkah?” bisiknya tepat di telingaku.