Chef Bastian

1072 Kata
Jakarta, Januari 2018 Restoran tampak sibuk hari ini. Pelanggan sudah datang memenuhi restoran sejak siang, sementara salah satu asisten koki mereka harus cuti karena mengalami cedera. Reyna harus melakukan pekerjaan tambahan, pun dengan yang lainnya. Mereka semua benar-benar sibuk setiap hari Sabtu, dan berkurangnya satu anggota di dapur membuat semua orang semakin kewalahan. “Aku baru sadar bahwa peran Luna sangat penting di sini. Lihat betapa kacaunya dapur tanpa adanya gadis itu,” ucap Pasha, salah satu chef yang biasanya bertugas membuat menu yang berhubungan dengan mie pasta. “Maka berhentilah memarahi gadis malang tersebut. Pekerjaannya sangat berat untuk gadis bertubuh mungil yang tampak ringkih itu, Sha,” balas Hasbi—chef yang bertanggung jawab menyajikan menu steik—seraya memotong daun bawang yang akan dia taburkan di atas menunya. “Kau menyukai Luna, eh?” “Kau gila.” “Kau selalu membela dia, Bi, kau sadar?” “Lalu apa aku harus membiarkan gadis itu dimarahi oleh semua orang di sini? Setidaknya dia harus memiliki satu orang yang berada di pihaknya.” “Reyna juga ada di pihaknya,” tukas Pasha, melirik Reyna yang tengah membuat saus untuk ikan bakar yang seperti biasanya memiliki paling banyak pesanan sehingga selalu menjadi menu utama. “Sudahlah. Mari selesaikan semua pesanan dengan baik sebelum Chef Bastian mendengar kita mengoceh alih-alih bekerja,” kata Reyna, mengedikkan bahu. Sebagai kekasih sekaligus rekan kerja terlama pria itu, Reyna teramat tahu bagaimana perangai Bastian di dapur. “Kau benar,” balas Pasha, curi-curi pandang pada pintu belakang yang menghubungkan dapur dengan ruang penyimpanan, tempat di mana Bastian berada. Sepertinya kepala chef itu tengah mengecek bahan-bahan yang tersisa. Beberapa saat kemudian, dapur benar-benar hening. Semua orang sibuk dengan pekerjaannya sendiri, hanya terdengar suara-suara dari pekerjaan mereka. Tentu saja, sebab sosok Bastian sudah hadir di belakang, dengan tatapan yang semua chef tahu ada hal yang tidak disenangi atasan mereka itu. “Siapa yang bertugas merapikan ruang penyimpanan kemarin?” tanya Bastian lantang. Semua chef seketika menghentikan pekerjaan dan berbaris rapi di hadapan Bastian, kemudian saling melempar pandang dan menggeleng. “Itu—saya, Chef!” Semua mata kini tertuju pada Pian, chef paling muda di antara mereka semua. Dia bergabung di restoran paling akhir di antara tiga chef lain. Biasanya dia bertugas membuat menu-menu sederhana. “Pian.” Ketika suara tenang Bastian terdengar, semua orang mendadak gugup. Roma-romanya ada sesuatu yang membuat pria bermata minimalis itu marah. “Kau tidak melihat barang yang baru dengan yang lama sebelum menyusun semuanya? Mengapa semuanya kau susun di satu tempat?” Pian menelan ludah gugup. “Maaf, Chef, saya tidak teliti.” Ia menunduk penuh sesal. Tapi Bastian tidak mungkin melunak hanya karena permintaan maaf atau wajah memelas. Dia orang yang disiplin dan tegas pada bawahannya, pada Reyna sekali pun. “Sudah berapa lama kau menjadi chef di sini?” tanya Bastian seraya mensedekapkan tangan di d**a. “Satu tahun lebih, Chef.” “Lebih berapa hari? Berapa minggu? Berapa bulan?” Ketika Pian sibuk berpikir dan kebingungan, Bastian berdecak keras. “Baiklah, saya paham. Mengetahui berapa lama kau di sini saja tidak tahu, bagaimana kau akan mengingat yang mana barang yang baru datang dan mana yang sudah lama.” “Maaf, Chef.” “Sudahlah. Lanjutkan pekerjaan kalian. Dan Pian, setelah restoran tutup, rapikan kembali tempat penyimpanan. Kau seorang chef, kau harus lebih teliti terutama dalam memperhatikan bahan,” tukas Bastian untuk kali terakhir sebelum bergabung di dapur mengawasi pekerjaan para chef dan sesekali memberi arahan pada mereka. *** Akhirnya restoran tutup tepat pukul sepuluh malam. Di hari-hari biasa, restoran biasanya tutup pukul sembilan dan buka kembali pukul sebelas siang. Satu kali dalam sebulan, biasanya minggu terakhir, restoran tutup di hari Minggu. Dan itu minggu sekarang, sehingga para chef begitu antusias menyambut hari libur mereka setelah bekerja dengan sangat keras selama sebulan terakhir. Meskipun sebenarnya mereka memiliki jatah cuti satu hari dalam sebulan selain jadwal cuti bersama mereka, tetapi tetap saja cuti ini paling dinanti-nanti karena jatah cuti lain mereka tidak diperbolehkan hari Minggu. Mengingat betapa sibuknya restoran pada hari tersebut. Semua orang mengorbankan banyak hal untuk pekerjaan mereka, termasuk malam minggu yang berharga. Reyna sudah berdiri di depan, menunggu Bastian yang biasanya akan mengecek dapur dulu sebelum benar-benar pergi. Sungguh tipe boss yang sangat perfeksionis. “Bas!” panggil Reyna, begitu yang ditunggu akhirnya keluar juga dari dapur. Chef Bastian yang menjadi atasan Reyna selama sebelas jam terakhir seketika sirna. Kini, pria itu menjelma menjadi Bastian yang hanya Bastian, kekasih Reyna yang manis. “Masih tersisa dua jam kurang sepuluh menit sebelum Sabtu malam berakhir, apa yang akan kita lakukan untuk kencan malam ini?” tanya Bastian, memeluk bahu sempit Reyna hangat. “Kau tidak lelah? Selama beberapa jam tadi kau membuat banyak pesanan untuk pelanggan VIP,” kata Reyna, menatap Bastian dengan khawatir. Mereka berdua berjalan beriringan menuju mobil Bastian yang terparkir di depan. “Kau juga membuat banyak pesanan. Selain itu aku tahu kau datang pagi-pagi sekali dan memotong banyak bahan untuk persediaan. Kau lebih lelah dariku.” Reyna menghentikan langkah tepat ketika mereka tiba di sisi mobil Bastian, kemudian mendongak untuk menatap wajah pria itu dengan sorot terkejut. “Kenapa kau tahu?” tanyanya. “Jangan bilang ... kau penguntit? Kau memasang kamera mata-mata di tasku?” tuding Reyna menunjuk wajah Bastian dengan mata membulat. Bastian tergelak. Tak kuasa menahan diri untuk tidak tertawa melihat raut wajah Reyna. Nah, sekarang dia sudah benar-benar menjadi Bastian yang hangat, yang selalu meluluhkan hati Reyna walau hanya dengan tawa ringannya. “Ya, aku penguntit,” kata Bastian jenaka. “Kau gila,” gumam Reyna. Bastian tersenyum tipis, kemudian secara tiba-tiba mengecup singkat bibir Reyna, sehingga perempuan itu akhirnya tersenyum lebar. “Sudah aku peringatkan berulang kali, jika ada hal yang mengganggumu, hubungi aku selagi bisa.” “Kau kelelahan, Bas.” “Aku akan baik-baik saja selama kau juga baik, Reyna. Jadi tolong, jangan pernah merasa khawatir atasku. Aku kekasihmu, kau bahkan setuju untuk menikah denganku nanti, jadi kumohon manfaatkan aku selama aku masih ada, hm?” “Apakah boleh?” tanya Reyna, menatap Bastian dengan permata sendunya. “Tentu saja. Aku senang saat kau menumpahkan seluruh keluh kesah dan rasa sedihmu di depanku. Kau harus tahu bahu lebarku selalu siap untuk menjadi sandaranmu kapan pun kau butuh tempat untuk bersandar seperti biasanya.” “Bas ....” Reyna menatap Bastian terharu. Ia bersumpah, bahwa Bastian adalah satu-satunya pria di dunia yang dia cintai. Pria hangat yang meluluhkan hatinya. *** 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN