"Selamat pagi, Pak Morgan."
Lucy sang sekretaris masuk dengan membawa beberapa berkas penting yang harus di tandatangani oleh Morgan.
"Pak, ini ada beberapa berkas yang harus Anda tandatangani." ujar Lucy sembari menyodorkan berkas yang dia bawa.
"Letakkan saja di situ, akan aku tandatangani setelah ini."
Lucy menurut dan meletakkan berkas tersebut di atas meja. Di bagian yang sudah ditunjuk oleh Morgan hanya dengan dagunya.
"Saya juga mau mengingatkan Pak, jika siang ini Anda ada meeting dengan J—San Group. Lalu malamnya, Anda harus datang menghadiri jamuan pimpinan Yuan Corp."
"Sepertinya aku tidak bisa datang ke jamuan makan malam."
"Apa Anda urusan lain di luar kantor, Pak?"
"Kenapa memangnya?" tanya Morgan sembari memberikan seluruh atensinya pada sang sekretaris saat ini.
"Begini Pak, menurut saya, Anda harus tetap datang ke acara jamuan makan malam tersebut. Mengingat jika Pimpinan Yuan sangat sulit untuk ditemui. Setidaknya ini baik untuk kelangsungan kerjasama antar perusahaan. Tapi jika memang Pak Morgan ada urusan lain yang lebih penting, saya juga tidak bisa menahan Anda."
"Jam berapa jamuan makan malamnya?"
"Jam 8 malam, Pak."
Morgan terdiam sejenak untuk memikirkan sesuatu. Lalu dia kemudian kembali bertanya, "setelah meeting siang ini selesai, apa ada kegiatan lainnya lagi?"
"Tidak Pak, jadwal Anda kosong sampai jam 7 malam."
"Bagus, aku akan pergi sampai sore setelah meeting. Jika ada yang mencariku, maka buatkan janji esok hari."
"Baik Pak Morgan. Kalau begitu, saya pamit kembali ke tempat saya." ujarnya lalu di angguki oleh Morgan.
Selepas sang sekretaris itu keluar dari ruangannya, Morgan lantas meraih ponselnya dan menghubungi seseorang. Siapa lagi jika bukan asisten pribadinya—Leo.
Saat panggilan tersebut sudah tersambung, Morgan langsung menyerukan suaranya. Pria itu langsung memerintah Leo tanpa basa-basi sama sekali, seperti biasanya.
"Setelah jam makan siang, jemput Anne dan bawa dia ke tempat yang sudah aku katakan padamu tadi. Sore nanti, aku harus mengajaknya pergi ke suatu tempat. Pastikan pukul 4 sore, Anne sudah siap."
"Baik Tuan Morgan. Sesuai perintah Anda, Gadis itu akan siap pukul 4 sore tepat." sahut Leo yang berada di seberang telepon.
"Bagus," balas Morgan, lalu pria itu memutuskan panggilan teleponnya secara sepihak.
Pria itu kembali meneruskan pekerjaannya. Menandatangani berkas-berkas yang ada di depannya. Sekaligus membaca ulang materi yang akan dibahas saat meeting siang nanti.
Morgan memang selalu melakukan yang terbaik dalam hal pekerjaan. Apalagi jika ini untuk keberhasilan perusahaan dan jalinan kerjasama dengan perusahaan lainnya.
+++
Macy's, pukul 4 sore
Macy's merupakan department store terbesar di dunia. Di sana terdapat berbagai macam barang yang dijual, seperti fashion dan juga kosmetik.
Karena itulah, Morgan mengutus Leo untuk membawa Anne pergi berbelanja sebanyak-banyaknya di tempat tersebut. Sebab untuk menjadi kekasihnya (pura-pura), Anne harus tampil modis, cantik dan terlihat mahal.
Mahal yang Morgan maksud adalah dengan mengenakan barang-barang branded kelas atas. Bahkan sebelumnya, Anne juga dibawa ke salon oleh Leo.
Tidak hanya itu, Anne juga diajak ke toko-toko khusus barang branded. Entah itu tas, pakaian dan juga perhiasan.
Penampilan Anne berubah drastis. Itulah yang Morgan tangkap saat mendapati presensi Anne saat ini.
Gadis itu semakin terlihat berkelas dan elegan dengan gaun yang panjangnya sebatas lutut. Mengenakan heels yang tak terlalu tinggi, serta tas branded yang ada ditangannya.
Wajah cantiknya juga dirias setipis mungkin, namun tetap terlihat sangat fresh dan tidak membuat bosan ketika dipandang.
"Selamat sore, Tuan." sapa Leo dan Morgan hanya mengangguk sebagai balasan.
"Anne sudah siap, Tuan. Anda ingin pergi sekarang juga dengannya?"
"Ya, suruh dia masuk ke dalam mobilku." titah Morgan pada Leo. Alih-alih memerintah sendiri pada Anne, Morgan justru memerintahkan Leo untuk menyuruh Anne masuk ke dalam mobilnya.
Sementara Morgan sendiri langsung masuk ke dalam mobilnya. Pria itu duduk dibalik kemudi, bersiap untuk melajukan mobilnya saat Anne sudah masuk.
Pria itu menoleh sebentar, dan Anne justru menelan ludahnya kasar tak mau menoleh ke arah Morgan saat ini.
"Pakai seat beltnya."
Karena sebenarnya gugup, Anne sedikit terkesiap dan mengangguk.
"Ah, ya Tuan.."
Morgan menunggu sampai wanita itu benar-benar sudah memasang seatbeltnya dengan baik. Lalu ketika dia melihat Anne sudah selesai memasang seatbelt, Morgan langsung melajukan mobilnya.
Pria itu mengendarai mobil tersebut dengan kecepatan sedang. Tidak terlalu terburu-buru, sebab niatnya hanya ingin muncul sebentar di sebuah acara.
Keadaan di dalam mobil begitu senyap. Hanya terdengar suara mesin mobil yang bekerja. Bahkan Morgan sama sekali tidak menyalakan musik untuk menutupi kecanggungan saat ini.
Karena sebenarnya, Morgan jarang sekali menyalakan musik ketika sedang mengendarai mobil seperti ini. Dia selalu fokus dan suka ketenangan.
Berbeda halnya dengan Anne. Wanita itu sudah mulai tidak betah jika harus diam sepanjang waktu. Dia menoleh ke luar jendela dan manik matanya terus mengabsen setiap deretan gedung-gedung pencakar langit.
Dia juga bergumam pelan yang mana di pendengaran Morgan itu seperti racauan burung yang tidak jelas di rungunya. Morgan menoleh sekilas untuk mengatakan sesuatu, tapi tertahan saja di tenggorokan.
Tepat saat itu, Anne menoleh dan tiba-tiba berucap, "ya, Tuan? Anda ingin bicara apa?"
Morgan tentu mengernyit heran, sebab dirinya belum mengatakan apa pun. Tapi kenapa pelayannya ini bisa mengetahui jika dirinya ingin mengatakan sesuatu?
"Tuan Morgan, Anda ingin bertanya sesuatu?" ulangnya dan Morgan sedikit berdehem pelan sebelum menyahut.
"Kau tau, aku tidak suka berbicara panjang lebar. Aku hanya ingin mengingatkan dirimu, jika hari ini kau mulai berperan menjadi kekasihku. Jangan buat orang-orang yang kita temui nanti merasa curiga. Kau harus memerankannya dengan begitu natural. Apa kau mengerti?"
"Saya akan mencobanya, Tuan." jawab Anneliese dengan cepat. Lalu gadis itu kembali melanjutkan dengan bertanya, "memangnya, kita akan menemui siapa nanti, Tuan?"
"Hanya teman-teman masa kuliah dulu. Ini acara reuni. Aku harap kau bisa berakting senatural mungkin."
Anneliese kira, mereka berdua akan bertemu juga dengan mantan istri Morgan. Sebab sedari awal memang Morgan ingin membuat mantan istrinya itu menyesal dengan menjadikannya sebagai kekasih pura-pura.
Anne sedikit heran juga. Mengapa Morgan memilihnya untuk menjadi kekasih pura-puranya?
Padahal masih ada banyak wanita yang lebih baik, berkelas, dan juga cantik. Tapi, Anne mengenyahkan lagi pikirannya tersebut. Sebab dia dijadikan kekasih pura-pura karena untuk membayar hutang guci yang dia pecahkan.
"Saya akan mencoba untuk melakukan yang terbaik. Sesuai dengan apa yang Anda inginkan, Tuan."
Setelah mendengar jawaban dari Anneliese, pria itu langsung kembali fokus lurus ke depan. Mengemudi dengan menambah kecepatan laju mobilnya sekarang ini.
Tidak lebih dari 15 menit, akhirnya mobil Morgan berhenti di sebuah cafe ternama yang ada di kota tersebut. Morgan dan Anne turun secara bersamaan yang mana hal tersebut sedikit menyita perhatian.
Bagaimana tidak, seorang Morgan Roderick Veit, yang sudah lama tidak terlihat menggandeng seorang wanita, tiba-tiba datang ke acara reuni teman-teman kuliahnya dengan mengajak seorang wanita cantik yang nyaris sempurna.
Apalagi gaya berpakaian dan tas yang gadis itu bawa terlihat memiliki selera yang tinggi. Orang-orang kalangan atas sangat mengetahui berapa uang yang harus dilepaskan hanya untuk membeli tas yang dipakai oleh Anneliese.
Morgan menarik lengan Anneliese, lalu menautkan kelima jarinya pada tangan gadis itu secara tiba-tiba. Kontak fisik yang dilakukan sang tuan tentunya membuat Anne terkejut. Dia tak pernah berpikir bahwa mereka akan bersentuhan fisik seperti sekarang.
Tapi Anneliese berusaha keras untuk memberikan yang terbaik dan berakting senatural mungkin. Setidaknya dia harus mencobanya agar Morgan tidak malu sudah memilihnya menjadi kekasih pura-puranya.
Keduanya masuk ke dalam cafe dengan begitu serasi. Beberapa di antara para reunian, secara terang-terangan menatap dan memperhatikan keduanya. Pasangan yang sangat cantik dan tampan.
"Wow! Kau mendapatkan wanita secantik ini di mana, Morgan?"
Morgan melepaskan tautan tangannya dengan Anne ketika salah satu temannya mendekat dan menjabat tangannya.
"Aku kira, kau masih betah menyendiri." lanjut pria itu dan Morgan tersenyum tipis.
"Kau tidak ingin mengenalkannya padaku, Morgan?"
"Ah ya Steve, ini kekasihku, Anneliese." ujar Morgan memperkenalkan Anne pada temannya itu, sembari melingkarkan tangannya pada pinggang ramping Anneliese.
"Wah Nona, kau memang sangat cantik. Pantas saja duda satu ini memilihmu." puji Steve.
"Terimakasih, tapi Anda terlalu berlebihan dalam memuji saya."
"Tapi faktanya memang kau sangat cantik, Nona Anneliese. Benar begitu, Morgan?"
"Ya, kekasihku memang sangat cantik." jawab Morgan sembari menoleh ke samping, menatap Anneliese dengan penuh kekaguman. Tapi gadis itu nampak seperti biasa saja saat mengetahui Morgan menatapnya.
"Aku kira, kau masih betah sendiri dan susah move on dari mantan istrimu itu."
"Aku pikir kau tidak akan terpengaruh dengan gosip sampah seperti itu." sahut Morgan sarkas.
Steve bertepuk tangan untuk itu. Mendengar jawaban dari Morgan membuatnya menganggap jika pria itu memang sudah jatuh pada Anneliese. Dan menganggap bahwa gosip di luar sana yang mengatakan Morgan masih betah sendiri karena memang tidak bisa move on dari mantan istrinya.
Pandangan Steve tertuju pada seseorang yang baru saja masuk ke dalam cafe. Dia sontak tersenyum menyeringai begitu tau jika pasti nantinya akan ada hal yang menakjubkan setelah ini.
"Lihat siapa yang baru datang?"
Morgan menoleh ke belakang dan mendapati sahabatnya—oh bukan! Tapi mantan sahabatnya baru saja tiba. Seorang pria yang tak lebih dari seorang pengkhianat bagi Morgan. Siapa lagi jika bukan Dante?
Ya, Dante yang sebentar lagi akan menikah dengan mantan istrinya—Elara.
Anne melihat ada perubahan ekspresi di wajah Morgan saat melihat pria yang baru saja datang itu. Tapi dia masih belum tahu mengenai alasan dari perubahannya.
"Bagaimana kabarmu Dante? Calon pengantin!" seru Steve.
"Baik, kawan. Bagaimana kabarmu?"
"Aku tentu baik, Dante. Oh ya, ini sahabatmu datang bersama kekasih barunya."
Dante langsung menatap ke arah Morgan yang menatapnya dingin. Tapi bukan itu yang menjadi pusat perhatian Dante saat ini. Melainkan gadis cantik yang berdiri di samping Morgan.
Mengerti dengan maksud tatapan Dante pada Anneliese, tentu saja Morgan kembali merengkuh pinggang pelayannya itu. Kali ini jauh lebih erat. Bahkan Anne merasa seperti pinggangnya sedang diremas. Tapi bukan diremas yang terasa sakit.
Morgan tersenyum dan berkata, "Dante, aku tak menyangka kau datang sendirian."
"Ya benar! Ke mana calon istrimu? Kenapa dia tidak ikut serta dalam acara reuni ini?" timpal Steve.
"Elara sedang sibuk."
Mendengar jawaban dari Dante, tentu saja Anneliese langsung mengernyitkan dahinya. Dia pikir dirinya sudah salah mendengar. Tapi sepertinya tidak, sebab dia mearsakan ada ketegangan yang begitu kuat di sana. Sepertinya, apa yang Anne pikirkan itu benar mengenai Elara mantan istri Morgan, dengan Elara calon istri Dante adalah orang yang sama.
"Ah, benar. Wanita satu itu memang selalu sibuk. Ya, sibuk berkunjung ke tempat satu, lalu ke tempat lainnya." sahut Morgan penuh makna.
"Kenapa kau begitu tau soal calon istriku, Morgan? Dia memang sedang sibuk ke tempat satu ke tempat lainnya. Ya, sibuk mencari gaun pengantin. Bukankah dia sudah memberikanmu undangan pernikahan kami? Itu undangan khusus untukmu."
Steve merasa jika obrolan ini sudah mulai memanas. Meskipun terlihat tenang, tapi tidak bisa dipungkiri jika rasanya sangat aneh saat ini.
"Sepertinya kau melupakan sesuatu, Dante. Bukankah wanita yang akan kau nikahi adalah wanita bekas—maksudku, mantan istriku."
Dante tertawa sambil setengah menahan emosi. Sedangkan Morgan nampak santai saat ini. Sama halnya dengan Steve yang cukup santai menyaksikan drama yang baru saja dimulai.
"Kau berniat untuk mengolokku? Bahkan mengatakannya di depan kekasihmu sendiri, Morgan? Apa kau tidak memikirkan perasaannya saat kau menyebut mantan istrimu di depannya?"
"Untuk apa? Kekasihku tidak peduli pada seseorang yang sangat tidak penting bagi hidupku. Benar 'kan, sayang?"
Anne tersenyum dengan penuh percaya diri dan menyahut, "ya, tentu."
Dante terkejut begitu mendengar bagaimana responnya. Dia menatap Morgan dengan tatapan yang tak biasa. Apalagi saat menatap Anneliese, seolah sedang memindai gadis itu dengan teliti.
"Sayang, aku haus." ujar Anne tiba-tiba. Dia sedikit mendongak untuk mempertemukan tatapan mereka berdua.
Anne terpaksa melakukannya, agar bisa menjauhkan Morgan dari orang-orang tersebut. Karena menurutnya, jika teruskan maka akan terjadi perkelahian. Sebab dilihat dari tatapan Dante sudah mulai emosi dan pasti berniat untuk menghajar Morgan.
"Ayo, kita pesan minuman sayang."
Tanpa mengatakan apa pun juga, Morgan langsung mengajak Anneliese pergi dari hadapan Dante dan Steve.
Ketika mereka sudah menjauh, Morgan langsung melepaskan tangannya yang melingkari pinggang Anne. Dia bahkan membuat sedikit jarak untuk memberikan kenyamanan pada Anne. Sebab meskipun Morgan memanfaatkan wanita itu, dia tetap tidak akan melakukan sesuatu yang lebih pada Anne.
"Tuan, boleh saya bertanya?"
"Apa?" sahut Morgan dingin.
"Jadi, pria tadi yang akan menikah dengan mantan istri Anda?"
"Kau bahkan sudah mendengarnya sendiri tadi. Tapi kenapa masih saja bertanya? Aneh!" ketusnya.
Anne hanya mengangguk mengerti dan merasa jika saat ini Morgan memang sedang menahan amarah dan emosi. Dia merasa jika pria ini sepertinya memang masih mencintai mantan istrinya.
Kenapa bisa Anne menyimpulkan itu, padahal Elara saja tidak datang hari ini. Itu pun dia tak tahu bagaimana tatapan Morgan saat menatap Elara. Tentu saja dia menyimpulkannya dari ekspresi Morgan yang saat ini berubah.
Untuk memastikannya, Anneliese kembali bertanya, "apa Anda masih mencintai wanita itu?"
Sial! Anneliese merasa jika pertanyaannya ini membuat Morgan langsung menatapnya dengan tajam. Tapi, dia dapat menemukan jawaban atas pertanyaannya barusan.