Dengan berat hati Zeana dan Fahmi melepas Ryan kembali ke gubuk. Juna dan Malik bertugas untuk mengantarkannya.
“Ini keputusan gila, lukanya sangat serius dan lagi kita belum tahu kenapa anak buah Raksana mengincarnya.”
Fahmi berdiri tepat di balik pohon dan menatap lurus ke depan.
“Jangankan kau, Zean. Aku sendiri tak bisa meruntuhkan sikap keras kepalanya.”
Fahmi menyadari satu hal.
“Krayn, kau bilang telah melakukan penjagaan terhadap keluargaku, bukan?”
Krayn yang berdiri di samping Fahmi mengangguk.
“Lalu bagaimana bisa Ryan di serang dan aku tidak melihat satu pun dari anak buahmu yang menolongnya?”
Krayn tergagap, dia seperti orang ketakutan.
“Tu-an, dengarkan penjelasan kami. Anak buahku ti-dak ter-lihat ka-karena.”
Zean menatapnya kesal.
“Karena apa? Bicara yang jelas!”
“Karena kami harus menuju ke istana. Kami menyiapkan diri untuk pertarungan di istana, sungguh kami tak menyangka jika anak buah Raksana akan kesini, Nona.”
Fahmi kecewa mendengar itu.
Suara Bu Laksmi yang histeris menghentikan percakapan mereka. Fahmi terenyuh melihat ibunya yang khawatir, Malik dan Juna membaringkan Ryan di depan pintu, lalu pergi dari sana.
“Anakku, bangun. Jangan tinggalkan ibu."
Fizah menyentuh pergelangan tangannya, mencari denyut nadi pemuda itu. Samar, dia merasakan jika Ryan masih bersama dengan mereka.
“Ryan masih hidup, Bu. Mari kita bawa ke dalam.”
Pemuda itu tak dapat membuka mata. Namun, suara cemas Hafizah dan ibunya masih bisa dia dengarkan. Fizah izin keluar mencari dedaunan di tepi hutan untuk mengobati luka Ryan.
Ada rasa ngeri saat dia melihat semak belukar tempat dimana serigala-serigala itu menghilang.
“Kau mau kemana, Fizah?” tanya Bu Laksmi menyadarkan Hafizah.
“Aku akan mencari obat, Bu. Ibuku dulu pernah mengajariku jika tumbuhan liar, sejenis tertentu bisa menjadi obat penyembuh untuk luka lebam.”
Bu Laksmi terlihat cemas.
“Hati-hati, Nak. Jangan pergi terlalu jauh,”
Fizah mengangguk dan berlalu.
"Baik, Bu."
Tidak ada siapa pun lagi di sana, Fizah sedikit kecewa karena dia berharap Fahmi akan datang menemuinya.
Zean dan Krayn memperhatikan Fizah yang melangkah ke hutan dan memetik beberapa daun.
“Dia siapa?” Zeana penasaran dengan gadis itu.
Krayn maupun Fahmi tidak menjawabnya
“Hey, aku bertanya padamu.” Zean menuntut jawaban pada Fahmi.
“Sebaiknya kau pulang, Krayn akan mengantarmu, aku akan tinggal di sini untuk sementara waktu.”
Di abaikan, Zeana tak suka jika dirinya di abaikan.
“Apa dia wanita yang kau maksud?”
Malik dan Juna mulai khawatir.
“Dia wanita yang ingin kau nikahi itu, kan?”
Pandangan Fahmi tak beralih dari Fizah.
“Ya, dia wanita satu-satunya yang aku cintai. Karena terjebak dengan ramalan dan legenda sialan ini. Aku harus belajar merelakannya untuk bersama Ryan.”
Zean tercekat, dia kehabisan kata-kata. Fahmi tidak mau bertengkar dengan Zean.
“Juna, Malik dan kau Krayn bawa dia kembali,” ucap Fahmi tegas.
“Baik, Tuan,” sahut Krayn.
“Tidak, aku mau tetap di sini menunggu keadaan Ryan membaik.”
"Jangan keras kepala, kau harus kembali."
Malik mendekat dan menyentuh bahu adiknya.
“Ayo pulang, Zain. Uwa akan sangat khawatir jika kami kembali tanpa dirimu.”
Zain akhirnya mengalah dan pasrah di bawah oleh kedua saudaranya.
"Tuan, kami pamit dulu." Krayn tunduk hormat sebelum benar-benar pergi dari hadapan Fahmi.
Setelah memastikan kepergian mereka. Fahmi pun langsung bergegas dan menghampiri Hafizah.
Gadis itu telah selesai mengumpulkan daun yang dibutuhkan, saat akan melangkah pulang, dia terkejut melihat Fahmi berdiri tepat di hadapannya.
“Hay,”
Daun obat-obatan itu terjatuh, Fizah memeluknya erat dan menangis saat itu juga. Rasanya seperti mimpi melihat Fahmi menyapanya dan tersenyum.
Keduanya saling merindu, baik Fahmi mau pun Hafizah, mereka terdiam cukup lama dan menikmati kebersamaan mereka.
Fahmi sadar, apa yang dia lakukan sekarang akan membuatnya semakin berat meninggalkan Fizah nantinya.
“Akhirnya kau pulang, kau dari mana saja?” tangan gadis itu merengkuh wajah tampan di hadapannya.
Pelukan mereka terlerai, debaran jantung berpacu sedikit lebih kuat. Fahmi mencium tangan Fizah, lalu kembali memeluknya.
“Aku tidak bisa pulang, ada suatu hal yang harus aku selesaikan.”
“Tapi, hari ini adalah hari penting kita, kau mengingatnya, kan?”
Fahmi mengangguk dan mencium kening gadis itu.
“Aku sangat tahu, bagaimana aku bisa lupa."
“Lalu kenapa kau tidak kembali? Kenapa kau membuat ibu cemas menunggu kepulangan mu?”
Fahmi terdiam, Fizah melerai pelukan mereka dan menatap lurus pada kekasihnya.
"Ayo, ibu pasti senang melihat kamu datang. Ayo, Bang." Fizah menariknya menuju ke gubuk.
“Dengar, aku harus pergi. Aku janji akan kembali. Aku tidak bisa pulang sekarang. Tolong rawat Ryan, dia akan mengatakan semuanya saat dia sembuh nanti.”
“Tapi.”
“Fizah ini bukan hal yang mudah, aku bahkan baru tahu jika ternyata bukan hanya aku dan Ryan yang memiliki kekuatan ini.”
Tangis Fizah luruh, gadis itu menggapai tangan kanan Fahmi dan mendekatkan ke wajahnya.
“Aku mohon kau pulang, jangan pergi lagi. Aku yakin mereka orang-orang yang berbahaya."
Tangis Fizah luruh membasahi wajah cantiknya. Melihat keadaan Ryan yang tidak berdaya. Dia pun sangat mengkhawatirkan Fahmi. Takut laki-laki itu akan mengalami nasib yang serupa.
Fahmi mengenggam tangan Fizah.
“Kami telah berhasil memusnahkan serigala-serigala itu, jadi jangan khawatir.”
Fizah terkejut mendengarnya.
“Kamu bunuh mereka, Mas?” Tatapan gadis itu mematahkan hati Fahmi.
Dia takut Fizah akan menganggapnya seperti monster.
“Ya, aku membunuhnya. Aku serigala putih yang datang kepadamu. Aku bukan lelaki yang sempurna untuk kau cintai, aku monster yang memiliki setengah darah binatang buas dalam diriku. Apa kau jijik padaku?”
Fizah tertegun.
Fahmi merasa frustasi.
“Aku tidak memaksamu untuk tetap tinggal, kau bisa pergi jika kau ingin.”
Fahmi melangkah pergi, gerakannya begitu cepat, Fizah belum sempat bicara dan lelaki itu telah meninggalkannya.
“Bang, kau dimana? Bang Fahmi!"
Fizah terus memanggil tapi lelaki itu tidak kembali. Fahmi merasa dirinya bukan lelaki terbaik untuk Fizah. Dia hanya membuat gadis itu dalam bahaya.
"Bang, dengarkan aku dulu, aku tidak membencimu."
Fizah tertatih, dia kembali memungut daun obat yang telah dia kumpulkan tadi. Fizah menangis, Fahmi begitu sensitif dan dia menyesal membuat lelakinya salah paham. Setelah menenangkan diri, gadis itu melangkah kembali ke gubuk. Fizah tak sabar menunggu Ryan sadar untuk menanyakan segalanya.
**
Di dalam gua jauh dari kerajaan Raz. Rogiles menekan Raksana untuk bertindak.
“Kau lihat, apa yang baru saja kau lakukan? Anak buah kita tidak kembali. Menurut mata-mataku. Mereka dibantai di tempat.”
Raksana tak percaya hal itu.
“Tidak mungkin, mereka orang kepercayaan ku. Tugas ini bukanlah hal yang berat. Aku hanya meminta mereka untuk mengintai.”
“Bodoh! Anak buah Raz melindunginya, putra Magadang tiba tepat pada waktunya. Kau bilang mereka mengintai? Mata-mataku mengatakan jika serigala itu hampir mati. Dia masih di tebing dan di rawat oleh keluarganya.”
Telinga Raksana memanas. Dia pun lantas berdiri.
“Aku akan memeriksanya sendiri.”
Rogiles benar-benar kehilangan kesabaran melihat tingkah Raksana yang berlebihan kepada serigala yang di perkirakan adalah putranya.
“Penjagaan Raz lebih ketat dari sebelumnya, kita harus melakukan persiapan. Jika pergi sekarang, tentu nasibmu akan sama seperti anak buah mu.”
“Aku tidak selemah itu!”
Raksana menatap nyalang, amarahnya tersulut dan itu yang di sukai Rogiles.
“Kau memang tidak selemah itu, tapi kau sangat ceroboh. Menghadapi anak buah Raz sendirian, kau memang mampu. Tapi, jika berhadapan dengan Raz juga Pasang. Kau tidak ada apa-apanya.”
"Sebentar lagi purnama bersiap lah untuk menghadiri ritual. Kita akan berkunjung ke istana," ucap Rogiles lalu meninggalkannya sendirian.