Mobil Bastian sudah berhenti di depan rumah Reyna sejak tadi. Namun, perempuan itu sepertinya masih enggan untuk beranjak. Bukannya dia masih rindu, tetapi ada hal lain yang mengganggunya. Bastian sudah terlalu lama mengenal gadis itu hingga tahu perihal keadaan keluarganya. Boleh dibilang, Bastian adalah orang yang paling mengenal Reyna lebih dari siapa pun.
"Apartemen punyaku selalu kosong. Kalau kau merasa membutuhkan tempat tinggal baru, kau bisa tinggal di sana," ucap Bastian, memecah keheningan serta lamunan Reyna. "Setelah kita menikah nanti, aku juga akan tinggal di sana. Bersamamu, bagaimana?" lanjutnya kemudian. Pria itu tersenyum tipis, tetapi manis.
Reyna tersenyum lemah. Menatap kekasihnya dengan penuh ketulusan. Bersyukur bahwa meskipun kehidupannya amat sulit, Tuhan menghadirkan sosok Bastian yang membantu Reyna untuk utuh. "Aku baik-baik saja," jawabnya. Sungguh tidak ingin membuat Bastian khawatir.
Bukan sekarang saatnya. Dia akan menerima segala hal dari Bastian setelah mereka resmi terikat dalam suatu hubungan yang sah, terikat dalam tali pernikahan dan menjadi sepasang suai-istri. Bukan sekarang.
"Kau yakin?"
Reyna tidak menjawab pertanyaan Bastian kali ini. Namun jari-jari yang ia selipkan di antara jemari Bastian serta senyum lebar yang ia tunjukkan, sudah cukup untuk membuat Bastian mengerti. Pria itu akhirnya hanya bisa menghela napas dalam lantas mendekatkan tangan Reyna yang tengah menggenggam tangannya ke depan bibir dan menciumnya singkat.
"Kau tahu kau punya aku, Reyn. Kalau ada apa-apa hubungi aku segera, oke?"
Reyna menatap wajah Bastian intens. Dari tatapan itu, terselip rasa syukur yang teramat besar dalam hati, karena di samping banyaknya hal sulit yang ia lewati selama ini, Tuhan masih baik hati dengan mengirimkan sosok Bastian ke dalam kehidupannya. "Ya, aku tahu," balas Reyna, tersenyum tipis, sementara netranya masih betah memandang wajah tampan Bastian. "Kau bisa pulang sekarang, Bas."
"Kau masih di mobilku, Manis. Apa kau mau ikut pulang ke rumahku?" jawab Bastian, menggoda gadisnya.
Reyna tersenyum meringis, menyadari bahwa Bastian belum melajukan mobil karena dirinya masih di dalam. Maka cepat-cepat dia keluar dari dalam mobil Bastian. Namun bukannya langsung melaju pergi, Bastian justru ikut keluar dan menghampiri Reyna.
"Kapan kau pulang?" tanya Reyna. Mendelik pada kekasihnya itu.
Bastian tersenyum lebar hingga menampilkan gigi-giginya yang putih, kemudian meniadakan jarak di antara mereka. Tangannya secara lembut menyusup di balik lengan Reyna dan melingkar di sekeliling tubuhnya. Mendekap tubuh ramping Reyna dengan sayang. "Aku belum melakukan ini," gumam Bastian.
Diam-diam, senyum Reyna terbit. Untuk ke sekian kalinya dia dibuat jatuh cinta sedalam-dalamnya pada pria di dekapan. "Sepertinya, kau punya dua kepribadian, Bas," bisik Reyna. Bastian lalu melerai pelukan dan menatap Reyna menelisik. "Di dapur, kau seperti psikopat. Segalanya harus tampak sempurna dan sesuai dengan apa yang kau mau. Tapi di luar, seperti saat ini misalnya, kau akan menjelma menjadi pria hangat dengan sejuta kasih sayang." Reyna menjelaskan panjang lebar, lantas menepuk pelan bahu Bastian dan tersenyum tipis. "Kau tidak benar-benar berkepribadian ganda, kan?" tanyanya kemudian.
Bastian, dengan wajah yang syok berlebihan, menoyor kening Reyna. "Kau terlalu sering menonton film-film gila sehingga pikiranmu terkontaminasi dengan hal-hal seperti itu," tandasnya, terkekeh sesaat. "Cepat masuk dan istirahat jika tidak mau jiwa psikopatku muncul lalu aku akan menculik dan memasukkanmu ke dalam penjara yang aku ciptakan."
Reyna tergelak pelan. Lantas benar-benar masuk ke dalam rumah sebelum dirinya semakin tak rela untuk membiarkan Bastian pergi. Sebelum itu, Reyna menyempatkan diri untuk mengecup singkat pipi kanan Bastian. Kemudian buru-buru berlalu dengan langkah-langkah kecilnya. Sementara, rasa hangat membuat semburat merah hadir di pipi Reyna. Hanya bersama Bastian, dia bisa bahagia. Hanya bersama Bastian, dia bisa tersenyum dan tertawa. Hanya bersama Bastian, dirinya merasa hidup. Selebihnya, dunia hanyalah kegelapan untuk Reyna.
Ketika suara langkah kaki mendekat terdengar, kemudian sesosok lelaki paruh baya terlihat, senyum di wajah Reyna seketika pudar. Rona merah yang tadi menghiasi wajahnya pun hilang begitu saja, kembali pada wajah pucat, tanpa ada senyum atau pun sinar di permata indahnya yang kelam.
***
Bastian memarkirkan mobil di depan rumah orang tuanya. Senyum lebar masih saja terulas dari bibir tampan pria itu. Reyna, kekasihnya tersebut, selalu memberikan energi positif untuknya. Bastian mencintainya dengan sangat. Setiap waktu yang dia lewati bersamanya selalu membuat Bastian bahagia. Sampai rasanya, Bastian tidak membutuhkan apa pun lagi dalam hidup. Dia hanya ingin Reyna bahagia di sisinya. Itu saja.
Sebuah kernyit muncul di kening Bastian ketika melihat sebuah mobil terparkir di depan. Tampaknya, dia mengenal mobil tersebut, tetapi lupa milik siapa.
Tidak ingin terus bertanya-tanya, Bastian segera memasuki rumah besar bergaya Eropa tersebut dan seketika terdiam kelu untuk beberapa saat ketika melihat siapa gerangan yang tengah duduk di hadapan ayahnya. Matanya memicing, kerlip tak percaya hadir menyertai tatapan yang dia layangkan.
"Fania, Dimas, kalian ...." tersekat, Bastian menggumam.
"Bas, apa kabar?" Sebelum sempat menuntaskan pertanyaannya, gadis berambut ombre lebih dulu berdiri lalu memeluk tubuhnya dengan erat.
Mau tak mau, pada akhirnya, Bastian membalas pelukan tersebut. "Kapan kau pulang ke Jakarta, Fan?" tanya Bastian, melerai pelukan mereka berdua.
Fania, perempuan berperawakan mungil ramping tersebut, tersenyum simpul. "Baru saja. Dijemput Dimas."
"Kenapa tidak menghubungiku lebih dulu? Kalau tahu, aku mungkin akan ikut menjemputmu," Bastian bergumam pelan. Dia lantas memusatkan atensi pada Dimas yang berdiri tak jauh dari mereka sekarang. "Kau juga. Sejak pulang dari Berlin dan menjadi dokter tetap di rumah sakit besar sudah jarang menghubungiku."
Pria yang dipanggil Dimas terkekeh pelan. "Kau pernah berkunjung sekali beberapa bulan lalu, dan kau tahu betapa sibuknya aku dengan ratusan pasien rawat jalan, puluhan pasien rawat inap, serta operasi yang jarang sekali absen setiap harinya."
"Oh, kau ingin menyombong bahwa kau adalah calon dokter ahli bedah yang paling dicari di Kota?" Bastian melayangkan tatapan sangsi, seperti serius, tetapi beberapa sekon kemudian dia tertawa.
Dimas, Fania, dan Bastian, mereka memang berteman sejak lama. Tepatnya sejak Fania pindah ke kompleks tempat mereka tinggal dan masuk di sekolah yang sama dengan mereka sebagai adik kelas dua tingkat di bawah Bastian dan Dimas. Selama tiga tahun mereka selalu menghabiskan banyak waktu bersama, sehingga tak mengherankan jika ketiganya dekat. Sangat dekat sampai tahu baik buruknya masing-masing. Dimas yang ambisius terhadap nilai, Bastian yang terkenal pemain perempuan, dan Fania dengan keadaan mentalnya yang tidak begitu baik karena kejadian di masa lalu yang masih dia sembunyikan.
Namun persahabatan yang erat selama tiga tahun itu harus mengalami kemunduran sejak Fania memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri. Dia kuliah di Jerman atas permintaan orang tuanya. Lalu dua tahun kemudian Dimas menyusul, melanjutkan S2-nya di Jerman. Lebih jelasnya karena dia mengikuti Fania ke mana pun perempuan itu akan pergi.
Oh, siapa yang tidak tahu bahwa Dimas menyukai Fania sejak dulu? Kendati dia memiliki beberapa pacar sebelumnya, tetapi cara dia menatap dan memperlakukan Fania jelas menunjukkan bahwa ada perasaan lebih yang Dimas punya untuk gadis tersebut, lebih dari sekadar adik atau teman. Fania sendiri mungkin menyadari hal itu, tetapi entah mengapa dia seolah selalu pura-pura tidak tahu. Bahkan hingga detik ini, rasanya mustahil tidak ada kemajuan apa pun dalam hubungan mereka.
Setelah berbasa-basi singkat, mereka bertiga pergi ke halaman belakang, di mana tempat santai berada. Meninggalkan orang tua Bastian yang juga membiarkan tiga sahabat tersebut untuk reuni setelah sekian tahun lamanya.
"Aku yakin ada banyak dokter yang membencimu di rumah sakit. Terutama dokter yang memiliki spesialis sama denganmu," ujar Bastian, meletakkan beberapa stoples camilan serta jus buah.
Dimas yang menjadi sasaran dari pertanyaan tersebut tersenyum singkat. "Di dunia kerja persaingan selalu ada. Rasa iri, kesal, dan dengki, jelas tak luput juga terjadi."
"Dan kau adalah sumber keiri-dengkian para dokter di sana, bukan? Kau baru kembali ke Indonesia dan bekerja di sana tetapi sudah mendapatkan banyak perhatian."
Dimas meraih gelas minuman di meja dan menyeruputnya santai. "Mungkin," dia lalu menjawab dengan nada acuh tak acuh.
"Apa perempuan di rumah sakit cantik-cantik, Dim? Sudah ada yang pernah kau gaet? Aku yakin banyak yang mengincarmu, mengingat kau cukup sukses meski umurmu mungkin lebih muda dri para residen di sana, cerdas, tampan, dan proporsi tubuhmu juga bagus."
Dimas memutar bola matanya dengan malas. Seolah sudah tahu bahwa pertanyaan itu pada akhirnya akan terlontar dari bibir Bastian. "Rumah sakit adalah tempatku bekerja, bukan tempatku untuk mencari wanita. Ayolah, Bas!" keluhnya.
Bastian tergelak karenanya. "Ternyata kau masih saja pemilih seperti dulu."
"Dan kau masih saja hobi membicarakan soal perempuan."
"Setidaknya sekarang aku hanya memiliki satu kekasih," ucap Bastian, yang seketika membuat Dimas dan Fania bergeming kemudian saling melempar pandang.
"Siapa perempuan paling tidak beruntung itu, Bas?" tanya Dimas.
Senyum Bastian seketika terbit. Sangat lebar dan hangat. "Reyna," jawabnya dengan nada yang begitu dalam.
"Reyna yang terakhir kali kau ceritakan?" Dimas menatap skeptis. Tidak percaya jika Bastian mampu bertahan dengan satu perempuan dalam kurun waktu selama itu. Selama yang dia ingat, Bastian menceritakan perihal Reyna adalah dua tahun lalu, ketika mereka pertama kali lagi melakukan kontak setelah sekian lama kehilangan kontak masing-masing. Suatu keajaiban jika memang begitu. Pria yang dulu berganti pasangan setiap trimester sekali, kini menetap pada satu hati.
Sementara Dimas tampak heran tetapi juga ikut senang, di sisi lainnya, Fania tampak begitu diam. Ada satu bagian dalam dirinya yang tampak kelam, sendu, dan juga penuh kesedihan. Namun perempuan itu menutupi perasaan tersebut dengan cukup baik. Bertahun-tahun hidup dalam kepura-puraan menjadikan Fania piawai dalam menyembunyikan ekspresi serta perasaannya sendiri. Jika dia adalah aktris, mungkin, dia akan mendapatkan banyak penganugerahan penghargaan sebagai aktris dengan akting terbaik.
***