Mengawali Liburan

2257 Kata
Mengawali Liburan RAY kecewa ketika Wak Dulah menelepon padanya jika rencana liburan Ray dan ketiga temannya ke Banjarnegara akan ditangguhkan seminggu lagi. Sementara, besok sudah memasuki liburan. Ray juga jadi tak enak pada teman-temannya yang sudah mempersiapkan segalanya. Namun, mau tak mau, Ray pun harus menyampaikannya agar tak dianggap berdusta oleh teman-temannya. “Alasan Wak Dulah menangguhkan… kenapa, Ray?” tanya Dirga. Ray baru bicara pada Dirga terlebih dahulu. Mereka berdua bicara depan kelas Ray, ketika bel tanda istirahat baru saja beberapa menit berbunyi. “Karena dalam waktu seminggu ini, Wak Dulah lagi ada di Bandung. Malah, hari ini pun, dia sudah berada di sana. Semalam, dia yang telepon dan bilang begitu sama aku,” jelas Ray. “Wak Dulah sering ke Bandung juga, ya?” “Sering. Malah bisa seminggu sekali. Dia suka menginap beberapa malam di hotel.” “Hebat kakekmu itu…” “Hebat apanya?” “Terbiasa tidur di hotel.” “Kalau lagi ada kepentingan saja. Nggak di Bandung saja. Tapi ke kota-kota lain. Sukabumi, Jakarta, malah ke Palembang dan Medan.” “Dia paranormal kan, Ray?” Dirga penasaran. Ray menghela napas. “Aku nggak bisa menebak jenis pekerjaannya. Setahuku, dia mendalami banyak ilmu kebatinan. Dia juga bisa mengobati penyakit fisik. Tapi, banyaknya yang mencari dia untuk suatu urusan duniawi.” “Aku jadi penasaran… kalau sampai kita bisa bersama dia di Jawa Tengah, ya? Ingin tahu ilmu-ilmunya seperti apa.” “Tertarik ingin mendalami juga?” selidik Ray. Dirga menggeleng. “Bukan. Hanya mau tahu. Kalau kamu gimana? Tertarik nggak?” Ray pun menggeleng. “Kalau mendalami, nggak tertarik. Tapi kalau sebatas mengetahui, ya oke saja. Dir, orang yang berniat mencari tahu mengenai ilmu Wak Dulah, itu harus orang yang pemberani.” “Kamu anggap aku nggak pemberani?” Dirga menatap Ray. “Kamu sendiri yang bisa menilaimu. Pemberani atau tidak. Sepulang dari Pak Endang… kala masih di dalam perjalanan antara Nangerang sampai kaki gunung, kamu… mengalami sesuatu yang menakutkan, ya?” Ray balas menatap temannya. Dirga belum mau menjawab. Malam di gunung, kala motor Roy mogok, Dirga melihat penampakan. Seorang perempuan berbaju putih dan berambut panjang tengah menunduk dan duduk depan sebuah nisan. Bukan main Dirga takut teringat itu. Namun, anehnya, Ray tak melihat penampakan itu. Ray hanya memerhatikan tingkah Dirga yang mendadak ganjil, dengan wajah ketakutan dan kecemasan yang ditahannya. Ray tak sempat bertanya saat itu karena motornya keburu bisa dilajukan. Namun, Ray yakin jika Dirga melihat sesuatu yang tak biasa. “Lupa?” tanya Ray. “Aku nggak mau menceritakannya, Ray.” “Oke, aku nggak akan maksa. Tapi yang pasti, kau sudah mengalami kecemasan ya waktu itu?” “Benar, Ray.” “Kamu... takut?” “Jujur… ya.” Bibir Ray tersenyum. “Berarti kamu bukan orang yang pemberani. Kamu penakut.” “Yaaa, kadang-kadang sih, Ray.” “Bukan kadang-kadang tapi sering.” “Jadi… soal liburan bersama… gagal saja?” Dirga mengalihkan pembicaraan. “Yap!” kepala Ray mengangguk. “Nanti aku bicara sama Dani dan Fian.” “Pasti mereka berdua pun kecewa, sama halnya dengan aku,” ucap Dirga tampak lesu. “Maaf… tapi itu bukan kemauanku, Dir,” tangan Ray menepuk bahu Dirga. Lalu, dirogohnya gawai di saku celana seragamnya. Kemudian diteleponnya Dani. Tak lama, Dani muncul bersama Fian. Ray pun langsung mengatakan mengenai penangguhan pergi berlibur ke Banjarnegara berikut alasannya. “Kalau ditangguhkan, berarti bukan nggak jadi kan… cuma waktunya saja yang digeser,” Dani menyimpulkan. “Ya. Minggu depannya. Kita kan liburnya dua minggu.” “Berarti… tetap jadi pergi?” tanya Dirga meminta kepastian. Ray mendecak. “Ya, tetap jadi. Hanya… ditangguhkan. Mengerti?” “Mengerti, Bos!” Dirga tersenyum. Ada harapan lagi bisa berlibur ke sana meski hanya seminggu. Padahal, ia sudah tak sabar. Terlebih bebas biaya transportasi juga makan dan lainnya. Kedua orang tuanya pun sudah mengizinkan. Sementara Fian tak banyak bicara. Baginya, yang penting liburan di Banjarnegara. Tak masalah hanya seminggu. Kendati tak sesuai rencana semula yang awalnya hendak menghabiskan waktu liburan di sana dalam dua minggu. Hendak ke kota-kota lainnya. Bukan hanya Banjarnegara. Tapi Wonosobo, Temanggung, Magelang, dan Jogja. Seperti yang dijanjikan Wak Dulah pada Ray, akan mengajak Ray dan teman-temannya pelesiran ke banyak tempat wisata di sana. “Liburan dua hari lagi. Atau… bagaimana jika dalam seminggu ke depan, sebelum ke Jateng, kita habiskan waktu seminggu di tempat lain?” Ray menatap teman-temannya satu per satu. “Ketimbang suntuk di rumah masing-masing.” “Ya, Ray benar. Suntuk di rumah sendiri. Juga suntuk liburan di kampung sendiri,” kata Fian. “Bukan suntuk, mungkin bosan,” sela Dirga. “Ya, sama saja!” seru Fian. “Kamu ada rencana lain?” Dani menatap Ray. “Kalau kita ke Garut… gimana?” tanya Ray. “Ke tempat bibimu itu?” Dani balik bertanya. Ray mengangguk. “Ya. Kita berlibur di rumah bibi-bibiku. Mereka baik. Pasti senang dengan kedatangan kita.” Dani mengendikkan bahu. “Malas ah, di tempat bibimu itu kan ada jenglot. Ngeri, deh… hampir saja aku dimakan jenglot.” “Jangan membual!” seru Ray. “Aku serius. Kan emang ada jenglot di rumah tua itu! Rumah mendiang kakek dan nenekmu! Kamu juga tau sendiri. Jenglot milik Wak Dulah yang sengaja disimpan di dalam dus di atas lemari kayu. Pas tengah malam, jenglot meronta ingin keluar. Aku nggak bisa tidur waktu itu takut tiba-tiba jenglot melompat keluar dan menangkapku!” tutur Dani. Fian dan Dirga menyimak cerita Dani. “Tapi soal jenglot hampir makan kamu dan melompat keluar... itu hanya bualanmu!” jelas Ray. “Aku nggak membual!” “Terserahmu!” “Ray, kenapa kamu bilang aku membual? Itu kan nyata!” Dani bersikukuh. “Cerita jenglot ada di sana memang nyata. Tapi kalau makan dan melompat… itu hanya bayanganmu.” “Bilang saja… hanya bayanganku... jangan bilang membual!” Dani agak tak suka dengan ucapan Ray. “Yaaaaa…. Mangap… mangap… aku salah ucap!” Ray melirik pada Dani seraya menahan tawa melihat raut muka Dani yang mendadak kusut. Fian menggoda Dani biar ketawa. Namun, banyolan Fian sama sekali tak mempan. Dani kembali ke kelasnya dengan wajah masih sama. Kusut. Tiba di rumah, Ray masuk kamar. Ia tak keluar meski ibunya terus memanggil menyuruh makan. Ray bilang sudah kenyang makan baso di dekat gerbang sekolah dengan teman sekelasnya. Hingga hari hampir gelap, Ray masih belum mau keluar kamar. Tubuhnya terbaring tanpa memejamkan mata. Ia memikirkan liburan di Garut yang ditolak Dani. Fian dan Dirga tak berkomentar. Ray jadi bingung, ingin membuat teman-temannya senang dalam seminggu ke depan, tapi Dani tampak kesal lantaran Ray bicara perihal Dani yang membual. Padahal Ray hanya salah ucap. Ia pun tak mengerti mengapa Dani jadi sensitif. Tak biasanya. Hingga malam tiba, Ray masih memikirkan Dani, Ia ingin meneleponnya dan meminta maaf tapi tak berani. Takut Dani tak mau mengangkat telepon. Ia pun mau mencoba mengirim pesan lewat w******p. Namun, segera diurungkan. Ia pun tak tahu apakah Dani pulang ke rumahnya atau menginap di rumah Bu Marsinah. Sepulang sekolah, ia dan Dani tak bersua. Juga dengan Fian dan Dirga. Tiba-tiba gawainya berdering. Ada nada panggilan telepon. Ray girang melihat nama penelepon. Dani! Ponsel segera diangkat dan ditempelkan ke telinganya. “Ray, lagi ngapain?” “Baru beres makan malam, Dan. Kamu di rumah Bu Mar?” “Nggak. Di rumahku. Baru saja ngobrol sama orang tuaku soal liburan.” “Liburan ke Banjarnegara yang ditangguhkan?” “Ya, Ray.” “Terus?” “Ya, Mama bilang kalau bosan di rumah… berlibur saja ke Cipanas.” “Ke tempat nenek kamu?” tanya Ray. Maksudnya, nenek Dani dari pihak ibu. Ibunya Dani orang Cipanas Cianjur. Meski Ray belum pernah ke sana, tapi ia tahu betul bagaimana kawasan Cipanas yang terkenal dengan puncaknya. Kawasan yang paling asyik digunakan berakhir pekan atau liburan sekolah. Dani pun pernah beberapa kali cerita bagaimana indahnya pemandangan di sana. Banyak tempat wisata, banyak vila, banyak non pribumi, dan banyak hal lainnya yang menyenangkan. “Ya, Ray. Lagian... sudah lama aku nggak ke sana. Kalau Mama dan Papa tiga bulan sekali suka berkunjung.” “Saranku, kalau orangtuamu nyuruh kamu libur di sana, ya kamu turuti saja. Jarang-jarang lho punya banyak saudara yang tinggal di kawasan wisata…” jelas Ray. “Ya, aku juga sih pingin. Seminggu kan lumayan. Seminggu kemudian, ke Banjarnegera kan…” “Oke, silakan kalau kamu mau menghabiskan waktu seminggu di sana dulu.” “Raaaaaaaay!” seru Dani. “Maksudku… kita yang ke sana. Aku, kau, Dirga, dan Fian! Bukan cuma aku!” “Waaaaaah, asyik juga tawaranmu, ya… ketimbang di Garut yang sepi, hehehe…” komentar Ray. “Ray, kamu yang telepon Fian dan Dirga, ya?” kata Dani. “Pasti mereka senang banget!” “Ya, telepon dulu lah sekarang.” “Sekarang?” “Iya!” “Malam ini?” “Iya Ray, ah cerewet kamu ini!” “Terus, kalau mereka bertanya kapan berangkatnya… gimana tuh? Fian apalagi suka nggak sabaran pasti pingin cepet-cepet pergi!” kata Ray. “Bilang saja… besok sore!” “Oke!” Ray tampak semangat. Lalu segera menelepon Dirga. Setelah itu Fian. Tanggapan kedua temannya sangat baik. Tentu saja, mereka gembira. Dan ingin segera esok sore. Begitu pun dengan Ray. Hampir saja ia tak bisa tidur karena terus membayangkan pengalaman selama di Cipanas. Tibalah pagi Minggu, Ray minta izin pada kedua orangtuanya. Ayahnya tengah berada di rumah. Semalam pulang dari kota. Kedua orang tuanya pun mengizinkan. Malah, Ratna yang hobi memasak, sibuk menyiapkan makanan yang hendak dibawa oleh Ray untuk bekal di perjalanan. “Ma, kan berangkatnya sore. Jadi, makanan jangan terlalu banyak. Lagian, mau dimakannya kapan? Kan sore pergi, sekitar tiga jam palang perjalanan. Sudah dipastikan tiba jika hari sudah sangat gelap.” “Nggak apa-apa. Nggak keburu dimakan di jalan kan bisa dimakan nanti di rumah neneknya Dani. Sekalian, Mama juga masak khusus buat nenek Dani.” “Tahu gitu makanan kesukaan nenek Dani? Mama kan hanya kenal nenek Dani… Bu Mar saja.” “Mama pernah ngobrol sama Mamanya Dani ketika dia berkunjung ke rumah Bu Mar. Lalu dia sempat cerita mengenai makanan kesukaan ibunya,” jelas Ratna. “Ooh,” ucap Ray. Lalu berlalu dari dapur. Pukul tiga sore, Dirga dan Fian sudah berada di beranda. Menunggu Ray. Mereka sudah siap. Lalu tak berapa lama datang Dani. Semua berpakaian santai; celana jins, atasan kaos dan dilapisi jaket. Masing-masing menggendong tas ransel berisi pakaian. Hanya Ray, selain membawa ransel juga tas platik berisi makanan. Fian dibonceng Dani. Dirga dibonceng Ray. Motor Dirga dititipkan di rumah Ray. Katanya, besok pagi, ayah Dirga akan datang mengambil motor. Kedua motor itu melaju beriringan. Mereka menikmati perjalanan. Sesekali berhenti di jalanan yang menurut mereka asyik untuk berfoto. Sebenarnya, perjalanan hanya memakan waktu tiga jam. Namun, lantaran sering berhenti, mereka berempat baru tiba depan rumah nenek Dani, pukul tujuh lebih lima belas menit. Nenek Dani menyambut kedatangan mereka dengan ramah. Begitu pun dengan kakek Dani. Ray dan teman-temannya menggigil kedinginan. Cuaca Cipanas yang sangat dingin menusuk kulit dan terasa nyaris ke tulang sumsum. “Ayo diminum dulu,” nenek Dani menawarkan minuman hangat yang sudah dibuatnya dan berada di atas meja kaca. Malu-malu, Fian yang memulai mengambil gelas lalu perlahan menyeruput. Diikuti Ray dan Dirga. Sementara Dani dengan santai, terus meneguk kopi hitam buatan kakeknya hingga tandas. “Motor kalian di mana?” tanya kakek Dani yang namanya Rahmat. “Di depan Vila Aling, Kek,” jawab Dani. Rumah kakek Rahmat berada tepat di belokan jalan aspal. Jalan yang bisa dilalui angkutan roda empat. Tapi bukan jalan umum melainkan jalan menuju ke kompek perumahan. Komplek dimana rumah-rumahnya dihuni oleh orang-orang bermata sipit. Depan rumah kakek Rahmat, terdapat sebuah vila. Vila Aling namanya. Dani tahu vila itu karena setiap berkunjug ke sini, ia terkadang masuk ke halamannya yang luas. Vila itu ada penjaganya. Seorang kakek dan nenek yang tua, sangat baik dan suka mengajak anak-anak untuk bermain di halaman. Vila itu baru ramai jika pemiliknya datang di akhir pekan. Pemiliknya tinggal di Jakarta. Jadi, ketika datang ke vila hanya untuk sesekali. Atau juga, karena pemilik vila di Jakartanya seorang pedagang besar, ia mempunyai banyak langganan. Dan para pelanggan itu suka diperkenankan untuk berakhir pekan di vila Aling. “Dani, nanti motor kalian masukkan saja ke halaman vila, ya?” kata kakek Rahmat. “Abah Jali dan Umi Rahminya ada, kan, Kek?” tanya Dani. “Oh ya, kamu belum tahu, ya. Mereka sudah meninggal, dua tahun lalu. Meninggal dalam waktu yang tak jauh, beda dua bulan, Bah Jali dulu.” “Innalillahi wainna ilaihi rajiu’un,” ucap Dani dan ketiga temannya. “Terus, yang jaga vila siapa sekarang, Kek?” tanya Dani lagi. “Si Ali, cucu Bah Jali. Tapi dia jaganya hanya siang. Kalau malam, dia nggak mau.” “Kenapa?” “Katanya… takut,” kata kakek Rahmat. “Semenjak Bah Jali dan Umi Rahmi meninggal, pemilik vila jadi enggan kemari. Begitu pun dengan para langganannya. Vila itu jadi sepi. Dan dampaknya, warung nenekmu juga terbawa sepi.” Dani terdiam. Ada rasa takut yang mulai menghinggapinya. Namun, ditahannya. Ia pun tak bisa menolak ketika kakeknya menyuruh segera mengamankan motor. Katanya, banyak pencurian kendaraan bermotor di kawasan sini. Dengan sangat terpaksa, Dani dengan diantar Fian, membawa motor masuk ke pekarangan vila. Gelap. Di halaman gelap. Keduanya mendorong motor hingga di samping rumah itu. Aman. Tubuh mereka pun berbalik hendak kembali tapi dikejutkan dengan suara deheman dari dalam vila.***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN