Ini adalah hari keduaku pasca operasi.
Selama aku sadar hingga sekarang Leon bahkan tak kunjung menemuiku.
Hari-hari, kuhabiskan hanya duduk termenung di dalam kamar rawat inap ini.
Bosan, tentu saja.
Aku terbiasa dengan aktivitas, tapi sekarang harus duduk diam di sini.
Entah kenapa aku tiba-tiba terpikir tentang Kak Farah.
Nanti setelah perbanku dibuka, dokter Mahen mengatakan bahwa aku akan bisa melihat lagi. Entah kenapa orang yang ingin pertama aku lihat malah Kak Farah.
Jujur aku sangat penasaran dengan sosok siapa dia sebenarnya.
Setelah mendapatkan harapanku kembali aku merasa bahagia. Tapi di sisi lain aku juga penasaran siapakah orang yang telah mendonorkan matanya untukku.
Sungguh sangat mulia hati orang itu. Semoga Allah membarikan berkah kebaikan untuknya dan juga keluarganya.
“Terimakasih dok,” kataku.
“Sama-sama. Kalo ada keluhan jangan sungkan untuk bilang ya!” ujar dokter Mahen.
“Pasti dok,” kataku sembari mengacungkan jempolku.
“Ya sudah kalo begitu. Saya mau lanjut visit ke ruangan lain. Ngomong-ngomong kamu nggak ada yang nemenin lagi?” heran sang dokter. Mungkin karena beberapa hari ini tidak ada yang bersama denganku ketika dia berkunjung.
“Iya dok, sepertinya pada sibuk,” jawabku singkat. Yah pastinya aku hanya menerka-nerka saja.
“Kalo butuh sesuatu, pencet aja tombol yang ada di nakas ya. Nanti akan ada suster yang bakal bantu kamu kok,” jelas dokter Mahen.
“Baik dok. Untuk saat ini belum ada,” jawabku. Dokter Mahen hanya terkekeh mendengar ucapanku.
Setelah dokter mahen meninggalkanku, aku kini kembali sendirian.
Tok!
Tok!
“Masuk!” ujarku. Entah siapa yang datang saat ini.
“Rainaaa,” ucapnya yang terdengar antusias. Dia segera memelukku dengan erat.
Sudah jelas jika Riri yang datang. Tapi ngomong-ngomong, dia tahu dari mana aku ada di sini.
“Riri?” sapaku.
“Darimana kamu tahu aku di sini?” aku merasa heran. Kulepaskan pelukan Riri, lalu ku genggam jemarinya sembari mengobrol.
“Ibu Asih yang kasih tahu, maaf ya beberapa hari ini aku sibuk banget sama tugas kuliah yang menumpuk. Eh ngomong-ngomong nih ya, kamu beruntung banget tahu.”
“Apanya yang beruntung?” tanyaku sedikit heran. Padahal kan aku sedang nggak ikut ubdian berhadian. Kalo tadi ikut undian kan aku berpeluang menang. Hehe.
“Beruntung lah. Dapat suami ganteng, tajir lagi,” imbuhnya.
Aku mengembuskan napasku panjang, yah maklum biarpun seluruh dunia mengatakan jika suamiku ganteng. Aku sih biasa saja, toh aku juga belum bisa melihat dia, bukan?
Ya iyalah Raina. Kamu kan gak bisa lihat.
“Oh ... Emang, tahu dari mana kamu?” cecarku.
“Ada deh ... Pokoknya itu. Dia tu type-type idaman aku banget deh. Boleh daftar jadi istri ke tiganya nggak?” kelakar Riri.
Aku segera menepuk lengan Riri, bukan karena cemburu. Lebih tepatnya karena jengkel dengan ucapannya.
“Auhhh ... Becanda kali Rain.”
“Bercandamu nggak lucu. Aku aja ngerasa bersalah banget sama istri pertamanya, yang harus jadi istri ke dua. Masak iya kamu mau jadi pelakor di dalam rumah tangga sahabatmu ini?” dengusku kesal.
“Iya-iya ampun bos. Nggak lagi-lagi. Lagian nih ya lebih enakan juga single kayak aku gini!” ujar Riri sambil terkekeh.
“Kamu bukannya single tapi jomlo, alias nggak laku!” ujarku sambil memonyongkan bibirku. Kali ini aku malah yang menggodanya.
“Nggak gitu juga dong konsepnya Rain, nih ya. Jomlo itu buat orang-orang yang nggak laku sama sekali. Nah kalo single itu pilihan. Bukannya aku nggak laku nih ya ... tapi. Yah emang aku nggak laku sih sampai sekarang,” dia merengek sejenak “Aissh ... udah deh gak usah bahas jomlo lagi. Lama-lama kamu kayak mama aku deh. Nanyain kapan nikah kapan nikah. Lah boro-boro nikah. Kuliah aja nggak selesai-selesai,” kesal Riri.
“Kok jadi ngegas sih Ri. Kan kamu yang mulai duluan,” ujarku sambil terkekeh.
Dia yang mau menggodaku malah dia yang kena batunya.
“Nggak ngegas tuh biasa aja kok,” sahutnya.
Sementara aku hanya tersenyum jahil.
“Rain, aku boleh nyalain TV ya?” tanya Riri.
“Iya, nyalain aja. Toh aku juga gak bisa lihat.” Ya kali kan mau lihat dari mana coba, semantara mata aku masih di perban gini.
“Kan bisa denger berita atau nonton sinetron ala-ala ikan terbang, biar hidup kamu lebih berwarna sedikit, juga boleh kok,” kelakarnya lagi.
“Ih selera kamu kayak tante aku deh. Suka nonton senetron yang apaan tuh ya ... Azab,” teriakku, “terus nanti nagis-nangis sendiri. Ngomel-ngomel sendiri,” jelasku sambil terkekeh.
Ngomong-ngomong soal tante Martha, dia apa kabar ya? Jika aku bertanya pada Riri pasti dia bakal mengeluarkan jurus ngomelnya. Yang pasti nggak bakal berhenti kalo udah menyangkut soal Tante Martha.
“Nggak usah bahas itu Nenenk sihir Rain bikin hilang mood tau. Tapi ... Seru tau cobain deh sekali-kali. Nih ya yang lagi boomong tu. Azab seorang istri koma, yang keseringan main tok-tok.”
“Hah ... Apaan? Main apa tadi?” tanya ku sedikit heran, yah bahasannya sedikit aneh menurutku.
“Tok-tok. Itu aplikasi yang lagi booming sekarang. Udah deh, kamu denger aja tapi jangan nangis nanti ya!” kata Riri.
“Kamu kali yang nangis Ri. Aku mana bisa lihat,” ucapku.
“Ya setidaknya temenin aku nonton kek. Kan aku udah nemenin kamu di sini,” ungkapnya.
“Hem ... Terserah. Aku mau tidur aja.”
Aku mulai memposisikan kepalaku, untuk tidur di bantal.
Saat televisi dinyalakan, sedang ada breaking news.
“Kabar duka datang dari Istri seorang CEO muda Leon ...,” tiba-tiba Riri mengganti saluran televisi.
“Lah, itu tadi berita apaan Ri? Kok namanya nggak asing ya?” entah kenapa aku begitu penasaran.
“Eh ... Itu em ... Cuma sekilas info doang. Toh kamu juga gak kenal. Dah gak udah nonton infotaiment nanti kamu ikutan pusing,” ujarnya.
Aku hanya manggut-manggut.
“Terserah deh ...,”
Sepertinya ada yang disembunyikan oleh Riri. Tapi aku juga tak ada hak untuk mengorek informasi lebih jauh darinya.
.
.
.
Hari ini hari di mana perban mataku akan dibuka.
Sungguh aku begitu antusias.
Bagaimana tidak sudah hampir tiga pekan aku berada di rumah sakit. Yang jelas rasanya sangat membosankan.
Aku sedikit kaget ketika pintu kamar dibuka perlahan-lahan.
Dari aroma maskulin ini, jelas jika Leon sedang mendekatiku. Dia duduk di samping tempat tidurku. Ya karena aku merasakan pergerakan di atas tempat tidur ku
“Hai ... Maaf ya akhir-akhir ini aku nggak bisa ke sini, karena emang lagi sibuk banget. Banyak urusan yang harus aku selesaikan,” lirihnya.
Suaranya seperti tidak terdengar baik menurut ku. Sepertinya dia sedang sedih. Tapi aku tak berani bertanya kepadanya.
“Apa Kak Farah tidak ikut?” aku sedikit penasaran.
Seharusnya kan selama aku di sini dia bisa datang mengunjungi ku tanpa Leon kan. Atau jangan-jangan dia terlanjur marah kepadaku.
“Tidakk,” suaranya kali ini terdengar parau.
Tok!
Tok!
Suara pintu menghentikan percakapan kami saat ini.
“Masuk!” ujar Leon
“Selamat siang Pak Leon. Hai Rain, gimana apa kamu sudah siap?” tanya dokter Mahen.
“Insyaallah dok,” jawabku singkat.
Di sini hanya ada Leon dan juga dokter Mahen saja. Entah kenapa jantungku saat ini berdegup sangat kencang. Aku merasa gugup kali ini.
“Maaf ya,” dokter mahen menggunting perban yang memutupi mataku saat ini.
“Nanti dalam hitungan ketiga, pelan-pelan kamu buka mata kamu ya!” jelasnya.
“Baik dok.”
Setelah semua perban di mataku berhasil di buka satu persatu. Dokter Mahen memberiku aba-aba untuk membuka mata.
“Satu ... Dua ... Tiga. Kamu boleh membuka mata!” perintahnya.
“Bismillahirrahmanirrahim,” lirihku.
Aku mulai membuka mataku perlahan-lahan.
Sebuah cahaya putih menelusup ke dalam penglihatan ku saat ini. Aku segera menutup mataku lagi.
“Pelan-pelan saja!” kata dokter Mahen.
Kembali kubuka mataku perlaha-lahan sembari ku kedipkan untuk beberapa kali.
Aku melihat seorang lelaki memakai kemeja denim berwarna biru, yang kuyakini dia adalah Leon. Sementara seorang lagi adalah lelaki dengan jubah putih ala dokter. Siapa lagi jika buka dokter Mahen dan ditemani seorang suster muda nan cantik.
“Alhamdulillah ... Trimakasih ya Allah. Dok saya bisa melihat lagi.” ucapku antusias.
“Alhamdulillah,” terlihat semua yang ada di ruangan tersenyum bahagia. Tak terkecuali Leon.
“Tahan jangan sampai keluar air mata ya.”
Aku mengangguk pelan. Kemudian dokter Mahen memeriksa mataku lagi.
“Oke aman. Semuanya baik,” ucap dokter Mahen. “Ada keluhan?"
“Tidak ada dok.”
“Maaf dok, apakah istri saya bisa pulang hari ini?” tanga Leon.
Aku sempat tak percaya bahwa lelaki yang berada di hadapanku saat ini adalah suamiku.
Wajahnya yang terlihat maskulin dengan guratan tegas, membuatnya terlihat tampan dengan bulu-bulu halus memenuhi dagunya.
Kali ini aku percaya dengan ucapan Riri tempo hari.
Sadar Raina. Apa yang sedang kamu pikirkan, aku menunduk ketika ditampar dengan kenyataan bahwa aku hanya istri keduanya.
Ingat, dia menikahiku karna sebuah tanggung jawabnya saja.
“Raina?” panggilan Leon membuyarkan lamunanku.
“Eh ... Iya ada apa?” jawabku sedikit bingung kali ini.
“Kita akan pulang sebentar lagi. Apa kamu siap?” tanyanya.
Kali ini aku hanya mengangguk pelan.
Setelah Leon mengurus semua urusan di rumah sakit. Dia membawaku pulang.
“Ada yang ingin kamu beli? Atau kamu ingin pergi ke suatu tempat dulu?” tanya Leon, ketika kami sudah duduk di jok belakang mobilnya.
“Aku ingin segera pulang saja, aku ingin segera bertemu Kak Farah,” ucapku, lagi-lagi aku begitu penasaran dengan hal itu.
Hening.
Semua tiba-tiba diam.
Leon memalingkan wajahnya ke arah jendela.
Sentara Pak Arif menunduk.
“Kenapa?” tanyaku heran.
Kenapa mereka?
Apakah ada yang mereka sembunyikan dariku.
“Hem ... Nggak kok. Pak ke San Diego! Tapi singgah ke toko bunga dulu,” perintah Leon. Tunggu apa tadi?
San Diego?
Ini mau ke Amerika?
Emang di Indonesia ada San Diego?
Heranku lagi.
“Eh ... Kok nggak langsung pulang?”
“Katanya kamu mau ketemu Farah!” ujarnya.
“Ya ... Iya emang.”
Ah mungkin Kak Farah sedang ada di rumahnya yang lain.
Atau jangan-jangan dia pisahkan rumahku dengan Kak Farah, atau Kak Farah sudah nggak mau tinggal serumah denganku.
Aku masih termenung dalam pikiranku saat ini.
“Ya udah nurut aja!” Leon meraih kedua tanganku lalu mengenggamnya sembari berucap, “Ingat ya. Apapun yang terjadi kamu nggak boleh marah, emosi atau nangis di hadapan Farah. Janji!” aku semakin bingung dengan maksud Leon.
“Iya janji. Ngapain Aku marah sama Kak Farah. Seharusnya kan dia yang marah sama aku, ya ‘kan. Apalagi aku udah ganggu rumah tangganya sama kamu,” ujarku sambil menunduk.
Leon menangkup kedua pipiku.
“Janji kamu nggak boleh nangis. Kalo kamu nggak bisa, lebih baik kita putar balik!” tegasnya.
“Iya janji. Apaan sih aku bukan anak kecil juga kali,” ucapku sedikit kesal.
“Sudah sampai Tuan,” ucap pak Arif.
Leon menuruni mobil berjalan memutar lalu membukakan pintu untukku.
“Ayo!” ajaknya.
Aku hanya menuruti maunya.
“Satu buket seperti biasa!” ujar Leon kepada penjual bunga segar.
“Buat Kak Farah?” tanyaku heran. Bukannya aku iri. Tapi lebih ke-kagum dengannya. Ternyata dia romantis juga.
Aku melihat-lihat bunga yang ada di toko.
Pilihanku jatuh pada bunga Daisy berwarna putih.
“Bungkuskan juga satu buket untuknya!” ujar Leon lagi.
“Baik tuan.”
“Eh ... Nggak usah,” tolakku.
“Aku hanya berlaku adil kepada istriku,” ucapnya.
Kali ini tanpa ekspresi sama sekali.
Aneh.
Kami segera melanjutkan perjalanan. Lumayan jauh menurutku sampai ke tempat yang dimaksud oleh Leon.
Tanpa ku sadari mobil yang kami tumpangi memasuki area parkir yang luas.
Ada sebuah papan nama besar di depannya. San Diego Hills
“Loh ngapain kita ke sini?” pikiranku saat ini mulai berputar-putar.
Hamparan hijau nan luas terlihat di sepanjang mataku memandang saat ini.
“Ayo!” Leon meraih tanganku, membawaku berjalan menuju sebuah makam yang terlihat baru dengan hamparan bunga mawar warna-warni yang di tanam di sekelilingnya.
“Indah ya?” tanpa sadar kata itu meluncur dari bibirku.
“Iya, ini adalah rumah impiannya.”
Hah Impiannya?
Siapa yang dia maksud?
“Apa?” aku kaget dengan maksud Leon saat ini.
“Sayang, aku datang. Kali ini aku nggak sendiri. Aku bawa Raina. Dia cantik bukan?”
Aku masih tak percaya dengan apa yang aku lihat saat ini. Leon jongkok di samping Makam yang berada di hadapannya. ‘Sayang?’
Aku mengerjapkan mataku berkali-kali.
Berusaha meyakini apa yang aku lihat saat ini.
Makam dengan nama Farah Azhar.
Tiba-tiba penglihatanku menjadi berkunang-kunang. Aku mulai kehilangan kesadaranku.
“Raina!”