Lebih Buruk daripada Bersua Hantu
“AKU tunggu di beranda masjid!” ucap Dani di telepon selularnya. Usai menelepon Ray, lalu menelepon Fian, dan terakhir Dirga. Mereka berempat di tempat yang berbeda. Dani duduk di tangga masjid. Sepi pada jam sembilan. Kelas sepuluh dan sebelas, tengah mengikuti pembelajaran. Sementara kelas dua belas, sudah selesai mengikuti pengarahan dari pembina siswa di lapangan. Setelah itu, semua siswa kelas dua belas diperbolehkan masuk ke kelas masing-masing. Namun, sebagian bisa menuju perpustakaan atau laboratorium. Lain hanya dengan Dani, ia langsung menyepi ke arah masjid. Lagi enggan berbaur dengan banyak teman di kelasnya.
Tak berapa lama, satu persatu temannya muncul. Ray memarkir motor dekat kolam. Begitu pun dengan Dirga yang juga memarkir motor. Dan Fian, datang belakangan dengan berjalan kaki. Mereka semua menghampiri Dani. Ray mengajak Dani dan yang lainnya duduk di beranda samping. Sembari menatap kolam berbentuk lingkaran.
“Ray, tadi aku diminta Bu Sri menginap lagi,” kata Fian.
“Di rumah Haji Jajuli itu?” Ray melirik pada Fian.
Fian mengangguk. “Ya, tapi kalau aku... malas, meski di situ banyak makanan.”
“Tumben malas!” cibir Dani.
“Aslinya!” ucap Fian serius. “Apalagi aku tahu betul kondisi di rumah itu. Dari kamarku, dari jendela... kalau tengah malam kubuka, terkadang... ada yang suka mengawasiku dari jendela kamar loteng itu.”
“Siapa?” tanya Dani.
“Si Gembel.”
“Siapa itu si Gembel?” Dirga baru buka mulut sembari mengingat lagi kejadian ganjil di kamar mandi rumah Haji Jajuli.
“Jin penunggu rumah itu. Jin yang suka jahil. Suka taburin pasir ke atap rumahku. Atau juga suka lemparin pasir ke kepala orang yang lewat situ kalau malam. Selain pasir, kadang juga batu dilempar dari atas rumah tua angker itu,” jelas Fian.
“Kalau pake batu, bisa luka kepala orang yang kena!” komentar Ray.
“Tapi nggak pernah ada yang terluka. Batunya suka meleset... sepertinya si Gembel hanya menakut-nakuti! Nggak bermaksud melukai,” Ray menatap Ray.
“Baik juga, hehehehe!”
“Jahil banget si Gembel,” kata Dani. “Aku nggak pernah lewat situ kalau malam. Kalau siang pernah dua kali, ya pakai motor... karena lewat situ cepat sampai rumah Nenek. Tapi sekarang kalau siang, tak pernah lagi, takut ada yang jemur padi di halaman luas itu. Segan. Terus, menghindari ketemu sama Bu Sri dan Pak Rahman.”
“Yang membuatmu nggak mau lagi menginap di situ... karena si Gembel itu?” selidik Ray.
“Bukan cuma itu, Ray. Memang, pas menginap... aku juga merasakan kehadiran si Gembel di situ. Si Gembel kan suka menetapnya di kamar atas. Ruangan yang kita tempati menginap. Nah, pas tengah malam... waktu kalian pulas, si Gembel geser-geser kursi. Terus jalan-jalan sekitar kita tidur. Kalau dasar lantainya papan kan terdengar jelas yang gedebak-gedebuk. Kalian sih pulas. Aku yang dengar jelas. Dan aku yakin itu ulah si Gembel. Tapi, yang bikin aku malas menginap lagi... ya di situ kayak sarung hantu. Banyak suara aneh lainnya. Bukan ulah si Gembel saja. Tapi makhluk-makhluk tak kasat mata lainnya,” Fian berhenti bicara. “Ko lebih mirip kompetisi hantu di situ. Ngeri hiiih!”
“Contoh makhluk tak kasat mata apa saja yang sempat kamu lihat penampakannya?” selidik Ray lagi.
“Nggak ada penampakan!”
“Terus... apa?”
“Suara-suara aneh.”
“Seperti apa? Yang jelas kalau mau cerita!” desak Ray.
“Ada suara perempuan tengah menangis lirih. Tepat di bawah tangga. Aku yakin dari arah sana. Terus... kita kan tidur berempat di ruang yang luasnya, nah... di kamar kan kosong, yang aku dengar suara dari kamar kosong itu. Suara yang tengah mengobrol tapi nggak jelas ngobrol apanya. Pokoknya suaranya agak riuh gitu. “
“Kira-kira ada berapa orang?” tanya Ray.
“Bukan orang! Hantu!” kata Fian.
“Ya, ada berapa hantu?”
“Nggak bisa mastiin. Pokoknya lebih dari dua.”
“Lagi konferensi gituuu para hantu di sana?” Kata Dani seraya menahan tawa.
“Lagi debat para hantu!” ucap Fian keki.
“Kenapa nggak kamu cek ke dalam kamar itu, kan kamu nggak tidur?” kata Dani.
Bahu Fian bergidik. “Hiiih, males banget! Bisa-bisa pas kulongok ke dalam, benar-benar banyak hantu di situ!”
Dirga diam. Ray meliriknya. “Kayaknya, kamu juga lihat penampakan, ya? Biasanya kalau kita lagi cerita-cerita seru seputar hantu dan kamu malah diam, kamu itu juga mengalami hal yang sama.”
“Ya, Ray. Kamu benar,” jawab Dirga dengan suara lunak.
“Cerita ding,” Dani melirik Dirga.
“Waktu aku mandi menjelang Magrib...” Dirga mulai membuka cerita.
“Gimana?” Dani tak sabar.
“Ada yang mengetuk pintu kamar mandi.”
“Kamu buka?”
“Tidak langsung. Aku kan lagi mengeringkan badan. Nah, setelah itu... barulah kubuka.”
“Ada orang di luar kamar mandinya?”
Dirga menggeleng.
“Kayaknya yang mengetuk langsung pergi, jadi pas kamu buka... ya nggak ada,” kata Dani.
“Nggak mungkin!” tegas Dirga.
“Bisa saja!” Dani bersikukuh dengan dugaannya.
“Nggak!” tegas Dirga lagi.
“Mungkin Bu Sri atau Pak Rahman,” tebak Ray.
“Mereka tidak ke kamar mandi itu, kan aku tanya!”
“Pastinya Mak Inoh!” seru Fian. “Namanya nenek-nenek... kadang bertingkah aneh. Mengetuk pintu pintu di kamar mandi lalu pergi. Jadi pantas, waktu pintu dibuka, Dirga tak lihat siapa pun di luar kamar mandi itu.”
Dirga menggeleng. “Kata Bu Sri... Mak Inoh semenjak paginya tak ada di rumah itu. Tapi di rumah pekerja Haji Jajuli.”
Fian tampak kaget. “Apa mungkin si Gembel juga pelakunya?”
Dirga mengangkat kedua bahunya. “Entahlah. Mungkin ya, mungkin juga bukan. Kalau bukan... paling penghuni lain di rumah itu.”
Ray menghela napas. “Siapa pun... yang penting nggak menggangu kita.”
“Tapi menakut-nakuti kita!” ucap Dirga. “Jujur, aku juga malas kalau diajak menginap lagi di situ sama Ray!”
“Kenapa kamu nggak cerita waktu malam kita di situ?” Dani merasa heran.
“Kalau menjelang tidur, aku cerita yang gitu-gitu, takut kebawa-bawa dalam mimpi. Kalau dalam mimpi kita dikejar hantu, ko hantunya terus mengejar kita. Orang lain malah dibiarkan. Misal kita sembunyi, eh... si hantu suka bisa nemuin kita ngumpet di mana pun. Mimpi itu seringnya tak berpihak pada kita. Jadinya, aku menghindari cerita yang menakutkan kalau malam. Takut nanti hantu jadi tokoh utama dalam mimpiku. Kalau mimpi hantu pun, suka susah bangun. Nggak kayak kalau mimpi indah, mudah sekali terjaga.”
“Waktu di rumah Mamangmu di Panaruban... ko kamu antusias cerita hantu?” sindir Dani.
“Sekarang... nggak lagi, setelah aku sering lewati kejadian-kejadian aneh,” tegas Dirga.
“Kamu sendiri, Dan.. waktu menginap di rumah itu... ada dengar suara-suara aneh?” tanya Ray pada Dani.
“Rumah mana?”
“Rumah Haji Jajuli yang dikontrak oleh guru tercinta kita.”
Dani menggelengkan kepala. “Alhamdulillah, nggak. Mungkin lantaran aku langsung tidur. Kalau kamu sendiri?”
Ray menggeleng. “Nggak. Coba kalau sebelum tidur, kita rajin berdoa dulu, InsyaAllah tak akan mimpi bertemu hantu.”
Fian mendecak. “Mending cuma dalam mimpi. Tapi kalau sebelum tidur atau ketika terjaga dari tidur dan lihat hantu?”
Dani memandang ke arah Ray. “Kalau aku... mendengar suara aneh ya bukan di kamar mandi Haji Jajuli tapiii... di kamar mandi Bunda Dewi. Aku belum sempat cerita ya sama kamu juga yang lain... pas aku mau buang air kecil, pintu kamar mandi di sana tertutup rapat, aku dengar di dalam, ada suara air dari keran. Aku panggil di dalam siapa, kupikir Indah... eh, pas kubuka... karena tak juga ada yang menjawab.... ternyata di dalam...”
“Kamu lihat kuntilanak?” tebak Fian serius.
Dani menggeleng. “Nggak. Di dalam nggak ada siapa-siapa.”
“Bukan Indah?”
“Bukaaan. Kalau memang Indah, pasti aku seneng banget. Bisa menatap wajah cantiknya pada tengah malam.”
“Hemmmm, maunya!”
Ray geleng-geleng kepala. “Ko aneh juga ya... kita acap diteror, baik suara-suara aneh maupun penampakan. Padahal dulu waktu kelas sepuluh, khususnya aku... nggak pernah terusik dengan kejadian-kejadian seperti sekarang. Yang berhubungan dengan hantu atau pun mistis.”
“Waktu kelas sepuluh, kita belum sedekat sekarang, Ray!” kata Dirga.
Ray mengangguk. “Memang! Kita masih jalan masing-masing. Aku berteman dengan yang lain. Begitu pun kalian semua.”
“Aneh juga, ya... kejadiannya ketika kita menjelang naik kelas dua belas?” Dani menatap Ray. Ray yang ditatap Dani merasakan jika lantaran dirinya, teman-teman acap melewati masa-masa menyeramkan. Termasuk dirinya. Dan semua bermula, ketika Ray mendengar suara garukan kuku-kuku tajam di kaca jendela rumahnya. Berlanjut ke kaca jendela kamarnya. Dan munculnya wujud kepala tanpa tubuh dengan wajah menyeramkan. Lalu teman-temannya berulangkali mengalami hal serupa. Bukah hanya diteror di kaca jendela. Namun juga banyak teror lainnya. Tiba-tiba melintas wajah Wak Dulah di pelupuk mata Ray. Lalu menyeret Ray ke dunianya.
“Ray! Ray!” Dani menepuk bahu Ray. Dirga dan Fian pun merasa aneh dengan tingkah Ray. Yang terdiam hampir sepuluh menit dengan tatapan kosong. Dan pikirannya seperti tengah mengembara ke dunia lain.
“Ray!” Fian mengusap wajah Ray. Namun Ray diam. Matanya tetap terbuka. Tatapannya ke depan. Kosong.
“Raaaaay!” Dirga menggerak-gerakkan bahu Ray. Namun, lagi-lagi Ray masih diam. Tak bergerak. Semua panik bersamaan dengan dering yang berbunyi dari ponsel Ray. Dani dan yang lainnya bingung. Panggilan telepon yang entah dari siapa. Mereka pun tak berani mengangkatnya.
“Lihat saja siapa yang menelepon!” ucap Dani.
“Aku tak berani, Dan!” kata Fian.
“Cek saja... lihat siapa peneleponnya! Nggak usah diangkat! Cukup dilihat!” kata Dani lagi.
“Ya, Fian... siapa tahu penting,” Dirga mengiyakan. Dengan ragu, tangan Fian mengambil gawai Ray dari saku baju seragam putihnya. Lalu dilihat nama pemanggil. Wak Dulah!
“Siapa?” tanya Dani.
“Wak Dulah, Dan!”
Dani terdiam. Ray pun masih seperti sebelumnya. Giliran gawai Dani yang berdering. Dirogoghnya dari saku celana seragam abu-abu. Ia kaget. Ia memang sempat menyimpan nomor Wak Dulah tapi baru kali ini ditelepon.
Diangkatnya. “Assalamu’alaikum, Wak...”
“Wa’alaikumsalam. Ini Dani kan? Teman Ray?”
“Ray di mana, Dan? Dia ada di sampingmu? Barusan Abah meneleponnya tapi tak diangkat.”
“Mmmmm... Bah, Ray...”
“Kenapa?”
Tiba-tiba Ray sadar. Ia langsung mengusap wajahnya. Sesaat menatap wajah teman-temannya bergantian. “Abah meneleponku, ya?”
Dani mengangguk. “Ya, sama aku juga.”
Ray menelepon balik pada Wak Dulah. “Ada apa, Bah?”
“Ray, kamu tahu... di mana Indah?”
Ray kaget bukan main. Dadanya berdebar keras. Ia berusaha agar tak gugup dan tetap tenang. Dihelanya napas. Ia pun heran mengapa laki-laki tua itu menanyakan Indah padanya, padahal Wak Dulah tidak pernah tahu kalau Ray mengenal Indah meski lewat cerita Dani. Dan Ray pun baru satu kali bertemu Indah. Itu pun hanya melihat dari kejauhan, ketika Dani berdua dengan gadis itu di gubuk tengah sawah tak jauh dari rumah adiknya ayah Ray.
“Iiin.. daaah, ma-na, Bah?” tanya Ray pura-pura bingung.
“Indah. Di Garut. Kampung asal Abah juga ayahmu. Seorang gadis yang cantik dan baik. Masa sih kamu tidak tahu!”
“Baaah, Ray memang tak tahu!”
“Kalau Abah tanya sama kamu, berarti Abah yakin kalau kamu itu tahu!”
“Duh!” tak sadar bibir Ray mengeluh pendek.
“Kasih tahu Abah, sekarang dia di mana! Kamu tahu kan, dia itu calon istri Abah! Abah mau menikahi dia dengan segera!”
“Ray tidak tahu, Bah!”
“Kamu jangan coba bohongi Abah! Orang tua dia mencarinya. Orang-orang sekampung juga ikut sibuk mencarinya. Eh, kamu malah enak-enakan menyembunyikan dia!”
Lalu telepon terputus. Ray menatap Dani. “Indah, Dan!”
Dani tampak gemetaran tubuhnya. “Apakah Abah tahu kalau aku tahu keberadaan Indah?”
“Entahlah, tapi sekarang Abah mendesakku!” ucap Ray gelisah. Sepulang dari sekolah, Ray sendirian menemui Indah. Dani menolak keras. Ia seolah takut dianggap terlibat oleh Wak Dulah.
Indah tengah sendirian di rumah Bunda Dewi. Katanya, bunda Dewi baru akan kembali selepas Magrib. “Ray, kenapa Bunda sering pulang malam?”
“Bunda ke Cibiru, Indah. Dan emang biasanya pun begitu. Hanya sekarang lantaran ada kamu di sini, dia sering pulang pergi.”
“Aku jadi merepotkan Bunda Dewi. Aku malu banget, Ray. Dan jujur saja, aku sebenarnya nggak mau sendirian di sini, Ray. Takut. Banyak suara-suara aneh mengusikku. Juga kadang ada penampakan. Selama ini, aku berusaha tenang tapi tak bisa. Aku tak pernah bilang soal ini pada Bunda Dewi. Juga pada kamu dan Dani,” Indah berhenti bicara. “Di sini, siang hari dan sore hari pun... kadang mengalami yang aneh-aneh.”
Ray mendesah. “Kalau malam ini Bunda Dewi nggak pulang, aku mau minta saudara sepupuku, Cika... menginap di sini, menemanimu. Mumpung dia lagi ada di rumahnya.”
“Biasanya dia di mana?”
“Kuliah dan kos di Jatinangor.”
“Aku senang kalau dia menemaniku, Ray.”
“Ya, siap... tapi ada yang lebih penting dari itu. Wak Dulah mendesakku memberitahunya kalau kamu tengah berada di mana.”
Indah terperanjat. Tubuhnya gemetar. Membayangkan hal yang sangat buruk. Lebih buruk dibanding bersua hantu.***