Ichal memasukkan dokumen-dokumen ke dalam map arsip, kemudian menyusunnya di rak sesuai urutan nomor dan kode. Selesai sudah pekerjaan mereka malam ini.
“Chal, ayo!” ajak Dokter Hengki.
“Oke!” Lelaki itu berlari kecil menyusul langkah sang Dokter. Saat ia posisinya telah sejajar dengan Dokter Hengki, Ichal mulai tersenyum. “Siapa pasien yang tadi siang?” tanyanya tanpa keraguan.
Dokter Hengki menaikkan sebelah alisnya. “Pasien yang mana?” Ia pura-pura tidak tahu. Meskipun sebenarnya ia sangat paham bahwa pasien yang Ichal maksud adalah Theo.
“Yang tadi siang, yang katanya akhir-akhir ini gejala sakitnya dulu balik lagi. Terus kamu bakal bikinin dia jadwal check up.”
“Oh … namanya Theo.”
“Theo ….” Ichal mengulang jawaban Dokter Hengki. Senyuman belum sirna dari wajahnya. Justru semakin melebar kala ia akhirnya mengetahui nama seseorang yang memenuhi pikirannya sepanjang siang.
“Kamu suka dia?” tembak Dokter Hengki.
“Nggak, sembarangan!” jawab Ichal cepat. “Aku udah punya kamu. Kenapa harus suka sama yang lain?”
Dokter Hengki mengangguk-angguk. “Kita lihat aja nanti. Misal kamu beneran suka sama dia ….”
“Misal aku suka sama dia …?”
“Ada konsekuensinya.”
“Ih, nakutin!” Ichal menjambak rambut Dokter Hengki dengan brutal.
Dokter itu memekik. Bukan karena sakitnya, tapi karena kaget. Beberapa orang di lorong—entah pasien, entah perawat, ataupun dokter lain—menatap mereka aneh.
“Apa-apaan kamu itu? Udah aku bilang, kamu harus jaga sikap saat di rumah sakit!” Dokter Hengki memarahi Ichal dengan suara yang hampir tak terdengar.
“Oops, sorry! Habisnya kamu nyebelin!” jawab Ichal cuek. “Oh, iya. Gimana sama Kal El? Udah ketemu?”
Dokter Hengki terlihat malas membahas tentang anak sematawayangnya. “Pada dasarnya dia nggak pernah menghilang. Karena aku selalu tahu di mana Kal El berada. Bahkan aku juga tahu, anakku satu-satunya lebih milih jualan cilok ketimbang tinggal sama orangtuanya. Jadi, pertanyaan apakah Kal El udah ketemu itu kurang tepat.”
“Yaudah aku ralat pertanyaannya. Apakah anak buah kamu sudah berhasil bawa Kal El pulang?”
“Belum. Mereka bodoh dan lamban. ”
“Tinggal jawab belum aja ribet, panjang banget urusannya dari tadi!” gerutu Ichal.
“Kamu ngomong apa?” tanya Dokter Hengki segera.
Ichal cengengesan. “Nggak kok. Kamu ganteng!”
“Dasar!”
***
Yas melihat arlojinya untuk yang ke sekian kali. Hampir lewat tengah malam. Biasanya jam segini LUAlounge sudah sepi pengunjung. Tapi malam ini pengunjung masih terus berdatangan.
Bukannya Yas tidak bersyukur. Ia sudah memiliki janji dengan Namira untuk menjelaskan tentang masalah kemarin. Masalah tentang hal saru. Namira pasti begadang lagi malam ini karena sedang menunggu sang Ayah datang. Menunggu sambil menggerutu.
“Johnny!” seru, Yas.
Karyawan tertinggi di LUAlounge itu segera berlari menghamipiri sang Bos. “Kenapa, Pak?”
“Sini, gantiin saya dulu!”
Johnny terlihat ragu. “Serius, Pak?”
“Serius, ayo buruan! Saya mau ke dalem sebentar aja.”
“Tapi, Pak, nanti kalo ada yang pesen kopi gimana?”
“Ya bikinin, dong!”
“Tapi, Pak ….”
“Saya percaya sama kamu!”
Johnny sangat tersanjung akan kepercayaan Yas padanya. Dari beberapa karyawan yang ada, Johnny memang terang-terangan pernah mengatakan pada Yas bahwa suatu saat nanti ia ingin menjadi seperti Yas—memiliki café atau lounge atau minimal warung kopi sajalah.
Johnny ingin belajar banyak dari Yas supaya cita-citanya terwujud. Yas dengan senang hati sering mengajari anak itu bagaimana cara membuat kopi yang enak.
Makanya saat akhirnya Johnny diberi kesempatan seperti ini, ia merasa sangat senang. Ia merasa amat bangga. Ini adalah sebuah kehormatan baginya.
Yas berjalan cepat menaiki tangga, menuju kamar sang Putri tercinta. Yas hampir saja lupa mengetuk pintu. Untung tidak jadi lupa. Seandainya saja ia betulan lupa, maka segala didikannya pada Namira dan Eren tentang etika memasuki sebuah pintu—gagal total—karena ia tidak bisa memberi contoh.
“Masuk, Yah!” seru Namira dari dalam. Benar, kan? Anak itu benar-benar menunggunya.
Yas memutar knop pintu perlahan. “Maafin Ayah telat!”
“Hm ….” Namira hanya menjawab sekenanya.
Yas berjalan mendekat, mengambil posisi berbaring di sebelah putrinya. “Kemarin kita sampai mana?”
“Jangan pura-pura lupa, please!”
Yas tekikik. “Sensitifnya anak gadis Ayah!”
“Ayah aja yang nggak peka! Udah ditungguin lama, dateng-dateng bukannya buru-buru jelasin, malah basa-basi!”
“Iya, deh, iya!” Yas menggeser posisinya supaya lebih dekat dengan Namira. “Kemarin Nami tanya, ayahnya Tukang Cilok gay apa biseksual, ya?”
Namira mengangguk.
“Terus Nami menyimpulkan apa kemarin? Ayah beneran lupa!”
Namira mencubit lengan Yas dengan kuat. “Ayah sukanya godain Nami terus. Ayo cepetan jawab!” Namira mencubit lengan Yas sekali lagi.
Yas terlihat tersenyum, tapi sebenarnya ia menyesal sudah menggoda Namira tadi. Sakit juga cubitan anaknya ini. Puas mengelus-elus lengan malangnya, Yas mulai serius membahasa tentang pertanyaan Namira. Sekaligus mematenkan jawaban yang sudah ia diskusikan dengan Bu Alila, di dalam otak, supaya tidak lupa. “Kenapa Nami bisa ngambil kesimpulan bahwa ayahnya Tukang Cilok adalah seorang biseksual?”
“Habisnya ….” Namira terlihat berpikir. “Kan kemarin Nami udah bilang, ayahnya Kang Cilok nikah sama ibunya Kang Cilok. Tapi sekarang ayahnya Kang Cilok suka sama cowok lain. Menurut hasil riset Nami dari internet, seseorang yang bisa suka sama cewek dan cowok sekaligus, itu namanya biseksual, Yah!”
Yas mengangguk-angguk. “Begini, kita nggak bisa mengambil kesimpulan semudah itu, Sayang!”
“Emangnya kenapa? Kan udah jelas!”
Yas menggeleng. “Semua yang terlihat, nggak selalu selaras dengan kenyataan yang ada.”
“Maksud Ayah?”
“Ada begitu banyak kemungkinan yang menyertai. Nggak ada yang tahu seperti apa perasaan seseorang sesungguhnya. Kecuali dirinya sendiri dan Tuhan. Kita nggak boleh menilai atau menghakimi hanya dari apa yang terlihat.”
“Nami nggak ngerti, Yah!” Namira terlihat frustrasi.
“Misalnya, ada seseorang yang berakaian rapi, pakai jas, pakai dasi. Apa kesan pertama Nami saat pertama melihatnya?”
“Dia seorang bos perusahaan besar.”
Yas menggeleng. “Pekerjaan orang itu sebenarnya adalah seorang pemulung.”
“Kok bisa? Katanya tadi pakai jas, pakai dasi!”
“Dengerin dulu, ada kisahnya. Jadi, lelaki itu selalu cerita sama anak-anaknya, bahwa dia memiliki sebuah pekerjaan yang hebat. Anaknya percaya, dan merasa bangga dengan sang Ayah. Untuk semakin memperkuat kesan bahwa pekerjaannya memang sehebat pemikiran si Buah Hati, sang Ayah setiap akan pergi kerja, selalu memakai pakaian rapi. Pakai jas, pakai dasi.”
“Berarti ayahnya bohong, dong!”
“Nami pikir kenapa sang Ayah berbohong?”
Namira mengangkat bahu, tanda tak tahu.
“Dia nggak mau anaknya merasa malu. Nggak mau anaknya jadi minder saat bergaul di sekolah. Bohong itu memang perbuatan tercela. Tapi kadang bohong diperlukan, demi sebuah kebaikan.”
Namira terdiam mencerna penjelasan Yas baik-baik. Ia terharu setelah mengetahui apa alasan sang Ayah berbohong dalam cerita itu.
“Sekarang Nami udah ngerti?”
“Ya, Nami udah ngerti untuk yang nggak boleh menghakimi atau menilai seseorang hanya dari apa yang terlihat. Tapi Nami masih belum mengerti kenapa ayahnya Kang Cilok nikah sama bundanya Kang Cilok, tapi sekarang suka sama cowok lain!”
“Itu urusan pribadi mereka, Sayang. Kita nggak berhak mencampuri. Kadang pemikiran orang dewasa memang sulit dimengerti.”
Namira mengerjap polos. “Bisa nggak, sih, Yah, Nami balik kecil kayak dulu lagi?”
“Lhoh, kenapa gitu?”
“Nami nggak mau jadi dewasa. Nggak mau punya pemikiran yang sulit dimengerti.” Namira memeluk lengan Yas erat.
Yas tersenyum akan pendapat dan tanggapan Namira. “Itu karena saat ini Nami masihlah gadis kecil Ayah. Later when you grow up, you will learn by yourself.”
***
Seseorang berlari dengan menggendong seseorang lain di punggung. Napasnya memburu. Ia lelah, namun tak mau berhenti, atau sahabatnya bisa mati.
Langkah kaki Yonas akhirnya sampai pada pelataran rumah sakit. Matanya tertuju pada ruang UGD di depan sana. Ia harus segera sampai ke tempat itu secepat mungkin. Untunglah, kedatangannya sudah terlihat oleh beberapa tim medis yang berjaga.
Mereka dengan cekatan mendorong sebuah brankar mendekati posisi Yonas dan Kal El saat ini.
Yonas segera membaringkan Kal El pada brankar itu, dibantu oleh para tim medis.
“Dia … putranya Dokter Hengki?” tanya salah satu dari mereka.
Yonas hanya menjawab dengan anggukan, sembari mengatur napasnya sendiri yang sudah hampir habis rasanya.
Tanpa bertanya apa-apa lagi, mereka semua kembali mendorong brankar menuju ke UGD. Mereka semua tahu persis bagaimana kondisi Kal El. Maka dari itu, mereka harus bergegas secepat mungkin.
***
TBC