“Kayak ada yang aneh deh, kok nyembul gordengnya sih.” Ucap Lexia seraya berjalan ke arah jendela.
Tanpa sengaja matanya melirik jari telunjuk Avitha yang perlahan bergerak seperti menyuruhnya untuk pergi.
“Lo udah bangun?” Tanya Lexia memilih menghampiri Avitha dan menghiraukan sesuatu di belakangnya.
“A - was.” Ucap Avitha terbata – bata seraya menggelengkan kepalanya membuat Lexia menatapnya bingung.
“Lo butuh apa?”
“A – was di – sana.” Ucap Avitha tak jelas.
“Apaan sih gak ngerti gue.” Sahut Lexia.
Lexia melihat bayangan seseorang di belakangnya dari kaca jendela depan, ‘s**t’ umpatnya dalam hati.
Saat dia hendak membalikkan badannya tiba – tiba ada yang membiusnya dari samping Lexia mencoba berontak namun seseorang di belakangnya begitu kuat, lalu perlahan pandangannya mengabur.
Flashback Off
“Sampai disitu gue gak tau apa – apa lagi bang, gue sadar juga udah di ruangan sebelah Avitha.” Jelas Lexia dengan sedih.
Galdin tersenyum menatap adiknya sayang, “gue percaya sama lo dek.”
Lexia menatap Galdin sedih, “Maaf.” Lirihnya seraya menarik Galdin untuk memeluknya.
Galdin merasakan dadanya basah, “sssst, gak papa udah.”
“Kata Dokter, ada yang masukin cairan ke dalam selang infus Avitha.” Ujar Samuel.
“G – gue gak tau apa yang mereka masukin ke dalam selang Avitha, gue gak bisa inget apa – apa. Maafin gue bang, gue gak bisa jagain Avitha buat lo.” Ucap Lexia sembari sesenggukan.
“Gak papa dek, Avitha juga udah stabil lagi kok.”
“Kalo gitu tante pamit dulu, kasian om kamu nunggu di parkiran.” Pamit Poppy setelah memebereskan alat – alatnya.
Lexia teringat sesuatu, dia melepaskan pelukannya lalu merai tangan Galdin menaikkan sedikit lengan jaket yang Galdin pakai.
Mata Lexia menyipit, “bisa suruh bang Sam, Zacky sama Rio kesini?” pinta Lexia berbisik.
“Kalian kesini dulu.” Pinta Galdin membuat Zacky, Sam dan Rio menghampiri.
“Mereka punya tato kayak gini kan bang?” Tanya Lexia pada Galdin.
Samuel mengangguk mengerti sekarang dia mendekat lalu menunjukkan tato miliknya, “Semua anggota termasuk ketua wajib punya tato lambang ini, cuma buat ketua ada lambang mahkotanya.” Jelas Sam.
“Lo liat simbol ini?” Tanya Zacky langsung memperlihatkan simbol di tangannya begitupun Rio.
Lexia menajamkan matanya, “berarti tiap sekolah punya tambahan lambang?” Tanya Lexia memperhatikan perbedaan tato milik Zacky, Sam dan Galdin.
Sudah pasti Rio dan Galdin memiliki tato yang sama, hanya saja Galdin memiliki tambahan mahkota di bagian atasnya.
Samuel mengangguk, “lo liat yang mana?”
“Gue liat yang ini tapi bukan gini simbol tambahannya, “ tunjuk Lexia pada tato lengan Zacky, “terus gue juga liat yang ini pas gue nengok ke arah si lelaki yang ngumpet di jendela.” Lanjutnya seraya menunjuk tato milik Samuel.
“Kalo tatonya mirip sama milik bang Sam berarti masih anak buah si Satria, yang satu lagi lo bisa jelasin tambahannya apa?” Tanya Rio pada Lexia.
Lexia mengingat – ngingat tato itu, “bantuin gue bang, kayaknya gue sering ngeliat orang itu deh tapi dimana?” Rengek Lexia menatap Galdin dengan pandangan melas.
“Eh coba liat tangan lo bang.” Pinta Lexia membuat Galdin menyodorkan tangannya, “Zacky sini deketan.” Titahnya seraya menyejajarkan tangan Zacky dan Galdin.
“Punya abang kan bulan gambarnya, punya Zacky bintang kalo digabungin bakalan jadi bulan sabit tengahnya biintang bukan sih?” Tanya Lexia.
Mereka semua yang disana memikirkan ucapan Lexia, “s**t!” Ucap Zacky, Sam, Galdin dan Rio.
Lexia memandang ke empat orang di hadapannya bingung, “gue salah ya?” Cicit Lexia sermari menggaruk kepalanya pelan.
“Gak.” Geleng Galdin.
“Huftt, syukur deh.” Balas Lexia bernafas lega.
“Lo yakin liat tato bulan bintang Lex?” Tanya Rio.
Lexia menatap Rio kesal, “Lex – Lex, gue bukan Alex.” Kesalnya seraya memalingkan muka.
Rio yang merasa salah pun hanya cengengesan, “hehe, maaf deh. Tapi lo beneran liat itu?” Tanya Rio lagi.
Lexia mengangguk, “Kalo bener berarti mata gue sehat, ya kalo salah maaf – maaf nih kayaknya gue harus cek ke Dokter.” Cibirnya seraya mencebikan bibirnya.
“Serius gue dek.” Ujar Sam yang langsung membuat Lexia berdecak kesal.
Lexia kemudian menatap Galdin, membuat Galdin balik menatapnya.
“Emang gue pernah bercanda sama lo bang?” Tanya Lexia pada Galdin.
Galdin menggeleng sebagai jawaban, “maksud si Sam gini dek, kalo lo beneran liat tato itu di pergelangan tangannya berarti emang si Delva pelakunya.”
Lexia mengerutkan keningnya, “kok lo tahu kalo itu si Delva? Bukannya setiap lambang punya banyak anggota juga ya?”
“Ck udahlah Galdin skip aja, gak akan nyambung lo jelasin gimana juga.” Ketus Sam, “Kalian pulang dulu aja besok kita lanjutin, gue cabut.” Putus Sam seraya pergi menuju pintu meninggalkan yang lain.
“Ish, kesel gue.” Kesal Lexia seraya mencakar kasur yang sedang dia duduki, “kesel – kesel ih.”
“Lo kenapa sih?” Heran Zacky yang menatap Lexia yang tengah ribut mengacak selimut dan kasur.
“Sini lo.” Titah Lexia pada Zacky, “gak, gak mau gue.” Geleng Zacky yang memang sudah curiga pada Lexia.
“Ish lo mah.” Renggut Lexia menatap Zacky, kemudian matanya menangkap Rio yang tengah gelagapan karena ketahuan menatap dirinya.
“Sini lo Yo!” Galak Lexia pada Rio.
Dengan semangatnya Rio menghampiri Lexia, tanpa memikirkan bagaimana nasib dia ke depannya.
“Ish, kesel gue sama si Sam. “ Kesal Lexia seraya menarik ujung baju Rio agar mendekat ke arahnya, “gue tuh ya pengen banget nonjok tuh muka sok kegantengan kayak dia, berani banget dia cuekin gue. Ish. Ish. Ish.” Ucap Lexia seraya memukul badan Rio sangat kencang, membuat Rio mengaduh kesakitan.
Galdin dan Zacky pun meringis melihat Lexia memperlakukan temannya, “bawa si Lexia, kasihan Rio.” Senggol Zacky pada Galdin.
Galdin mendekat lalu menepuk pundak Rio, “sorry bro, dia belum jinak.” Ucapnya seraya menggenggam kedua tangan Lexia lalu bergegas menuntun Lexia untuk turun dari kasur.
“What? Maksudnya apaan nih bang?” Tanya Lexia seraya menatap Galdin dan Rio bergantian.
Galdin memandang Rio geli, “Rio suka sama lo, dek.” Bisik Galdin di depan muka Lexia.
‘BLUSH’
Wajah Lexia memerah, hal itu membuat Zacky menertawakannya, “lo bisikin apa Galdin? Hahaha” Tawa Zacky.
Galdin menaik – turunkan alisnya, “biasa lah cewek. Yoi gak Yo?” Tanya Galdin pada Rio.
Rio tak menjawab, entah mengapa saat Lexia memandangnya kegugupan melanda tubuhnya.
“Lah si Rio gugup.” Ejek Zacky.
“G – gak ada juga.”
“Udah lah kita cabut, Yo lo bisa anterin Lexia pulang kan?” Tanya Galdin yang sudah mendudukkan Lexia di meja.
“Gak usah bang, emang lo mau kemana dulu?” Tanya Lexia.
“Gue mau jaga Avitha dek, gak papa kan?” Sedih Galdin.
Lexia memandang Galdin kasihan, “maafin gue ya bang, harusnya dia udah sadar .” Ucapnya merasa bersalah.
Galdin tersenyum seraya menggeleng, “Gimana Yo?”
“Gue?” Tunjuk Rio pada dirinya, “kalo gue si ok aja, sekalian pendekatan kan.”
Zacky menoyor kepala Rio, “modus lo.”
Galdin menatap Lexia meminta jawaban, “yodah deh.” Putus Lexia.
“Lo gendong Lexia Yo, disini gak ada kursi roda kalo jalan juga kasian. Gue cabut duluan sama Zacky, yo Zack.” Ajak Galdin lalu pergi menuju ruangan dimana Avitha berada.
“Galdin, lo yakin Delva yang mau nyabotase Avitha?” Tanya Zacky di samping Galdin.
“Bingung gue juga, lo tahu gak si Delva dimana sekarang?” Tanya Galdin.
“Mending lo telpon dah si bocah.”
Galdin mengeluarkan ponselnya, “lo duluan aja, gue telpon Delva dulu.” Titahnya seraya menghentikan langkahnya.
Baru saja Galdin hendak menelpon Delva, deringan pada ponselnya membuat Galdin kebingungan.
“Ada apa? Baru aja gue mau telpon lo.”
“ . . . “
“Loh kok bisa?”
“ . . . “
“Lo dimana sekarang?”
“ . . . “
“Gue kesana sekarang.” ‘TUTT’ Galdin memutuskan sambungannya.
Zacky ternyata masih di samping Galdin, awalnya dia hendak pergi tapi saat deringan di ponsel milik Galdin membuatnya diam dan menunggu.
“Siapa?”
“Delva, dia diserang anak buah Satria.” Jelas Galdin.
“Loh, kok bisa?”
“Dia abis jemput nyokapnya, katanya mereka cegat si Delva sama nyokapnya.”
“Terus nyokapnya gimana?”
“Gak tau, kasih tahu bang Sam. Gue mau susul Delva sekarang.” Ujar Galdin langsung pergi, membuat Zacky bergegas pergi untuk menyusul Samuel.
-
Di luar ruang rawat Avitha.
“Ma, gimana keadaan Avitha sekarang?”
“Avitha udah stabil lagi Sam.” Sahut Deni papa Avitha dan Sam, “papa mau pindahin dia ke rumah aja Sam.” Lanjut Deni.
“Loh kenapa pa?”
“Mama yang minta Sam, mama gak mau kejadian tadi terulang lagi. Hampir aja mama kehilangan Avitha,” Lirih Dina menatap suster yang baru saja masuk ke dalam ruangan Avitha berada dari balik kaca.
Sam mengangguk paham akan situasi saat ini, “kapan kita bawa Avitha pulang pa?”
Deni melihat arloji di lengan kirinya, “nunggu Dino sama Lina datang dulu.”
“Mereka orangnya baik Sam, disaat mama sama papa sibuk kerja sana – sini ninggalin kalian ternyata mereka selalu ada buat gantiin mama sama papa.” Ucap Dina seraya melamun membayangkan kesibukannya dulu, “bahkan mereka punya urusan lain tapi masih bisa sempet mantau kalian.”
Baru saja Sam ingin membalas perkataan ibunya, tiba – tiba dari dalam ruangan dimana Avitha berada terdengar suara alarm.
“SAM, AVITHA KENAPA?” Panik mamanya saat melihat Avitha kejang – kejang di hadapan suster.
Semuanya panik termasuk suster yang baru saja masuk untuk memeriksa Avitha, suster itu berlari kencang keluar dari ruangan itu.
Samuel yang melihat kejanggalan tersebut segeraa berlari untuk mengejar suster itu, sampai Sam melihat Zacky yang akan berpapasan dengan suster itupun lalu berteriak.
“TANGKAP SUSTER ITU ZACK!” Teriak Sam dari ujung lorong.
Zacky kaget Sam berteriak padanya, di hadapannya ada dua suster yang tengah berlari ke arahnya, dengan gerakan cepat Zacky menarik kedua lengan suster di hadapannya.
“Gue dapet dua bang, mau lu apain?” Tanya Zacky saat melihat Sam berjalan ke arahnya.
“Aduh dek, saya buru – buru ada pasien yang lagi kritis.” Mohon suster di sebelah kiri Zacky.
“Lepasin dia, dia suster asli rumah sakit ini.” Titah Sam menunjuk suster yang tengah panik di sebelah kanan Zacky.
Zacky mengikuti perintah Sam, suster itu berlalu setelah mengucapkan terima kasih.
“Lepasin gue.” Pinta suster boongan pada Sam.
“Kenapa sih bang sama dia?”
“Alarm di kamar Avitha bunyi pas ada dia, bawa dia ke ruangan tante Poppy suruh Galdin buat investigasi dia.” Titah Sam.
“Tapi bang, si Galdin lagi bantuin Delva.”
“Kenapa dia?”
“Dia di kepung anak buah Satria.” Jelas Zacky yang langsung membuat suster gadungan itu tertawa.
“Hahaha kalian bodoh banget sih, mau aja dibohongin sama manusia sejenis Delva.” Ejek suster itu.
“Maksud lo?” Tanya Sam.
“Galdinior Dino anak dari Dino dan Lina, dia punya adek namanya Lexia Lionardino, cinta pertamanya Avitha Pouril adik dari Samuel Poursly, anak dari keluarga Poursly yang terkenal dengan ke---“ “Cukup!”Sentak Sam menghentikan pembicaraan suster itu.
Suster itu tersenyum pada Samuel, “gue Zahra Vional kelas sembilan D, satu sekolah sama Avitha tambah lo juga Zack. Lo bisa tanya apa hubungan gue sama dia, gue dipaksa Delva buat masukin cairan ke dalam selang infusan Avitha yang dia kasih ke gue.” Jelas Zahra dengan lantangnya di hadapan Zacky dan Sam.
“Gue belum pernah liat lo selama tiga tahun.”
“Gue sering papasan sama lo kok.” Sahut Zahra.
Zacky mengernyit aneh, “kenapa lo jelasin semua?”
“Mau gue jelasin atau enggak juga sama aja nantinya gue bakal mati, lebih baik gue mati tanpa beban dosa yang belum gue ungkapin kan?” Tanya Zahra pada Zacky.
“Gue gak percaya, lo bawa dia gue mau susul Galdin.” Ucap Sam seraya pergi.
Zahra menatap kepergian Sam dengan pandangan yang sulit diartikan, “Zack, gue minta tolong sama lo.”
Zacky menatap Zahra dengan alis terangkat sebelah, “suruh semua anak buah kalian buat susul kak Sam sama Galdin, mereka berbahaya.” Pinta Zahra yang membuat Zacky mengerutkan keningnya.
“Mereka siapa?”
“Mereka.” Tegas Zahra pada Zacky untuk memperjelas kalimatnya.
“Pagi!” Seru Sam saat dia sampai di ruang makan.
“Hm.” Sahut Deni.
Dina tak membalas ucpan Sam, dia hanya mengangguk lalu menarik kursi di sebelahnya. “Sini duduk Sam.” Lirih Dina menyuruh Sam duduk di sampingnya.
“Tumben pagi – pagi udah di sini Galdin.” Ucap Sam seraya duduk bersebrangan dengan Galdin.
Galdin mengangguk, “gak bisa lama – lama ninggalin Avitha gue bang, bawaannya kangen terus.” Datar Galdin di depan Sam.
Pandangan Sam teralihkan pada gelas kosong di sebelah Galdin, “siapa yang udah namu pagi – pagi ma?”
“Tadi tante Poppy kesini sebentar.” Balas Dina singkat.
Hari ini Dina tampak tak semangat di mata Samuel, hal itu membuat Sam memeluk mamanya dari samping.
“Mama kok lesu banget sih?”
Dina menggeleng, “mama baik – baik aja kok.” Senyum Dina.
Sam terenyum saat melihat senyum mamanya, “mama gak pernah bisa bohongin Sam.” Ucap Sam semakin mengeratkan pelukannya.
“adik kamu Sam.” Lirih Dina mulai menitikkan air matanya.
“Avitha kenapa ma?” Tanya Sam pada Dina, seraya mengusap punggung mamanya.
“Avitha tadi bangun Bang.” Ucap Galdin.
Sam terkejut, “beneran lo Galdin? Kapan dia bangun? Kenapa gak bangunin aku sih ma.” Rengek Sam pada Dina.
Dina tersenyum seraya mengusap tangan Sam, “adek kamu kecapean jadi dia tidur lagi.”
“Maksud mama apa Sam gak ngerti.”
“Adek kamu tidur lagi, tadi dia bangun sebentar.” Lirih Dina seraya beranjak dari kursi lalu pergi meninggalkan meja makan.
“Ma, mama.” Panggil Sam hendak mengejar Dina, namun ditahan oleh Deni, “biar papa yang kejar.”
Galdin memandang Sam yang terlihat kebingungan, “hari ini gue pergi sekolah, lo bisa boloskan hari ini?” Tanya Galdin pada Sam.
Sam mengangguk, “ikut gue ke kamar Avitha.” Titah Sam berlalu membuat Galdin membereskan makannya.
Sesampainya di kamar milik Avitha, Galdin melihat Sam tengah memandang Avitha.
“Bisa lo ceritain detailnya gimana?” Tanya Sam mebuat Galdin menghela nafas.
Flashback
Sudah satu minggu lamanya semenjak dipindahkannya Avitha ke rumah, selama itu juga Avitha belum memberi tanda – tanda kesadarannya.
Setiap hari Galdin tak pernah melewatkan sedetikpun untuk menjaga Avitha, sekolahnya menjadi acak – acakan. Padahal tahun ini adalah tahun kelulusannya sama seperti Lexia, Zacky, dan Avitha. Kedua orang tuanya pun tak bisa berbuat apa – apa, mau melarang pun pasti Galdin tetap kekeuh dengan keputusannya.
Seperti malam ini, Galdin mendudukkan dirinya di kursi dekat kasur Avitha berada. Tangannya terulur menggenggam kedua tangan Avitha, kepalanya dia tidurkan pada kasur yang Avitha tempati.
Pola makan dan tidurnya pun sangat berantakan, dia hanya akan makan jika diantar ke kamarnya dan itupun harus dengan paksaan semua keluarganya terlebih dahulu. Penampilan Galdin tak serapih kemarin – kemarin, jika biasanya Galdin sangat memperhatikan penampilannya berbeda dengan kali ini yang sangat acuh tentang itu.
Galdin menjaga Avitha dari pagi sampai sore, karena menggantikan Sam yang sekolah itupun Galdin akan kembali saat malam tiba dan pulang pukul tiga subuh.
Galdin mencoba untuk memejamkan matanya, “Seberat itukah hidup kamu?” Tanya Galdin yang entah pada siapa.
Galdin mengangkat kepalanya, matanya tak lepas dari kedua tangan Avitha sesekali dia meraih tangan mungil itu lalu mengecupnya.
“Bangun dong Pou, baru aja kita ketemu lagi.” Lirih Galdin kembali menidurkan kepalanya pada tepian kasur.
Tanpa Galdin sadari, ternyata matanya mampu terlelap di samping Avitha, jika biasanya Galdin selalu memaksakan matanya untuk tertidur kali ini tanpa perlu dipaksapun akhirnya dia tertidur , mungkin karena kelelahan telah menjaga Avitha setiap waktu.
“Galdin!” Panggil seseorang di belakang Galdin seraya mengelus pelan rambut Galdin yang tengah tertidur, “Bangun sayang.” Ucapnya lagi.
Galdin terbangun saat mendengarnya, dia menoleh ke belakang seketika matanya membulat kaget. “Avitha.” Ucap Galdin untuk memastikan perempuan di depannya.
Galdin melihat Avitha yang mengenakan baju serba putih tengah berdiri dihadapannya, “kok kamu disini? Kamu harus banyak istira – hat.” Ucap Galdin terpotong saat matanya melirik ke arah kasur dimana tubuh Avitha berada.
Galdin terperangah menatap Avitha di belakangnya lalu kembali menatap Avitha yang tengah tertidur di depannya.
Avitha yang ada dibelakang Galdin tengah tersenyum sembari menatap kebingungan Galdin, “dia dan aku masih sama, dia adalah bagian dari aku yang tumbuh dengan banyak kepedihan dan aku adalah bagian dari dia yang melupakan kepedihan itu dan tumbuh dengan membahagiakan diriku sendiri. ” Lirihnya seraya menatap tubuh yang terbaring lemah.
“Tubuh itu akan kembali bersatu denganku, hanya saja aku masih menginginkan keadaan seperti ini. Maaf jika selama ini aku membuatmu khawatir, hiduplah dengan baik dan tunggu aku kembali, hanya ini yang bisa aku lakukan sekarang.” Ujar Avitha seraya memandang wajah Galdin.
Galdin balik menatap Avitha, “apa kamu akan kembali dengan cepat?” Tanya Galdin.
Avitha mengusap air mata Galdin yang perlahan turun, “aku masih membutuhkan waktu seperti ini, ketenangan ini membuatku sangat nyaman.”
Galdin menghentikan usapan Avitha pada wajahnya, “kamu harus berjanji, kalau kamu akan kembali jika keadaanmu sudah membaik. Aku gak mau kehilangan kamu lagi, aku gak sanggup jika harus kehilangan kamu.” Lirih Galdin.
“Kembalilah kamu pada kegiatanmu tanpa aku, maka aku akan kembali jika kamu bisa hidup seperti itu.”
“Apa maksudnya?”
“Aku menyayangimu, tunggulah.” Pinta Avitha pada Galdin.
“Sampaikan ini kepada Dia, tunggu aku kembali tanpa membawa kebahagiaan sedikitpun untuknya.” Ucap Avitha seraya tersenyum pada Galdin.
“Avitha?” Tanya Galdin saat di depannya bukanlah sosok Avitha yang dia kenal, dia melihat sisi lain dari Avitha yang baru dia ketahui.
Perlahan Avitha mulai menghilang dari pandangan Galdin, cahaya yang mengelilingi Avitha pun ikut memudar.
“Avitha! Vi, AVITHA!”
Galdin tersentak dari tidurnya, “Huh – huh – huh.” Galdin mengatur nafasnya, “Cuma mimpi.” Gumam Galdin seraya menatap sekelilingnya dengan tangan yang masih menggenggam erat tangan Avitha.
“Mimpi apa aku?” Tanya Galdin pada dirinya sendiri.
“Galdin.” Panggil seseorang, hal itu membuat Galdin kembali menatap segala penjuru kamar Avitha dengan pandangan was - was.
“Galdin.” Suara itu kembali terdengar, kali ini Galdin melirik Avitha yang ada di depannya.
Terlihat jari – jari Avitha perlahan bergerak, diikuti dengan matanya yang bergerak – gerak hendak terbuka.
“Avitha.” Seru Galdin memastikan jika itu adalah Avitha.
Bertepatan dengan itu, Dina masuk ke kamar sembari membawa baskom yang diiisi air hangat untuk membasuh badan Avitha.
“Galdin.” Panggil Dina.
Galdin menoleh, “tante, Avitha sadar.” Senang Galdin yang langsung membuat Dina menghampirinya dengan langkah cepat.
“Avitha!” Seru Dina saat melihat kedua mata Avitha perlahan terbuka.
Avitha tak menatap Dina, matanya menatap Galdin yang berada di sampingnya. “A – Galdin”
“Iya sayang kamu perlu apa?”
“A – ku sayang kamu.” Lirih Avitha setelah tangannya berhasil meraih wajah Galdin.
Galdin menganggukkan kepalanya, “iya Galdin tahu, kalo begitu kamu harus segera kembali ok.” Pinta Galdin sembari mengelus jemari Avitha yang berada di wajahnya.
Ucapan Galdin barusan membuat Dina kebingungan, saat ingin bertanya tiba – tiba Avitha memanggilnya.
“Mama.” Lirih Avitha seraya tersenyum lemah, membuat Dina mendekat “iya sayang? Kamu butuh apa?”
Avitha menggelengkan kepalanya, “Tunggu, Vi – anka k – kemba – li.” Ucap Avitha yang langsung memejamkan kepalanya kembali.
“Avitha!” Teriak Galdin dan Dina.
Dina memeluk tubuh Avitha seraya menggoyang – goyangkan tubuh lemah Avitha, “Avitha bangun sayang, kamu gak boleh tinggalin mama sayang. Avitha bangun, hiks.” Tangis Dina pecah hal itu membuat Galdin menarik Dina agar melepaskan pelukannya pada Avitha.
“Tante udah lepasin Avitha, kasian nanti dia kesakitan. Percaya sama Galdin, Avitha gak kenapa – napa dia Cuma butuh waktu yang lebih banyak setelah itu dia akan kembali bersama kita.” Ujar Galdin membuat Dina melepaskan pelukannya sembari menangis.
Galdin membalikkan tubuh Dina, “Tante lihat Galdin, Avitha akan kembali Galdin yakin itu, berikan dia waktu untuk sendiri dia butuh itu. Sekarang tante panggil Tante Poppy untuk memeriksa keadaan Avitha, Galdin izin keluar sebentar.” Pamit Galdin berlalu meninggalkan Avitha dan Dina.
Flashback OFF
“Jadi gitu bang, padahal gue udah kangen banget sama adek lu. Eh dia malah tidur lagi.” Protes Galdin seraya memainkan game di kamar Sam.
Ada satu hal yang Galdin tak ceritakan pada Sam, tentang pesan dari Avitha yang harus dia sampaikan entah kepada siapa karena mungkin sekarang bukanlah waktu yang tepat. Namun sepertinya Deni lah yang harus mengetahuinya lebih awal.
“Udah ya bang, gue mau berangkat pagi soalnya.” Pamit Galdin.
Galdin berjalan menuju pintu keluar memutuskan untuk pulang terlebih dahulu, matanya melihat arloji di tangannya, “kayaknya masih sempet deh buat ke sekolah.” Gumam Galdin setelah berada di luar.
Pandangan Galdin tertuju pada Deni yang tengah duduk bangku taman, dia melangkahkan kakinya menghampiri Deni terlebih dahulu.
“Lagi apa Om?” Tanya Galdin membuat lamunan Deni terhenti.
“Galdin, sini duduk deket om.” Titah Deni seraya menepuk bangku di sebelahnya.
Galdin mendekat lalu duduk di samping Deni, “tumben banget Om di sini pagi – pagi.”
“Sepertinya ada yang mau kamu sampaikan, apa itu?” Tanya Deni langsung pada Galdin.
Galdin tersenyum karena niatnya sudah diketahui oleh Deni, “ekhm, Galdin langsung aja ya om. Soalnya Galdin mau sekolah sekarang.”
Deni menoleh pada Galdin, matanya menatap Galdin tak percaya, “kepalamu kebentur apa Galdin?”
“Hehe, enggak kebentur kok om. Ada pesan dari Avitha yang harus Galdin sampaikan pada Om, sekaligus ada yang mau Galdin tanyain.”
“Pesan?” Tanya Deni pada Galdin.
Galdin mengangguk, “tadi pagi Galdin mimpi bertemu Avitha.”
“Apa yang dia katakan?”
“Sampaikan ini kepada mereka, tunggu aku kembali tanpa membawa kebahagiaan sedikitpun untuk kalian.” Ucap Galdin tanpa melebih – lebihkan ucapannya.
Deni tertohok mendengar pesan yang Galdin sampaikan untukknya, dadanya begitu sakit mendengar pernyataan itu.
“Siapa yang Avitha maksud ‘mereka’ itu om?” Tanya Galdin.
Deni tersadar dari lamunannya, “gimana Galdin?”
“Boleh Galdin tahu siapa itu ‘ mereka ‘ ?”
Deni menggelengkan kepalanya, “sebaiknya kamu tanyakan kepada Avitha jika dia sudah sadar, karena menurut om ‘mereka’ terlalu bahaya untuk om ceritakan.” Ujar Deni seraya beranjak pergi meninggalkan Galdin yang tengah berpikir.
“Adek lo ngapain lari – lari sih Galdin?” Tanya Delva seraya menggelengkan kepalanya heran.
“Mana gue teu.” Gerutu Galdin seraya mengatur nafasnya lelah.
Galdin, Rio dan Delva tengah berlari mengejar Lexia yang jalan buru – buru menuju kantin dengan alasan sedang lapar.
“Lo pake kekuatan apasih Lex, bisa cepet banget larinya.” Protes Rio di belakang Lexia.
“Gue tuh udah lapar banget, capek tau tadi gue disuruh pidato di depan kelas.” Balas Lexia seraya berjalan cepat membuat Rio berhenti menyamarkan jalannya dengan Lexia.
“Lexia! Bisa pelanin dikit jalan lo, gimana kalo lo ja – toh.” Ujar Galdin terbata di akhir karena perkataannya benar.
‘BRUKK’
Lexia terjatuh karena tali sepatu yang tak sengaja dia injak, hal itu membuat Lexia menubruk orang. Sudah Galdin duga kalo ini akan terjadi, Galdin meringis melihat Lexia yang posisinya sangat tidak enak dilihat orang.
Lexia berada di atas tubuh cowok cupu berkacamata yang sering dipanggil Usup, kedua tangan Usup melingkar di pinggang Lexia dan matanya terus menatap Lexia yang tengah terpejam.
Lexia membuka matanya perlahan lalu kedua bola matanya membulat sempurna, “AAAAAAAA.” Teriak Lexia seraya berdiri dan berlari memeluk Galdin.
“Malu.” Cicit Lexia yang hanya bisa didengar Galdin, Rio dan Delva saja.
Galdin menggeram marah melihat cowok cupu di hadapannya, “lo.” Tunjuk Galdin pada jidat cowok itu.
“Ma – maaf.” Ucap Usup dengan gugup.
“Lo murid baru tapi udah sering banget bikin masalah sama gue, kayaknya lo emang hobi banget nabrak Lexia.”
“Gu - gue gak sengaja Galdin.” Ucap Usup terbata.
“Gue kan udah pernah bilang, kalo jalan tuh yang bener. Ck, lo sengaja ya nabrak Lexia? Kayaknya lo hobi banget cari masalah sama gue.” Ujar Galdin seraya menendang meja dan kursi yang ada di kantin.
Tak ada yang berani menghentikan tindakan Galdin, bahkan Delva dan Rio hanya bisa duduk terdiam tanpa berniat menghentikan.
“Kalian gak mau hentiin si Galdin?” Tanya Lexia sinis.
Delva dan Rio menggeleng bersamaan, “kan ada Lexia.” Cengir mereka berdua.
Lexia menatap Galdin yang tengah marah, “Galdin udah deh, gue juga gak papa.” Titah Lexia saat melihat Galdin meraih kerah cowok cupu di depannya lalu memukul tak mengindahkan ucapan Lexia, hal itu membuat Lexia memandangnya kesal.
“Galdin!” Sentak Lexia pada Galdin, membuat Galdin menoleh dan menghentikan aksinya.
“Lo berani bentak gue?” Sinis Galdin.
“Kenapa enggak.” Ucap Lexia tak kalah sinis.
Perlawanan Lexia mampu membuat seluruh murid terkejut, “Lexia udah sini lo jangan ikut campur.” Pinta seorang siswi di belakangnya seraya menarik tangan Lexia.
Lexia menghentakkan cekalan di tangannya, “lepas.” Gumam Lexia.
“Gak, lo bisa dalam bahaya kalo ikut campur urusan Galdin.”
Lexia berbalik lalu memandang orang di belakangnya, “lo yang dalam bahaya kalo ikut campur urusan gue.” Ujar Lexia dingin.
Siswi itu sontak mundur ketakutan, dia melihat Lexia dengan penuh keterkejutan.
Galdin memperhatikan Lexia, “sini lo.” Bentak Galdin yang sangat marah karena berani – beraninya Lexia membentaknya.
Lexia mendengus, “lo cowok berarti lo yang maju.” Titahnya menantang Galdin.
“Adek sialan lo.” Umpat Galdin seraya maju menghampiri Lexia.
“Satu,” – ucap Lexia – “Dua ... Tiga!” Gumam Lexia seraya tersenyum saat melihat Galdin tengah melihat ponselnya.
“Hahahaha” Tawa Lexia pecah saat melihat Galdin tengah menatapnya marah.
Lexia tersenyum memandang Usup lalu menghampiri lelaki yang tengah terbatuk – batuk akibat pukulan keras di perutnya.
Flashback
Lexia POV
‘BRUKK’
Kayaknya bener ucapan Galdin deh, gue jatuh sambil nindih orang lagi. Apalagi posisinya ambigu banget, ini ngapain sih meluk pinggang gue segala.
Gue coba buka mata buat lihat siapa orang yang gue tindih, ya ampun mimpi apa gue semalam. Kenapa gue ketemu si cupu lagi sih, eh tunggu – tunggu kayaknya gue hapal banget nih sama parfumnya.
DEG!
‘Zacky.” Batin gue kaget.
Ngapain
“Zacky, lo ngapain pake seragam sekolah sini?”
“Hehe, gue bosen sekolah di sana kalo gak ada Avitha.” Ucap Zacky.
“Lo kalo ketahuan Galdin bisa mampus.” Bisik Lexia .
“Udah pasti itu mah, mending kita kerjain abang lo.” Cengir Zacky, “lo cepetan kaget pura – pura teriak.” Titah Zacky.
“AAAAAAAAAA” Teriak gue menjalankan aksi.
Lexia POV OFF
Flashback OFF
Galdin menatap Usup dan Lexia bergantian, “REYHANO ZACKY!” Teriak Galdin saat melihat Zacky yang menyamar sebagai Usup hendak kabur, “LEXIA LIONARDINO!” Teriak Galdin kembali saat adiknya tengah membantu Zacky berlari.
“s**t!” Umpat Galdin merasa dibodohi.
“Lo ngapain teriakin si Zacky, tu bocah kan gak ada di sini.” Ujar Rio.
“Si Zacky pindah ke sini, dia nyamar jadi si Usup.” Ucap Galdin yang langsung membuat kantin ricuh karena rumor itu.
“Kayaknya lo kekencengan ngomongnya.” Ujar Delva seraya melirik ke tiap penjuru kantin.
“Biarin lah, gue cabut duluan.” Ujar Galdin melangkah pergi.
“Lo mau kemana?”
“Ke rumah Avitha, gue kangen dia.” Ucap Galdin berlalu pergi.
_
Galdin memasukkan mobilnya di pekarangan rumah kemudian mematikan mesinnya dan keluar dari mobil, matanya menangkap sosok Lina tengah menyiram tanaman.
“Assalamu`alaikum!” Salam Galdin seraya memeluk Lina.
“Eh, Wa`alauikum salam anak mama yang ganteng. Kenapa udah pulang jam segini?”
“Galdin bolos ma, kangen sama Avitha.” Rajuk Galdin sambil menaruh dagunya pada bahu Lina.
Hal itu membuat Lina mengusap pelan kepala Galdin, “Galdin gak lupa kan sama ucapan Avitha beberapa minggu yang lalu?”
Galdin tertegun memikirkan kejadian tiga minggu yang lalu, dimana dia memimpikan Avitha di sela tidurnya.
“Galdin ingat betul ma, tapi Galdin udah kangennya level 9999 ma.” Rengek Galdin.
Lina terkekeh pelan, tangannya mulai bergerak melepaskan selang air lalu menatap Galdin penuh pengertian.
“Mama paham sayang, sekarang kamu ganti baju dulu abis itu kamu boleh liat Avitha.” Titah Lina.
Galdin mengangguk pelan, dia membalikkan badan Lina lalu mengecup keningnya.
“Ok mama.” Ucap Galdin seraya tersenyum senang.
SKIP
Galdin selesai berganti baju, dia juga sudah memakai parfum hanya untuk bertemu Avitha. Sesampainya di kediaman Poursly, Galdin mengetuk pintu lalu tak lama ada Bi Mina yang membukakan pintu.
“Eh Den Galdin, mari masuk.”
“Iya Bi, “ – Ucap Galdin, -- “pada kemana nih?” Tanya Galdin seraya matanya memandang segaka penjuru.
“Tuan sama Nyonya pergi ke Jakarta Den.”
“Kapan berangkatnya?”
“Tadi Subuh Den.”
“Sampai kapan Bi?”
“Semingguan kayaknya Den.”
“Bang Sam kemana?”
“Dia baru saja berangkat, katanya mau jenguk Cafe milik Non Avitha.”
“Oh gitu ya, ya udah Galdin mau ke kamar Avitha dulu.”
“Iya Den, kalo begitu bibi pamit dulu Den. Kalo Aden perlu sesuatu bibi ada di dapur.”
Galdin bergegas menaiki satu persatu anak tangga, entah kenapa hari ini d**a nya begitu berdebar.
Galdin membuka pintu kamar bertuliskan AVITHA FLWLSS itu perlahan, matanya menangkap tubuh lemah Avitha yang tengah berbaring.
“Hai!” Sapa Galdin, “Kali ini Galdin enggak bawa apa – apa, maaf ya.” Kekeh Galdin seraya mengecup dahi Avitha.