Gadis Hantu

1246 Kata
Gadi memberikan isyarat kepada Hylda dan Sukma agar tidak banyak bicara. Perlahan mereka berjalan dengan mengendap-endap menuju pantai. Tiba-tiba, suara tembakan bertubi-tubi terdengar kembali. Namun kali ini, mereka melihat beberapa burung yang bertengger di pohon jatuh tertembak. “Ndan, sepertinya dia pemburu,” kata Sukma, melangkah maju melewati Gadi yang masih bersembunyi di balik pohon. “Mundur, jangan macam-macam. Kita ini kosongan,” lirih Gadi. “Bang, kamu takut!” sindir Sukma. Gadi pun menjitak kepala Sukma. “Kita harus waspada dengan apa pun itu!” “Bang, aku lapar nih. Hidungku mencium bau bakar-bakaran,” ujar Hylda sambil memegang perutnya, bahkan ia menganggap dirinya berhalusinasi mencium aroma daging bakar. “Kita cari makan dulu, baru cari tahu siapa mereka!” perintah Gadi sambil berbelok ke kanan, menjauh dari arah pantai. “Kalau nggak ada buah-buahan, kita makan hewan hidup aja, Bang Gadi!” ucap Hylda yang sudah tidak tahan dengan rasa laparnya. “Gadi,” panggil Elisabet yang tiba-tiba muncul di hadapan Gadi. Gadi hanya melirik Elisabet dan tak menjawab panggilannya. “You are hungry? Do you want to find more fruit? I will show you the way,” kata Elisabet sambil berjalan mundur di depan Gadi, namun pria itu memilih jalan lain untuk menghindarinya. “Bang, aku nggak sanggup berjalan lagi,” keluh Hylda, berhenti di bebatuan besar yang berlumut. “Biar aku saja yang cari buahnya, Ndan!” Sukma menawarkan diri. Namun, Gadi justru meminta Sukma untuk menjaga Hylda. “Bang Gadi, sama si hantu itu. Katanya dia mau menunjukkan jalan. Kamu kan nggak bisa lihat dia!” Sukma pun setuju dan melambaikan tangan kepada Gadi yang sudah berlalu pergi. Dalam perjalanan, Elisabet tampak bahagia bisa berjalan berdua dengan Gadi. Mereka saling berbicara dan bercanda tawa. “You have to learn to speak Indonesian!” ucap Gadi. “Aku bisa sedikit-sedikit!” jawab Elisabet. Selama bersama Gadi, hantu itu selalu mengamati semua gerak-gerik dan cara berbicara Gadi, dari situlah Elisabet mempelajari bahasa Indonesia. “Lihat di situ, banyak buah. Kamu ambil dan makan!” seru Elisabet. Di sumber mata air yang tak jauh dari bibir pantai terdapat buah kelapa, pisang, dan ketela. Gadi pun mendekat dengan penuh semangat. Namun, ia terdiam sejenak dan bersembunyi di balik pohon saat melihat seorang wanita sedang mandi di sungai. “Kenapa siang bolong ada hantu?” tanya Gadi penasaran. “Ada apa?” Gadi bergeming, tidak menjawab Elisabet yang sedang kebingungan. “Jangan ikuti aku. Kamu di sini saja. Jika menolak, aku tidak akan mau mengenalmu lagi!” Elisabet menurut dan terdiam di balik pohon, sementara Gadi mencoba berpura-pura tidak bisa melihat hantu itu. Pria berhidung mancung itu terus berjalan sambil memetik pisang yang berada tepat di pinggir sungai. Sosok wanita yang sedang mandi itu pun menjerit ketakutan. “Gila, baru kali ini ada hantu takut manusia!” Gadi berpura-pura tidak mendengar agar hantu itu tak mengganggunya. Setelah memetik buah pisang, Gadi pun mendekat ke arah sungai untuk mengambil air minum. Hantu wanita yang bertelanjang itu menutupi tubuhnya dengan kedua tangannya dan berusaha meraih baju yang berada di batu di tepian sungai. Namun, nahas, baju hantu wanita yang bergaun putih itu justru jatuh ke sungai. Melihat kejadian itu, Gadi tertawa dalam hati dan membatin, “Baru kali ini ada hantu wanita yang konyol.” Gadi hanya melirik tubuh hantu itu yang terendam. Air yang jernih membuat tubuh si hantu terlihat semua lekukan tubuhnya. Hantu wanita di dalam air itu pun beringsut, memilih untuk berada di pojok dengan kedua tangannya menyilang. “Tapi aneh, kenapa hantu itu ketakutan melihatku?” Gadi yang meneguk air dari sumber yang berada di dekat sungai itu pun menatap dengan jelas ke arah sosok itu. Ia tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Perlahan ia mendekat dari tepian sungai, membuat sosok itu ketakutan dan menjerit. “Tolong!” teriaknya. “Kamu bisa bahasa Indonesia?” tanya Gadi mendekati sosok wanita berambut panjang itu. “Jangan mendekat!” teriak sosok itu kembali. “Tenang, jangan berteriak. Aku di sini hanya tersesat. Aku tahu kita berbeda alam. Aku hanya ingin mengambil air minum dan mencari buah-buahan untuk makan. Maafkan aku yang telah mengganggu.” “Kamu siapa? Kamu manusia atau hantu?” tanya sosok itu bergantian, membuat Gadi kebingungan. Gadi menampar wajahnya sendiri, “Aku masih hidup ternyata!” “Kamu!” teriak mereka secara bersamaan. “Kamu pasti mengira aku hantu,” kata sosok wanita itu berteriak dan meminta Gadi untuk pergi. “Maaf, Dik. Bukan maksudku mengintip. Aku mengira kamu kuntilanak. Karena di tengah hutan ini, aku baru tahu ada wanita secantik kamu.” Gadi bersembunyi membelakangi sosok wanita itu dan meminta maaf atas kesalahpahaman yang terjadi. “Lihat, bajuku basah gara-gara kamu!” “Maafkan aku sekali lagi. Kalau kamu berkenan, boleh pakai bajuku dulu.” Gadi segera melepas baju dorengnya dan celana panjang yang ia kenakan sebagai wujud permintaan maaf. Dengan terpaksa, wanita cantik berambut panjang dan pirang itu menerima pakaian Gadi. “Awas kamu melirik!” teriak wanita itu. “Enggak, Kok, Dik. Aku enggak melirik karena tadi juga sudah sempat lihat aku!” ucap Gadi keceplosan. “Apa!” Wanita itu segera mengenakan pakaian dan berlari mendekati Gadi sambil memukulnya karena kesal. “Maaf, aku benar-benar enggak sengaja tadi lihat.” Dengan membabi buta, wanita itu tetap memukul Gadi yang hanya mengenakan celana pendek dan kaos dalam tipis. Merasa bersalah, Gadi pun hanya berdiam diri ketika wanita itu memukulnya berkali-kali, hingga wanita itu lelah dan terduduk di batu kecil samping Gadi. “Maaf, Dik! Aku benar-benar enggak tahu kalau kamu manusia. Karena dari semalam yang aku temui bukan manusia. Bahkan kalau kamu lihat, wanita yang ada di pohon itu juga hantu yang mengikuti aku.” Wanita itu pun menoleh dan menatap Elisabet dengan wajah yang muram. Merasa pernyataan Gadi tulus dan tidak berbohong, ia pun diam dan tidak melanjutkan kemarahannya. “Kamu kenapa bisa berakhir di hutan ini?” tanya Gadi penasaran. “Kamu sendiri kenapa?” Wanita itu balik bertanya. “Kapalku terkena badai dan aku terdampar di sini. Ada dua kawanku juga di sana. Mereka kelaparan karena semalaman kami diganggu oleh makhluk-makhluk yang aneh.” Wanita itu sedang membentangkan bajunya yang basah akibat tercebur, ia pun kembali menoleh ke arah Gadi yang hanya mengenakan celana pendek. Terlihat Gadi menggigil kedinginan, membuat wanita itu tertawa lirih. “Bagus juga bodi tubuhnya!” batin wanita itu sambil menelan ludahnya sendiri. “Kenapa tertawa?” “Lucu saja lihat kamu!” “Kenapa nggak segera ambil buahnya?” Pria jangkung itu pun berdiri dan mengambil buah pisang yang belum begitu ranum. Dan kembali ia terdiam sambil duduk menunggu wanita itu. “Kenapa lagi?” tanyanya. “Nunggu bajuku.” “Kenapa nunggu? Nanti juga aku kembalikan kalau sudah balik.” “Sudah balik! Balik ke mana?” tanya Gadi. “Nanti aku kembalikan kalau sudah kering bajunya.” Gadi tak beranjak bahkan ia lupa kalau kedua temannya menunggu. Pria itu masih menunggu bajunya dan penasaran dengan wanita yang ia temui saat ini. “Kamu asal dari mana?” tanya Gadi. “Asalku Solo, Mas!” “Di sini tinggal di mana?” tanya Gadi. Wanita itu menatap Gadi dengan mimik wajah yang aneh, namun tetap cantik. “Kenapa melihatku seperti itu?” tanya Gadi, melipatkan kedua tangannya menutupi tubuhnya yang tak mengenakan pakaian. “Kamu marinir kan?” tanya wanita itu. “Iya, aku marinir. Memang ada apa? Bukankah kita datang ke sini bersama-sama? Kenapa kamu lupa?” Gadi tampak bingung dengan memperhatikan wajah itu dengan seksama “Memang kita pernah bertemu?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN