Bagian dari Mereka

1546 Kata
    Kal El menatap punggung sahabatnya itu. Jarang-jarang Yonas bersikap baik pada orang asing. Tak peduli itu laki-laki atau perempuan. Jika sekali bertemu, Yonas langsung akrab dan banyak bicara seperti tadi, itu tandanya, Yonas benar-benar tertarik dengan orang yang bersangkutan.     Mereka berdua masih keliling sampai hari nyaris petang. Mega jingga membuat suasana sekitar terlihat seindah lukisan. Namun keindahan itu tak dapat menyingkirkan kelelahan mereka.     “Kal, udah balikin gerobaknya! Terus balik. Gue … capek!” keluh Yonas.     “Manja!” singkat Kal El.     Yonas tak memberi reaksi berarti. Ia lelah luar biasa. Seakan tak ada tenaga untuk membalas ejekan Kal El. Tapi awas saja kalau lelahnya sudah hilang nanti. Yonas akan segera membalasnya dengan lebih membabi buta.     Netra Yonas menangkap bayangan orang-orang berseragam serba hitam. “Kal, mereka siapa?” panik Yonas.     Kal El segera mengumpat setelah melihat kedatangan mereka juga. Ia pikir hari ini mereka tak akan muncul karena Kal El sedang bersama Yonas. Tapi apa? Bahkan ini sudah terlalu sore. Mereka terlambat dibanding biasanya.     Kal El berlari meninggalkan gerobak ciloknya di pinggir jalan begitu saja.     “Woy, Kal! Tungguin!” Yonas berlari menyusul sahabatnya.     Mereka berlari menelusuri gang demi gang. Beberapa masyarakat yang kebetulan sedang melintas, atau sedang berada di teras rumah, secara kompak menatap ke arah Kal El, Yonas, dan rombongan lelki berpakaian serba hitam. Terheran-heran dengan apa yang terjadi.     Jika biasanya hanya ada satu orang yang dikejar, kali ini ada dua. Apa salah mereka sebenarnya, sampai harus dikejar oleh orang-orang itu setiap hari?     “Mereka siapa, sih, Kal?” tanya Yonas di sela-sala napas terengah, di sela-sela langkah lari yang semakin cepat.     “Orang-orangnya bokap.”     Yonas memutar bola matanya. Seharusnya ia sudah menduga hal ini. Bahwa Ayah seorang Kal El yang terhormat itu, akan menghalalkan segala cara untuk mewujudkan keinginannya. “Bokap lo gila emang!”     “I know right?”     Kal El mengarahkan Yonas untuk mengecoh mereka. Kal El menunjuk gang sempit tak beraspal di hadapannya, kemudian menunjuk gang serupa yang terletak sekitar 50 meter dari sini. Yonas segera mengerti dengan kode yang diberikan oleh Kal El.     Sesuai dengan kode itu, Kal El dan Yonas berlari menyabang. Dilihat dari kejauhan, mereka berdua terlihat sama. Pasti orang-orang itu akan kesulitan membedakan, mana Kal El, mana Yonas. Sehingga mereka bingung, mana yang harus diikuti.     Terlebih, mereka tak sempat melihat bagaimana penampilan Kal El hari ini. Karena pemuda itu sudah terlanjur lari saat mereka masih berada di kejauhan.     Sesuai rencana, orang-orang itu benar-benar kebingungan harus mengikuti siapa. Sang Bos barusaja memutuskan bahwa mereka juga harus terbagi menjadi dua. Setengah mengejar ke arah luruh, setengah mengejar ke gang sebelah.     Rencana yang cukup bagus. Sayang, mereka terlambat. Orang-orang itu sudah sepenuhnya kehilangan jejak Kal El.     Kal El dan Yonas sudah bertemu kembali di persimpangan. Mereka saat ini tengah bersembunyi di balik kerumunan pohon bambu rimbun yang terdapat di sekitar sungai Brantas.     Mata Yonas menatap takjub pada pemandangan yang baru saja ia tangkap. Ia melihat perahu kayu dengan desain sederhana. Perahu itu terikat oleh rantai pada sebuah tambang besar yang menghubungkan tepi sungai yang satu dengan yang lain.     Perahu itu digunakan oleh masyarakat untuk menyeberangi sungai. Memudahkan perjalanan, menghemat bahan bakar, dan juga membuat perjalanan lebih menyenangkan—hanya dengan dua ribu rupiah saja.     “Gue sering denger tentang tambangan yang menghubungkan Kediri bagian tengah dengan Kediri bagian barat. Tapi baru sekarang gue lihat aslinya,” takjub Yonas.     “Ndeso!” olok Kal El.     “Hus, nggak boleh ngomong itu! Nanti lo dilaporin, lho!”     “Katrok!”     “Wah, sekarang gue yakin lo cuman anak angkat, Kal. Bapak kandung lo … Tukul Arwana!”     Mereka kemudian tertawa bersama. Napas mereka yang masih Senin-Kamis seakan tak jadi halangan. Mendadak suasana kembali tegang saat orang-orang itu akhirnya juga bertemu di persimpangan. Mereka sedang menera-nerka di mana keberadaan Kal El.     Kal El meminta Yonas untuk tetap tenang, sampai akhirnya sang Bos orang-orang berpakaian serba hitam memberi titah pada para anak buat untuk lanjut berlari ke arah kanan.     Barulah Kal El dan Yonas merasa lega kembali.     “Kal, lo nggak apa-apa?” pekik Yonas begitu melihat cahya Kal El yang memucat.     Pemuda itu hanya menjawab dengan sebuah anggukan. Ia membaringkan diri pada pasir bercampur kerikil di sekitar sungai.     “Lo bawa obat, kan?”     “Berisik!”     “Kal, gue serius! Di mana obat lo?”     “Gue nggak bawa!” ***     Namira memakai apron pelayan yang memiliki logo LUAlounge pada bagian depannya. Semenjak LUAlounge dibuka, Namira sudah terbiasa membantu di sini. Dulu pekerjaannya hanya sekedar duduk manis menemani Bu Alila menjaga kasir. Tapi setelah ia kelas 4 SD, Namira sudah bisa mengantar penanan ke meja pelanggan.     Tak hanya Namira, Eren-pun memiliki kebiasaan yang sama. Ia bahkan sudah bisa mengantar pesanan ke meja pelanggan meskipun sekarang masih kelas 2 SD. Eren selalu terlihat percaya diri tiap kali melaksanakan tugasnya. Ia selalu suka tiap kali orang-orang memujinya imut.     Tentu saja imut, dari semua pelayan di sini, hanya Eren-lah yang memakai apron warna merah jambu.     “Jangan lupa buat jelasin yang kemarin, Yah!” bisik Namira saat ia lewat di samping Yas.     “Yang kemarin apa?” Yas sedang konsentrasi memutar gerakan air panas pada bubuk kopi di atas saringan, untuk mendapatkan tetes demi tetes Americano yang sempurna. Itulah sebabnya ia kurang bisa menangkap apa maksud Namira.     “Yang kemarin lho, Yah! Tentang ayahnya Kak Cilok. Tentang LGBT!”     Sekiranya jawaban Namira sedikit terlalu keras. Sehingga beberapa pelanggan, pelayan, Theo, Elang, Chico, dan Bu Alila kompak menatap ke arahnya.     Hanya Eren yang masih sibuk berkutat dengan buku PR.     Namira memasang wajah tanpa dosa dan sebuah cengiran garing. Sial! Ia tak menyangka ucapannya akan sekeras itu. Yas saat ini tengah menatap tajam sang Putri Sulung.     Yas ingat kok. Yas tidak lupa. Aduh, Nami ini!     “Nami lagi BETE, Yah! BETEEEEE banget!” Namira mulai berakting seolah-olah ia memang sedang bete. Padahal ia tadi membicarakan LGBT.     “Nanti, Sayang! Nanti malem!” tegas Yas.     Nami terdiam seketika, kemudian beringsut pergi, menjauh dari Yas. Ia tak ingin mengambil resiko, membuat Yas marah. Karena pada hakikatnya, orang yang biasanya sabar dan penyayang, akan sangat mengerikan ketika sedang marah.     “Dek, kamu udah kontak Dokter Hengki?” tanya Yas saat Theo melintas di depan counter.     “Udah. Tadi udah ketemu juga. Katanya dia mau nyesuaiin sama jadwalnya, baru bisa nentuin jadwal check-up.”     “Oh, yaudah kalo gitu.” Yas menatap Theo yang terlihat sedang memikirkan sesuatu. Terbukti, ia tersentak saat Yas bertanya, “Lagi mikirin apa?”     “Ngagetin aja lo, Yas? Nggak. Itu … Dokter Hengki beda banget sama dulu.”     “Beda gimana?”     Theo lagi-lagi terlihat berpikir. “Ya … beda aja. Dari segi fisik, belum terlalu banyak perubahan. Tapi dari segi sikap … bener-bener jauh dari dulu.” Theo teringat sesuatu. “Ah … dia punya semacam asisten pribadi gitu. Cowok. Caranya natap gue ….” Theo bergidik. “Bikin merinding.”     Gantian Yas yang mengenyit kali ini. Terasa aneh memang.     Yas meletakkan empat cup espresso pada nampan di hadapannya. “Meja tujuh, Dek.”     Theo hanya mengangguk, mengambil nampan itu, kemudian beringsut pergi.     Yas segera beralih menangani pesanan lain. Namun pikirannya masih berkutat seputar pernyataan Theo tadi.     Namira begitu getol menanyakan tentang ayah dari Tukang Cilok. Barusaja Theo bercerita seperti itu. Entah apa relasi di antara dua cerita tersebut. Yas hanya merasa keduanya berhubungan. ***     “Lo bego! Kenapa bisa nggak bawa obat?” bentak Yonas. Ia luar biasa khawatir. Terakhir kali penyakit Kal El kambuh, ia sama sekali tidak membuka mata selama nyaris satu bulan. Yonas ketakutan setengah mati. Yonas benar-benar tidak mau hal itu terulang kembali.     Kal El terkikik melihat reaksi Yonas. “Obat gue ada di sini.” Kal El membuka resleting tas pinggangnya, mengambil sebuah tabung putih. Ia mengocok tabung itu tepat di hadapan mata Yonas.     Yonas terlihat lega dan kesal di saat bersamaan. Lega karena Kal El ternyata membawa obatnya. Kesal karena ternyata Kal El mengerjainya.     Kal El masih terkekeh sesekali. Ia akui, ia memang jahat. Ia mengerjai Yonas di saat yang tidak tepat. Atau justru, di saat yang sangat tepat? Sesuai dengan situasi dan kondisi yang memang mendukung kekhawatiran seorang Yonas.     Kalau boleh Kal El jujur, rasanya menyenangkan, membuat Yonas yang berdarah panas, selalu khawatir padanya.     Kal El tak bisa membayangkan jika sisi lembut Yonas diketahui oleh orang lain. Bisa-bisa pamornya sebagai pemimpin Element yang dingin dan raja tega, sirna begitu saja.     Kal El memasukkan kembali tabung obatnya setelah menelan satu butir tablet. Yonas seharusnya sadar, Kal El tak sebodoh itu sampai-sampai obatnya ketinggalan. Kal El juga tidak mau jika ia kembali menjadi Kal El yang lemah. Saat penyakitnya kambuh … Kal El selalu terlihat tak berdaya. Dan ia tidak suka dengan fakta itu.     Ia bisa menahan sakitnya. Ia hanya tidak tahan dengan pandangan orang-orang yang menatapnya iba. Hal itu memuakkan.     Yonas barusaja membaringkan dirinya di sebelah Kal El. Merasakan kerasnya kerikil dan pasir yang terasa menusuk punggung.     “Lo nggak serius mau ikut gue jualan lagi besok, kan?”     “Gue serius. Gue beneran pengen ketemu lagi sama cewek tadi. Sekalian jagain lo.”     “Jangan bego! Kalau sampai ketahuan Element, bisa gawat!”     “Nggak bakal ketahuan.”     “Lo seyakin itu? Gimana kalo sampai mereka tahu?”     “Mereka nggak bakal tahu,” tegas Yonas.     Kal El bungkam. Andai saja ia masih bagian dari mereka, ia tak akan sekhawatir ini. *** TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN