Leon.
.
.
.
“Raina!” Aku segera menangkap tubuhnya, yang tiba-tiba saja kehilangan keseimbangan.
Bodoh.
Seharusnya aku tak membawanya kemari tadi.
Seharusnya aku tak membuatnya syok, padahal dia baru saja pulih dari operasinya.
“Raina ... Bangun!”
Segera ku angkat lalu ku bawa menuju mobil. Aku takut jika terjadi apa-apa dengannya
“Ada apa dengan Nyonya, Tuan?”
“Bukakan pintunya cepat!” teriakku.
“Baik Tuan.”
“Kita ke mana Tuan?”
“Rumah sakit!” ucapku dengan cepat.
“Raina, bangun!” aku begitu panik, melihat keadaannya saat ini. Sungguh aku tak ingin terjadi sesuatu yang buruk dengan Raina.
Aku masih trauma dengan kejadian yang menimpa Farah sebelum dia drop. Kejadiannya sama seperti yang di alami oleh Raina saat ini.
Ya Tuhan tolong selamat kan dia.
“Ini ada minyak kayu putih, siapa tau bisa membantu, Tuan.” Pak Arif memberikan aku sebotol minyak yang langsung aku oleskan di kening Raina.
“Terimakasih Pak. Maaf saya akhir-akhir ini selalu memarahi Pak Arif,” ungkapku dengan sedikit penyesalan. Tak seharusnya aku melampiaskan kemarahanku kepada bawahanku. Bahkan sebagai seorang atasan kita juga tidak behak bersikap egois dan merasa paling benar.
Jika kita salah sah-sah saja seorang bos sekalipun meminta maaf kepada bawahannya.
“Tidak apa-apa Tuan. Saya mengerti posisi anda saat ini. Jika saya yang berada di posisi Anda mungkin saya tidak akan sanggup juga,” ujar Pak Arif.
“Anda benar,” pungkas ku.
Sungguh, pada awalnya aku memang tidak mencintai Farah. Akan tetapi setelah dia meninggalkanku, entah kenapa, hidupku akhir-akhir ini menjadi semakin kacau dan seperti kehilangan arah.
Farah adalah perempuan yang baik, selalu mendukungku dalam segela hal.
Kali Ini Pak Arif mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, menuju rumah sakit.
Hanya dalam waktu beberapa menit kami sudah berada di rumah sakit lagi.
Setelah sampai segera ku bawa Raina ke ruang IGD.
Segera aku meminta pertolongan kepada petugas medis yang ada.
“Loh ... Pak Leon?” heran, dokter Mahen ketika melihatku kembali lagi.
“Dok. Tolong selamat kan Istri saya!” kataku memohon.
“Anda tenang dulu Pak. Saya akan memeriksa keadaan Ibu Raina,” kata dokter Mahen.
“Saya percayakan kepada Anda, dok!” ujarku.
“Apa yang terjadi Pak? Bukankah tadi sebelum pulang dia baik-baik saja?” tanyanya, sambil memeriksa keadaan Raina, tentunya.
“Sepertinya ini adalah kesalahan saya dok. Tak seharusnya saya membawanya ke Makam secepat ini,” sesalku. Sungguh jika bukan karena kecerobohanku dia tidak mungkin akan mengalami hal ini.
“Saya mengerti pak, tapi sebaiknya anda menjaga agar Ibu Raina tidak terguncang secara psikis terlebih dahulu.
Sebaiknya juga dihindari agar Ibu Raina tidak berlarut-larut dalam kesedihan nantinya.” Dokter Mahen sudah mengetahui semua mengenai Farah dan Raina.
Dia juga menyarankan agar aku bisa tetap mengawasi kesehatan Raina selama pemulihan. Tetapi aku malah melakukan hal yang tak seharusnya. Aku benar-benar bodoh.
”Baik dok, saya akan usahakan,” sahutku.
“Saya akan meresepkan vitamin dan obat untuk Ibu Raina,” ucap dokter Mahen.
“Apakah istri saya harus di rawat lagi dok?” tanyaku. Aku hanya berharap tidak.
“Tidak perlu Pak. ibu Raina hanya syok saja nanti jika sudah siuman bisa dibawa pulang. Kalo begitu saya permisi.”
“Terimakasih dok,”
Dokter Mahen meninggalkan kami.
“Raina, maafkan aku. Seharusnya aku memikirkan kondisimu saat ini.”
Kuciumi jemari lembut miliknya. Akhir-akhir ini aku kekurangan tidur. Aku meletakkan kepalaku, di tempat Raina tidur saat ini. Aku berharap bisa istirahat sejenak.
.
.
.
Pergerakan di atas tempat tidur membuatku kaget. Segera kuangkat kepalaku meski agak terasa pening dan berat. Namun aju tetap berusaha bangun.
“Eh ... Kamu sudah siuman?” tanyaku, “Kamu mau minum?” dia masih bergeming tak membalas ucapan ku.
Tatapan matanya seperti kosong, menatap lurus ke depan.
Tiba-tiba aku ingat pesan Farah sebelum di pergi untuk selama-lamanya. Dia pernah berkata, bahwa aku selama ini ketika menjadi suami, selalu bersikap acuh dan tidak peka.
Sebetulnya perkataan Farah membuatku begitu tertampar. Pasalnya memang itulah kenyataannya.
Aku sadar ternyata selama ini aku telah menyia-nyiakan istri pertamaku. Aku tak menganggap keberadaanya dan tak ingin memberikan tempat di hatiku.
Sekarang yang tertinggal hanyalah penyesalanku saja.
Meskipun aku belum mengenal Raina secara keseluruhan, aku akan berusaha mencintainya sebagaimana Farah berpesan kepadaku.
“Raina? Kamu mendengar ku?” dia masih bergeming.
Aku bingung harus berbuat apa. Apakah aku harus memanggil dokter lagi?
“Kita di mana?” lirihnya. Akhirnya dia mau berbicara juga.
“Rumah sakit,” jawabku. Tunggu, apakah dia tidak mengingat kejadian tadi?
Jika iya, ini adalah kesempatan untuk ku menyembunyikan fakta mengenai Farah.
Jujur jika dia sampai bertanya tentang Farah aku tak akan mampu untuk mengatakannya. Apalagi jika sampai dia tahu bahwa Farahlah yang mendonorkan mata untuknya. Dia pasti semakin tidak terima dengan kenyataan dan merasa semakin bersalah tentunya.
Oh Tuhan apa yang harus ku lakukan sekarang?
Aku menarik napas dalam.
Pikiranku saat ini menerawang ke makan mana dan begitu kacau. Sebaiknya aku membawa Raina pulang.
“Kita pulang?” ujarku.
“Sejak kapan kita berada di sini?” lirihnya, namun aku masih bisa mendengarkan ucapan nya.
“Sejak tadi pagi,” jelasku
Kenapa dia menjadi aneh seperti ini.
Aku segera memanggil dokter untuk memeriksa keadaannya saat ini.
Seorang dokter datang lalu memeriksa keadaannya saat ini.
“Bisa ikut saya sebentar Pak!” kata dokter muda itu.
“Raina. Jangan kemana-mana ya!” dia bahkan tak mau menjawab pertanyaanku.
Aku mengikuti dokter ke ruangannya.
Sebelumnya aku sudah berpesan kepada Pak Arif untuk menjaga Raina agak tidak pergi ke mana-mana.
“Bagaimana keadaan Istri saya dok?”
“Begini Pak, sebelumnya apakah Ibu Raina mengalami suatu kejadian yang membuatnya trauma?”
“Saya tidak begitu yakin. Tapi setelah saya membawanya pergi melihat makam istri pertama saya, dia tiba-tiba pingsan. Ketika sadar, waktu saya ajak berkomunikasi dia seperti tidak memberikan respon,” jelasku. Dokter hanya mengangguk.
“Jika saya boleh memberikan saran, sebaiknya Bapak membawa Ibu Raina ke psikiater.”
“Maksud anda Istri saya gila?” aku membulatkan kedua mataku karena shock.
“Tidak pak, tidak semua orang yang di bawa ke psikiater itu gila. Di sana juga bisa berkonsultasi, atau bisa juga menyembuhkan trauma seperti itu. Saya sarankan sebaiknya Bapak memantau perkembangan Ibu Raina selama di rumah.”
“Baiklah, terimakasih dok. Saya permisi!” aku segera meninggalkan ruangan dokter itu.
Saat kembali Raina sudah keluar dari ruangan. Aku segera berlari Menghampiri nya.
“Raina?” dia berputar lalu menatapku.
Lagi-lagi pandangannya kosong.
“Kita pulang ya?” pintaku.
Kali ini dia mengangguk. Segera kuraih jemarinya, kutuntun dia menuju parkiran dengan perlahan.
“Em ...,”
“Ya ... Katakanlah!” aku senang ketika dia mau berbicara.
“Tidak jadi,” jawabnya dengan singkat. Aku yakin ada yang ingin dia ucapkan.
“Kamu ingin apa? Katakanlah!” ujarku.
Dia hanya menggelengkan kepalanya.
“Kita ke apartemen ya pak!” ujarku.
Pak Arif segera melajukan kendaraanya. Aku sengaja membawa Raina pulang ke unitku, karena belum siap jika Raina melihat foto-foto Farah, itu mungkin bisa membuatnya hilang kendali lagi.
Selama di dalam mobil Raina sama sekali tak bicara apapun kepadaku.
Sesekali aku hanya meliriknya dari ekor mataku.
“Ayo turun!” ajakku. Aku segera membukakan pintu untuknya. Lalu membawanya menuju apartemen milikku.
Lagi-lagi dia hanya diam mengekor di belakangku.
Ya Tuhan ...
Lebih baik aku dipukuli berkali-kali dari pada diacuhkan seperti ini.
Apakah ini karma karna aku dulu sering mengacuhkan Farah, sehingga aku sekarang mendapatkan balasannya.
Aku mengusap wajahku dengan gusar.
“Sudah sampai kamu bisa beristrirahat. Apa kamu mau makan dulu?” tanyaku.
“Tidak.”
“Kamu tidak lapar?”
“Tidak!” kali ini nada suaranya naik satu oktaf.
Aku menaikkan sebelah alisku.
Sungguh suasana menjadi akward ketika aku didiamkan seperti ini.
“Oke. Ayo ku antar ke kamar. Kamu bisa istirahat. Aku mau mandi dulu.”
Raina segera berjalan menuju kasur berukuran king size milikku tentunya, lalu memposisikan dirinya untuk tidur.
Ini adalah apartemen milikku ketika aku masih bujang, yang tak pernah aku tempati selama aku telah menikah.
Namun aku selalu menyuruh orang untuk selalu membersihkannya. Jadi walaupun tak ditinggali, tetap terjaga kebersihannya.
Aku segera bergegas menuju kamar mandi.
“Apa kamu tidak berhutang penjelasan kepadaku?”
Deg.
Seketika itu juga aku menghentikan langkah kakiku.