Rahasi Farah

2235 Kata
“Farah!” Aku segera menangkap tubuhnya sebelum dia menyentuh lantai. “Farah, bangun ... Farah. Jangan buat aku takut!” teriakku, sembari menepuk-nepuk pipinya. Aku baru sadar ternyata wajahnya sangat pucat. “Cepat buka pintu mobilnya!” triakku kepada pak Arif. “Baik Tuan!” jawabnya. Lelaki itu segera melakukan apa yang aku perintah kan. “Bagaimana bisa sih Pak, menjaga seorang wanita buta saja tidak becus?” Sungutku kepadanya, sembari berlari memasuki mobil sambil menggendong Farah. Sungguh kenapa aku merasa cemas jika terjadi sesuatu kepadanya. Hah, seharusnya semalam aku tak memberinya izin untuk pergi. “Ke rumah sakit, cepat!” bentakku. “Baik Tuan.” “Cepat sedikit Pak! Bisa nyetir nggak sih? Trobos aja itu lampu merahnya!” bentakku lagi. Aku benar-benar panik melihat keadaan Farah saat ini. Sungguh wajahnya sangat pucat, tak pernah aku melihat Farah sakit sebelumnya. “Ta ... Tapi Tuan?” lelaki itu tampak ragu. “Cepat jalan, kita sedang membawa nyawa orang! Jika dikejar polisi aku yang akan mengurusnya!” teriakku. Akhirnya Pak Arif melajukan kendaraan menerobos lampu lalu lintas. Benar saja, seorang polisi menggunakan motor patroli mengejar, lalu menghadang mobil yang kami tumpangi. Aku segera turun dari mobil dan menjelaskan permasalahan yang terjadi. Polisi itu malah menawarkan akan mengawal mobil kami agar segera sampai. Berkat pertolongan polisi tadi kami bisa sampai ke rumah sakit dengan tepat waktu. . . Aku menunggu di luar ruangan IGD sembari mengintrogasi Pak Arif. Aku duduk bersedekap di hadapan pria paruh baya yang sedang menunduk karena ketakutan. “Sebenarnya tadi Nyonya Raina bertemu dengan seorang wanita di taman, Tuan,” katanya sambil menunduk dengan penuh penyesalan. “Terus, kenapa sampai dia menghilang?” “Dia menyuruh saya membeli makanan yang agak jauh dari taman, sebelumnya saya telah berpesan agar tak kemana-mana. Nyonya berjanji untuk tidak meninggalkan taman sebelum saya datang. Tetapi setelah saya kembali Nyonya dan wanita yang ditemui sebelumnya sudah tidak ada lagi. Saya sudah bertanya kepada orang-orang yang masih berada di taman. Tetapi tetap tidak mendapatkan informasinya Tuan.” “Segera periksa CCTV yang ada di sekitar taman. Jangan sampai ada yang terlewat sedkitpun. Aku yakin pasti akan ada petunjuk di mana keberadaanya saat ini!” terangku. “Baik Tuan, saya permisi.” Aku hanya mengangguk. Ya Allah, kenapa cobaan yang engkau berikan tak henti-hentinya menerpaku. “Tuan Leon?” aku segera bangkit dari tempat dudukku saat ini, setelah dikagetkan dengan panggilan dari suara itu. Aku segera beranjak menghampiri dokter. “Bagaimana Keadaan Istri saya Dok?” tanyaku penasaran. Semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk. “Silahkan anda ikut ke ruangan saya!” pinta dokter itu, aku melihat dari raut wajahnya, sepertinya keadaan Farah saat ini tidak baik-baik saja. “Silahkan duduk Pak!” perintah dokter Kevin. “Bagaimana Keadaanya dok?” “Begini Pak, sebenarnya saya sangat berat mengatakan ini, akan tetapi sudah tidak ada harapan lagi, bagi Ibu Farah saat ini. Sebetulnya umur Ibu Farah sudah tidak lama lagi. Kemungkinan dia bertahan saat ini mungkin hanya 5 persen atau kurang dari itu, jika dilihat dari kondisinya saat ini. Mungkin, hanya sekitar satu bulan saja.” “Hah ... Maksud anda apa dok? Jangan bercanda ya dok. Istri saya sehat kok. Anda tidak salah bicara ‘kan?” aku semakin bingung dengan maksud dokter itu. Aku juga tak terima dengan vonis yang dijatuhkan oleh dokter. Begitu cepatlah dia akan pergi meninggalkan aku? “Bukankah ... Ibu Farah sudah memberitahukan keadaanya kepada anda?” selidik dokter Kevin. Dia menaikkan sebelah alisnya sembari menyatukan jemarinya di atas meja. “Jangan berbelit-belit lagi dok! Masalah saya sudah rumit!” bentakku kepada dokter Kevin. Sungguh emosiku sudah tak terkendali lagi saat ini. Aku tak mengerti apa yang dimaksud oleh dokter ini. Dokter Kevin menunjuk sebuah monitor yang di sana terdapat gambar tengkorak. Hasil MRI. Aku menatap gambar-gambar itu dengan seksama. Jujur aku tidak terlalu mengerti maksud dari setiap gambar yang berada di hadapanku saat ini. “Jadi, dari gambar yang saya tunjukkan. Di situ jelas bisa dilihat, jika sel kanker sudah menyebar dan harapannya untuk bertahan sudah tidak banyak.” “Anda tidak salah mendiaknosa ‘kan dok? Saya bisa menuntut anda jika anda melakukan kesalahan,” ancamku sambil berdiri. Sungguh jika memang itu benar, aku sama sekali belum siap dengan semua ini. Aku teruduk lemas di kursiku kembali. Apa ini Farah, kenapa kamu sembunyikan masalah sebesar ini dariku? Dokter Kevin hanya menggeleng pelan. “Saya tahu ini memang sulit Pak, saya kira ibu Farah telah memberitahukannya kepada anda. Selama dua tahun ini ibu Farah telah berjuang melawan penyakitnya sendirian. Saya sudah mengatakan kepada ibu Farah agar segera memberitahukan semua ini kapada anda. Tapi, ternyata dia malah menyembunyikan nya dari anda selama ini,” kata dokter Kevin. Sangat jelas dokter Kevin merasa iba kepadaku. Aku megusap wajahku dengan gusar. Aku begitu bingung dengan apa yang terjadi. Sejak kapan Farah menyembunyikan penyakitnya dariku? Kenapa? Kenapa, dia melakukan semua ini? Mungkinkah selama ini jika dia izin untuk pergi berlibur maksudnya adalah berlibur di rumah sakit? Hening. Aku masih berusaha berpikir, mungkin saja ada jalan keluarnya nanti. “Apakah tidak ada cara lain lagi dok? Tolong selamatkan dia, saya akan memberikan berapapun kepada anda,” kataku yang sudah diambang frustasi dan putus asa. Sungguh, aku bukanlah orang bodoh yang tidak tahu menahu soal penyakit yang diderita Farah saat ini, tapi kenapa dia menyembunyikan semuanya sendirian selama ini, lagi-lagi aku bertanya untuk kesekiankalinya kepada diriku sendiri. Seharusnya aku lebih peka menjadi seorang suami. Bukannya selalu acuh seperti yang sudah-sudah. “Kami bahkan telah memberikan semua perawatan terbaik yang kami punya Pak. Bahkan semua tahapan kemoterpi sudah dilakukan oleh ibu Farah. Tapi sepertinya itu tidak bekerja sama sekali,” terang dokter Kevin. “Apakah anda punya referensi rumah sakit lain yang ada di luar negri. Saya akan membawanya jika memang itu akan membuatnya bisa sembuh sepeti sedia kala.” Aku terus mencari segala macam cara agar Farah bisa pusediaperti sedia kala. Dokter Kevin menggeleng ke kiri dan ke kanan. “Hanya keajaiban dari Yang Maha Kuasa, yang bisa mengubah takdir Pak. Sekali lagi saya mohon maaf, tidak bisa memberikan harapan lebih.” “Bukankah tugas dokter menyembuhkan penyakit?” Aku sudah kehilangan akal sehatku. Sehingga tak mau menerima semua kenyataan ini. Aku belum siap dengan keadaan Istri pertamaku yang akan meninggalkanku begitu cepat. “Saya memang dokter, akan tetapi saya juga hanya seorang manusia biasa pak,” sahutnya. Sepertinya Dokter Kevin terlihat sangat kesal, ketika menghadapiku. “Karna anda hanya manusia biasa, maka jangan suka memfonis umur manusia sesuka hati anda dok! Karna yang berhak mencabut nyawa orang hanyalah Allah,” bentakku dengan tatapan nyalang. Ucapanku memang benar adanya, sehingga membuat sang dokter muda itu bungkam seribu bahasa. Segera kutinggalkan ruangan dokter Kevin. Hatiku benar-benar terasa sakit, dadaku menjadi sesak. Kuhirup udara sebanyak mungkin, lalu kuembuskan dengan berat. Aku berjalan menyusuri koridor rumah sakit menuju ruangan Farah saat ini. Kakiku melangkah dengan gontai. Perasaan berkecambuk, menyeruak antara sedih dan bingung semua bercampur menjadi satu. Kubuka hendle pintu di kamar perawatan Farah. “Hai ...,” sapaku. Kulihat wajah pucatnya yang sudah terpasang selang oksigen dan dengan begitu banyak alat bantu yang lainnya terpasang di seluruh tubuhnya. “Hai,” lirihnya. Suaranya hampir tak terdengar olehku. Aku hanya melihat pergerakan dari bibirnya saat ini. Aku mendekatinya perlahan-lahan. Kini dia tersenyum begitu hangat kepadaku. Aku duduk di samping tempat tidurnya saat ini. “Farah?” kugenggam erat jemari lembutnya, yang kini terlihat sangat lemah tak berdaya. Air mata yang kubendung sedari tadi sudah tak bisa ku tahan lagi. Aku segera memalingkan wajahku kearah samping lalu mendongak ke atas. Menahan agar air mataku tak jatuh di hadapannya. “Sayang, jangan pernah menitihkan air mata untukku. Aku belum mati,” ucapnya dengan kekehan yang terdengar sangat lemah. Aku menggeleng perlahan. “tidak, aku hanya sedih melihatmu seperti ini,” kuciumi jemarinya lalu kutempelkan di pipiku. “jangan pergi!” lirihku. “Sepertinya kamu sudah tau.” Dia tersenyum dengan begitu manis. Meskipun terlihat sangat pucat. “Sayang? Maafkan aku belum bisa menjadi istri yang baik untukmu. Aku belum bisa memberikan seorang anak kepadamu.” Aku tergugu mendengar setiap ucapannya. Tangisku tak bisa ku tahan lagi. “Jangan mengatakan semua itu Farah, bagiku kamu sudah menjadi istri yang paling baik untukku. Maafkan aku yang belum bisa menjadi suami yang baik untukmu. Aku yang selalu dingin terhadapmu. Aku tak pernah memperhatikanmu karna terlalu sibuk dengan pekerjaanku. Bukan!” sangkalku, “lebih tepatnya dengan duniaku,” lirihku. Lagi-lagi wanitaku hanya tersenyum. Entah mengapa senyumannya malah membuat dàdáku semakin terasa nyeri. Kupejamkan kedua mataku lalu kuhirup udara sebanyak mungkin. Namun rasanya oksigen seperti habis dari sekitarku. “Jangan menyalahkan dirimu seperti itu. Aku tahu kamu sibuk setelah memegang dua perusahaan sekaligus setelah kita menikah. Aku memahami itu.” “Tidak Farah.” “Shutttt,” dia mengarahkan telunjuknya tepat dibibirku, hingga mambuatku terdiam. “Izinkan aku berbicara.” Aku mengangguk. “katakanlah!” “Suamiku tersayang, maafkan aku belum bisa menjadi istri yang baik. Maafkan keputusanku yang begitu egois, memaksamu menikah dengan Raina.” dia tersenyum, sementara aku hanya bisa menggeleng pelan. “aku ingin meminta sesuatu. Ini mungkin permintaanku yang terakhir sebagai seorang istri. Tapi, apakah kamu akan mengabulkannya?” ujarnya. Aku mengangguk. Tak mungkin aku menolak permintaannya, karna dia telah banyak bersabar dalam menghadapiku. Menghadapi suami yang tak pernah peduli kepada istrinya. Ya Allah, apakah ini hukuman untukku. Karna telah menyia-nyiakan wanita yang begitu baik. “Jika aku pergi, aku ingin memberikan hadiah pernikahan untukmu dan Raina.” Aku menaikkan sebelah alisku, sungguh aku semakin bingung dengan apa yang dia maksud. “Aku akan memberikan kedua mataku untuk Raina. Berjanjikah Sayang, berjanjilah kamu akan menyayanginya dengan sepenuh hati, melebihi sayangmu kepadaku,” ucapnya. “Tidak Farah, kamu tidak akan kemana-mana. Kamu akan tetap bersama kami.” Aku berusaha tegar di hadapannya. “Tidak Sayang, bukankah kamu telah mendengar semuanya dari dokter Kevin? Aku sudah sukup bertahan selama ini, aku sudah lelah dengan rangkaian kemoterapi yang sangat menyiksa itu. Tugasku untuk menemanimu sudah selesai. Aku telah mencarikan ganti bukan. Ayolah. Aku sudah lelah melawan penyakit ini sendirian.” Aku segera memeluknya dengan erat. Mempenamkan wajahku diceruk lehernya. “Maafkan aku, maafkan aku.” Ku kecup keningnya dengan singkat, pandanganku tak lepas dari wajah cantiknya. Dia membelai kepalaku dengan begitu lembut sembari berkata, “Pergilah cari Raina. Panggilkan Mama serta adikku. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersama dengan mereka. Yang terakhir. Carilah Raina untukku. Aku ingin memeluknya untuk terakhir kalinya. Ingat! Jangan katakan jika aku yang akan mendonorkan mata untuknya!” tandasnya. Aku menggeleng, “Tidak, aku tidak mau meninggalkanmu sendirian. Aku tidak akan membiarkanmu pergi!” “Jangan menyiksaku Leonard Emilio!” Serunya dengan suara tak terlalu tinggi sembari mencubit lenganku. “Argh ...,” erangku. Tak pernah dia memanggilku dengan nama lengkapku, kecuali dia sendang marah besar. “Iya, aku akan pergi. Tapi hingga yang lain sampai dan ada yang menemanimu,” kataku. “Nah, gitu dong. Ingat ya, jadi suami itu yang peka. Jangan kamu memperlakukan Raina seperti kamu memperlakukanku. Kamu terlalu dingin menjadi seorang lelaki Leon. Jadilah suami yang selalu ada untuk istri. Jangan biarkan Raina menangis sendirian,” ucapnya. Seolah-olah dia menasehati temannya saja. Aku tersenyum melihat tingkahnya yang menggemaskan. Sungguh hanya ada sesal di dalam relung hatiku yang terdalam saat ini. Penyesalahku bahkan sudah tidak ada artinya lagi, semuanya hanya akan tampak sia-sia. Aku akan berusaha memenuhi semua permintaan nya untuk yang terakhir kalinya. Aku janji. . . Sudah hampir satu minggu aku belum mendapatkan kabar dari Raina dan sudah satu minggu pula aku menemani Farah di rumah sakit. Aku berharap selama seminggu ini ada keajaiban, agar dia bisa segera pulih seperti sedia kala. Akan tetapi harapanku sepertinya harus aku kubur dalam diriku. Kondisinya semakin menurun. Karna terlalu lama di rumah sakit sampai bauku sekarang seperti obat-obatan yang ada di apotek. Aku bahkan tidur dan menghabiskan seluruh waktuku bersama dengannya. Selama seminggu ini, dia juga menceritakan semua keluh kesah dan unek-uneknya kepadaku. Aku sangat menyesal selama ini, tak memberikan perhatian sama sekali kepadanya. Oleh karena itu aku sengaja menemaninya di sisa akhir hidupnya. Tok! Tok! “Masuk!” kataku. Pintu kamar terbuka. Terlihat Pak Arif memasuki kamar di mana Farah di rawat dengan gugup. “Ada apa?” “Maaf tuan, saya sudah menemukan tempat di mana Nyonya Raina tinggal.” “Alhamdulillah ... Ayo cepet bawa dia kemari Pak!” ucap Farah dengan antusias. Seolah-olah dia itu anak kecil yang barusaja mendapatkan sebuah hadiah. “Biar aku saja yang membawanya kembali. Semua ini terjadi karna aku. Yang pasti dia tidak akan semudah itu dibujuk.” “Aku pergi dulu ya?” aku berpamitan kepada Farah, ku kecup keningnya sebelum aku pergi meninggalkannya. “Ma, Rai. Titip Farah ya,” kataku kepada ibu mertuaku dan juga adik iparku. “Sip Kak,” jawab Raihan. Sementara ibu mertuaku hanya mengangguk pelan. “Hati-hati ya,” aku mengangguk lalu meninggalkannya pergi . . . Aku sengaja memarkirkan mobilku di tepi jalan, ketika aku melihat wanita yang membuatku kacau beberapa hari ini. Ya, siapa lagi jika bukan Raina. Dia berjalan sendirian mengenakan sweater berwarna putih dengan rok berwarna biru, tak lupa dengan tongkat di tangannya. Aku sungguh merasa kasihan kepadanya. Kemanakah dia akan pergi? Rasa penasaranku menuntunku melangkah mendekatinya. Aku sengaja memberikan jarak sekitar lima meter dan membuntuti langkahnya. Aku sengaja tidak menyapanya, aku hanya memantaunya agar dia berjalan dengan aman sampai ke tempat tujuannya. Tiba-tiba saja dia berhenti lalu membalikkan badannya. “Untuk apa kamu datang ke sini?” Bersambung ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN