Awal Masalah Baru

2390 Kata
Leon . . . Pertemuanku dengan seorang gadis yang aku tabrak beberapa waktu lalu membuatku merasa tertekan. Bagaimana tidak. Waktu itu hujan lebat menghalangi penglihatanku. Malam itu juga telah mengubah hidupku dan hidupnya tentunya. Aku terburu-buru hendak menghadiri sebuah pertemuan penting dengan kolega bisnisku dari Singapura, kebetulan sekali malam itu aku membawa mobil sendiri. Ya karna Pak Arif sedang mengantar Farah waktu itu. Aku begitu syok. “Shît!” umpatku. Segera aku menginjak tuas rem mobilku, hingga menimbulkan suara berdecit di tengah guyuran hujan, untuk menghentikan laju kendaraan yang aku kemudikan. Tujuannya agar tak menabrak perempuan yang tiba-tiba muncul di hadapanku, tapi nahas usahaku berakhir dengan sia-sia. Kejadian terjadi begitu saja. Aku terpaku sejenak antara tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi, sebelum aku kembali tersadar dan segera keluar dari mobil. Guyuran hujan yang begitu lebat membuat klakson yang aku buyikan tak terdengar olehnya. Aku begitu panik, setelah mengetahui keadaanya. Bagaimana bisa wanita ini menyebrang tanpa melihat kanan dan kiri. Pada saat kejadian yang kualami, tak ada orang yang berada di daerah itu, karna memang sedang terjadi hujan lebat, jalanan juga sangat sepi. Aku segera keluar dari mobil, tanpa pikir panjang aku mengangkatnya dan membawanya ke rumah sakit terdekat. . “Siapapun ... tolong selamatkan nyawa wanita ini!” teriakku, sambil berlari menggendong wanita tak berdaya dengan penuh darah di sekujur tubuhnya. Segerombolan petugas medis segera membawa wanita yang belum aku ketahui siapakah namanya, ke dalam ruang perawatan. Saat aku hendak ikut masuk ke dalam, salah seorang dari mereka menahan ku. “Silahkan tunggu di luar Pak!” ucap perawat lelaki itu kepadaku. Aku mondar-mandir, kuusap wajahku dengan gusar. Kepalaku mendadak pening. Aku tak bisa berbuat apa-apa, hanya panik dan takut yang saat ini aku rasakan. Aku berdoa agar dia bisa selamat dari kematian, sungguh aku akan merasa sangat bersalah jika terjadi apa-apa kepadanya. Aku segera membatalkan perjanjianku dengan kolega bisnisku. Sungguh aku yang biasanya gila dalam pekerjaan kali ini sama sekali tak memperdulikan apapun yang akan terjadi kedepannya. Bahkan biasanya jika Farah memintaku menemaninya pergi aku selalu menolaknya. Aku lebih nementingkan pekerjaanku selama ini. Entah kenapa melihat keadaan wanita tadi membuatku merasa prihatin dan sangat merasa bersalah. Padahal, hanya uang yang ada di kepalaku selama ini. Otakku benar-benar blank dengan kejadian barusan. Entah kenapa menurutku nyawa wanita itu lebih penting dari pada pekerjaanku. Tak berselang lama seorang suster keluar dari ruangan di mana wanita itu dirawat. “Bagaimana, ke-” belum sempat aku menyelesaikan pertanyaan itu, suster berlari kembali meninggalkanku dengan panik karena teriakan dari dalam ruangan. Ya Tuhan, semoga tidak terjadi apa-apa kepadanya. Aku ingat sempat membawa tas wanita itu, aku segera mengambilnya di dalam mobilku. Aku beranikan diri untuk membuka isinya, sebelumnya aku tak pernah membuka barang yang bukan milikku, dan aku menemukan sebuah kartu identitas yang tertuliskan nama Raina Azura, 24 tahun. Aku juga menemukan sebuah ponsel. Dengan berat hati aku harus membuka ponsel agar aku bisa menghubungi keluarganya, pikirku. Akan tetapi aku tak menemukan banyak kontak di sana. Hanya ada 2 nomor, yang satu My love Azzam dan yang satunya Tante Marta. Aku bingung harus menghubungi siapa terlebih dahulu. Aku memutuskan untuk menghubungi Kontak yang bertuliskan Tante Marta. Akan tetapi dia sama sekali tidak bisa di hubungi. Aku segera menghubungi kontak yang satunya. Akan tetapi, belum sempat aku menekan tombol yang ada di sana tiba-tiba sebuah notifikasi pesan masuk. Itu dari lelaki yang bernama Azzam. Aku yakin jika dia adalah kekasih Raina. . [ Raina, maafkan atas sikap pengecutku tadi. Aku yang tak mampu menolak perjodohan yang dilakukan oleh kedua orang tuaku. Padahal kita sudah berjuang sejauh ini. Maafkan aku. Aku telah melukaimu, aku minta maaf yang sebesar-besarnya. Semoga kelak kamu bisa menemukan lelaki yang lebih baik dari aku. Aku harap ini adalah kali terakhir kita berhubungan.] . . . Deg Setelah membaca pesan itu entah kenapa aku merasa sangat marah dan kesal kepada lelaki itu. Mungkinkah itu penyebab Raina kecelakaan? Kuurungkan niatku untuk menghubunginya. Aku segera menghubungi asistenku agar membatuku mengurus semua masalah yang sedang aku hadapi pada saat itu. Aku kembali mondar-mandir seperti orang bingung di depan ruangan IGD. *** Sudah satu minggu aku bolak-balik kantor dan rumah sakit. Ya, aku selalu memantau perkembangan dari Raina. Dia sudah sadar, akan tetapi dia tak bisa melihat saat Ini. Kata dokter dia buta. Ah ... Sungguh malang sekali nasibnya, akulah penyebab utama dia menjadi buta. Aku berjanji kepada diriku sendiri akan bertanggung jawab penuh kepadanya. Fakta mengejutkan lainnnya adalah dia seorang yatim piatu, dan dia tinggal bersama tantenya. Ketika Devi, asisten ku menghubungi wanita itu dan mengabarkan bahwa Raina mengalami kecelakaan ternyata dia sama sekali tidak memperdulikannya. Aku dipaksa bertanggung jawab penuh dan dia melepaskan semua tanggung jawabnya sebagai seorang wali. Malah dia mengancam akan melaporkan polisi jika aku tak mau. Dia bilang Raina sudah tak bisa bekerja lagi dan tak bisa memberikannya uang dan hanya akan menjadi beban hidupnya nanti. Ditambah lagi tak ada lelaki yang mau dengan gadis buta, begitulah yang wanita itu katakan kepada Devi. Dia juga mengancam hal-hal yang tak menurutku tak wajar. Sungguh itulah kata-kata yang paling menyakitkan yang pernah aku dengar dari seorang keluarga. Malang. Sungguh Raina yang malang. Aku memberitahu Farah istriku mengenai kejadian yang aku alami. Setelah tahu keadaan Raina, Farah malah melakukan hal yang sebelumnya tak pernah terpikir olehku. Sungguh mengejutkan, Farah malah memaksaku untuk bertanggung jawab dengan menikahi Raina. Aneh. Jika wanita lain meminta suaminya agak tak menikah lagi. Berbeda dengan istriku yang satu itu. Iya, aku memang akan bertanggung jawab terhadap hidup Raina, tapi bukan harus menikahinya juga kan? Menurutku, aku belum cukup baik sebagai manusia, aku juga tak pantas untuk melakukan poligami. Tapi Farah terus mendesakku dan memaksaku. Hingga dia bersimpuh memohon kepadaku. Aku tak habis pikir, apa yang dipikirkan olehnya sehingga terus memaksaku untuk menikahi Raina. Aku sempat berpikir apa karna mungkin ada kaitannya kami yang belum dikarunia momongan, sehingga Farah memaksaku melakukan hal itu. Ya, sudah bertahun-tahun kami menikah akan tetapi kami belum diberikan kepercayaan untuk menimang seorang bayi. Aku sebenarnya tak mempermasalahkan itu. Tak memiliki anak juga tak masalah bagiku. Sebenarnya pernikahanku dengan Farah bukanlah pernikahan atas dasar cinta, melainkan karena pernikahan bisnis. Bisa disimpulkan jika hubungan kami hanya sebatas pernikahan bisnis dan saling menguntungkan tentunya. Meskipun aku menikah karna perjodohan, aku memperlakukan Farah dengan baik, aku juga memberikan nafkah lahir dan batin yang cukup. Entah Kenapa sampai sekarang kami juga belum memiliki anak. Tapi perlu ku tekankan bahwa aku belum bisa mencintai Farah, setelah cinta pertamaku pergi untuk selamanya. Belum ada wanita yang bisa menggantikan posisinya. Dulu aku pernah memiliki seorang kekasih yang sangat aku cintai. Dia adalah cinta pertamaku namun, hidupnya tak lama karena sebuah kecelakaan harus merenggut nyawanya. Kejadian itu tepat sebelum aku membawanya bertemu dengan Orangtuaku. Dari situ aku pasrah dengan yang namanya jodoh. Kita berharap kepada manusia tapi, Tuhan bisa berkehendak lain. Maka dari itu aku lebih memlilih pasrah meskipun dijodohkan oleh orang tua kami. Kami bahkan sama-sama tak menolak. Sementara Farah aku tak tahu alasan pastinya dia menerima perjodohan kami. Tak ada rasa cinta yang aku rasakan kepada Farah. Entahlan, mungkinkah memang karena hatiku sudah mati. Aku sempat menolak untuk menikahi Raina. Karna itu bisa berdampak buruk Untuk image perusahaan. Bagiku satu istri saja sudah merepotkan dan rumit apalagi tanpa adanya cinta, seolah-olah itu adalah beban baru untukku. Apalagi kami sama sekali tak saling cinta. Bisa dikatakan pernikahan ini akan seperti pernikahan yang aku jalani bersama Farah. Akan tetapi desakan dari Farah membuatku mengambil keputusan ini. Dia bahkan menjamin bahwa tak akan ada dampak untuk perusahaan. Pada akhirnya aku menerima pernikahan itu. Bukannya aku serakah, tapi menurutku jika dalam keadaan buta aku yakin dia juga akan kesulitan mencari pasangan nantinya. Anggaplah yang aku lakukan ini sebagai penebus kesalahanku. . . Tepat hampir satu bulan akhirnya Raina bisa keluar dari Rumah sakit. Di hari itu juga aku berbicara pertama kali dengannya dan langsung memberitahukan mengenai pernikahan kami. Sungguh dia tak ingin aku nikahi. Reaksi yang cukup wajar menurutku, apalagi dia yang sekarang masih menderita karena diputuskan oleh kekasih nya. Itu pasti sangat melukainya. Namun, setelah aku mengatakan bahwa keluarganya satu-satunya yang dia miliki tak lagi mau menerimanya. Gadis itu mendadak menjadi diam seribu bahasa. Sesaat setelah itu dia seolah pasrah dengan keadaan. Aku segera membawanya ke KUA, yang mana semua berkas telah dimasukkan oleh Devi asistenku. Setelah aku menikahinya tanpa adanya pesta atau semacamnya aku segera membawa Raina pulang, setelah kami menyelesaikan urusan kami tentunya. Bukannya aku tak mau mengadakan pesta, ya tahu sendiri aku begitu sibuk dengan urusan kantorku. Jika aku mengadakan pesta sudah pasti akan tersebar di seluruh media mengenai pernikahanku saat ini. Aku yakin itu akan berdampak pada perusahaan. Jadi mungkin saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk itu. Aku menyerahkan semua urusan kepada Farah setelah sampai di rumah. Aku memang sengaja tak mengenalkan Farah sebagai istriku, ya tujuannya tak lain agar dia cepat akrab dan tidak canggung tentunya, terlibih lagi dia tidak boleh terlalu setres atau tertekan untuk saat ini. Kata dokter, psikologisnya harus tetap stabil demi mengontrol pendengarannya. Dokter Mahen berpesan sampai Raina benar-benar pulih, dia tidak boleh terlalu banyak beban. Aku sudah membuat kesepakatan dengan Farah mengenai tugas kami untuk menjaga Raina. Karena aku bekerja di siang hari maka aku yang akan membantu mengurus kebutuhannya jika malam hari. Eh ... Jangan berpikir aku akan berbuat yang lebih, karna aku tak akan melakukan hak itu, terlebih hanya karna háfsu sesaat. Aku tidak sebrengsek itu sampai harus melakukan hubungan layaknya suami istri sesungguhnya. Karna ini murni pernikahan karna sebuah tanggubg jawab. Bagiku kesembuhan mental Raina sampai dia mendapatkan donor mata, itu jauh lebih penting. Jika dia sudah pulih, dia akan pergi dariku-pun, aku sama sekali tak masalah. Aku pikir dia berhak untuk bahagia nantinya. . . Semalam aku begitu kaget dengan apa yang dia katakan kepadaku, sesaat setelah aku mengimaminya solat. Aku duduk di sampingnya, takku sangka jika Raina telah mengetahui statusnya bahwa dia adalah istri keduaku. Aku yakin jika semua itu adalah ulah Farah. Aku kira dia akan tutup mulut, tapi kenyataannya dia malah membongkar semuanya sebelum waktunya. Ah ... Memang kesalahan di awal berada di tanganku. Aku memang tak memberitahu Farah sebelumnya agar tak mengatakan bahwa Raina adalah madunya. Tapi siapa sangka bahwa reaksi yang ditimbulkan oleh Raina sangat berbeda. Aku melihat jika saat ini di wajahnya dipenuhi dengan kekesalah dan kekecewaan. Mungkinkah, jika dia sangat berharap dialah istri petamaku. Sungguh, mungkin maksud Farah bukanlah hendak menyudutkannya. Akan tetapi Raina salah mengartikannya. Aku meninggalkan Raina di tengah perdebatanku semalam. “Pak? Jadi bagaimana?” tanya Alvin. Salah seorang kariawanku. “Ah ... Iya ... Lakukanlah sesuai dengan perencanaanya saja. Asalkan itu baik untuk perusahaan.” Tanpa sadar aku melamun di sepanjang meeting. Aku segera beranjak meninggalkan kursiku lalu keluar dari ruang meeting. Aku bahkan tak mempedulikan bisik-bisik para pegawaiku karna kinerjaku yang tak profesional akhir-akhir ini. Semua itu terjadi karna pikiranku bercabang memikirkan Raina. “Pak Leon!” aku menghentikan langkah ketika suara Devi yang terdengar melengking di belakangku. Berbalik. “ada apa?” “Ada proposal yang harus ditandatangani, Bapak.” “Bawa ke ruanganku!” Aku berjalan meninggalkan Devi yang masih mengekor di belakang ku, mengikuti hingga ke ruanganku. “Mana yang perlu ku tanda tangani?” ujarku sembari duduk di kursi kerja. “Kamu kenapa sih Le, masih kepikiran soal istri barumu?” tanya Devi sambil meletakkan sebuah file di atas mejaku. “Ini masih jam kerja, harap profesional Ibu Devi,” sindirku. Wanita tiga puluh tahun itu hanya memanyunkan bibirnya. Ya, aku dan devi adalah sahabat dari kami masih SMP. Aku sengaja memberikan posisi sebagai asisten pribadiku. Karna memang aku tidak mudah percaya kepada orang baru, dan untungnya Devi memanglah orang yang sangat cekatan dan bisa diandalkan. Jika kalian melihatnya pasti tak ada yang menyangka dirinya adalah seorang wanita. Ya karna penampilannya sangat persis seperti lelaki. Rambutnya yang pendek serta stelan jas dan celana kain yang selalu dikenakannya menambahkan kesan maskulin untuk ukuran wanita. Jangan salah meskipun Devi berpenampilan tomboy tapi dia juga memiliki kekasih. Lucu bukan? Pasti jika sedang berkencan mereka dikira pasangan sejenis. Aku tersenyum geli ketika membayangkannya. “Awas aja kalo besok-besok kalo ada masalah gak aku bantuin lagi,” ancamnya. Aku hanya terkekeh melihatnya ngambek seperti itu. Tak lucu menurutku seorang wanita perkasa ngembek. “Sudah, jangan ngambek. Bulan depan aku naikkan gajimu.” “Aku tak butuh itu Le, Ayolah bro, cerita dong. Gimana malam pertama kalian. Pasti seru ya ‘kan secara gitu?” aku segera beranjak lalu menoyor kepalanya. “Dasar omes, dah aku pulang dulu. Selesaikan semua kerjaan yang belum selesai!” “Iya-iya aku ngerti kok, yang penganten baru.” Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya. Kulambaikan tanganku ke atas tanpa berbalik melihatnnya. “Dasar Leonard k*****t, awas aja kamu nanti.” Devi berteriak tak terima ketika aku tak menanggapi percakapannya. . Aku berjalan menuju lift khusus dan segera meluncur ke parkiran. Ku nyalakan mesin mobilku melaju membelah keramaian kota di sore hari. Sepanjang perjalanan pulangku dari kantor aku melamunkan kejadian yang terjadi dari semalam masih membekas di ingatanku saat ini. Tak terasa aku sudah berada di depan rumah. Saat aku memasuki rumah, Farah begitu panik, dia mondaar-mandir seperti sedang mengkhawatirkan sesuatu. “Kenapa kamu mondar-mandir seperti setrikaan?" tanyaku. “Eh, Sa-sayang. Sudah pulang?” dia segera mengambil tasku lalu mencium punggung tanganku. “Ada apa? Mana Raina?” entah kenapa aku penasaran dengan keberadaanya, sesaat setelah mengingat kejadian semalam. “Dia pergi dengan Pak Arif dari tadi siang. Tapi sampai sekarang belum juga kembali,” jawabnya. Farah nampak sangat cemas. Seperti seorang ibu yang mengkhawatirkan anak gadisnya saja. “Dia memang meminta izin kepadaku semalam. Katanya ingin pergi jalan-jalan. Kamu tak usah khawatir, paling sebentar lagi dia juga pulang.” Aku berusaha menenangkan Farah agar tak terlalu mengkhawatirkan Raina. Toh dia bukan balita, meskipun dia buta kan ada pak Arif yang akan mengawasinya. “Tapi, dia pergi dari pagi, setelah kamu pergi bekerja,” kayanya dengan penuh kecemasan. Tak berselang lama Pak Arif datang. “Nah, itu dia datang,” kataku sambil mengarahkan daguku ke mobil yang dikendarai Pak Arif. Farah segera berlari menuju parkiran depan. Akupun ikut menuntut dari belakang. “Loh Pak, Rainanya mana?” ujar Farah. Ketika melihat Pak Arif hanya keluar dari mobil sendirian. Hal itu juga membuat rasa penasaranku mulai merasuki hatiku. “Ma ... maaf Tu ... tuan, Nyonya. Itu. Nyonya Raina hilang.” “Apa?” jerit Farah. Tiba-tiba saja dia limbung dan mulai kehilangan kesadarannya. Bersambung ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN