Fahmi merawat luka Hafizah dengan ramuan sederhana, tanaman obat-obatan tumbuh liar di sekitar tempat itu, Juna mengajari pemuda itu untuk mengoles ramuannya di luka Fizah setiap beberapa menit agar pendarahannya cepat berhenti.
“Dia belum bangun juga, apa kita menyerangnya terlalu kuat?” tanya Fahmi.
Ryan dan Juna mengedikan bahu.
“Entahlah. Aku menyerangnya karena mengira dia seorang lelaki,” ucap Juna jujur.
Ryan menepuk pundaknya dan berkata.
“Aku pun demikian.”
Melihat keadaan Hafizah, Ryan dan Juna ikut merasa cemas. Wanita itu belum juga membuka mata membuat Fahmi semakin gusar.
“Aku ingin bicara,” ucap Juna saat mereka duduk bersama.
“Bicaralah,” seru Ryan dan memegang lengan Fahmi untuk mendengarkan.
“Begini, Hafizah sudah ditemukan tapi Malik belum juga kembali.”
Juna men jeda ucapannya, dia takut Ryan akan tersinggung.
“Katakan.”
Juna gugup dan memperbaiki posisinya.
“Aku berpikir untuk pergi mencarinya. Kalian pulang lah ke istana membawa Hafizah untuk di obati.”
Ryan menatapnya kecewa, lelaki itu lantas berdiri dari tempatnya.
“Tuan.” Sikap Juna membuat Fahmi dan Ryan terkejut. Pemuda itu berlutut di depan Ryan seperti para pengawal di istana.
“Apa yang kau lakukan? Berdiri Juna, diantara kita tidak ada sekat pemisah. Kau adalah sahabatku.”
Fahmi merasa sangat berhutang budi. Mereka semua dalam masalah karena membantunya.
“Kalian pergilah bersama mencari Malik, soal Fizah akan akan menjadi urusanku.”
Ryan dan Juna saling menatap.
“Tapi, Bang. Bagaimana jika terjadi sesuatu kepadamu.”
Fahmi berdiri dan meyakinkan Ryan.
“Sama seperti kekhawatiran mu, Juna juga sangat mengkhawatirkan Malik. Aku bisa menjaga diriku. Pergi dan bantu Juna menemukannya.”
Ryan pun mematuhi titah Fahmi.
“Aku akan membawanya pulang, semoga dia cepat sadar. Setelah tiba di istana , jika kalian belum juga kembali maka aku akan menyusul mencari kalian.”
“Baiklah, kurasa itu juga ide yang bagus.” Ryan sepakat dengan rencana Fahmi.
Siang itu, Ryan dan Juna pergi setelah menyiapkan makanan dan ramuan yang mungkin akan di butuhkan Fahmi untuk mengobati Fizah.
“Aku pergi,” Ryan memeluknya erat.
“Hati-hati,” ucap Fahmi.
Juna berat melakukan ini, dia tahu jika Malik ada bersamanya maka lelaki itu akan melarangnya meninggalkan Putra Magadang sendirian.
“Semoga dia baik-baik saja,” ucap Fahmi menghibur Juna.
Pemuda itu mengangguk dan menyalami Fahmi.
Keduanya berjalan menjauh dan menghilang di balik semak.
Kini hanya ada Fahmi dan Fizah berdua di tempat itu. Fahmi mulai terbiasa di lembah ilusi, dia sama sekali tidak merasa takut seperti sebelumnya. Karena Fizah belum bangun juga, Fahmi memutuskan untuk berburu. Sungai yang mengalir di sekitarnya di manfaatkan Fahmi untuk mencari ikan. Dia harus berubah wujud untuk melihat sungai itu.
Fahmi menyadari jika tempat itu pasti milik seorang jelmaan. Ilusi ini di buat untuk membuat manusia tersesat.
Serigala putih itu mencoba peruntungannya, dia mulai mengigil saat kakinya masuk ke dalam air.
Cuaca panas tidak mengubah suhu air pegunungan, Fahmi berburu dan menangkap ikan yang cukup untuk menu makan siang bersama Fizah.
Spot yang di pilih adalah air terjun kecil dan dia sedang melawan arus, Fahmi menikmati kegiatannya.
Saat dia merasa ikan itu sudah cukup, dia lantas naik ke daratan dan mengibaskan air yang menyerap di bulu halusnya.
Dengan wujudnya sebagai manusia, Fahmi bersiap dan menyalakan bara api. Juna dan Ryan mencarikan buah dari tempat yang lain sebelum pergi tadi, dan itu bukan pilihan untuk Fizah yang baru saja menjadi manusia serigala.
Fahmi tahu betul, minat Fizah dengan makanan mentah pasti sangat menyiksanya. Dia dan Ryan pernah merasakannya di masa lalu.
Setelah menjemur pakaiannya di atas rumput. Sesekali pemuda itu menoleh untuk memeriksa keadaan kekasihnya. Fahmi sibuk menyiapkan makanan, dengan cekatan dia membersihkan ikannya dan menusuknya dengan kayu yang telah di siapkan. Fahmi akan memanggang ikan itu di atas bara.
Aroma ikan bakar menguar, Fizah yang terlelap mulai membuka mata. Fahmi tidak menyadari saat wanita itu bangun dan duduk tepat di belakangnya.
Dia sedang fokus membalik ikan agar tidak hangus, badan yang menggigil mulai terasa hangat.
Ikan mentah itu menggugah selera Fizah.
Fahmi meletakan nya di samping ikan yang telah matang, tangan halus itu cekatan mencengkram ikan mentah yang ada di hadapannya.
“Hey!” Fahmi terkejut mendapati Fizah makan dengan cara yang tidak biasa. Tidak ada lagi kelembutan sikap atau senyum ramah dan malu-malu yang sering di lihat Fahmi. Fizah seperti bukan dirinya.
Tatapannya terlihat waspada.
“Makanlah, ikan yang sudah matang. Aku tidak akan merebutnya darimu.”
Fahmi memberinya ikan bakar. Fizah mengira lelaki itu akan menyerangnya, sontak saja taring yang bersembunyi di balik lesung pipi itu menyeringai dengan ganas.
Grham.
Fahmi terlonjak kaget, pemuda itu memegang dadanya yang ber degub tak karuan. Sebelumnya dia belum pernah di takuti oleh sejenisnya dengan jarak sedekat ini.
Fizah memakan ikan mentah itu dengan lahap. Semua ikan tangkapan Fahmi yang belum di bakar di makannya dengan cepat.
“Tenanglah. Tidak akan ada yang merebut makanan itu darimu.”
Kornea mata wanita itu berubah menjadi abu-abu pekat. Sisa makanan yang ada di tangannya jatuh begitu saja ke tanah. Fizah seolah dalam pengaruh kekuatan yang tak kasat mata.
“Ada apa? Ayo bersihkan tanganmu dulu.”
Fahmi menggapainya dan dengan cepat Fizah menyerang.
Sleet.
“Ach, apa yang kau lakukan?”
Pemuda itu terluka di bagian dadanya.
Fizah semakin tak terkendali, tidak peduli Fahmi terluka dia terus menyerangnya dengan membabi buta. Kedua tangannya di penuhi cakar yang tajam.
“Fizah, ini aku Fahmi. Kau tidak ingat siapa aku?”
Fizah tetap dengan amarahnya. Dia tak ingat apapun, bahkan dengan namanya sendiri.
Fahmi berusaha menghindar, dan tidak membalas serangannya.
“Apa yang terjadi padanya, bagaimana bisa dia lupa padaku dalam waktu yang singkat.”
Perkelahian terjadi, Fahmi sedikit kewalahan menghadapinya karena Fizah mendapatkan kesaktian yang di anugrahi oleh Rogiles.
“Fizah, aku Fahmi. Sadarlah, kita adalah sepasang kekasih. Kita akan segera menikah.” Fahmi memegang kedua tangan wanita itu. Mereka dalam posisi tidak berjarak. Fahmi begitu tulus dan menatap penuh dengan perasaan. Sayangnya yang tertanam di hati Fizah hanyalah kebencian. Fahmi adalah musuh besar baginya.
Grraam.
Fizah hampir saja menggigit leher pemuda itu andai Fahmi tidak mundur dengan spontan.
“Aku harus membawanya pulang, mungkin Tuan Raz dan Wa Pasang bisa membantu menyadarkannya.”
Keputusan Fahmi sudah bulat, dia terpaksa mendorong Fizah agar bisa mengambil tali yang tidak jauh dari kakinya.
Situasi ini begitu sulit bagi Fahmi karena dia tak ingin menyakiti Hafizah.
“Fizah, tenanglah.”
Saat Fizah kembali menyerang, pemuda itu dengan cepat melilitkan tali di tubuh dan kedua tangan wanita itu. Fizah memberontak dan berusaha melepaskan diri.
“Achh! Acchh!”
“Maafkan aku, aku terpaksa melakukan ini.”
Fahmi mengikatnya kuat, hanya ini satu-satunya cara agar bisa membawa Fizah pulang dengan selamat.
Apa yang terjadi barusan terlihat di penglihatan Rogiles, lelaki itu marah, dia tidak ingin Fizah di bawah pergi oleh Fahmi.
“Sial, kenapa dia bisa menangkapnya?”
Rogiles melihat dengan mata Hafizah.
“Pergi dan bebaskan dia, jangan biarkan putra Magadang membawanya,” titah Rogiles pada anak buahnya.
“Baik, Tuan.”
Bala pasukan Rogiles menuruni gunung. Tanpa se pengetahuanya. Karena fokus pada Hafizah, dia melupakan Malik dan Raksana. Kedua lelaki itu telah bebas dan kabur dari gua.
Di bawah sana, Fahmi mematikan bara api dan memakai bajunya. Napsu makannya telah hilang, dia hanya ingin segera pulang sekarang.
“Maaf jika aku memperlakukanmu seperti ini, aku terpaksa demi kebaikan kita.”
Fizah memberontak beberapa kali, dia bahkan menggigit ikatan yang di buat Fahmi, Fizah tak kehabisan akal, ada intruksi yang selalu mengarahkannya. Suara Rogiles terus tergiang dan Fizah masih berusaha menyerang Fahmi.
Tidak ingin menambah resiko, Fahmi membekap mulut Fizah dengan kain yang telah di robek dari bajunya sendiri.
Kali ini Fizah tak bisa berkutik. Kornea mata yang begitu pekat berubah menjadi hitam kecoklatan.
Fahmi di buat salah tingkah. Dalam sekejap wanita itu menjadi dirinya yang sebenarnya.
“Tidak, aku tidak akan tertipu.”
Fahmi menggiring Fizah walau wanita itu terus meronta.
**
Suara langkah bergemuruh menuruni gunung, Ryan dan Juna tampak bersiaga untuk setiap kemungkinan. Puluhan serigala mengarah ke tempat mereka.
“Ini gila, kita tidak akan menang melawan mereka,” ucap Juna.
“Aku tahu, lalu kita harus bagaimana?” tanya Ryan, semakin dekat posisi kawanan manusia serigala itu, semakin gemetar tubuh pemuda tadi.
Ryan memutuskan untuk bertarung, dia bersiap untuk melawan. Juna yang ada di sampingnya pun telah berubah wujud.
Dan, anehnya. Anak buah Rogiles melewati mereka begitu saja. Seolah keduanya tidak terlihat sama sekali.
“Ba-bagaimana bisa?” Juna terheran-heran.
Ryan yang melihat arah tujuan kawanan itu segera bergegas.
“Sepertinya mereka mengincar Fahmi dan Fizah, gawat. Kita harus segera menolong mereka.”
Ryan dan Juna mengejar kawanan serigala itu.
Jantung Ryan ber degub kencang, lawan yang melaju di depan sana bukanlah jumlah yang sedikit.
Fahmi dan Hafizah baru saja meninggalkan lembah ilusi, mereka melakukan perjalanan berdua. Fizah yang keras kepala terpaksa di gendong Fahmi meninggalkan kawasan itu.
Kawanan anak buah Rogiles tiba di lembah bayangan dan melihat api yang baru saja di padamkan.
“Mereka telah pergi, cepat kejar mereka dan rebut kembali wanita itu!” salah satu dari mereka memberikan komando.
Serigala-serigala itu melolong panjang, suaranya terdengar hingga ke gunung tempat Rogiles berada.
Mereka bergegas pergi, bala pasukan itu melangkah dengan cepat.
Ryan dan Juna semakin khawatir setelah mendengar lolongan yang menggema.
“Aku harap Bang Fahmi mendengar lolongan itu dan bersembunyi sementara waktu,” gumam Ryan.
Mereka terus mengikuti para serigala tadi. Ryan dan Juna berhasil mengejar mereka saat akan mencapai Gunung Bayangan.
“Berhenti! Kalian sedang mengejar siapa?” Ryan berusaha mengatur napas dan berdiri tegap.
Anak buah Rogiles sekali lagi mengabaikan mereka.
“Jangan pedulikan mereka, ingat tujuan kita.”
Ryan dan Juna saling menatap.
“Ini tidak bisa di biarkan. Mereka akan mengejar Bang Fahmi.”
Juna mengambil resiko dan berdiri di hadapan lawan.
“Kalian tidak akan kemana-mana sebelum melangkahi mayat ku.”
Ryan berdiri di sampingnya.
Tawa lawannya menggema, dua banding puluhan. Bagaimana mungkin ini di sebut pertarungan.
“Menyingkir lah, atau kalian akan mati.”
Juna dan Ryan tetap kekeh di tempatnya, seekor serigala lainnya menatap Ryan takjub. Keteguhan pemuda itu yang tetap bertahan walau dia tahu ajal mungkin berpihak padanya.
“Mereka hanya berdua, langsung habisi saja!” seru pimpinan pasukan itu.
Juna dan Ryan mengambil posisi siaga, mereka saling membelakangi, untuk melindungi diri. Serigala-serigala itu terlihat sangat kelaparan. Beberapa di antara anak buah Rogiles melanjutkan pengejaran dan itu menganggu konsentrasi Ryan. Dia mengkhawatirkan Fahmi.
“Habisi kedua ce cunguk itu!”
“Mereka tidak berdua!” Malik keluar dari barisan bala pasukan Rogiles. Juna yang melihat saudaranya baik-baik saja begitu bersyukur.
“Kau! Bagaimana bisa kau kabur?” Tuan Rogiles akan murka jika mengetahui tahanan kita kabur. Cepat tangkap dia.”
Hal yang tidak terduga terjadi, serigala dengan bulu hitam menghajar semua bala pasukan itu. Ryan tertegun di tempatnya, dia terkejut karena sosok itu adalah Raksana.
“Aku kabur di bantu olehnya, dia juga yang menjaga Fizah selama kami di kurung,” ucapan Malik membuat Ryan tak ingin percaya.
Raksana menghabisi sendiri orang-orang yang pernah berjuang bersamanya.
“Penghianat, dia adalah tahanan. Kenapa Tuan malah menyerang kami.”
Raksana bimbang akan posisinya.
Ryan dan yang lainnya mendengar drama yang sedang berlangsung.
“Hey, kau. Cepat lawan dia, dia bukan lagi tuan kita. Dia seorang penghianat yang menghianati klannya sendiri,” ucap pemimpin pasukan itu.
Raksana menoleh pada Ryan, dia berharap bisa dekat dengan pemuda itu.
“Juna, Malik. Aku harus menyusul Bang Fahmi. Dia membawa Fizah dan di kejar oleh anak buah Rogiles,” ucap Ryan.
Malik mengangguk dan mengizinkannya pergi.
“Juna ikutlah bersamanya, aku akan di sini menghalau mereka.”
“Baik.”
Malik memilih berjuang bersama Raksana. Sebagai putra wa Pasang inilah tugas utama Malik, melindungi Putra Magadang dan siapapun yang naik tahta.